• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mathematical Creative Thinking Ability Based on Adversity Quotient

N/A
N/A
Lv

Academic year: 2025

Membagikan "Mathematical Creative Thinking Ability Based on Adversity Quotient"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Ditinjau dari Adversity Quotient melalui Model Pembelajaran Treffinger Bernuansa Etnomatematika

Skripsi

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Matematika

HALAMAN COVER

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2025

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER...i

DAFTAR ISI... ii

BAB I...4

PENDAHULUAN...4

1.1 Latar Belakang...4

1.2 Rumusan Masalah...8

1.3 Tujuan Penelitian...8

1.4 Batasan Penelitian... 8

1.5 Manfaat Penelitian...9

1.5.1 Manfaat Teoritis...9

1.5.2 Manfaat Praktis...9

1.6 Keaslian Penelitian...10

BAB II...11

TINJAUAN PUSTAKA...11

2.1 Tinjauan Pustaka...11

2.1.1 Penelitian terkait model pembelajaran treffinger dan kemampuan berpikir kreatif matematis...11

2.1.2 Penelitian terkait Etnomatematika dan kemampuan berpikir kreatif matematis... 11

2.1.3 Penelitian terkait hubungan antara Adversity Quotient dan kemampuan berpikir kreatif matematis...11

2.2 Landasan Teori...12

2.2.1 Kemampuan Berpikir Kreatif...12

2.2.2 Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis...13

2.2.3 Adversity Quotient...14

2.2.4 Model Pembelajaran Treffinger...18

2.2.5 Etnomatematika...20

2.2.6 Model Pembelajaran Treffinger Bernuansa Etnomatematika...21

2.2.7 Teori Belajar...22

2.3 Kerangka Berpikir... 23

2.4 Hipotesis...27

BAB III...28

METODE PENELITIAN...28

(3)

3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian...28

3.2 Lokasi Penelitian...29

3.3 Fokus Penelitian/Sampel dan Populasi...29

3.3.1 Penelitian Kuantitatif...29

3.3.2 Penelitian Kualitatif...29

3.4 Variabel Penelitian...30

3.5 Data dan Sumber Data...30

3.6 Teknik Pengumpulan Data...30

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif...30

3.6.2 Teknik Pengumpulan Data Kualitatif...31

3.7 Teknik Keabsahan Data...32

3.7.1 Uji Credibility...32

3.7.2 Uji Transferability...33

3.7.3 Uji Dependability...33

3.7.4 Uji Confirmability... 33

3.8 Teknik Analisis Data...33

3.8.1 Analisis Data Kuantitatif...33

3.8.2 Analisis Data Kualitatif...42

BAB IV... 43

HASIL DAN PEMBAHASAN...43

DAFTAR PUSTAKA...56

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan yang dibutuhkan oleh setiap umat manusia. Di dalam prosesnya, pendidikan mampu membantu suatu individu dalam mengembangkan diri di dalam lingkungannya. Pendidikan juga merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu negara, sesuai dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yaitu mencerdaskan segala bangsa dengan mengupayakan kemajuan pendidikan di Indonesia menggunakan berbagai cara.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekologi Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa bertujuan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi dan mengintegrasikan pengaturan mengenai sistem penjaminan mutu, standar nasional, dan penyelenggaraan akreditasi dalam satu peraturan menteri.

Tujuan dari pembelajaran matematika telah tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2018, menurut peraturan tersebut bahwa tujuan dari mata pelajaran matematika di sekolah untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah diantaranya adalah agar siswa mampu (1) menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah; (2) mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada.

Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan perilaku bagi siswa sehingga siswa akan mengalami perubahan, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan maupun kemampuan yang dimilikinya. Pembelajaran matematika bertujuan untuk siswa dapat membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Pembelajaran matematika menekankan agar siswa dapat memahami konsep dari matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep tersebut dalam memecahkan suatu masalah matematika. Salah satu kemampuan yang dikembangkan dalam pembelajaran yaitu kemampuan berpikir kreatif matematis.

Kemampuan yang digunakan dalam bidang matematika banyak sekali, salah satunya yaitu kemampuan berpikir kreatif. Di era revolusi industri 4.0 ini kemampuan berpikir kreatif menjadi kemampuan dasar yang wajib melekat pada semua lulusan di seluruh jenjang pendidikan (Komarudin et al., 2021a).

Tidak hanya di dunia pendidikan, memiliki kemampuan berpikir kreatif juga dibutuhkan dalam di dunia kerja. Kemampuan dan pola pikir secara kreatif sangat penting untuk ditingkatkan dan dikembangkan untuk menghadapi persaingan dan perkembangan dunia yang ketat saat ini. Guilford menyatakan bahwa individu dengan kemampuan berpikir kreatif memiliki pola pikir yang berbeda

(5)

sehingga lebih memiliki alternatif solusi yang beragam dalam pemecahan masalah (Wahyuni et al., 2021).

Berpikir kreatif merupakan proses dalam berpikir yang mengarah pada memunculkan ide, sudut pandang, pendekatan, ataupun metode baru dalam memahami sesuatu (Awan et al., 2019). Kemampuan berpikir kreatif penting untuk dimiliki oleh siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika dengan menggunakan berbagai penyelesaian. Hal ini mampu melatih pemikiran siswa untuk berpikir secara kreatif dalam menyelesaikan masalah matematika ( R. A. Sari & Untarti, 2021). Indikator seseorang untuk dapat dikatakan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kreatif terdiri dari (1) fluency, mampu menyelesaikan masalah matematika dengan memberikan berbagai cara penyelesaian yang berbeda; (2) flexibility, mampu menggunakan berbagai metode pendekatan yang berbeda dalam mengatasi permasalahan; (3) originality, mampu memberikan gagasan baru dalam mengatasi permasalahan;

(4) elaboration, mampu mengembangkan gagasan untuk menyelesaikan permasalahan secara terperinci. Berbekal dengan kemampuan berpikir kreatif, siswa dapat mengatasi masalah melalui berbagai metode penyelesaian (Wanelly

& Fauzan, 2020).

