• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi ACLS Pdf (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

N/A
N/A
catherine uli

Academic year: 2024

Membagikan "Materi ACLS Pdf (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

ACLS (ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT)

Oleh : Fatir M.Natsir

Indian J. Anaesth.2005;49 (2):96-104

REVIEW ARTIKEL

RESUSITASI : SUATU TINJAUAN ATAS PEDOMAN YANG DIREKOMENDASIKAN

Dr. Ali Jamshid Dr. Dar. A. Q.

Ringkasan:

Resusitasi serebral adalah tujuan yang paling penting dari seluruh upaya resusitasi dan agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian yang tidak terputus mulai dari bantuan hidup dasar dan intermediat (BLS dan ILS) dan berakhir dengan bantuan hidup jantung lanjut (ACLS). Waktu sama dengan keadaan kritis dan interval waktu antara pingsannya korban dan mulainya upaya resusitasi oleh penolong menentukan hasil dari semua upaya resusitasi. Setiap masyarakat seharusnya melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup yang mencakup resusitasi kardiopulmoner dini (CPR), defibrilasi dini dan ACLS dini.9,2Banyak upaya resusitasi tidak akan berhasil; penolong harus mengetahui kapan harus berhenti dan yang lebih penting lagi kapan untuk tidak memulainya. Rencana lanjutan sama pentingnya dan setiap percobaan resusitasi memiliki struktur yang berkembang setiap waktu dan melewati berbagai tahap.2Di dalam lingkungan masyarakat dan juga rumah sakit kita, tingkat kesadaran tentang protokol resusitasi sangat buruk dan kami berharap dengan mereview pedoman- pedoman tersebut kita dapat merumuskan strategi- strategi resusitasi dalam masyarakat kita dan dengan penuh harapan melaksanakannya dalam waktu dekat mendatang.

Kata kunci : bantuan hidup dasar (BLS), bantuan hidup jantung lanjut (ACLS), penilaian A B C D, defibrilasi.

(2)

2 PENDAHULUAN

Teresusitasi dari keadaan henti jantung- paru adalah salah satu bentuk hasil intervensi yang paling efektif dalam ilmu kedokteran.1 Fibrilasi ventrikel tetap merupakan irama jantung yang paling sering ditemukan pada saat henti jantung dan yang mayoritas terjadi di luar rumah sakit. Resusitasi kardiopulmoner (CPR) yang dilakukan di rumah atau di tempat umum hanya membantu 50% saja untuk menghidupkan kembali jantung dan mengembalikan pernapasan, bahkan di sebagian besar masyarakat yang berhasil. Bahkan setelah jantung berdenyut kembali, hanya separuh dari korban henti jantung dengan ventrikel fibrilasi (VF) yang masuk rumah sakit dapat bertahan hidup dan pulang ke rumah, dengan kata lain 3 dari 4 percobaan tidak akan berhasil.2 Keberhasilan kembalinya sirkulasi pada henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit di beberapa negara seperti Amerika Serikat bervariasi dari 3- 33%; hanya 20% dari pasien- pasien tersebut yang masih hidup untuk kemudian keluar dari rumah sakit dan hanya 50% pada kasus seperti itu yang memiliki keluaran neurologis yang memuaskan.3,4 Terdapat sebuah konsensus yang berkembang tentang fakta bahwa kembalinya sirkulasi spontan bukanlah akhir dari upaya resusitasi dan banyak tindakan dibutuhkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang dan keluaran neurologis.1,2

Resusitasi serebral adalah tujuan CPR yang paling penting dan beberapa orang lebih senang menggunakan istilah resusitasi jantung paru dan otak (CPCR).

Tindakan resusitasi dimulai dengan bantuan hidup dasar, dilanjutkan dengan bantuan hidup intermediat, dan berakhir dengan bantuan hidup jantung lanjut (ACLS).

Bantuan hidup intermediate, adalah istilah yang dibuat baru-baru ini untuk menjembatani celah antara BLS dan ACLS; termasuk di dalamnya penggunaan defibrilator eksternal otomatis (AED’S) dan beberapa alat bantu pernapasan lanjutan oleh anggota penolong terlatih. ACLS mencakup penggunaan peralatan dan teknik lanjut untuk membuat dan mempertahankan ventilasi dan juga sirkulasi, mempertahankan akses intravena, terapi untuk pasien dengan henti jantung dan paru, selain itu juga untuk mengobati pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) dan pasien- pasien stroke yang memenuhi syarat.2

(3)

3 Meskipun penelitian tentang ACLS telah berlangsung berpuluh tahun lamanya, kemampuan bertahan hidup korban setelah mengalami henti jantung, bahkan di negara- negara barat, tetap saja buruk. Berkaitan dengan adanya kendala etik, banyak dari penelitian tersebut dilakukan pada hewan mamalia dan beberapa penelitian dengan hasil yang memuaskan telah di uji cobakan pada manusia dengan protokol penelitian yang didesain dengan baik dan tersusun teliti.1 Resusitasi oleh orang yang pertama kali menemukan korban (responder) dan orang- orang yang ada di sekitar korban (bystander) menjadi sasaran di negara- negara berkembang, dan penggunaan defibrilator eksternal otomatis (yang dapat menganalisa irama jantung dan merekomendasikan tindakan yang sesuai) baik oleh penolong awam maupun yang terlatih sedang dianjurkan. Defibrilasi bifasik dan mungkin trifasik sedang menggantikan defibrilasi monofasik konvensional sebagai prosedur yang telah terbukti jelas sama atau lebih manjur dan lebih sedikit mencederai miokardium.1,2,5,6,7,8

Waktu adalah kritis; interval waktu yang pendek sejak korban pingsan sampai pertolongan menentukan seluruh keluaran pasien.9 Setiap masyarakat harus berusaha untuk melaksanakan rangkaian upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan memberikan komponen ACLS yang berkualitas tinggi. Sayangnya di masyarakat kita dan juga di rumah sakit- rumah sakit kita terdapat protokol-protokol resusitasi bermutu rendah. Tujuan kami adalah untuk mereview pedoman- pedoman resusitasi sehingga kita dapat mengembangkan strategi- strategi yang efektif untuk melaksanakannya dalam waktu dekat mendatang. Rekomendasi baru berdasar pada review dari bukti- bukti dan opini konsensus serta pedoman dari konferensi ACLS pada tahun 2000; Perhatian telah diberikan pada pengklasifikasian berbagai macam intervensi atas dasar efek klinis yang terbukti pada percobaan klinis yang baik.

