Masuknya Pemerintah Kolonial dan Dampaknya di Kabupaten Tasikmalaya
Kedatangan kolonialisme ke Nusantara diawali oleh Portugis yang datang pada abad ke-16 sekitar tahun 1511 yang kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya seperti Inggris,Belanda, dan Spanyol dengan tujuannya yaitu menguasai perdagangan rempah-rempah juga memperluas wilayah kekuasaan. Penyebaran kolonialisme dimulai oleh Portugis di Maluku kemudian Belanda datang pada tahun 1596 di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. Kolonialisme Belanda mulanya membangun pos perdagangan di Banten yang kemudian berkembang dengan dibentuknya Kongsi dagang Belanda yang bernama VOC yang menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Jawa termasuk Jawa Barat yang merupakan pusat pemerintahan kolonialisme Belanda di Nusantara.
Proses masuknya kolonialisme ke Tasikmalaya karena VOC saat itu menyadari potensi wilayah pedalaman Jawa Barat yang merupakan daerah subur dengan iklim yang cocok untuk pertanian dan perkebunan, seperti teh dan kopi. VOC mulai menyebarkan pengaruhnya di wilayah pedalaman Priangan pada abad ke-18 dengan menerapkan sebuah sistem yang bernama Preangerstelsel atau sistem Priangan yang merupakan sistem tanam dan penyerahan paksa kopi di priangan.
Preangerstelsel ini merupakan cikal bakal dari penerapan sistem tanam paksa yaitu cultuurstelsel yang mempunyai dampak yang signifikan bagi masyarakat Nusantara kala itu. Kemudian pada tahun 1799 VOC bubar karena berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal, yang selanjutnya kekuasaan di Pulau Jawa digantikan dengan pemerintahan kolonial Belanda.
Setelah VOC dibubarkan pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan berbagai kebijakan administratif untuk memperkuat kekuasaan Belan da di Jawa. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mulai melakukan reformasi kebijakan administrasi seperti membagi pulau Jawa menjadi sembilan wilayah administratif, termasuk di priangan juga terjadi pembagian wilayah administratif yaitu Cianjur,Bandung,Sumedang,Parakanmuncang,Sukapura,Galuh dan Limbangan. Wilayah ini diberi nama Preanger Regentschappen atau Tanah Priangan. Preanger Regentschappen ini dipimpin oleh bupati yang sudah diangkat oleh pemerintahan Belanda, meskipun bupati tetap memimpin wilayahnya, namun mereka harus tunduk pada kekuasaan Belanda karena Belanda mengawasi dan mengatur perekonomian serta kebijakan lokal melalui pejabat-pejabat kolonial yang ditugaskan di setiap wilayah.
Sukapura termasuk kedalam bagian Preanger Regentschappen yang dalam pembagian wilayah di sukapura sesuai dengan kebijakan kolinial, saat itu Sukapura dibagi menjadi dua wilayah bagian atau afdeelingen yaitu Sukapura dan Sukapura Kolot yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan kontrol atas wilayah Sukapura. Kemudian pada tahun 1901 terjadi reorganisasi wilayah dimana afdeelingen Tasikmalaya digabungkan menjadi bagian Tasikmalaya yang sebelumnya Tasikmalaya merupakan bagian dari kabupaten Sukabumi. Tujuan penggabungan ini yaitu Belanda mengharapkan efisiensi yang lebih baik dalam pengelolaan administrasi dan pemungutan pajak dari petani. Hal ini mempermudah pengawasan terhadap kegiatan pertanian yang berfokus pada tanaman ekspor yang menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda.
Sampai akhir abad ke-19 wilayah Sukapura dan Tasikmalaya mencakup hampir keseluruhan Priangan Timur yang menyimpan kekayaan alam yang melimpah juga tanahnya yang subur yang mengakibatkan banyak pengusaha Eropa ramai berdatangan untuk menyewa tanah dan
menggelontorkan modal besar untuk membuka usaha perkebunan (Historia Soekapura,2015).
Pengusaha-pengusaha Eropa tersebut mendapat hak istimewa dari pemerintahan kolonial untuk menjalankan usahanya yang menuntut warga sekitar menjadi buruh rendahan yang hidup dalam kesukaran.
Kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial yang Diterapkan 1. Tanam Paksa