Gambar 1.1 Grafik OECD 2023 (Sumber Gambar: oecd.org)

Berdasarkan hasil PISA tahun 2022, kemampuan matematika di Indonesia memperoleh skor 366 dari rata-rata internasional dengan skor 472 dan menduduki peringkat ke 70 dari 81 negara. Berdasarkan hasil penjabaran PISA 2022 terkait kemampuan matematika, presentase siswa yang mencapai level 2

(6)

sebesar 18% dengan rata-rata internasional sebesar 69%. Pada hal ini, siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan matematika yang melibatkan pertanyaan sederhana menjadi perantaranya dan mengenai, tanpa menggunakan petunjuk langsung, bagaimana situasi sederhana dapat digambarkan secara matematis dengan kata lain pada level ini siswa belum mampu berpikir kreatif untuk merumuskan solusi dari masalah yang lebih kompleks (PISA, 2023).

Berdasarkan data tersebut, dapat ditunjukkan bahwa kurangnya kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki siswa, salah satunya kemampuan berpikir kreatif.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan kemampuan berpikir kreatif matematis, menunjukkan bahwa siswa belum mampu menyelesaikan persoalan matematika yang diberikan. Berikut salah satu soal yang diberikan pada saat studi pedahuluan kemampuan berpikir kreatif matematis.

“Paman memiliki sebidang tanah berbentuk persegi yang terdapat lingkaran ditengah tanah tersebut untuk air mancur. Jika panjang sebidang tanah tersebut 28m dan jari-jari lingkaran setengah dari panjangnya. Berapa sisa luas tanah yang tidak digunakan untuk air mancur?”

Jawaban siswa yang menunjukkan kemampuan berpikir kreatif matematis yang dimiliki masih belum optimal, hal tersebut dapat ditunjukkan pada gambar 1.2 berikut.

Gambar 1.2 Contoh Hasil Pengerjaan Siswa

Berdasarkan gambar 1.2 dapat dilihat bahwa siswa belum memenuhi indikator kemampuan berpikir kreatif matematis. Siswa masih belum mampu memahami apa yang ditanyakan pada soal dan belum mampu rumus yang tepat untuk menyelesaikan soal. Langkah pengerjaan yang dilakukan siswa juga belum sistematis dan belum menunjukkan pemahaman siswa terhadap soal yang diberikan sehingga siswa belum mampu dalam membuat kesimpulan yang tepat

(7)

dari soal yang diberikan. Ketidaktepatan siswa dalam menyelesaikan soal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa masih belum optimal.

Selain kemampuan berpikir kreatif matematis, aspek penting lainnya yang harus dikembangkan dalam pembelajaran adalah kemampuan siswa dalam mengelola kemampuan diri saat menghadapi tantangan. Kemampuan ini biasa dikenal dengan istilah Adversity Quotient (AQ). Stoltz (1999) mendefinisikan Adversity Quotient (AQ) merupakan kemampuan untuk mencapai tujuan dengan mengubah hambatan menjadi peluang. Menurut Afri (2019) Adversity Quotient (AQ) merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Stoltz (2000) membagi Adversity Quotient (AQ) menjadi tiga kategori yaitu AQ tinggi (climber), AQ sedang (camper), AQ rendah (quitter). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh F. Y. Sari et al.

(2022)menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berbeda-beda tergantung pada tipe Adversity Quetient yang dimiliki, salah satunya siswa dengan AQ tinggi mampu memenuhi ketiga indikator kemampuan berpikir kreatif matematis. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi AQ yang dimiliki, semakin baik pula kemampuan berpikir kreatif matematis yang dimiliki siswa. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan juga menunjukkan bahwa siswa masih menganggap sulit mata pelajaran matematika. Siswa dengan mudah menyerah saat dihadapkan pada soal dan tidak mau berusaha menyelesaikannya. Oleh karena itu, peran Adversity Quetient (AQ) sangat dibutuhkan dalam pembelajaran, terutama pembelajaran matematika.

Melalui hasil data tersebut perlu dilakukan upaya pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dan Adversity Quetient (AQ) yang dimiliki siswa. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif yaitu model pembelajaran treffinger . Hasil penelitian Pebriani & Haryani (2023) memperoleh bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa melalui model pembelajaran treffinger. Menurut Rifa’i et al (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis yang diperoleh menggunakan model pembelajaran treffinger lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori.

Pembelajaran matematika bagi siswa seharusnya disesuaikan dengan budaya lingkungan sekitar. Selain dikarenakan beragamnya budaya yang dimiliki di Indonesia, sulitnya siswa dalam memahami matematika yang diperoleh dibangku sekolah serta kesulitan siswa dalam menghubungkan dengan kehidupan nyata menjadikan faktor utama dalam pentingnya pengintegrasian pembelajaran berbasis budaya dalam pembelajaran. Salah satunya yaitu dengan pemanfaatan pendekatan etnomatematika. Penerapan

(8)

etnomatematika dalam pembelajaran matematika diharapkan bahwa siswa dapat lebih memahami metamatika dan budayanya, serta guru menjadi lebih mudah untuk menanamkan nilai budaya itu sendiri ke dalam diri siswa.

Pembelajaran matematika berbasis etnomatematika selain dapat mempelajari matematika secara kontekstual, siswa juga dapat memahami budayanya dan dapat menanamkan nilai karakter. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan etnomatematika merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada bagaimana cara siswa untuk memahami dan membangun konsep matematika berdasarkan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Ajmain et al., 2020) menunjukkan bahwa secara umum dengan mengimplementasikan pendekatan etnomatematika ke dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian yang dilakukan (Hasanah et al., 2022) menyatakan bahwa pembelajaran matematika dapat menjadi inovasi, meningkatkan motivasi dalam belajar serta memfasilitasi siswa dalam mengaitkan konsep-konsep yang dipelajari dalam situasi dunia nyata.

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian dengan judul

“Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Ditinjau dari Adversity Quotient Melalui Model pembelajaran Treffinger Bernuansa Etnomatematika”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana keefektifan implementasi model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis?

2. Bagaimana deskripsi kemampuan berpikir kreatif matematis ditinjau dari adversity quotient melalui model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui keefektifan implementasi model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis 2. Mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif ditinjau dari adversity quotient melalui model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika 1.4 Batasan Penelitian

Permasalahan yang telah dijabarkan, dapat dipersempit dengan pembatasan masalah penelitian. Hal ini dikarenakan terbatasnya waktu penelitian. Sehingga batasan penelitian yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut.