(4)

4 Klasifikasi rekomendasi untuk intervensi terapi10

Kelas Bukti pendukung Intervensi klinis

1 Minimal satu percobaan klinis acak Selalu bermanfaat 2a Penelitian multipel dengan hasil yang

positif Bermanfaat dan aman

2b Bukti bersifat umum tapi hasil tidak selalu positif

Dalam standar perawatan klinis Tidak dapat

digolongkan Tidak konsisten Tidak meyakinkan

3 Penelitian menegaskan berbahaya Berbahaya

BANTUAN HIDUP DASAR DAN INTERMEDIAT DEWASA (BLS DAN ILS) Survei ABCD Primer

Survey ini merupakan komponen pertama dan yang paling penting dari setiap upaya resusitasi. Langkah pertama adalah untuk memastikan korban dan juga penolong aman dari berbagai faktor lingkungan di sekitarnya, misalnya pada tempat terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penolong kemudian menilai respon korban;

penolong harus selalu menganggap korban mengalami henti jantung atau paru atau keduanya kecuali jika terbukti tidak demikian. Pada kasus trauma penolong harus memikirkan kemungkinan adanya cedera servikal dan memastikan leher korban distabilisasi sehingga tidak memperburuk cedera; penolong harus memposisikan dirinya, berlutut di samping korban sejajar dengan bahunya.

Menurut ketentuan bantuan hidup dasar, menggunakan bantuan pernapasan mulut ke mulut bersamaan dengan kompresi dada; bagaimanapun, yang tadinya disamping secara teknik sulit dilakukan juga tidak selalu dapat diterima secara estestis oleh bystander yang ada di sekitar korban henti jantung. Sejumlah penelitian terhadap binatang telah menunjukkan bahwa walaupun penolong memberikan bantuan pernapasan dikombinasikan dengan kompresi dada meningkatkan saturasi oksigen dan pH darah arteri jika dibandingkan dengan kompresi dada saja, tidak ada

(5)

5 perbaikan menyeluruh dalam kelangsungan hidup korban. Keseluruhan konsensus pada kasus henti jantung di luar rumah sakit adalah bahwa kompresi dada saja yang dilakukan oleh penolong awam sama efektifnya jika dikombinasikan dengan pernapasan mulut ke mulut.11,12,13,14,15

Dalam aturan rumah sakit, protokol-protokol baru untuk resusitasi kardiopulmoner telah dikembangkan untuk meningkatkan perfusi ke jantung dan otak saat sirkulasi berhenti. Termasuk di dalamnya interposed abdominal compression (IAC- CPR),16 phased thoracic-abdominal compression decompression (PTACD- CPR) atau life stick CPR17,18,19 dan kompresi- dekompresi aktif (ACD-CPR).20,21 Teknik- teknik tersebut memerlukan pelatihan dan peralatan lanjut dan terdapat bukti hasil resusitasi yang lebih baik dengan teknik- teknik tersebut. Pijat jantung terbuka mungkin bermanfaat di rumah sakit jika dilakukan segera setelah henti jantung terjadi; akan tetapi, teknik ini memerlukan personil yang sangat terlatih baik pada waktu terjadinya henti jantung dan juga setelah kembalinya sirkulasi. Dalam kasus tamponade jantung, emboli paru, dan cedera tembus dada, pijat jantung terbuka memiliki potensi untuk menyelamatkan nyawa. Operasi bypass jantung- paru gawat darurat melalui pembuluh darah femoralis dan pijat jantung langsung minimal invasif melalui insisi 2 cm dan sebuah alat yang menyerupai tongkat tampaknya menjanjikan dalam beberapa situasi klinis.22,23,24

Di antara semua intervensi resusitasi untuk meningkatkan survival pasien dari VF/ pulseless VT, defibrilasi adalah intervensi yang paling berguna.1 Defibrilator yang menggunakan bentuk gelombang monofasik (arusnya bergerak hanya pada arah positif) digunakan di berbagai belahan dunia sejak 40 tahun terakhir.8,25 Defibrilasi bifasik (arus polar dibalikkan di pertengahan sepanjang pengosongan) telah diteliti sejak awal 1980-an dan penggunaannya meningkat dengan cepat, seperti halnya alat ini memerlukan energi yang sedikit, juga kurang mencederai miokardium dan selalu dikaitkan dengan angka kesuksesan tindakan defibrilasi yang lebih tinggi pada henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit.1,5,6 Ketahanan hidup setelah mengalami henti jantung dengan fibrilasi ventrikel menurun 7- 10% setiap menit jika tanpa tindakan defibrilasi. Pada 4 menit pertama, cedera organ irreversibel terjadi, dan pada 12 menit angka survival menurun 2- 5%.10 Oleh karena itu, rumah sakit perlu untuk membuat

(6)

