• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah pembangunan jalan

N/A
N/A
Rian Asmi

Academic year: 2023

Membagikan "Masalah pembangunan jalan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan agregat dan aspal atau semen (Portland Cement) sebagai bahan ikatnya terhadap lapis konstruksi tertentu sehingga memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalulintas diatasnya ke tanah dasar secara aman (Cahyadi, 2022). Fungsi utama dari perkerasan sendiri adalah untuk menyebarkan atau mendistribusikan beban roda ke area permukaan tanah-dasar (sub-grade) yang lebih luas dibandingkan luas kontak roda dengan perkerasan, sehingga mereduksi tegangan maksimum yang terjadi pada tanah-dasar. Perkerasan harus memiliki kekuatan dalam menopang beban lalu-lintas. Permukaan pada perkerasan haruslah rata tetapi harus mempunyai kekesatan atau tahan gelincir (skid resistance) di permukaan perkerasan.

Komponen utama penyusun perkerasan jalan adalah: agregat, bitumen dan bahan pengisi (filler). Karena mencapai hasil yang baik dan berkualitas produksi permukaan jalan, lalu material juga harus berkualitas baik (Nawir, 2021).

Menurut Sukirman (1992) berdasarkan pada bahan pengikat yang digunakan, konstruksi perkerasan dapat dibedakan dengan hal-hal berikut ini:

1. Perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasanny bersifat memikul dan menyebarkan beban

2. Perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland cement) sebagai pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.

3. Perkeresan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur diatas pekerasan kaku atau sebaliknya.

2.2 Perkerasan Lentur

Perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipampatkan dan menggunakan aspal sebagai bahan ikatnya. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu-lintas dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya.

Berdasarkan Sukirman (1992) lapisan perkerasan lentur meliputi:

1. Lapis permukaan (surface course), Lapisan yang terletak paling atas pada struktur perkerasan jalan lentur yang berfungsi sebagai:

(2)

6 a. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan ini mempunyai stabilitas

tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.

b. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan di bawahnya.

c. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menerima gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.

2. Lapis pondasi atas (base course), Lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan dinamakan lapis pondasi dan berfungsi sebagai:

a. Bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban kendaraan dan disebarkan ke lapis dibawahnya.

b. Lapis peresapan untuk pondasi bawah.

c. Bantalan atau perletakkan lapis permukaan.

3. Lapis pondasi bawah (subbase course), lapisan perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi atas dan tanah dasar. Lapisan yang berfungsi sebagai:

a. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban kendaraan ke tanah dasar. Lapisan ini harus mempunyai CBR 20% dan Plasititas Indeks (PI) ≤ 10%.

b. Efisiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah dibandingkan dengan lapisan perkerasan diatasnya.

c. Lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.

d. Lapis filler untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.

4. Lapisan tanah dasar (subgrade), lapisan tanah setebal 50-100 cm yang terletak diatas lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan, jika tanah aslinya baik, atau tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan.

Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur

(sumber: perencanaan tebal struktur perkerasan lentur oleh Silvia Sukirman, 2010)

(3)

7 2.3 Aspal

Aspal atau bitumen adalah bahan hidrokarbon yang bersifat melekat (adhesive), berwarna hitam yang memiliki kilau atau resin yang bersinar, tahan terhadap air, dan viskoelastis. Aspal juga merupakan bahan pengikat pada campuran beraspal yang dimanfaatkan sebagai lapis permukaan lapis perkerasan lentur. Aspal memiliki sifat termoplastik yang berarti dapat mencair jika dipanaskan dan akan kembali membeku jika suhunya turun. Sifat ini sangat berguna dalam proses konstruksi perkerasan jalan. Kandungan aspal dalam campuran perkerasan jalan dapat bervariasi antara 4 - 10% berdasarkan berat campuran atau 10 - 15% berdasarkan volume campuran. Aspal sendiri berasal dari alam atau dari pengolahan minyak bumi.

Gambar 2.2 proses destilasi minyak bumi

(sumber: Beton Aspal Campuran Panas oleh Silvia Sukirman, 2016) Aspal sendiri merupakan material yang berasal dari penyulingan minyak bumi atau dari endapan alam yang identik dengan bentuk yang kental maupun padat. Kandungan utama aspal adalah senyawa karbon jenuh, dan tak jenuh, alifatik, dan aromatic yang mempunyai atom karbon sampai 150 per molekul.