(9)

1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran treffinger.

2. Kemampuan matematika yang diukur pada penelitian ini adalah kemampuan berpikir kreatif matematis ditinjau dari adversity quotient.

3. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan yaitu perangkat pembelajaran bernuansa etnomatematika untuk kelas VII SMP/MTs.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai berikut.

Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan serta sumbangan dalam penerapan proses pembelajaran di sekolah menggunakan model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika, sehingga dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas VII.

Manfaat Praktis

A. Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan alternatif dalam melakukan proses pembelajaran di kelas dan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran selanjutnya.

B. Bagi Guru

Penelitian ini diharapkan dapat membantu guru untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, salah satunya yaitu menggunakan model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika yang berbeda dari model pembelajaran ekspositori sehingga dapat membantu untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

C. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan mampu membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis dengan menggunakan model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika dengan menghubungkan materi pembelajaran dengan budaya lingkungan sekitar.

D. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, pengalaman, serta wawasan yang dapat dijadikan bekal untuk mengajar sehingga dapat tercapainya pembelajaran yang

(10)

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sehingga dijadikan bahan telaah pada penelitian ini yaitu :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Zega et al (2022) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Treffinger terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa di SMP Negeri 4 Gunungsitoli”

menyatakan bahwa adanya pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

2. Penelitian yang dilakukan oleh F. Y. Sari et al (2022) dalam penelitiannya yang berjudul “Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMP Ditinjau dari Adversity Quotient” menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berbeda-beda tergantung pada tipe Adversity Quotient yang dimiliki.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah et al (2022) dalam penelitiannya yang berjudul “Efektivitas Model pembelajaran Treffinger Terhadap Berpikir Kreatif Siswa” menunjukkan bahwa terdapat perbedaan berpikir kreatif siswa antara kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran treffinger dan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran ekspositori, yang mana nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi. Sehingga, disumpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap berpikir kreatif siswa.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Ajmain et al (2020) dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi Pendekatan Etnomatematika Dalam Pembelajaran Matematika” menunjukkan bahwa secara umum dengan menggunakan pendekatan etnomatematika dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Putri & Azhar (2022) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan Kemampuan Berpikir Kreatif Menggunakan PBL dan Etnomatematika Ditinjau dari KAM” menujukkan bahwa nilai rata-rata siswa di kelas etnomatematika lebih baik daripada kelas PBL.

Berdasarkan uraian diatas, telah dilakukan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif matematis, model pembelajaran treffinger, Adversity Quetient (AQ), dan etnomatematika. Namun, tetap berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti karena tidak meneliti kemampuan berpikir kreatif matematis dengan menggabungkan model pembelajaran trefingger bernuansa etnomatematika yang ditinjau dari Adversity Quetient.

Jadi, penelitian ini benar-benar asli,

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi landasan dalam penelitian ini untuk menganalisis kemampuan berpikir kreatif matematis ditinjau dari Adversity Quetient melalui model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika.

ii. Penelitian terkait model pembelajaran treffinger dan kemampuan berpikir kreatif matematis Penelitian yang dilakukan oleh Pohan (2020) di SMP Swasta Prayatna Medan kelas VII yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis dengan model pembelajaran treffinger menggunakan metode Snowball Throwing memperoleh hasil rata- rata presentase skor pada indikator yang berada pada kategori baik/baik sekali meningkat dari 10,77% menjadi 59,48%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Treffinger dengan metode Snowball Throwing memperoleh hasil yang lebih baik dan efektif dibandingkan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran ekspositori.

iii. Penelitian terkait Etnomatematika dan kemampuan berpikir kreatif matematis

Penelitian yang dilakukan Sulhani et al (2023) di MTsS Nurul Islam Sumber Jaya yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa di kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran treffinger dengan pendekatan etnomatematika lebih unggul dibandingkan dengan pembelajaran kelas yang menggunakan pembelajaran ekspositori.

Penelitian yang dilakukan S. Sari et al (2022) di MTs Al- Falah Singkawang menunjukkan bahwa hasil analisis tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada kelas eksperimen dan kontrol menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa menggunakan penerapan etnomatematika lebih baik draipada pembelajaran ekspositori dikarenakan model pembelajaran yang menggunakan penerapan etnomatematika memiliki tahap pembelajaran yang menunjang pembelajaran dibanding sebelumnya.

(12)

iv. Penelitian terkait hubungan antara Adversity Quotient dan kemampuan berpikir kreatif matematis

Penelitian yang dilakukan Amini et al (2023) di SMAN 13 Kerinci menunjukkan bahwa Adversity Quotient yang dimiliki siswa memiliki pengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dan berdasarkan hasil eksperimen yang telah dilakukan, semakin tinggi tipe AQ yang dimiliki siswa semakin antusias pula mereka dalam memecahkan masalah yang diberikan.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Kemampuan Berpikir Kreatif

Matematika merupakan dasar dari berbagai disiplin ilmu karena setiap ilmu pasti memuat matematika di dalamnya (Dalilan

& Sofyan, 2022). Salah satu kompetensi matematis yang diharapkan mampu dikembangkan oleh sekolah yaitu kompetensi siswa dalam hal kemampuan berpikir matematis (Retno et al., 2021) . Kemampuan berpikir matematis yang diperlukan oleh siswa meliputi kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, koneksi matematis, penalaran matematis, dan berpikir kreatif (Devi & Dian, 2021).

Berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang harus dikembangkan melalui pendidikan di sekolah, salah satunya yaitu di dalam pembelajaran matematika. Torrance (1981) mendefinisikan kemampuan berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide atau gagasan baru dalam menghasilkan suatu cara untuk menyelasaikan masalah bahkan menghasilkan cara yang baru sebagai solusi alternatif. Kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang memiliki tujuan untuk menciptakan atau menemukan suatu ide baru yang orisinil, tidak umum yang akan membawa pada hasil yang pasti dan tepat (Dalilan & Sofyan, 2022). Menurut Nursilawati et al., (2019) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya.

Dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif yaitu kemampuan seseorang untuk menciptakan hal baru yang berbeda dari biasanya dan memerlukan tingkat kemampuan berpikir tinggi untuk memperoleh suatu hal yang baru.

Kemampuan berpikir kreatif penting untuk dimiliki oleh siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematika agar siswa nantinya dapat terbiasa untuk menyelesaikan suatu masalah matematika dengan menggunakan berbagai penyelesaikan yang

(13)

mungkin. Hal ini dapat melatih siswa untuk berpikir secara kreatif dalam menyelesaikan masalah matematika. Torrance (1981) menyatakan bahwa terdapat empat kemampuan kreativitas yang dapat memunculkan sikap kreatif. Kemampuan itu terdiri dari (1) originality (orisinalitas, menyusun sesuatu yang baru); (2) fluency (kelancaran, menurunkan banyak ide); (3) flexibility (fleksibilitas, mengubah perspektif dengan mudah); dan (4) elaboration (elaborasi, mengembangkan ide lain dari suatu ide). Kemampuan tersebut dapat dipelajari dan dilatih oleh semua orang tanpa memandang umur.

Dalam pembelajaran matematika, kreativitas siswa sangat dibutuhkan khususnya dalam suatu pertanyaan yang melibatkan siswa untuk berpikir secara kreatif matematis, dimana siswa diharapkan mampu mengemukakan ide-ide baru yang kreatif dalam menganalisis dan memecahkan suatu masalah.

2.2.2 Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Menurut (R. A. Sari & Untarti, 2021a) Kemampuan berpikir kreatif matematis yaitu kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan matematika dengan memberikan suatu ide atau gagasan baru berdasarkan hasil pemikirannya sendiri dan mudah untuk di mengerti (R. A. Sari & Untarti, 2021b). Dalam proses pembelajaran matematika, kemampuan ini diperlukan untuk membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang telah diberikan oleh guru. Dengan kata lain, kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan berpikir kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematika.

Hal ini sejalan dengan pendapat Nurzulifa & Dwijanto (2021) kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran matematika, kemampuan ini diperlukan untuk membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru. Dengan kata lain, kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan berpikir kreatif yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Nursilawati et al (2019) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan suatu kemampuan yang dimana siswa mampu memberikan berbagai macam jawaban dari pertanyaan yang diberikan, mereka mampu melihat suatu masalah tidak hanya berdasarkan dari satu sudut pandang saja tetapi lebih dari itu, mereka mampu mendata suatu masalah secara mendetail, mampu mengungkapkan jawaban

(14)

dengan cara yang berbeda, dan mampu mengeksplorasinya menjadi berbagai macam jawaban. Menurut erin dalam (gajah et al 2020) Indikator yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan indikator kemampuan berpikir kritis menurut Torrance (1981).

Dalam hal ini masing-masing indikator memuat aspek yang berbeda, ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Indikator Berpikir Kreatif Matematis

Aspek Indikator

Kelancaran (Fluency) Mempunyai banyak

ide/gagasan dalam berbagai kategori

Keluwesan (Flexibility) Mempunyai ide/gagasan yang beragam

Keaslian (Originality) Mempunyai ide/gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan Elaborasi (Elaboration) Mampu mengembangkan

ide/gagasan untuk

menyelesaikan masalah secara rinci.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan suatu proses pengembangan yang melatih siswa untuk selalu menemukan hal baru, melatih berpikir, membangkitkan ide-ide yang cemerlang dan menemukan solusi dari suatu permasalahan.

2.2.3 Adversity Quotient

2.2.3.1 Pengertian Adversity Quotient (AQ)

Teori Adversity Quotient awalnya diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 2000 sebagai suatu terobosan penting untuk memberi pemahaman mengenai suatu hal yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan manusia.

Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya dan kemudian mengolahnya menjadi suatu tantangan yang harus diselesaikan (Stoltz, 2000).

Dalam pembelajaran matematika, sering kali siswa mengalami kesulitan untuk memecahkan suatu masalah.

(15)

Kemampuan memecahkan masalah setiap siswa tentunya memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari cara belajar, ketertarikan siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan cara siswa dalam menghadapi permasalahan dalam matematika. Permasalahan yang dihadapi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu permasalahan tentunya berkaitan dengan adversity quotient untuk menyelesaikan masalah matematika.

2.2.3.2 Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa adversity quotient memiliki empat dimensi dan sering kali disebut dengan CO2

RE, yaitu:

a. Control (Kontrol)

Control merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat mengontrol responnya terhadap suatu situasi yang ada agar dapat memberikan pengaruh positif terhadap situasi tersebut. Control dapat mempengaruhi orang untuk menghadapi kesulitan dan meresponnya. Orang dengan tingkat kendali tinggi merasa lebih mampu mengendalikan peristiwa yang terjadi di dalam diri mereka daripada mereka yang memiliki tingkat kendali rendah. Akibatnya, kemampuan kendali yang besar akan mendorong seseorang untuk melakukan suatu solusi. Sedangkan, seseorang yang tidak memiliki kendali yang tinggi cenderung untuk memilih berhenti.

b. Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan) Origin merupakan cara seseorang untuk dapat mengindentifikasi hambatan dalam diri mereka. Hal ini berhubungan dengan cara seseorang untuk mengetahui kesalahannya.

Terdapat dua fungsi berkaitan dengan rasa bersalah, yang pertama yaitu untuk membantu seseorang belajar.

Seseorang yang memiliki rasa menyalahkan diri sendiri cenderung akan berpikir, belajar, mengkoordinasikan tindakannya supaya tidak mengulangi kesalahannya kembali. Fungsi yang kedua yaitu rasa bersalah yang dapat menyebabkan penyesalan sehingga suatu individu dapat menemukan solusi penyebab timbulnya masalah tersebut.

Seseorang dengan skor origin tinggi akan menganggap penyebab suatu kesulitan berasal dari

(16)

orang lain. Sebaliknya, seseorang dengan skor origin lebih rendah akan menyalahkan diri sendiri terhadap permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki origin rendah akan menganggap bahwa penyebab dari kesulitan atau hambatan adalah dirinya sendiri.