6 program- program untuk mencapai defibrilasi lebih awal (kelas 1).2 Defibrilator eksternal otomatis direkomendasikan untuk tempat-tempat publik dengan probabilitas tinggi terjadinya henti jantung, minimal terjadi satu kasus henti jantung dalam lima tahun (kelas 2b),2,10 VF/ pulseless VT dapat didefibrilasi dengan kejut monofasik (200j- 300j- 360j) atau kejut bifasik (150j-150j-150j); upaya terbaru menunjukkan bahwa penting untuk mengulangi CPR setelah defibrilasi jika defibrilasi menghasilkan irama tanpa denyut nadi. Terdapat juga konsensus yang berkembang menyatakan bahwa korban VF yang tidak mendapatkan defibrilasi bahkan 5 menit setelah kejadian, harus mendapatkan terapi perfusi (CPR) sebelum defibrilasi.1

ALGORITMA BLS DAN ILS DEWASA ($)

Jika tidak berespon Goyang-goyangkan dan berteriak pada korban

Head tilt/Chin lift*

Lihat, dengar, dan rasakan**

* Jaw thrust pada korban yang dicurigai mengalami cedera servikal **selama 5 menit saja ***nilai selama 10 menit saja ****2 bantuan napas perlahan (selama 1.5- 2.0S) mulut ke mulut atau dengan alat misalnya face mask atau face shield atau bag ke masker ventilasi *****rasio 15:2 pada satu orang penolong, rasio 5:1 pada lebih dari satu penolong. ($) dirumuskan oleh penulis

Cek kemamampuan berespon

Buka jalan napas

Cek pernapasan

Berikan bantu napas jika apneu ****

Cek tanda- tanda sirkulasi ***

Tanda- tanda sirkulasi ada, lanjutkan pemberian bantu napas setiap 5 menit

Tanda- tanda sirkulasi tidak ada *****, lakukan kompresi dada 100x permenit

Gunakan defibrillator shock | VF /Pulseless VT

(7)

7 Survei ABCD Sekunder

Setelah melaksanakan survei ABCD primer, penolong dapat meneruskan ke survey ABCD sekunder bagi pasien yang memenuhi syarat. Setiap langkah memerlukan dua tindakan: penilaian dan pengelolaaan, dan dengan kedua tindakan tersebut penolong tidak akan pernah kehilangan pengamatannya tentang kebutuhan akan evaluasi dan perawatan pasien. Jika penilaian memperlihatkan masalah yang mengancam jiwa, penolong tidak boleh melangkah lebih lanjut sampai masalah tersebut terselesaikan. Pendekatan ini membantu dalam menangani semua kasus gawat darurat yang mengancam jiwa.2 Empat komponen utama survey ABCD sekunder adalah sebagai berikut:

Jalan napas : Penolong haruslah menyediakan jalan napas tahap lanjut; hanya orang- orang yang melakukan 6-12 kali intubasi setiap tahun yang boleh melakukan percobaan intubasi. Penolong yang minim pengalaman harus menggunakan laryngeal mask airway (LMA) atau Esophageal-Tracheal Combitube.2,10

Intubasi endotrakeal harus diselesaikan dalam 30 detik; jika tidak berhasil, penolong harus melanjutkan ventilasi bag-mask.

Pernapasan : Sekarang ini telah diperintahkan untuk memastikan posisi pipa yang benar di dalam trakea dengan melakukan auskultasi pada 5 titik dan juga dengan teknik- teknik sekunder yang mencakup indikator tidal akhir CO2 dan alat detektor esofagus (kelas 2a). Setelah memastikan posisi pipa benar, penolong harus memfiksasi pipa dengan menggunakan tali, plester atau gagang pipa (kelas 2b).2,10

Sirkulasi : Langkah selanjutnya adalah untuk mendapatkan akses intravena, menentukan irama jantung, dan memberikan obat- obat yang sesuai.

Diagnosis banding : Penolong harus mencari, menemukan, dan mengobati penyebab- penyebab yang reversibel.2,10

Setelah sirkulasi berhasil kembali, penting untuk memakai strategi perlindungan organ tubuh karena semua organ terutama otak dan jantung sensitif terhadap kehilangan oksigen dan nutrisi yang terjadi selama dan setelah henti

(8)

8 sirkulasi dan yang ditimbulkan oleh cedera reperfusi. Kematian sering terjadi berkaitan dengan kegagalan jantung dan neurologik dan banyak dari kematian tersebut terjadi dalam 48 jam pertama setelah resusitasi.27 Strategi perlindungan organ vital dapat meningkatkan hasil resusitasi mencakup penggunaan defibrilator energi rendah, penggunaan vasopresor yang tidak meningkatkan konsumsi oksigen miokardium, hipotermi,17,28 penggunaan ionotropik (Dobutamin), metabolik (glukosa-insulin-kalium), dan mekanik (pompa balon intra-aorta, bypass jantung- paru, pijat jantung minimal invasif), bantuan sirkulasi; penggunaan pembuka saluran kalium, penghambat pertukaran natrium/ hidrogen, penghambat calpain (Cariporide), antioksidan dan pengaturan ekspresi gen yang juga sedang dievaluasi.

Telah terdapat sedikitnya dua percobaan acak terpublikasi pada manusia yang telah membandingkan dua kelompok pasien post henti jantung VF yang berespon terhadap resusitasi dengan kembalinya sirkulasi spontan;29,30 kedua kelompok tersebut diacak untuk mendapatkan keadaan normotermia dan hipotermia ringan (32- 34oC). Hasilnya ditentukan sesuai dengan pemulihan neurologik yang baik untuk membolehkan mengeluarkan pasien. Kelompok yang mendapatkan keadaan hipotermia ringan didapatkan memiliki keluaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan keadaan normotermia.