Atom-atom selain hidrogen, dan karbon yang juga menyusun aspal adalah nitrogen, oksigen, belerang, dan beberapa atom lain. Secara kuantitatif, biasanya 80% massa aspal adalah karbon, 10% hydrogen, 6% belerang, dan sisanya oksigen dan nitrogen, serta sejumlah renik besi, nikel, dan vanadium.

(4)

8 Senyawa-senyawa ini sering dikelaskan atas aspalten (yang massa molekulnya kecil), dan malten (yang massa molekulnya besar). Biasanya aspal mengandung 5-25% aspalten. Sebagian besar senyawa di aspal adalah senyawa polar. Aspal mempunyai bebebrapa fungsi khususnya sebagai bahan konstruksi jalan antara lain yaitu :

1. Berfungsi untuk mengikat batu-batuan agar tidak terlepas dari permukaan Jalan, baik disebabkan oleh beban lalu lintas Maupun genangan air.

2. Aspal berfungsi sebagai bahan pelapis jalan dan bahan pengikat agregat.

3. Aspal berfungsi sebagai bahan pengisi ruang kosong yang terdapat di antara susunan agregat kasar, agregat halus, dan bahan lain.

Kekentalan aspal sangat bervariasi terhadap temperatur, dari tingkatan padat, encer sampai tingkat cair. Hubungan antara kekentalan dan temperatur adalah sangat penting dalam perencanaan penggunaan material aspal.

Kekentalan akan berkurang (dalam hal ini aspal menjadi lebih encer) ketika temperatur meningkat. Adapun menurut Suprapto (2004) kekentalan aspal yang merupakan sifat fisik dipengaruhi oleh:

1. Temperatur

Naiknya temperatur dapat mempengaruhi kekentalan pada aspal dimana kekentalannya akan menurun, hal ini disebabkan oleh energi termal meningkat dan melarutkan aspal ke dalam bentuk minyak, menyebabkan rongga pada aspal sehingga terjadi kerusakan.

2. Lama pembebanan

Apabila dikaitkan dengan lalu lintas, semakin lama beban yang diterapkan pada aspal maka aspal yang pada awalnya memiliki sifat elastis akan mengalami deformasi pada permukaannya dan berpotensi mengalami retak- retak.

3. Waktu (effect of time)

Kualitas aspal dipengaruhi oleh umurnya karena jika aspal dibiarkan terbeban dalam waktu beberapa tahun, kekentalan dan stabilitasnya dapat menurun.

Berdasarkan penggunaannya, aspal dibagi dalam beberapa jenis diantaranya, antara lain sebagai berikut:

1.

Aspal keras (Asphalt Cement atau AC)

Aspal keras adalah suatu jenis aspal minyak yang merupakan residu hasil destilasi minyak bumi pada keadaan hampa udara, yang ada pada suhu normal dan tekanan atmosfir berbentuk padat, aspal keras biasa dikelompokkan berdasarkan kekerasan yang disebut sebagai penetrasi.

Terdapat beberapa persyaratan aspal keras, antara lain:

(5)

9 a. Berasal dari hasil minyak bumi.

b. Mempunyai sifat sejenis.

c. Kadar parafin tidak melebihi 7%

d. Tidak mengandung air dan tidak berbusa jika dipanaskan sampai 175°C.

2.

Aspal cair

Aspal cair adalah aspal yang pada suhu normal dan tekanan atmosfer berbentuk cair, terdiri dari aspal keras yang diencerkan dengan bahan pelarut. Terdapat beberapa persyaratan aspal cair, antara lain sebagai berikut:

a. Kadar perafin tidak lebih dari 2%.

b. Tidak mengandung air dan jika dipakai tidak menunjukkan pemisahan.

3.

Aspal emulsi

Aspal emulsi adalah suatu jenis aspal yang terdiri dari aspal keras, air dan bahan pengemulsi dimana pada suhu normal dan tekanan atmosfer berbentuk cair. Aspal emulsi dikelompokkan sebagai berikut:

a.

Emulsi chatianic, terdiri dari aspal keras, air dan larutan bata sehingga akan bermuatan positif (+).

b.

Emulsi anionic, terdiri dari aspal keras, air dan larutan asam, sehingga bermuatan negatif (-).

Menurut Sukirman (2016) Aspal dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tempat diperolehnya, yaitu aspal alam dan aspal minyak. Aspal alam adalah jenis aspal yang ditemukan di alam dan dapat digunakan tanpa atau dengan sedikit pengolahan. Sementara itu, aspal minyak adalah jenis aspal yang merupakan residu dari pengilangan minyak bumi.

2.4 Agregat

Agregat adalah sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir, atau mineral lainnya baik berupa hasil alam maupun buatan. Agreagat memiliki peranan yang sanagt penting dalam prasaranna transportasi, khususnya pada perkerasan jalan. Daya dukung perkerasan jalan ditentukan sebagian besar oleh karakteristik agregat yang digunakan. Pemilihan agregat yang tepat dan memenuhi persyaratan akan menentukan dalam keberhasilan pembangunan atau pemeliharaan jalan. Setiap material dapat menjadi bahan jalan asalkan memenuhi persyaratan spesifikasi yang ada (Ramadhika Dwi Poetra, 2019).

Berdasarkan SNI 03-2847-2002, agregat merupakan material granular (pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tungku pijar) yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk membentuk suatu beton atau adukan semen hidraulik. Agregat terbagi menjadi 2 yakni :

(6)

10 2.4.1 Agregat Kasar

Berdasarkan spesifikasi Bina Marga (2018), Agregat Kasar memiliki ketentuan sebagai berikut :

1.

Fraksi agregat kasar untuk rancangan campuran adalah yang tertahan ayakan No.4 (4,75 mm) yang dilakukan secara basah dan harus bersih, keras, awet 9 dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya dan memenuhi ketentuan yang diberikan dalam Tabel 2.1.

2.

Fraksi agregat kasar harus dari batu pecah mesin dan disiapkan dalam ukuran nominal sesuai dengan jenis campuran yang direncanakan.

3.

Agregat kasar harus mempunyai angularitas seperti yang disyaratkan dalam Tabel 2.1. Angularitas agregat kasar didefenisikan sebagai persen terhadap berat agregat yang lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau lebih berdasarkan uji menurut SNI 7619:2012.

4.

Fraksi agregat kasar harus ditumpuk terpisah dan harus dipasok ke instalasi pencampur aspal dengan menggunakan pemasok penampung dingin (cold bin feeds) sedemikian rupa sehingga gradasi gabungan agregat dapat dikendalikan dengan baik.

Tabel 2.1 Ketentuan Agregat Kasar (Spesifikaasi Umum Bina Marga, 2018)

Pengujian Metoda

pengujian Nilai Kekentalan bentuk agregat

terhadap larutan

Natrium Sulfat SN1 3407:2008 Maks 12%

Magnesium

Sulfat Maks

18%

Abrasi dengan

mesin Los Angeles

Campuran AC Modifikasi dan

SMA

100 putaran

SNI 2417:2008

Maks 6

%

500 putaran Maks 30

% Semua Jenis

Campuran Beraspal Bergradasi

Lainnya

100 putaran Maks 8

%

500 putaran Maks 40

% Kelekatan agregat terhadap

aspal - SNI 2439:2011 Min 95

% Butir pecah pada agregat

kasar

SMA SN1 7619:2012 100/90

Lainnya 95/90

Partikel pipih dan lonjong

SMA ASTM D4791-10 Perbandingan

1:5

Maks 5%

Lainnya Maks

10%

Material lolos ayakan

No.200 - SNI ASTM C117

2012 Maks 1%

(Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Divisi 6 Perkerasan Aspal)

(7)

11 2.4.2 Agregat Halus

Berdasarkan spesifikasi Bina Marga (2018), Agregat Halus memiliki ketentuan sebagai berikut :

1.

Agregat halus dari sumber bahan manapun, harus terdiri dari pasir atau hasil pengayakan batu pecah dan terdiri dari bahan yang lolos ayakan No. 4 (4,75 mm).

2.

Fraksi agregat halus pecah mesin dan pasir harus ditempatkan terpisah dari agregat kasar.

3.

Agregat pecah halus dan pasir harus ditumpuk terpisah dan harus dipasok ke instalasi campuran aspal dengan menggunakan pemasok penampung dingin (cold binfeeds) yang terpisah sehingga gradasi gabungan dan presentase pasir di dalam campuran dapat dikendalikan dengan baik.

4.

Pasir alam dapat digunakan dalam campuran AC sampai suatu batas yang tidak melampaui 15% terhadap berat total campuran. Agregat halus harus merupakan bahan yang bersih

Tabel 2.2 Ketentuan Agregat Halus (Spesifikaasi Umum Bina Marga, 2018)

Pengujian Metoda Pengujian Nilai

Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 50%

Uji Kadar Rongga Tanpa Pemadatan SNI 03-6877-2002 Min 45 % Gumpalan Lempung dan Butir-butir

Mudah Pecah dalam Agregat SNI 03-4141-1996 Maks 1

% Agregat Lolos Ayakan No.200 SNI ASTM C117

2012

Maks 10

% (Sumber: Spesifikasi Umum Bina Marga 2018 Divisi 6 Perkerasan Aspal)

2.5 Bahan pengisi campuran aspal

Berdasarkan spesifikasi Bina Marga (2018), Bahan Pengisi (filler) didefinisikan sebagai berikut :

1. Bahan pengisi yang ditambahkan (filler added) dapat berupa debu batu kapur (limestone dust), atau debu kapur padam atau debu kapur magnesium atau dolomit yang sesuai dengan AASHTO M303-89 (2014), atau semen atau abu terbang tipe C dan F yang sumbernya disetujui oleh Pengawas Pekerjaan.

Bahan pengisi jenis semen hanya diizinkan untuk campuran beraspal panas dengan bahan pengikat jenis aspal keras Pen 60/70.

2. Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan gumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesua SNI ASTM C136:2012 harus mengandung bahan yang lolos ayakan No. 200 (75 micron) tidak kurang dari 75% terhadap beratnya.

(8)

12 3. Bahan pengisi yang ditambahkan (filer added), untuk semen harus dalam rentang 1% sampai dengan 2% terhadap berat total agregat dan untuk bahan pengisi lainnya harus dalam rentang 1% samapi dengan 3% terhadap berat total agregat. Khusus untuk SMA tidak dibatasi kadarnya tetap tidak boleh menggunakan semen.

2.6 Perkembangan dan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, industri kelapa sawit telah menyediakan lapangan pekerjaan sebesar 16 juta tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.Produksi minyak sawit dan inti sawit pada tahun 2018 tercatat sebesar 48,68 juta ton, yang terdiri dari 40,57 juta ton crude palm oil (CPO) dan 8,11 juta ton palm kernel oil (PKO). Jumlah produksi tersebut berasal dari Perkebunan Rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), Perkebunan Besar Negara sebesar 2,49 juta ton (5%,) dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 29,39 juta ton (60%) (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2021).

2.7 Palm Oil Mill Effluent (POME)

Palm Oil Mill Effluent (POME) adalah limbah yang dihasilkan pada industri kelapa sawit terdiri dari limbah padat, cair, dan gas. POME diurai di kolam limbah dibiarkan membusuk secara alami. Proses pembusukan biomassa ini akan menghasilkan biogas dengan kandungan utama (62%) gas methana (CH4) (Alkusma et al., 2016). Palm Oil Mill Effluent atau POME merupakan air limbah industri minyak kelapa sawit yang merupakan salah satu limbah agroindustri yang menyebabkan polusi terbesar. Dalam industri minyak kelapa sawit, cairan keluaran umumnya dihasilkan dari proses sterilisasi dan klasifikasi yang dalam jumlah besar berasal dari steam dan air panas yang digunakan (Saleh &

Anggraini, 2020).

Produksi minyak kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah besar.

Satu ton minyak kelapa sawit menghasilkan 2,5 ton limbah cair, yaitu berupa limbah organik berasal dari input air pada proses separasi, klarifikasi dan sterilisasi. Limbah cair yang baru keluar dari industri minyak kelapa sawit umumnya memiliki suhu yang tinggi kisaran 70-80°C, berwarna coklat pekat, mengandung padatan terlarut yang tersuspensi berupa koloid dan residu minyak.

(9)

13 Gambar 2.3 Kolam 1 Limbah POME PT. Hutan Alam Lestari

Sampel POME yang saya ambil adalah POME pada PT. Hutan Alam Lestari yaitu POME yang berada pada kolam pertama. Adapun kandungan senyawa kimia yang diujikan pada laboratorium FST UNJA akan dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 2.3 Laporan Hasil Uji POME dengan menggunakan Micro Xray Fluoroscene

Elemen Nomor Atom Norm. C (Wt. %) Atom C (At.%)

Mg 12 3.83 7.09

Si 14 1.70 2.55

P 15 1.04 1.35

S 16 2.05 2.98

Cl 17 8.30 9.82

K 19 50.06 54.36

Ca 20 12.33 13.89

Ti 22 0.14 0.12

Mn 25 0.44 0.37

Fe 26 3.66 2.19

Cu 29 0.12 0.09

Zn 30 0.14 0.09

Br 35 0.22 0.10

Rb 37 0.51 0.24

Sr 38 0.15 0.07

Pd 46 15.31 6.06

(Sumber: Pengujian Micro-XRF Universitas Jambi, 2023)

(10)

14 Palm Oil Mill Effluent (POME) rata-rata mengandung BOD (Biological Oxygen Demand) antara 8.200-35.000 mg/l dan COD (Chemical Oxygen Demand) antara 15.103-65.100 mg/l yang akan menjadi pencemaran apabila dibuang ke perairan (DITJEN PPHP Departemen pertanian, 2006). Fungsi dari pengolahan limbah (effluent treatment) adalah untuk menetralisir parameter limbah yang masih terkandung dalam cairan limbah sebelum diaplikasikan (land application).

Karakteristik limbah cair pada pome dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2.4 Karakteristik Limbah Cair Pome

No Parameter Satuan Kisaran

1 Biological Oxygen Demand (BOD) mg/L 20.000 – 30.000 2 Chemical Oxygen Demand (COD) mg/L 40.000 – 60.000 3 Total Suspended Solid (TSS) mg/L 15.000 – 40.000

4 Total Solid (TS) mg/L 30.000 – 70.000

5 Minyak dan Lemak mg/L 5.000 – 7.000

6 NH3-N mg/L 30 – 40

7 Total N mg/L 500 - 800

8 Suhu 0C 90 - 140

9 pH - 4 - 5

(Sumber: irvan, 2012)

2.8 Pengujian Karakteristik Aspal

Beberapa persyaratan harus dipenuhi oleh aspal sebelum dapat digunakan sebagai bahan konstruksi. Salah satu persyaratan tersebut adalah pengujian aspal berdasarkan Spesifikasi Umum Bina Marga 2018, yang terdiri dari:

1. Penetrasi (SNI 2456-2011)

kekerasan yang dinyatakan sebagai kedalaman masuknya jarum penetrasi standar secara vertikal yang dinyatakan dalam satuan 0,1 mm pada kondisi beban, waktu dan temperatur yang diketahui.

2. Titik lembek (SNI 2434:2011)

Temperature pada saat bola baja dengan berat tertentu, mendesak turun lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal menyentuh pelat dasar yang terletak dibawah cincin pada jarak 25,4 mm, sebagai akibat kecepatan pemanasan tertentu

3. Titik Nyala dan Titik Bakar (SNI 2433:2011)

Titik nyala adalah temperatur terendah dimana uap benda uji dapat menyala (nyala biru singkat) apabila dilewatkan api penguji. Temperatur titik nyala tersebut harus dikoreksi pada tekanan barometer udara 101,3 kPa (760 mm Hg).

(11)

15 Titik bakar adalah suhu pada saat terlihat nyala sekurang-kurangnya 5 detik pada permukaan aspal. Hasil uji titik nyala didapat dengan nilai minimum 232°C.

4. Daktilitas (SNI 2432:2011)

Daktilitas adalah suatu metode yang digunakan untuk mengukur sifat kohesi aspal dengan cara mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara dua cetakan yang diisi dengan aspal keras sebelum terjadi putus, pada suhu dan kecepatan tertentu.

5. Berat Jenis (SNI 2441:2011)

Berat jenis adalah perbandingan massa suatu bahan dengan massa air pada isi dan temperature yang sama.

2.9 Penelitian Yang Relevan

Untuk melihat lebih detail penelitian yang relevan dapat melihat pada table berikut ini:

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS PERBANDINGAN BIAYA PERKERASAN JALAN RAYA ANTARA PERKERASAN LENTUR FLEXIBLE PAVEMENT DENGAN PERKERASAN KAKU RIGID PAVEMENT STUDI KASUS PADA RUAS JALAN SEKAMPUNG –