Ownership adalah cara seseorang memiliki rasa tanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi. Hal ini menekankan akan pentingnya meningkatkan rasa tanggung jawab, dimana semakin tinggi rasa ownership yang dimiliki suatu individu maka seseorang tersebut akan mengakui akibat dari perbuatannya. Sedangkan, seseorang dengan ownership rendah cenderung tidak mengakui akibat dari suatu kesulitan dari perbuatannya.

c. Reach (Jangkauan)

Jangkauan mengacu pada sejauh mana kesulitan yang mempengaruhi kehidupan suatu individu. Individu dengan jangkauan tinggi akan menyadari suatu masalah yang mereka hadapi dan tetap fokus sehingga tidak akan mempengaruhi aspek kehidupannya. Sedangkan, seseorang dengan jangkan yang rendah akan cenderung berpikir bahwa masalah yang dihadapinya akan menyebar dan mempengaruhi aspek kehidupannya yang lain sehingga akan mempengaruhi pada kinerja seseorang.

d. Endurance (Daya Tahan)

Endurance merupakan aspek yang mengukur seberapa lama kesulitan yang dialami seseorang berlangsung. Individu yang memiliki endurance tinggi akan beranggapan bahwa permasalahan yang dihadapinya akan cepat teratasi karena penyebabnya dapat teratasi dengan cepat. Sedangkan individu dengan endurance rendah akan cenderung berpikir bahwa permasalahan yang dihadapi akan berlangsung lama karena penyebab suatu masalah tersebut tidak dapat diperbaiki.

2.2.3.3 Tipe Adversity Quotient (AQ)

Kecerdasan siswa dalam mengatasi kesulitanya dalam belajar dapat dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: (1) quitters, merupakan kelompok siswa dengan sikap serta motivasi belajar yang rendah; (2) campers, merupakan kelompok siswa dengan sikap dan motivasi belajar yang

(17)

sedang; dan (3) climbers, merupakan kelompok siswa yang memiliki sikap serta minat belajar yang tinggi. Dengan perspektif ini, motivasi yang dimiliki oleh siswa akan mempengaruhi proses dalam pembelajaran. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan sikap dan motivasi siswa selama pembelajaran.

Dalam penelitian ini, adversity quotient sebagai kecerdasan siswa dalam menghadapi kesulitan atau tantangan dalam belajar. Siswa dalam adversity quotient yang dimaksud dibagi menjadi tiga kategori, yang terdiri dari:

1. Quitters

Quitters merupakan seseorang yang cenderung mudah putus asa, menyerah, tidak giat, dan tidak ingin sukses. Seseorang dengan tipe quitters sering kali memilih jalan termudah dan ternyaman karena tidak mau menghadapi tantangan. Seseorang dengan tipe quitters juga digambarkan sebagai sosok yang menyimpan perasaan benci terhadap beberapa anggota kelompok. Seseorang dengan tipe quitters ini juga akan cenderung menyalahkan orang lain atas masalahnya dan tidak memikirkan solusi dari masalah yang dihadapi.

2. Campers

Campers dianggap mirip dengan quitters namun lebih baik karena mereka hanya melakukan apa yang mereka bisa. Seseorang dengan tipe campers ini digambarkan sebagai seseorang yang tidak memiliki energi kreatif, kesenangan, pembelajaran, serta kemajuan dalam dirinya. Namun, tidak bisa dikatakan sama dengan tipe quitters karena mereka tidak mudah puas dengan kinerjanya. Mereka masih dapat melihat dan merasakan tantangan dari suatu permasalahan dan berusahan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rasa aman dan rasa memiliki. Tetapi, mereka tidak mau mengambil sebuah risiko dan akan melakukan sesuatu hanya dengan usaha yang dimilikinya.

3. Climbers

Climbers merupakan seseorang dengan tipe yang berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh hasil belajar yang terbaik. Mereka memiliki kekuatan yang luar biasa ketika dihadapkan dengan tantangan. Mereka

(18)

bukan merupakan sosok yang akan menunggu sesuatu terjadi, tetapi mereka akan selalu mencari cara ataupun solusi untuk berkembang dan berkontribusi, mampu melampaui zona nyaman, dan pantang menyerah ketika dihadapkan dengan tantangan. Singkatnya, seseorang dengan tipe climbers ini adalah individu yang kreatif.

Tabel 2.2 Tipe Adversity Quotient

Quitters Campers Climbers

Tidak terlihat memiliki motivasi

Memiliki cukup motivasi

Memiliki motivasi yang tinggi Tidak mempunyai

keinginan untuk berusaha

Memiliki usaha yang cukup maksimal

Selalu berusaha maksimal

Mudah menyerah Mudah merasa puas Tidak mudah menyerah Tidak mampu

mengendalikan diri

Cukup bisa mengendalikan diri

Aktif ketika pembelajaran Tidak memiliki

keinginan untuk memecahkan

masalah

Cukup mampu mengatasi masalah

yang dihadapi

Mampu mengatasi masalah yang

dihadapi

2.2.4 Model Pembelajaran Treffinger

Salah satu aspek penting dalam proses pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai dan dikembangkan oleh siswa. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika itu sendiri. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, diperlukan model pembelajaran yang tidak hanya mempu untuk mentransfer pengetahuan kepada siswa saja akan tetapi, juga mampu merangsang daya berpikir siswa untuk membentuk pengetahuan mereka dalam memecahkan masalah matematika yang dihadapinya.

Dengan menggunakan model pembelajaran yang demikian, dihadapkan siswa mampu untuk membentuk, mengambangkan, dan meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Salah

(19)

satu model pembelajaran yang diduga dapat memfasilitasi siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah adalah model pembelajaran treffinger.

Model pembelajaran treffinger adalah model pembelajaran yang pertama kali dikenal oleh Donald J.Treffinger pada tahun 1980, dan mengembangkan model pembelajaran ini sebagai bentuk untuk mengembangkan kreativitas anak (Aisyah et al., 2021).

Model treffinger untuk mendorong belajar kreatif menggambarkan susunan tiga tingkat yang mulai dengan unsur-unsur dasar dan naik ke fungsi-fungsi berpikir yang lebih majemuk. Pada hal ini, siswa terlibat dalam membangun keterampilan pada dua tingkat pertama untuk kemudian menangani masalah kehidupan nyata pada tingkat ketiga.

Model pembelajaran treffinger merupakan salah satu dari model yang menangani masalah kreativitas secara langsung. Model pembelajran treffinger dapat membantu siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah, membantu siswa untuk menguasai konsep-konsep yang diajarkan, serta memberikan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan pemecahan masalah (Nursilawati et al., 2019)

Menurut Khairiah & Amir (2021) ciri-ciri utama pada model pembelajaran treffinger adalah upaya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif siswa untuk mencapai arah penyelesaian yang akan ditempuhnya untuk memecahan masalah.

Model treffinger terdiri dari langkah-langkah berikut: basic tools, practise with process, dan working with real problems menurut Shoimin dalam (Zega et al., 2022).

1. Tahap I : Basic tools

Pada tahap ini, basic tools atau teknik kreativitas meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-teknik kreatif. Pada bagian pengenalan, fungsi-fungsi divergen meliputi perkembangan dari kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility) , keaslian (originality), dan keterincian (elaboration) dalam berpikir.

Tahap I merupakan landasan atau dasar belajar kreatif berkembang. Dengan demikian, pada tahap ini mencakup sejumlah teknik yang dipandang sebagai dasar dari belajar kreatif. Adapun kegiatan pembelajaran pada tahap ini, yaitu (1) guru memberikan suatu masalah terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian, (2) guru mengarahkan siswa melaksanakan diskusi kelompok.

2. Tahap II : Practise with process

(20)

Pada tahap ini, practise with process yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerpakan keterampilan yang telah dipelajari pada tahap I dalam situasi praktis. Segi pengenalan pada tahap II ini meliputi penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian (evaluasi). Kegiatan pembelajaran pada tahap II, yaitu (1) guru membimbing untuk berdiskusi dengan memberikan contoh, (2) guru meminta siswa mencari contoh dalam kehidupan sehari-hari.

3. Tahap III : Working with real problem

Pada tahap ini working wih real problem yaitu implementasi keterampilan yang telah dipelajari pada dua tahap pertama terhadap tantangan pada dunia nyata. Siswa mengunakan kemampuannya dengan cara-cara yang bermakna bagi kehidupan. Dalam ranah pengenalan, ini berarti partisipasi dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mandiri dan diarahkan sendiri.

2.2.5 Etnomatematika

Penelitian tentang etnomatematika pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 oleh D’Ambrosio yang merupakan seorang matematikawan Brazil. Beliau mendefinisikan etnomatematika sebagai berikut:

“The prefix etno is today accepted as a very broad term that refers to socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and todo activities such as ciphering, measuirng, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived form tehche, and has the same root as technique”.

D’Ambrosio mengatakan bahwa etnomatematika berasal dari kata “etno” dilihat dari konteks sosial budaya yang sangat luas dan hal itu mencakup bahasa, jargon, dan kode perilaku, mitos, dan simbol. Kata “Mathema” berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklarisifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan.

Akhiran “tics” berasal dari kata techne dan bermakna sama seperti teknik. Istilah etno mendeskripsikan hal-hal yang membentuk identitas suatu kelompok budaya, yaitu menggambarkan bahasa suatu budaya, menggambarkan kode atau simbol-simbol tertentu, menggambarkan nilai-nilai yang dipegang suatu kelompok masyarakat, jargon atau ciri khas suatu kelompok, keyakinan yang dipegang, makanan dan pakaian, kebiasaan, dan sifat-sifat fisik.

(21)

Sedangkan matematika diartikan sebagai istilah yang luas baik itu mengenai aritmetika, mengklasifikasikan, mengurutkan, menyimpulkan, dan modeling (Kristial et al., 2021)

Etnomatematika dapat dikatakan sebagai suatu bidang ilmu yang sifatnya untuk mengekspresikan hubungan antara budaya dan matematika (Kristial et al., 2021). Dalam lingkup pendidikan matematika, para peneliti memilih pengertian etnomatematika sebagai pengetahuan yang mencoba untuk mereposisi matematika yang mengakar pada budaya, mengakomodasi gagasan yang berbeda dari siswa, sehingga siswa menjadi penalar yang kritis, demokratis, serta toleran (Sukirwan et al., 2023). Dengan demikian, etnomatematika merupakan kumpulkan ilmu pengetahuan yang berasa dari pemikiran matematika suatu lingkungan kelompok masyarakat.

2.2.6 Model Pembelajaran Treffinger Bernuansa Etnomatematika Penerapan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi belajar siswa menjadi lebih aktif dan memiliki pemikiran yang kreatif, dalam penelitian ini model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran treffinger, apalagi jika dikaitkan dengan kemampuan berpikir kreatif siswa. Kemampuan berpikir kreatif yaitu berpikir untuk mengenali dan memahami masalah, menghasilkan banyak gagasan, mengemukakan bermacam-macam pemecahan masalah, menciptakan gagasan dengan cara yang asli dan merinci suatu masalah dengan detail. Pembelajaran matematika masih banyak menekankan pada pemahaman siswa saja, dengan demikian siswa tidak mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya. Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran, peran guru dalam proses pembelajaran menjadi penunjang serta penerapan-penerapan model pembelajaran yang digunakan dan dapat berorientasi pada meningkatkan hasil belajar siswa baik dari segi kemampuan berpikir kreatif siswa maupun membuat siswa bersemangat dan tidak bosan dalam menerima pembelajaran.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kombinasi dari model pembelajaran treffinger dengan etnomatematika. Model pembelajaran treffinger yang dapat membantu siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah, membantu siswa untuk menguasai konsep-konsep yang diajarkan, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan pemecahan masalah digabungkan dengan etnomatematika dalam pembelajaran matematika yang mengandung pengetahuan yang

(22)

mencoba untuk mereposisi matematika yang mengakar pada budaya, mengakomodasi gagasan yang berbeda dari siswa, sehingga siswa menjadi penalar yang kritis, demokratis, serta toleran. Langkah-langkah model pembelajaran treffinger yang digunakan dalam penelitian ini pada tabel 2.4 sebagai berikut.

Tabel 2.4 Langkah-langkah model pembelajaran Treffinger

Tahap Penjelasan

Tahap I Basic Tools

Pada tahap ini, guru memberikan permasalahan terbuka bernuansa etnomatematika kepada siswa, kemudian siswa akan diminta untuk menyampaikan ide atau gagasan terkait permasalahan yang diberikan.

Tahap II

Practise with process

Pada tahap practise with process , dengan cara berdiskusi guru akan membimbing siswa untuk menemukan solusi dari permasalahan yang telah diberikan.

Tahap III

Working with real problems

Pada tahap ini, guru memberikan permasalahan bernuansa etnomatematika yang baru, membimbing siswa untuk menemukan solusi dari permasalahan tersebut, serta melakukan diskusi dan evaluasi hasil dari temuan siswa.

Menurut Nurzulifa & Dwijanto (2021) dengan menerapkan model pembelajaran treffinger dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis karena melatih siswa untuk mengekspreksikan ide/gagasan mereka yang pada akhirnya siswa akan menemukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan suatu masalah. Selain itu, model ini juga melibatkan aspek afektif dalam memecahkan masalah yang membuat siswa memahami situasi dan kondisi dari suatu masalah.

2.2.7 Teori Belajar

2.2.7.1 Teori Belajar Vygotsky

Teori Vygotsky merupakan teori belajar yang menekankan pada aspek sosial. Teori belajar Vygotsky menyatakan bahwa jalan pikiran seseorang tergantung pada

(23)

faktor sosial (Kusuma et al., 2023). Proses perkembangan intelektual terjadi saat seseorang menghadapi pengalaman baru yang menantang dan berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, individu akan mengaitkan pengetahuan yang sudah dipahami sebelumnya dengan pengetahuan baru yang kemudian akan membangun suatu pemahaman.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibrahim dalam Asrori

& Rusman (2020), percaya bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya akan membentuk ide-ide baru dan mengembangkan intelektual siswa.

Teori Vygotsky dalam penelitian ini ialah pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky berpendapat bahwa interaksi sosial merupakan komponen penting dalam mengembangkan kognitif individu. Hal ini sejalan dengan model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika yang menggunakan komponen sosial berupa etnomatematika dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan cara tersebut, siswa akan berinteraksi dengan teman sebayanya sehingga akan meningkatkan kognitif individunya,

2.2.7.2 Teori Belajar Ausubel

Teori belajar Ausubel merupakan teori belajar bermakna yang mementingkan pengulangan materi sebelum dimulainya belajar. Ausubel membedakan antara pembelajaran yang bermakna dengan pembelajaran hafalan.

Menurut Ausubel dalam Darmayanti et al (2023) bermakna yang dimaksud yaitu bahwa topik yang dipilih sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa dengan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain, pembelajaran harus sesuai dan berkaitan dengan konsep- konsep yang telah dipelajari siswa sebelumnya sehingga siswa mampu menerima konsep-konsep baru yang akan diajarkan. Sehingga dengan adanya pembelajaran bermakna, daya ingat siswa akan menjadi lebih baik dan pemahaman pengetahuan menjadi lebih cepat.

Dengan demikian, teori belajar Ausubel mendukung model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika yang digunakan dalam penelitian ini. Pembelajaran treffinger dengan nuansa etnomatematika akan memberikan kepada siswa untuk mengenal dan menemukan konsep baru yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

(24)

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir kreatif merupakan salah satu keterampilan pada abad 21 yang harus dimiliki serta dikembangkan oleh siswa (Kembara et al., 2019). Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dapat dilakukan melalui proses terjadinya pembelajaran di sekolah, salah satunya melalui pembelajaran matematika. Dengan adanya kemampuan berpikir kreatif siswa mampu dengan mudah menyelesaikan berbagai macam masalah dengan penyelesaian mereka masing-masing dan tidak terpaku pada satu cara penyelesaian. Menurut Ningsih (Purnomo et al., 2015) bahwa siswa dengan kemampuan berpikir kreatif yang baik mampu menyelesaikan masalah dengan menyajikan berbagai solusi. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan berpikir kreatif dalam pembelajaran matematika, serta guru diharapkan mampu membantu siswa dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif tersebut. Dalam penelitian ini, indikator kemampuan berpikir kreatif yang digunakan yaitu, (1) fluency, mempunyai banyak ide/gagasan dalam berbagai kategori; (2) flexibility, mempunyai ide/gagasan yang beragam; (3) originality, mempunyai ide/gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan; dan (4) elaboration, mampu mengembangkan ide/gagasan untuk menyelesaikan masalah secara rinci.

Pada upaya mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, siswa perlu memiliki sikap tidak mudah menyerah dan tetap tangguh dalam menghadapi masalah (Stoltz, 2000). Kegigihan siswa disebut dengan Adversity Quotient (AQ). AQ memiliki tiga tipe, diantaranya tipe Climbers, tipe Campers, dan tipe Quitters. Seseorang dengan AQ tinggi dapat membantu siswa untuk mencapai keberhasilan saat menemui suatu hambatan (Safi’i et al., 2021). Hal ini membuktikan bvahwa salah satu hal yang dibutuhkan oleh siswa dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif yaitu AQ. Sejalan dengan pendapat (Purwasih, 2019) yang menyatakan bahwa siswa dengan tipe AQ Climbers memiliki kemampuan dalam menyelesaikan suatu masalah dengan indikator fluency dan flexibility yang baik. Rendahnya AQ siswa dapat memunculkan berbagai macam masalah seperti tidak memiliki motivasi, lebih cepat menyerah serta putus asa sesuai dengan pendapat (Komarudin et al., 2021b). Sedangkan siswa dengan AQ tinggi dapat memotivasi dirinya sendiri untuk tidak mudah menyerah dan tidak mudah putus asa ketika menemukan suatu hambatan. Berdasarkan pendapat ahli

(25)

tersebut, dapat disimpulkan bahwa AQ menentukan seberapa gigih siswa dalam menghadapi masalah terkait dengan berpikir kreatif.