(9)

9 TINJAUAN IRAMA JANTUNG PADA ACLS2

A. Irama jantung yang mematikan 1. VF/ pulseless VT

2. Asistol

3. Pulseless electrical activity (PEA)

*Jangan beri kejut listrik pada Asistol B. Irama jantung yang berpotensi mematikan

1. Takikardi yang tidak stabil 2. Bradikardi yang tidak stabil

Irama jantung yang tidak stabil adalah salah satu yang dapat menyebabkan bahaya hemodinamik (kegagalan, penurunan derajat kesadaran, nyeri dada persisten atau VPC’S berkelanjutan pada keadaan kemungkinan hipotensi infark miokard akut), gagal jantung kongestif.

C. Irama jantung yang tidak mematikan 1. Bradikardi stabil.

2. Fibrilasi/ flutter atrium stabil.

3. Takikardi kompleks sempit stabil.

4. Takikardi kompleks lebar stabil; tipe tidak diketahui.

5. VT stabil.

Irama jantung yang mematikan2

Irama yang mematikan membutuhkan pengenalan segera dan tindakan yang sesuai oleh penolong misalnya jika seorang pasien mengalami fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut nadi, defibrilasi segera adalah penanganan yang tepat sedangkan penanganan serupa berbahaya dan berpotensi mematikan pada kasus pulseless electrical activity (hadirnya depolarisasi listrik pada keadaan hilangnya denyut nadi) atau asistol (penyebab yang mendasari harus dikoreksi pada situasi terakhir).

Sejak tahun 60-an epinefrin telah digunakan sebagai obat pilihan untuk kejut VF refrakter; epinefrin bekerja sebagai agonis alpa yang menyebabkan vasokonstriksi

(10)

10 sistemik yang mempertahankan vasokonstriksi perifer; yang mempertahankan tonus pembuluh darah perifer dan mencegah kolaps pembuluh darah, selain meningkatkan perfusi arteri koroner.2,10

Vasopressin, vasokontriktor potensial yang bekerja dengan meningkatkan siklik adenosin monofosfat (AMP) yang mungkin lebih di atas dari epinefrin untuk terapi kejut VF refrakter/ pulseless VT; tidak ada bukti yang mendukung penggunaannya pada PEA atau asistol dimana epinefrin tetap digunakan sebagai obat pilihan pertama. Dibandingkan dengan epinefrin yang memiliki waktu paruh 3-4 menit, vasopressin memiliki waktu paruh 10- 20 menit dan diberikan dalam dosis tunggal 40 IU secara intravena.10 Vasopressin juga dikaitkan dengan efek sampingnya yang kurang, perbaikan hemodinamik, dan perbaikan survival dibandingkan dengan epinefrin.

(11)

11 ALGORITMA UNTUK IRAMA JANTUNG YANG MEMATIKAN2

Takikardi2

Secara klinis penolong harus mengetahui apakah pasien stabil atau tidak;

penting juga untuk mengelompokkan apakah takikardinya kompleks sempit atau lebar karena hal tersebut yang menuntun pilihan terapi obat.

Jika pasien tidak stabil, penolong harus menstabilkan denyut jantung sebagai penyebab dari gejala (hampir selalu denyut jantung lebih dari 150). Langkah berikutnya adalah untuk mengkardioversi irama tidak stabil tersebut. Defibrilator modern/ kardioverter dapat menghasilkan kejut yang tidak sinkron maupun kejut yang sinkron; pada awalnya kejut listrik dapat menurun dimana saja di siklus jantung, sementara sebagai akhirnya kejut dihasilkan secara sinkron dengan puncak kompleks

Survey ABCD primer

DENYUT NADI TIDAK ADA Lanjutkan CPR/ nilai irama jantung

Fibrilasi ventrikel/ Takikardi Asistol/ pulseless electrical activity (PEA)

Percobaan defibrilasi sampai 3 kali kejut

Epinefrin 1 mg IV, ulangi setiap 3- 5 menit

SURVEY ABCD SEKUNDER

TIDAK ADA RESPON

Pertimbangkan penggunaan obat- obat anti-aritmia

Perhatikan 5H dan 5T Hipovolemia

Hipoksia H- ion (asidosis) Hiper/hipokalemia Hipotermia

Tablet (overdosis obat) Tamponade (jantung) Tension Pneumotoraks Trombosis Koroner Trombosis paru Vasopressin 40 IU dosis tunggal

Pacing darurat segera (2b) Henti jantung brady systolic

Atropin 1 mg IV jika PEA lambat, ulangi setiap 3-5 menit, jika perlu (dosis total 0.04 mg/kg)

(12)

12 QRS. Kejut listrik tersinkronisasi mennghindarkan dihasilkannya kejut sepanjang repolarisasi jantung, periode yang rentan selama kejutan dapat memicu fibrilasi ventrikel. Rekomendasi ACLS adalah untuk mensinkronkan pasien dengan takikardi stabil dan pasien dengan takikardi tidak stabil yang sangat tidak stabil, yang penundaan sebentar saja dapat mengakibatkan kemunduran klinis yang lebih lanjut.

Sebaliknya, untuk menghindari penundaan yang berbahaya, pasien yang sangat tidak stabil, seperti mereka yang dalam syok berat atau pulseles VT, harus mendapatkan kejut listrik yang tidak sinkron. Jika, kejut yang tidak sinkron menimbulkan VF, defibrilasi harus dilakukan dengan segera.

Untuk kardioversi tersinkronisasi, langkah pertama adalah menyiapkan peralatan; monitor saturasi oksigen, jalur intravena dan peralatan intubasi harus tersedia dan jika mungkin pasien harus dipremedikasi dengan midazolam±fentanil di bawah supervise dari seorang ahli anestesi. Langkah selanjutnya adalah memberikan kejut DC tersinkronisasi pada VT monomorfik dengan denyut nadi, paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT), fibrilasi atrium (AF), atrial flutter dengan kejut monofasik 100-200-300-360J atau setara dengan kejut bifasik 70-120-150-170J.

Jika pasien tidak stabil, penolong harus melanjutkan untuk kardioversi segera. Jika pasien stabil penolong kemudian mengelompokkan jenis aritmianya dan melanjutkan dengan algoritma individual.

Takikardi kompleks sempit yang stabil diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam PSVT, takikardi atrium multifocal (MAT) dan takikardi junctional. Membedakannya penting karena PSVT disebabkan oleh fenomena re-entri ketika yang lain sebagai tambahan takikardi atrium ektopik biasanya disebabkan oleh fokus otomatis atau fokus yang mudah terangsang dan tidak berespon dengan kardioversi.

Pada VT, perhatian diberikan pada apakah pasien stabil atau tidak, morfologi (monomorfik atau polimorfik), fraksi ejeksi dan interval QT. Ketika QT normal, VT disebabkan karena iskemia atau ketidakseimbangan elektrolit; penolong harus menangani iskemia, dan melakukan koreksi elektrolit.

(13)

13 Pada korban dengan interval QT yang memanjang (Torsades), penolong harus mengoreksi elektrolit, coba magnesium, menambah kecepatan pacing, isoprotrenol, fenitoin atau lidokain.

Fibrilasi atrium/ atrial flutter diterapi dalam tahap biasa yang bergantung pada beberapa faktor; jika pasien tidak stabil, penolong melakukan satu kali kardioversi, jika pasien stabil, kontrol denyut jantung menjadi prioritas diikuti dengan konversi irama jantung jika dianggap perlu dan/atau sesuai.

ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS LEBAR STABIL, TIDAK DIKETAHUI2

*Penolong harus mencoba 50J untuk PSVT atau atrial flutter pada percobaan pertama kardioversi

Pertahankan fungsi jantung

Kardioversi DC

Prokainamid

EF kurang dari 40%, CHF

Kardioversi DC

Amiodaron

(14)

14 PROTOKOL FIBRILASI ATRIUM/ ATRIAL FLUTTER2

Apakah pasien stabil atau tidak?

Tangani dengan lebih mendesak untuk pasien tidak stabil

Apakah fungsi jantung terganggu?

Jika ya (EF kurang dari 40% atau CHF). Gunakan obat- obat seperti digoksin, diltiazem,dan amiodaron. Hindari penggunaan

verapamil, beta-bloker, prokainamid/flekainamid

Apakah ada WPWS?

Jika ya, hindari penggunaan adenosine, beta-bloker, calcium

channel blockers dan digoksin

Apakah onset AF kurang dari 48 jam?

Jika ya, hindari kardioversi atau obat- obatan yang mengkardioversi kecuali jika dipandu oleh TEE atau setelah

pemberian antikoagulan 4 minggu sebelumnya dan 3 minggu setelah kardioversi.

Untuk kardioversi lebih awal, heparin intravena diberikan

setelah TEE, kardioversi dilakukan dalam 24 jam dan

pemberian antikoagulan dilanjutkan selama 4 minggu

(15)

15 ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS SEMPIT STABIL (SVT)2

Bradikardi2

Pertanyaan klinis utama adalah apakah bradikardi memperburuk keadaan pasien atau ada hal lain yang menimbulkan bradikardi. Kita seharusnya hanya menangani bradikardi simptomatik tapi kita harus mengenali bradikardi yang berbahaya dengan kata lain bradikardi yang tampaknya memburuk bahkan jika pasien asimptomatik. Jenis bradikardi tersebut meliputi:

a. Blok AV derajat II, Tipe 2

b. Blok jantung derajat III (blok jantung total)

Penting untuk mengenali bradikardi yang dihasilkan oleh infark miokard akut, khususnya infark inferior atau infark ventrikel kanan; efek parasimpatik menyebabkan bradikardi tapi hipotensi, jika ada dikaitkan dengan keadaan hipovolemia dan pasien seperti itu membutuhkan pemberian cairan dengan

PSVT MAT Junctional

Tachycardia Buat diagnosis spesifik

Pasang EKG-12 lead dan penilaian klinis manuver vagal, adenosin

EF Normal, diprioritaskan Ca2+ Blockers> beta-bloker>

digoksin> kardioversi DC

EF <40%, diprioritaskan No kardioversi Digoksin atau amiodaron

atau diltiazem

NO KARDIOVERSI

EF NORMAL Ca2+ Blocker, beta-

bloker,amiodaron EF <40%,CHF Amiodaron,diltiazem

NO KARDIOVERSI

EF NORMAL Adenosine, Beta- bloker, Ca2+ Blocker

EF <40%,CHF Amiodaron

(16)

16 menggunakan normal saline (250-500 ml selama 15- 30 menit) dan tindakan ini dapat menyelamatkan jiwa. Atropin adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan awal dari banyak kasus bradikardi; obat ini bekerja dengan menghalangi fungsi nervus vagus.

Akan tetapi area jantung yang tidak dipersarafi oleh nervus vagus tidak akan berespon terhadap atropin; oleh karena itu atropin tidak diindikasikan pada blok jantung derajat III atau Mobitz tipe II. Penggunaannya dapat mempercepat denyut atrial dan menghasilkan peningkatan blok nodus AV.

ALGORITMA UNTUK BRADIKARDI : BRADIKARDI, (2)

(ABSOLUT/ RELATIF*)

Survei ABCD Primer Survei ABCD Sekunder

Tanda-tanda serius dan gejala yang berhubungan

dengan Bradikardi

TIDAK ADA ADA

Bradikardi berbahaya tidak ada

OBSERVASI

Bradikardi berbahaya ada

Siap dengan pacing transkutaneus Persiapkan untuk transvenous pacing

Urutan Intervensi:

Atropin 0.5-1.0 mg/kg (sampai 0.04 mg/kg)

Pacing transkutaneus (jika tersedia) Dopamin 2-10 μg/kg permenit Epinefrin 2-10 μg/kg permenit Isoprotrenol @ 10 μg/kg permenit

* Absolut, HR < 60x/ menit

Relatif, HR kurang dari yang diharapkan untuk kondisi tersebut

(17)

17 SINDROM KORONER AKUT (ACS)2

Infark miokard akut telah dikenal sebagai spektrum penyakit yang memerlukan nama yang lebih komprehensif: sindrom koroner akut. Awalnya pasien dengan ACS dikelompokkan berdasarkan gambaran EKG awal seperti MI dengan gelombang Q, MI tanpa gelombang Q dan angina tidak stabil dan penatalaksanaan pasien didasarkan pada klasifikasi ini; akan tetapi, sekarang algoritma baru nyeri dada iskemik telah dikembangkan untuk memasukkan semua pasien yang datang dengan gejala nyeri dada. Pentingnya algoritma ini adalah untuk menyediakan penilaian umum segera (10 menit) dan penanganan umum segera untuk semua pasien dengan nyeri dada dan kemudian membagi pasien- pasien tersebut ke dalam tiga kelompok berdasarkan gambaran EKG 12-lead dan deviasi segmen ST.

Semua tenaga ACLS dilatih untuk menekankan pada reperfusi awal pada elevasi segmen ST, menghindari terapi fibrinolitik pada ACS dengan depresi segmen ST karena hal ini menimbulkan resiko bahaya.

(18)

18 ALGORITMA UNTUK NYERI DADA ISKEMIK: 31

Keterangan:

*Jika pemberian nitrogliserin saja tidak menghilangkan nyeri, Morfin atau petidine diberikan secara intravena.*Tidak ada kontraindikasi.***Berdasarkan sumber daya setempat.**** UHF unfractionated heparin, LMWH low molecular weight heparin, yang terakhir lebih disukai pada kasus depresi segmen ST.*****Percutaneous Coronary Intervention/Coronary Artery Bypass

Penilaian segera (<10 menit):

Tanda vital, saturasi O2, kaji riw. dgn singkat & tepat Cek kelayakan terapi fibrinolitik, enzim jantung Elektrolit, tes koagulasi, foto polos dada (<30 menit)

Penanganan umum segera:

O2 @ 4 ltr/menit

Aspirin 160-325 mg peroral Nitrogliserin SL/Semprot*

Elevasi segmen ST/ LBBB onset baru Depresi segmen ST atau T terbalik/

angina tidak stabil resiko tinggi

EKG non-diagnostik Angina intermediate/ resiko rendah Nilai EKG 12-lead

ACE-inhibitors setelah 6 jam atau jika stabil

Pilihan Terapi PCI Primer Operator berpengalaman (>75x/ thn) RS dengan jumlah kasus tinggi (>250/thn)

Cardiac Surgical Black up Sasaran: door to door dlm 60-120 menit Tidak ada penundaan

reperfusi

Pilihan terapi fibrinolitik Alteplase (FRONT LOADED) atau Streptokinase

atau APS AC atau Reteplase atau Tenecteplase Sasaran: door to drug 30

menit

Pilih strategi reperfusi***

Terapi Fibrinolitik PCI CABG

< 12 JAM +

Mulai terapi tambahan****

Beta-bloker IV, Heparin (UHF/LMWH, Nitrogliserin IV

Angina tidak stabil/onset baru | Atau YES

Troponin positif Resiko tinggi didefinisikan

oleh:

Gejala yang persisten Iskemia berulang Fungsi LV menurun Perubahan gambaran EKG di

seluruh lead Riw. AMI<PCI,CABG

sebelumnya

Nilai status klinis Nilai waktu dari onset gejala

> 12 JAM

Lakukan kateterisasi jantung

Anatomi sesuai untuk revaskularisasi NO YES

PCI/ CABG*****

+

Glikoprotein IIb/IIIa Penghambat reseptor YES

BUKTI ISKEMIA RAWAT DI CCU NO

Lanjutkan terapi tambahan EKG serial/enzim

jantung Pertimbangkan pemeriksaan pencitraan (2D Echo/Radionuklear)

YES NO

KELUAR RS/FOU

(19)

19 Rekomendasi baru untuk sindrom koroner akut31

a. Semua pasien dengan infark miokard membutuhkan aspirin dan beta- bloker jika tidak ada kontraindikasi.

b. Pemeriksaan EKG 12-lead pre- rumah sakit (kelas 2a) meningkatkan diagnosis dan mengurangi waktu di rumah sakit untuk penanganan.

c. Penggunaan daftar indikasi dan kontraindikasi pre-rumah sakit, dapat memperpendek waktu agar digunakan untuk reperfusi.

A. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST31

a. Terapi fibrinolitik pre- rumah sakit (kelas 2a) bermanfaat untuk pasien- pasien yang memenuhi syarat ketika transportasi ke rumah sakit memerlukan waktu

>60 menit.

b. Pasien- pasien dengan syok kardiogenik atau gagal jantung karena infark miokard akut perlu untuk dipindahkan ke rumah sakit dimana PCI/CABG tersedia jika, waktu transpornya 30-45 menit.

c. PCI dapat disamakan dengan terapi fibrinolitik di rumah sakit besar dengan operator yang berpengalaman.

d. PCI lebih unggul dari terapi fibrinolitik pada pasien usia <75 tahun dengan syok kardiogenik.

e. Heparin bolus 80 m/kg dan infus 12 m/kg perhari diindikasikan sebagai terapi tambahan dengan terapi fibrinolitik (misalnya, alteplase) dan untuk semua pasien yang menjalani PCI.

f. Obat- obat ACE-inhibitor diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung kongestif, IMA yang luas atau EF <40%.

(20)

20 B. Infark Miokard Akut dengan Depresi Segmen ST31

Obat- obat yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa khususnya yang durasi kerja pendek seperti Eptifabatide dan Triofiban memperbaiki prognosis pasien yang beresiko tinggi karena depresi segmen ST, marker positif dan iskemia refrakter;

obat- obatan tersebut juga direkomendasikan untuk pasien yang menjalani PCI.

a. Enoxaparin, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) lebih unggul daripada unfractionated heparin (UFH) dan mudah untuk diberikan tanpa adanya angina berulang (rebound angina).

b. Penggunaan terapi dengan tiga anti-trombotik (aspirin dan klopidogrel*, penghambat GP IIb/IIIa dan UFH/LMWH) merupakan terapi yang paling efektif untuk IMA dengan depresi segmen ST dan angina tidak stabil.

FARMAKOLOGI RESUSITASI

a. Amiodaron (kelas 2b) 300 mg IV bolus cepat adalah obat pilihan untuk henti jantung karena VT/VF yang tetap berlangsung setelah pemberian kejut berkali- kali. (Lidokain 1.0-1.5 mg/kg kelasnya tidak dapat ditentukan untuk indikasi yang sama).8,32,33

b. Amiodaron dan Sotalol (kelas 2b) adalah obat yang direkomendasikan untuk terapi VT monomorfik stabil dan polimorfik.32

c. Amiodaron dan prokainamid (kelas 2b) direkomendasikan di depan daripada adenosine untuk terapi takikardi kompleks lebar stabil.32

d. Bretyllium** telah dikeluarkan dari protokol VF/pulseless VT.32

* Kira- kira 20% pasien tidak mempan dengan Aspirin

** Persediaan Bretyllium di dunia hampir habis

e. Magnesium sulfat (kelas 2b) 1-2 g IV diberikan pada keadaan torsade de pointes atau ketika pasien dicurigai iskemia karena hipomagnesemia.31

(21)

21 f. Prokainamid (kelas tidak ditentukan) sampai 50 mg/kg diberikan pada korban VF/VT yang berespon terhadap terapi kejut dengan kembalinya denyut nadi secara intermitten atau pada korban yang bukan VF/VT tetapi aritmianya berulang.

g. Vasopresin, (dosis tunggal 40 IU IV kelas 2b) mungkin lebih manjur daripada epinefrin untuk mengembalikan sirkulasi setelah henti jantung pada VF/

pulseless VT yang resisten pada terapi kejut berulang kali.34

h. Epinefrin dosis tinggi 0.1 mg/kg pada dewasa (kelas tidak ditentukan) tampaknya tidak memperbaiki survival atau keluaran neurologik pada pasien-pasien henti jantung.35

i. Recombinant tissue plasminogen activator (rtpa) memperbaiki keluaran neurologik saat diberikan pada pasien- pasien stroke yang memenuhi syarat dalam 3 jam setelah onset (kelas 1).34

Sodium Bikarbonat2

a. Kelas 1: Pada keadaan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya.

b. Kelas 2a: Pada keadaan asidosis yang berespon dengan pemberian bikarbonat.

c. Kelas 2a: Pada overdosis obat antidepresan trisiklik.

d. Kelas 2a: Pada urin yang alkali akibat overdosis aspirin atau obat lainnya.

e. Kelas 2b: Untuk intubasi dan ventilasi pasien- pasien dengan interval henti jantung yang lama.

f. Kelas 2b: Kembalinya sirkulasi setelah henti jantung yang lama.

g. Kelas 3: Berbahaya pada asidosis hiperkarbik

(22)

22 KESIMPULAN

a. Resusitasi serebral merupakan tujuan ACLS yang paling penting, kecuali jika ventilasi dan sirkulasi spontan dimulai dengan cepat, resusitasi yang berhasil tidak dapat terwujud.

b. Jangan pernah melupakan pasien, tangani pasien bukan aritmianya; para petugas kegawatdaruratan harus secara konstan meninjau kembali resusitasi daripada fokus pada satu usaha resusitasi.

c. Agar resusitasi berhasil harus ada rangkaian kejadian tidak terputus yang dimulai dengan BLS dan diakhiri dengan ACLS; keduanya disatukan oleh ILS (bantuan hidup intermediat) yang mencakup penggunaan defibrilator eksternal otomatis (AED’s) dan beberapa peralatan jalan napas lanjut dengan berbagai variasi dari personel rumah sakit.

d. Waktu adalah kritis, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan denyut jantung, semakin kecil kesempatan untuk suksesnya resusitasi.

e. Cari dan tangani penyebab; orang-orang yang mengalami henti jantung VF membutuhkan defibrilator, sedangkan mereka yang mengalami henti jantung asistol atau PEA membutuhkan diagnosis disertai intervensi untuk mengoreksi abnormalitas yang terjadi. Dalam hal waktu, diagnosis dan penanganan infark miokard akut adalah kritis.

f. Perawatan post resusitasi sama pentingnya; ketika jantung kembali berdenyut, jagalah untuk tetap berdenyut.

g. Kemampuan bertahan hidup pasien setelah mengalami henti jantung VF menurun 7-10% setiap menit tanpa defibrilasi.

h. Rencana lanjutan sangat penting dan setiap percobaan resusitasi memiliki struktur yang berkembang setiap waktu dan melewati berbagai tahap; hal tersebut meliputi antisipasi kedatangan pasien ke rumah sakit, pemindahan pasien ke ruang penerimaan oleh tim resusitasi, usaha resusitatif oleh tim utama,

(23)

23 meempertahankan keadaan pasien setelah kembalinya sirkulasi dan memberitahukan kepada keluarga pasien tentang hasil terapi yang diharapkan.

i. Resusitasi yang baik membutuhkan pemikiran yang hati- hati tentang kapan upaya resusitasi dihentikan dan bahkan yang lebih penting, kapan resusitasi tidak dimulai. Kita tidak boleh meresusitasi pasien ketika penyakitnya telah berada pada tahap akhir dan kehidupan berhenti; kita juga tidak boleh meresusitasi pasien jika bertentangan dengan keinginannya.*

j. Rangkaian usaha untuk mempertahankan hidup yang meliputi CPR dini.

Defibrilasi dini, dan ACLS dini harus diaplikasikan dan diperkuat dalam masyarakat kita, baik di rumah sakit dan juga di rumah- rumah kita.

k. Life stick resuscitation dapat dilakukan dan aman serta mungkin bermanfaat pada pasien asistol atau PEA.

l. Resusitasi dengan kompresi dada pada VF/pulseless VT oleh penolong awam tanpa pemberian napas bantu dari mulut ke mulut dapat dilakukan dan efektif (studi percobaan tidak memperlihatkan perbedaan apapun pada hasil dari dua kelompok, satu kelompok meresusitasi dengan ventilasi dan kompresi dada, sementara kelompok yang lain meresusitasi dengan kompresi dada saja).

*Orang- orang yang meminta untuk tidak diresusitasi (DNAR)

(24)

24 REFERENSI

1. AP Adams et al. Recent Advances in Anaesthesia and Intensive Care 2003; 22: 259-99.

2. Richard O. Cummins, ACLS text book. Essential of ACLS 1997; 1-71.

3. Eisenberg et al. Cardiac arrest and resuscitation, Ann Emerg Med 1990; 19: 179-86.

4. Lombardi et al. Phase Study, JAMA. 1994; 271: 678-83.

5. Chapman PD Et al. Monphasic vs biphasic waveforms for non thoracotomy canine internal fibrillation. J Am Coll Cardiol 1989; 14; 242-45.

6. Gliner BE et al. Trans thoracic defibrillation of swine with monophasic and biphasic waveforms.

Circulation 1995; 92:1634-43.

7. Richard L Page et al. Use of AEDS by US Airline. N Engl J Med 2000; 343: 1210-7.

8. Schuder et al. Transthoracic ventricular defibrillation in 100 kg calf with one cycle of bidirectional rectangular, wave stimuli. Trans Biomed Eng 1983; 30: 415-22.

9. Cummins R et al. chain of survival concept, AHA. Circulation. 1991; 83(5): 1832-47.

10. M Mark Awar et al. ACLS Geriatrics 2003; 5: 30-34.

11. Alfred Halstrom et al. CPR by chest compression alone or with mouth to mouth ventilation. N Engl J Med 2000; 342(21);1546-53

12. Cummins et al. Pre hospital CPR, JAMA 1985; 253: 2408-12.

13. Eisenberg MS et al. Cardiac arrest in community JAMA 1979; 241: 1905-07.

14. Thompson RG et al. Bystander initiated CPR for the management of VF. Ann Intern Med 1979;

90:737-40.

15. Waalewijm RA et al. Out of hospital cardiac arrests in Amsterdam and surrounding areas.

Resuscitation 1998; 38:157-167.

16. Babbs C F, Ralston et al. Theoretical advantages of abdominal counterpulsation in CPR. Ann Emerg Med 1984; 22: 499-506.

17. Leone et al. Mild hypothermia improves neurological outcomes, during and after arrest in dogs. J Cereb Flow and Metab 1990; 10: 57-70.

18. Wenzel, Inder KH et al. Effects of phased chest and abdominal compression and decompression CPR on myocardial and cerebral blood flow in pigs. Crit Care Med 2000; 28: 1107-1112.

19. Hans Richard et al. Phased chest and abdominal Compression Decompression Vs Conventional CPR in out of hospital Cardiac arrest. Circulation 2001; 104: 768-7.

20. Dlaisaine P, Lurie KG et al. comparison of standard CPR with active compression decompression for out of hospital cardiac arrest. N Engl J Med 1999; 314: 1993-99.

21. Sterz et al. Active compression decompression in patients with cardiac arrest. Circulation 1996; 94:

1-9.

22. Cogbill PD et al. Rationale for selective thoracotomy in trauma. J Trauma 1983; 23: 453-60.

23. Danne PD et al. Emergency Bay Thoracotomy. J Trauma 1984; 24: 796-802.

(25)

25

24. Pavia EF et al. Minimally invasive direct CPR versus closed chest CPR in pigs. Resuscitation 2000; 47: 287-299.

25. Jene JL, Jones RE et al. Improved cardiac cell excitation with symmetrical biphasic defibrillation, Am J Physiol 1989, 253:1418-1424.

26. Negovsky et al. Post resuscitation disease. Crit Care Med 1988; 16: 942-52.

27. Sterz F et al. Mild hypothermic CPR improves outcome after prolonged cardiac arrest in dogs. Crit Care Med 1991; 19:379-389.

28. Michael Holzer. The hypothermia after cardiac arrest (HACA) study group. N Engl J Med 2002;

346: 549-556.

29. Bernard SA et al. Treatment of comatose survivors of out of hospital cardiac arrest with induced hypothermia. N Engl J Med 2002; 346: 557-563.

30. Richard O, Cummins. In: ACLS text book, The acute coronary syndromes, including acute myocardial infarction 1997; 1-30.

31. Peter K Kindenchuck et al. Amioadarone as compared with lidocaine for shock resistant VF. N Engl J Med 2002; 346;884-91.

32. Weaver WD et al. Effect of epinephrine and lidocaine therapy on outcome after cardiac arrest due to VF. Circulation 1990;82(6): 2027-34.

33. Kurt H Linder et al. Comparison of epinephrine with vasopressin in out of hospital VF. Lancet 1997; 349(22):535-7.

34. C Vandyke et al. High dose versus standard dose epinephrine in cardiac arrest. Resuscitation 2000;

45: 161-66.

Referensi

Dokumen terkait