PENGIMPLEMENTASIAN CATUR TERTIB ADMINISTRASI 3R ATAS PEMBANGUNAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN KONSERVASI DAS GARANG DI KECAMATAN
GAJAHMUNGKUR KOTA SEMARANG
Gambaran Umum
Kasus pertanahan yang terjadi di Desa Bendan Duwur, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, mencerminkan persoalan serius dalam pengelolaan ruang dan konservasi lingkungan. Pembangunan permukiman di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan fakta di lapangan, banyak bangunan yang didirikan di sempadan sungai dengan jarak kurang dari 3 meter, melanggar aturan yang telah ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pada studi kasus ini, ditemukan sebuah fenomena berupa munculnya bangunan permukiman di Desa Bendan Duwur yang berdiri di sempadan sungai Garang yang menyalahi aturan yang berlaku. Permukiman yang berbatasan langsung dengan sungai Garang ketika hujan deras pasti mengalami banjir karena luapan air sungai tersebut. Hal itu dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menurunkan nilai ekologis sungai.
Permasalahan yang Timbul
Permasalahan utama yang terjadi dalam kasus ini antara lain:
• Alih fungsi lahan secara illegal, banyak kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi justru dijadikan permukiman tanpa perencanaan yang memadai.
• Pelanggaran regulasi tata ruang, peraturan yang mengatur sempadan sungai tidak dipatuhi, termasuk dalam pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang.
• Dampak ekologis, berkurangnya vegetasi di daerah sempadan sungai
• Kurangnya pengawasan dari pemerintah, pengawasan terhadap kepatuhan regulasi sangat lemah,
Landasan Regulasi
1. UU No. 12 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur pentingnya perlindungan ekosistem DAS.
2. PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menegaskan pengelolaan DAS harus dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem.
3. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang mengharuskan pembangunan perumahan memperhatikan faktor keselamatan dan keamanan.
4. Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 yang menetapkan bahwa garis sempadan sungai di kawasan perkotaan harus berjarak minimal 3 meter dari tepi luar kaki tanggul.
5. Perda Kota Semarang No. 5 Tahun 2021 tentang RTRW Kota Semarang 2011-2031, yang melarang pembangunan yang merusak fungsi ekologis sungai.
Hubungan Kasus dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
Gambar 1 Hasil Olah Kelompok B3
Pembangunan permukiman di sempadan Sungai Garang tidak lepas dari dampak yang merugikan bagi ekosistem di sungai. Hal itu tentunya tidak berjalan sesuai dengan instruksi dari TPB 15 yaitu ekosistem darat yang menyebutkan dua indikator didalamnya terkait pembangunan untuk kawasan konservasi dan ekosistem yang berkelanjutan. Dan pada TPB 15 akan saling memengaruhi pada TPB lainnya, seperti TPB 6, 9, 11, 12, 16, dan 17. Inti dari kasus ini sangat menyangkut pada TPB 15 karena berhubungan langsung dengan ekosistem yang ada di sekitar pembangunan dan memengaruhi keberlangsungan makhluk hidup lainnya.
Kesimpulan
Kasus pertanahan di kawasan konservasi DAS Garang merupakan contoh nyata dari lemahnya pengelolaan tata ruang dan pengawasan lingkungan di perkotaan. Pembangunan permukiman yang tidak sesuai dengan regulasi telah menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan, mulai dari degradasi ekosistem hingga meningkatnya risiko bencana. Untuk itu, diperlukan langkah konkret dalam penegakan hukum, pengawasan perizinan, serta upaya konservasi guna memastikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut..