• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat dan Tantangan E-government

N/A
N/A
MARSELINUS ZAGOTO

Academic year: 2025

Membagikan "Manfaat dan Tantangan E-government"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Manfaat yang dapat dirasakan dengan diterapkannya egovernment.

Manfaat tersebut antara lain: (1) meningkatkan rasa demokrasi publik yang tergambar padap keberanian mengeluarkan aspirasi pada media online; (2) adanya bentuk kepedulian lingkungan, karena mampu mengurangi penggunaan kertas yang sangat banyak digunakan dalam lingkungan pemerintahan; (3) Kemudahan akses (waktu, tempat, kondisi) yang cepat sehingga menciptakan efisiensi dan kenyamanan; serta (4) terciptanya penerimaan publik secara merata. (Antoni, dkk.

11).

Gil-Garcia and Martinez-Moyano (2007) menyatakan bahwa sebuah sistem dengan manfaat yang besar pastinya mempunyai tantangan yang besar. Tantangan yang dihadapi e-government, yaitu (1) kemungkinan terjadi hyper-surveilleance y ang tinggi karena hilangnya privasi personal pengguna, (2) biaya yang dikeluarkan lebih besar, (3) sulitnya menjangkau pengguna di daerah terpencil, serta (4) besar kemungkinan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan transparansi dan akuntabilitas karena dikembangkan oleh pemerintah. (Antoni, dkk. 11).

Untuk memberikan layanan yang berkualitas kepada stakeholder termasuk masyarakat, industri dan sosial, pemerintah perlu untuk melihat bagaimana mereka memahami kebutuhan stakeholder yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki pemerintah. Di pemerintah kota dan kabupaten Indonesia sudah memiliki infrastruktur TI e-government untuk melayani masyarakat. Tetapi banyak infrastruktur tersebut tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali bermanfaat dalam memberikan manfaat dan layanan kepada masyarakat. Diperlukan kolaborasi antara masyarakat, industri sosial dan pemerintah untuk memberikan masukan atau rekomendasi dalam memberikan pelayanan berkualitas dan memenuhi kebutuhan mereka. (Antoni, dkk. 13).

Berdasarkan literature review egovernment dapat dikelompokan menurut pelayanan yang diberikan.

Penyediaan layanan dasar kepada warga, seperti yang digambarkan oleh proyek Gyandoot di Madhya Pradesh, India adalah contoh yang solid tentang bagaimana penggunaan infrastruktur TI bisa membantu pemerintah jauh mencapai kabupaten miskin dan rawan kekeringan dan memberikan beberapa layanan kunci untuk secara efektif dan efisien (Blattman et al., 2003). Ini memberikan desa akses ke informasi pemerintah penting dan dokumen seperti pendapatan dan sertifikat melalui kiosk informasi dioperasikan oleh pengusaha lokal. (Antoni, dkk. 13).

Website biasanya dimanfaatkan oleh pemerintah kota atau kabupaten untuk meningkatkan desain dan pelayanan publik dan proses untuk terlibat dengan para pemangku kepentingan, serta untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dan untuk mendorong interaksi yang lebih banyak dengan para pemangku kepentingan mereka. Jadi dapat disimpukan bahwa E-e-government mempunyai kemampuan yang menghubungkan warga, bisnis, dan lembaga pemerintah dalam jaringan komputer atau Internet, kemampuan, dan pertukaran informasi (Sun et al., 2015).

(Antoni, dkk. 14).

Cloud computing adalah sebuah konsep yang baru muncul dan inovatif yang dapat mengatasi tantangan IT yang dihadapi oleh organisasi sektor publik.

Istilah "cloud computing" memiliki pada intinya satu elemen: sumber daya komputasi yang disampaikan melalui internet on demand, dari lokasi terpencil, bukan berada pada satu desktop yang sendiri, laptop, ponsel, atau bahkan di server organisasi. Cloud Computing dapat dipahami, dikembangkan, dan diuji dengan

(2)

investasi awal lebih kecil dari investasi TI tradisional. Daripada sulit membangun kapasitas data yang tersentralisasi untuk mendukung pengembangan pelayanan kepada masyarakat, kapasitas dapat kembangkan melalui teknologi komputasi awan atau cloud computing. Manfaat dapat mencakup on-demand layanan mandiri, akses jaringan di mana-mana, bisa diakses dimana saja, dan elastisitas cepat dan lain-lain (Khan et al., 2011). (Antoni, dkk. 14).

Pesatnya perkembangan dan konvergensi teknologi informasi harus memungkinkan dalam waktu dekat untuk memberikan sebagian besar layanan pemerintah tersedia untuk para pengguna ponsel secara elektronik. Lonjakan permintaan ponsel di akhir-akhir memiliki potensi untuk menjembatani kesenjangan digital. Tidak seperti komputer, distribusi ponsel tidak terbatas pada orang-orang di tingkat sosial-ekonomi yang lebih tinggi tetapi didistribusikan lebih adil untuk semua tingkatan sosial ekonomi. Dengan demikian, telepon termasuk ponsel adalah teknologi, yang dapat memainkan peran penyama besar antara "kaya"

dan "si miskin" sangat berbeda dengan kesenjangan yang ada sehubungan dengan teknologi lain seperti Internet sehingga membantu untuk menjembatani kesenjangan digital. Contohnya, Dublin, Irlandia, dewan Kota meluncurkan layanan Mobile Park baru pada Januari 2003 yang memungkinkan pengguna membayar parkir dengan ponsel. Ponsel diaktifkan Parkir Mesin tersedia dalam zona kuning tarif tinggi (Singh and Sahu, 2008). (Antoni, dkk. 15).

Namun yang paling mendasar dari segi penggunaan teknologi terbaru ini adalah dimensi efisiensi serta “cost effectiveness” nya. Artinya penggunaan teknologi terbaru dalam suatu proyek e-government akan selalu berkaitan dengan pertanyaan: seberapa efektif teknologi tersebut -dalam hal diseminasi informasi misalnya- dan juga seberapa besar biaya yang dikeluarkan untk penggunaan teknologi itu. (Irawan dan Nizar, 2021:9).

Perkembangan teknologi informasi akan membuat kriteria kesuksesan e- government ikut berubah. Jika satu sistem egovernment masih menggunakan teknologi versi 1.0 misalnya, sedangkan teknologi terbaru sudah mencapai versi 5.0, tentu saja kita bisa mengatakan bahwa e-government yang dijalankan belum bisa disebut “sukses”. Begitu juga dengan biaya yang dikeluarkan. Apabila teknologi yang digunakan masih membutuhkan anggaran biaya yang besar, maka sistem e-government itu dinilai “gagal”. (Irawan dan Nizar, 2021:9-10).

Oleh sebab itu, e-government tidak hanya berurusan dengan persoalan efisiensi biaya dan kecanggihan teknologi namun juga berkaitan erat dengan keterwujudan nilai-nilai yang mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik seperti transparansi, keterbukaan, ketepatan kebijakan, peningkatan kualitas pelayanan publik dan peningkatan partisipasi masyarakat (Gil-Garcia, 2012).

Secara sederhana, kita bisa mengartikan bahwa kesuksesan e-government tidak hanya berkaitan dengan penggunaan teknologi terbaru, namun yang paling penting adalah tujuan besar dari penerapan teknologi tersebut. Apakah sistem e-government sudah mewujudkan transparansi? Apakah pemerintah dan tata kelola pemerintahan sudah menjadi semakin terbuka? Apakah teknologi tersebut menjamin akses bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan? (Irawan dan Nizar, 2021:10).

model evolusi e-government yang disusun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang berisi empat tahap: 1) emerging; 2) enhanced; 3) transactional; dan 4) connected, dan model Layne & Lee yang memuat: 1)

(3)

catalogue; 2) transaction; 3) vertical integration dan 4) horizontal integration.

(Layne & Lee, 2001; United Nations, 2008a). (Irawan dan Nizar, 2021:17).

Menurut GilGarcia & Luna-Reyes (2006) dalam Gil-Garcia (2012) Sebagian besar dari definisi e-government yang ada saat ini mengandung setidaknya empat elemen atau karakteristik utama: 1) penggunaan ICT (jaringan komputer, internet, telepon, dan mesin faximili); 2) dibuat untuk mendukung kerja pemerintahan (menyediakan dan pengelolaan informasi, perbaikan pelayanan, efisiensi administrasi dan lain-lain); 3) memperbaiki relasi pemerintah dan publik (melalui pembuatan kanal-kanal komunikasi baru berbasis ICT dan meningkatkan partisipasi publik dalam jalannya pemerintahan); 4) adanya strategi untuk menciptakan nilai tambah bagi stakeholder yang terlibat dalam program e- government (masyarakat, privat/mitra bisnis, staf pegawai dan lainnya). (Irawan dan Nizar, 2021:19).

Grönlund & Horan misalnya menekankan pada pelayanan publik, perubahan organisasi dan peran pemerintah (Grönlund & Horan, 2005). Lain halnya dengan Zweers & Planqué (2001) yang fokus pada penyediaan informasi, pelayanan dan produk kebijakan berbasis ICT yang bisa diperoleh kapan dan dimana saja melalui berbagai agen pemerintah yang menciptakan nilai tambah bagi pihak yang telibat dalam proses tersebut (related to the provision of information, services, or products through electronic means that can be obtained at any time and place through different government agencies, offering added value for all the participants in the transaction) (Zweers & Planqué, 2001). (Irawan dan Nizar, 2021:19-20).

Gil-Garcia dan Luna-Reyes (2003, 2006) mendefiniskan e-government sebagai “…the selection, design, implementation, and use of information and communication technologies in government to provide public services, improve managerial effectiveness, and promote democratic values and participation mechanism, as well as the evelopment of a legal and regulatory framework that facilitates information intensives and fosters the knowledge society”. Merujuk pada definisi di atas, maka e-government tidak sekedar penerapan ICT dalam proses pemerintahan, namun juga tentang penciptaan kondisi untuk keberhasilan proyek e- government itu sendiri. (Irawan dan Nizar, 2021:20-21).

Definisi yang dibuat oleh the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mengatakan bahwa egovernment adalah “the use of information and communication technologies, and particularly the internet, as a tool to achieve better government” (OECD, 2003). Adapun European Union (Uni Eropa) mendefinisikannya “..about using the tools and systems made possible by Information and Communication Technologies (ICTs) to provide better public services to citizens and businesses”. Sedangkan OAS (Organization of American States) menyebutkan “E-Government uses information and communication technology to help governments become more accessible to constituents, improve services and efficiency, and become more connected to other parts of the society”.

Terakhir, PBB mendeskripsikan egovernment sebagai “as a means of enhancing the capacity of the public sector, together with citizens, to address particular development issues; it is never an end in itself” (Gil-Garcia, 2012). (Irawan dan Nizar, 2021:21).

(4)

Model tahapan evaluasi atau perkembangan e-government masih relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: “sudah sampai tahap mana penerapan e-government?”

Model yang diformulasi oleh Layne & Lee (2001) ini merupakan model yang banyak dikutip dan digunakan dalam studi evaluasi tahapan e-government.

Secara keseluruhan model tahapan e-government yang mereka buat berisikan empat tingkatan: 1) catalouge; 2) transaction; 3) vertical integration; dan 4) horizontal integration.

Pada tingkat pertama, catalouge, penggunaan ICT difokuskan pada memastikan keberadaan pemerintah secara online (focused on establishing an online prescene for the government). Pada tahapan ini yang dilakukan pemerintah adalah menyediakan informasi publik secara online –biasanya melalui website- dan oleh sebab itu maka aktivitas tersebut terlihat seperti pembuatan “katalog”. Naik ke tingkat berikutnya, transaction, dimana pada tahap ini penggunaan ICT telah memungkinkan adanya transaksi antara pemerintah dan masyarakat melalui kanalkanal elektronik. Transaksi ini bisa berupa pembayaran denda, tagihan, atau lainnya, mekanisme pembaharuan identitas dan lain sebagainya. Intinya ada pada interaksi yang melibatkan transaksi (dalam bentuk informasi, uang dan lainnya) antara pemerintah dan masyarakat. Tahapan selanjutnya adalah vercital integration , yang lebih kompleks daripada tingkat sebelumnya. Pada tahapan ini, iintegrasi secara vertical merupakan suatu kebutuhan untuk mensinkronisasikan transaksi yang terjadi. Contohnya adalah pengurusan izin usaha misalnya. Transaksi (informasi) yang dilakukan pada tingkat pemerintah kota mendorong adanya integrasi vertikal antar agensi yang sama pada tingkat provinsi dan nasional agar tercipta kesamaan data. Jadi pengurusan izin hanya dilakukan satu kali pada tingkat pemerintah kota yang datanya akan dimiliki pula oleh pemerintah provinsi dan nasional.

Yang terakhir adalah horizontal integration, tingkat yang paling kompleks dalam model Layne & Lee ini mengintegrasikan mekanisme koordinasi antar agensi. Contohnya adalah pendataan penduduk yang dilakukan oleh Dinas Pencatatan Sipil di tingkat kelurahan, dengan asumsi sudah diterapkannya vertical integration maka data yang sama akan dimiliki oleh pemerintah tingkat kota, provinsi dan nasional. Data yang dimiliki oleh Dinas Pencatatan Sipil ini akan bisa terintegrasi dengan agensi lain, misalnya Komisi Pemilihan Umum atau Badan Pusat Statistik, sehingga tidak ada lagi tumpang tindih data dan beragam versi data dalam skema horizontal integration. (Irawan dan Nizar, 2021:30-31)

Model tahapan Hiller dan Bellanger (2001) terdiri dari 5 tahapan yakni: 1) Information; 2) Two-way communication; 3) Transaction; 4) Integration dan 5) Political participation.

Tahapan information pada model Hiller & Bellanger hampir mirip dengan model Layne & Lee. Pada tahapan ini aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah terbatas pada menampilkan informasi pada website resmi mereka. Tantangan utama pada tahapan ini adalah memastikan bahwa informasi yang ditampilkan bisa diakses dengan mudah, memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan ketepatan waktu penyampaian. Tahap kedua adalah two-way communication dimana interaksi sederhana antara pemerintah dan masyarakat mulai terfasilitasi. Di tahap ini situs- situs pemerintah menyediakan platform bagi masyarakat untuk menyampaikan pesan mereka, latform tersebut berisikan blanko-blanko yang bisa diisi dan diubah

(5)

oleh pengguna/masyarakat. Respon yang diberikan oleh pemerintah tidak melalui platform yang sama namun biasanya dikirim melalui email pengguna/masyarakat.

Tahap ketiga adalah transaction, dimana interaksi dan transaksi –baik informasi dan uang- terfasilitasi sepenuhnya secara online melalui platform resmi pemerintah.

Pada tahap ini personel tenaga administrasi pemerintah tidak lagi diperlukan, permintaan dan pemberian layanan publik dilakukan melalui platform online.

Tahap keempat adalah tahap integration. Pada tahap ini semua layanan publik terintegrasi ke dalam satu portal. Masyarakat bisa mengakses layanan apapun karena data-data yang dibutuhkan dalam pengurusan pelayanan telah terintegrasi di antara lembaga-lembaga penyedia pelayanan publik. Tahap integration Hiller &

Bellanger ini mirip dengan tahap horizontal integration versi Layne & Lee dimana tingkat keterhubungan antar lembaga publik sudah sangat baik. Tahapan terakhir adalah participation yang merujuk pada penyediaan platform bagi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan misalnya terkait dengan voting online, registrasi online dan penyampaian komentar terhadap layanan publik.

Memang secara sekilas tahapan ini mirip dengan esensi pada tahap two-way communication, namun Hiller & Bellanger sengaja membuat kategori yang berbeda untuk participation karena mereka menganggap bahwa keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan perlu diberi jaminan keamanan dan privasi, untuk itulah tahapan participation dibedakan dengan two-way communication.

(Antoni, dkk, :100) Setiap negara berlomba-lomba dalam mengimplementasikan infrastruktur TIK seperti E-Government yang dapat membantu tata kelola pemerintahan dalam mengurangi biaya, meningkatkan kualitias pelayanan, menghemat waktu, dan meningkatkan efektifitas dan efisien sektor publik (Alshehri dkk, 2010).

(Antoni, dkk, :101) Kettinger et al. (1997) berpendapat bahwa kemampuan organisasi untuk mencapai keuntungan yang ditentukan oleh infrastruktur Teknologi Informasi (TI). Bharadwaj (2000) menyatakan bahwa kemampuan TI adalah kemampuan organisasi yang diciptakan oleh interaksi antara infrastruktur TI, SDM TI dan aset TI tidak berwujud dalam suatu organisasi untuk meningkatkan kinerja organsasi. Tippins dan Sohi (2003) berpendapat bahwa kemampuan TI adalah kemampuan organisasi untuk menggunakan sumber daya untuk meningkatkan kinerja.

(Antoni, dkk, :101) Pada penelitian ini, Teori metode RBV digunakan sebagai landasan peneliti dalam mengukur kesiapan Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam Implementasi E-Government dalam perspektif SDM TI. Adapun indikator kesiapan yang akan diukur adalah antara lain: (1)Kemampuan Teknis, (2) Kemampuan Manajemen, dan (3)Integritas.

(Antoni, dkk, :101) Kemampuan Teknis Berdasarkan diskusi di atas, keterampilan teknis sumber daya manusia TI memiliki kemampuan untuk membantu organisasi mengintegrasikan TI dan meningkatkan efektivitas proses bisnis (Dale Stoel & Muhanna, 2009). Itu juga dapat meningkatkan efisiensi komunikasi antara unit bisnis melalui aplikasi yang efektif (Bharadwaj, 2000;

Schneidermeyer, 2011). Kemampuan teknis ditentukan oleh (1) sistem pengetahuan dasar termasuk kemampuan sumber daya manusia TI untuk menyiapkan dokumentasi pengguna dan mengembangkan sistem informasi yang fleksibel secara efektif, (2) keahlian dalam implementasi sistem informasi seperti basis data,

(6)

program modular, dan infrastruktur TI, dan (3) kemampuan untuk mengidentifikasi TI dalam proses bisnis dan menyelesaikan masalah melalui TI (T. Ravichandran &

Lertwongsatien, 2005).

(Antoni, dkk, :101-102) Kemampuan Manajerial Banyak penelitian telah mengidentifikasi peran kemampuan manajerial sumber daya manusia TI dalam meningkatkan kinerja organisasi. Karimi, Somers, dan Bhattacherjee (2007) menemukan sumber daya manusia TI untuk mendukung proses bisnis agen dengan mengelola dan mendesain ulang operasi bisnis untuk meningkatkan efisiensi. Di sini, keterampilan manajerial terdiri dari orang, organisasi, dan kinerja. Orang- orang harus dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dengan orang-orang atau pemangku kepentingan non-IT. Speshock (2010) menyatakan bahwa sumber daya manusia IT harus dapat berkomunikasi dengan pemangku kepentingan untuk memahami dan mengidentifikasi sistem yang mereka bangun dan juga untuk mengidentifikasi dan menghilangkan masalah yang dialami. Selain itu, aspek organisasi mencakup identifikasi masalah utama dalam suatu organisasi, menentukan dampak penggunaan TI, dan memahami budaya organisasi.

(Thiagarajan Ravichandran, Lertwongsatien, & Lertwongsatien, 2005). Terakhir, kemampuan manajerial ditentukan oleh kinerja sumber daya manusia TIK dalam memecahkan masalah bisnis dan menguasai berbagai teknologi.

(Antoni, dkk, :102) Dalam RBV, kemampuan personel TI dianggap sebagai keterampilan unik, kompetensi, dan pengetahuan yang diperlukan untuk menyediakan layanan TI (Byrd & Turner, 2000). Namun, integritas adalah tolok ukur untuk kualifikasi mereka berdasarkan kejujuran, konsistensi, dan / atau tanggung jawab terhadap pekerjaan (A. H. Huang, 2009; Shropshire, Warkentin, Johnston, & Schmidt, 2006). Berikut ini adalah pernyataan yang dibuat untuk menentukan kemampuan teknis SDM TI secara umum. Kemampuan ini terkait dengan kepribadian SDM TI yang bertanggung jawab atas kerahasiaan data dan informasi yang terkandung dalam sistem informasi. Selain itu, integritas juga terkait dengan pengetahuan hukum mengenai dokumentasi sistem informasi di kabupaten dan kota sehubungan dengan prosedur dan otorisasi akses ke data dan informasi (L.

K. Huang, 2010).

(Antoni, dkk, :102) Atribut yang menjadi ukuran dalam indikator Kemampuan Teknis antara lain: Basic Knowledge (Kemampuan Dasar), Expertise (Keahlian), dan Competence (Kompetensi). Kemampuan Dasar (Basic Knowldege) yang dimaksud pada penelitian ini meliputi pengetahuan dasar tentang teknologi informasi yang diperoleh dari pendidikan formal atau non formal (kursus/bimbingan teknis/magang) atau secara otodidak serta mengenai relevansi kedudukan jabatan saat ini dengan latar pendidikan. Keahlian (Expertise) meliputi keahlian ilmu komputer/sistem informasi di bidang jaringan atau basis data atau pemrograman atau desain grafis yang diakui dengan sertifikasi. Sedangkan atribut Kompetensi (Competence) merupakan Kemampuan umum yang harus dimiliki oleh seorang SDM TI ataupun pengelola sistem informasi meliputi kemampuan umum Ms.Office/Open Office dan pengelolaan perangkat keras (Hardware) sistem komputer. Menurut Choirul Azim tahun 2018 mejelaskan bahwa SDM TI di Pemerintah Kabupaten cenderungan tidak siap atau belum memiliki keahlian (expertise) yang bersertifikasi untuk menujang implementasi dan mengembangkan e-government di kabupaten. Tetapi, SDM IT yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten sudah cukup memiliki kompetensi dasar terkait dengan penggunaan

(7)

Ms.Office/Open Office serta pengelolaan dan pemeliharaan perangkat keras. Hal ini dikarenakan pengetahuan atau kemampuan teknik teknologi informasi yang diperloleh dari pendidikan formal; relevansi pendidikan; keahlian dibidang office, basisdata, jaringan, pemrograman, dan desain; serta pengetahuan dasar mengenai pengelolaan software dan hardware. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan SDM IT di Kabupaten belum memiliki kemampuan teknis dalam mendukung kebelangsungan implementasi e-government untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

(Antoni, dkk, :109) E-government merupakan penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi oleh pemerintah agar tercipta komunikasi antara pemerintah (Government to Government–G2G), masyarakat (Government to Citizen-G2C), dunia bisnis (Government to Business G2B) dan pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti pegawai negeri sipil atau karyawan pemerintahan yang bekerja sebagai pelayan masyarakat (Government to Employee-G2E), untuk memberikan pelayanan secara cepat dan tepat (Alshehri, 2010).

Penerapan egovernment merupakan bentuk dari implementasi penggunaan teknologi informasi bagi pelayanan pemerintah kepada publik, yaitu bagaimana pemerintah memberikan informasi kepada pemangku kepentingan (stakeholder) dan masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi, serta meningkatnya jumlah pengguna internet di kalangan masyarakat, pelayanan prima yang murah, mudah dan gratis mulai dituntut dan dibutuhkan (Antoni, dkk, :109- 110).

Kriteria utama yang paling penting pada penerapan sistem egovernment yakni ketersediaan (availability) dan aksesibilitas (accessibility) layanan e- government. (Alhomod, 2012). Pertama, ketersediaan layanan dan transaksi e- government harus tersedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Hal ini juga diperkuat melalui Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia terkait Portal Pelayanan Publik (Kemkominfo, 2003). Yang kedua, egovernment Sangat tergantung pada aksesibilitas layanan yang tersedia melalui jaringan komputer baik jaringan intranet maupun jaringan internet. Jika layanan tersebut tidak dapat diakses maka dapat dikatakan e-government tidak berhasil atau mengalami kegagalan.

Namun dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagaian besar institusi pemerintah baru berada pada tahap awal pengembangan e-government yakni pembuatan situs informasi. Dengan kata lain, pengembangan egovernment di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Napitupulu (2015) yang menjelaskan kondisi rendahnya tingkat aksesibilitas situs web pemerintah dimana berdasarkan penelitian Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2004 bahwa dari 224 situs web pemerintah di tahun 2004 terdapat 10% web tidak dapat dibuka (Napitupulu, 2015).

Ditambah lagi penelitian Widiatmoko (2009) yang melaporkan bahwa dari 402 situs web di tingkat Pemerintah daerah, terdapat 65 situs yang tidak dapat diakses, atau 16% dari total situs yang ada (Widiatmoko, 2009).

Referensi

Dokumen terkait