Untuk memperoleh kemampuan berpikir kreatif diperlukan model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif sehingga kegiatan belajar dan mengajar menjadi lebih optimal. Dengan menggunakan model pembelajaran treffinger diharapkan mampu untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Penerapan model pembelajaran treffinger telah terbukti pada beberapa penelitian terdahulu mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa salah satunya yaitu pada penelitian yang dilakukan Sunita (2020) mengenai pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap kemampuan berpikir kreatif dengan mengontrol adversity quotient menyatakan bahwa adanya pengaruh pada model pembelajaran treffinger terhadap kemampuan berpikir kreatif dengan mengontrol adversity quotient. Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan mengggunakan model pembelajaran treffinger sebagai berikut (1) Tahap I Basic Tools, guru memberikan permasalahan terbuka kepada siswa, kemudian siswa akan diminta untuk menyampaikan ide atau gagasan terkait permasalahan yang diberikan; (2) Tahap II Practise with process, dengan cara berdiskusi guru akan membimbing siswa untuk menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan; (3) Tahap III Working with real problems, guru memberikan permasalahan baru, membimbing siswa untuk menemukan soluasi dari permasalahan tersebut, serta melakukan diskusi dan evaluasi hasil dari temuan siswa.

Selain menggunakan pembelajaran yang dapat menunjang kemampuan berpikir kreatif siswa, guru juga dapat memanfaatkan pendekatan menggunakan etnomatematika dalam pembelajaran.

Etnomatematika merupakan kumpulkan ilmu pengetahuan yang berasa dari pemikiran matematika suatu lingkungan kelompok masyarakat. Adanya pendekatan menggunakan etnomatematika tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pada penelitian ini, etnomatematika digunakan sebagai pendekatan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pendekatan budaya yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian kerangka berpikir diatas, peneliti akan menerapkan model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika pada materi segiempat yang disesuaikan dengan kompetensi dasar mata pelajaran matematika kelas VII SMP.

Dengan model pembelajaran tersebut, diharapkan siswa dapat

(26)

mengembangkan kemampuan berpikir kreatif yang ditinjau dari Adversity Quotient. Berikut disajikan gambar mengenai kerangka berpikir yang telah diuraikan diatas.

Kemampuan berpikir kreatif matematis

Indikator kemampuan berpikir kreatif matematis, diantaranya:

1. Fluency 2. Flexibility 3. Originality 4. Elaboration

Pengelompokkan siswa

berdasarkan tipe Adversity Quotient Etnomatematika,

sebagai suatu bidang ilmu yang sifatnya untuk mengekspresikan hubungan antara

budaya dan

matematika

(Kristial et al., 2021).

Adversity Quotient, terdiri dari tiga tipe, diantaranya:

1. Quitters 2. Campers 3. Climbers

Pembelajaran matematika yang

dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

Model pembelajaran Treffinger pada pembelajaran matematika

Pembelajaran Treffinger bernuansa Etnomatematika

Terujinya keefektifan implementasi pembelajaran Treffinger bernuansa

Ditemukan pola kemampuan berpikir kreatif ditinjau dari Adversity

(27)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika efektif terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis dengan memenuhi kriteria sebagai berikut.

a. Hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada model pembelajaran treffinger mencapai ketuntasan individual.

b. Hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada model pembelajaran treffinger mencapai ketuntasan klasikal, c. Rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

pada model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika lebih dari rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada model pembelajaran ekspositori.

d. Peningkatan hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika lebih dari peningkatan hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada model pembelajaran ekspositori.

e. Adversity Quotient siswa pada model pembelajaran treffinger bernuansa etnomatematika berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode kombinasi (mixed method). Menurut Creswell (2010) menyatakan bahwa mixed method merupakan pendekatan dalam penelitian yang menggabungkan dua jenis metode, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory sequential. Ciri-ciri explanatory sequential adalah pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama dan pada tahap kedua dilakukan dengan pengumpulan dan analisis data kualitatif untuk memperkuat hasil penelitian kuantitatif pada tahap pertama (Creswell, 2019) .

Desain penelitiaan kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu true experiment. Desain true experiment mempunyai ciri yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen yang diambil secara random (Creswell, 2010

; Sugiyono, 2016). Penelitian ini akan menggunakan desain true experiment dengan rancangan pretest posttest control group design. Pada design ini akan ada dua kelas yang dipilih secara acak, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Peneliti memberikan pretest dan posttest pada kedua kelas, manun hanya kelompok eksperimen yang dikenai treatment. Desain penelitian disajikan pada tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Desain Penelitian True Experiment

Kelas Pretest Perlakuan Posttest

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O3 - O4

Keterangan:

O1 = nilai pretest kelas eksperimen O2 = nilai posttest kelas eksperimen O3 = nilai pretest kelas kontrol O4 = nilai posttest kelas kontrol

X = treatment dengan treffinger bernuansa etnomatematika

(29)

Metode kualitatif akan digunakan untuk menemukan pola kemampuan berpikir kreatif siswa sesuai dengan tipe-tipe AQ. Pada metode kualitatif akan dilakukan penentuan tipe-tipe AQ terlebih dahulu.

Selanjutnya peneliti akan mengkategorikan hasil tipe AQ dengan hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 2 Jepara yang berlokasi di Jalan Brigjen Katamso No.14, Panggang I, Panggang, Kec.Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, 59411.

3.3 Fokus Penelitian/Sampel dan Populasi 3.3.1 Penelitian Kuantitatif

3.3.1.1 Populasi

Populasi merupakan daerah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Jepara tahun pelajaran 2023/2024.

3.3.1.2 Sampel

Sampel merupakan sebagian kelompok dari populasi yang digunakan dalam penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik cluster random sampling dengan memilih dua kelas secara acak. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lainnya sebagai kelas kontrol. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil kelas VIII H sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII I sebagai kelas kontrol.

3.3.2 Penelitian Kualitatif 3.3.2.1 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII B SMP Negeri 2 Jepara tahun pelajaran 2023/2024 yang berjumlah 6 siswa. Pengambilan subjek penelitian dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya:

1) Hasil angket Adversity Quotient

2) Siswa yang ditunjuk dapat berkomunikasi dengan baik sehingga mampu menjelaskan gagasan baik secara lisan maupun tulisan.

(30)

3) Rekomendasi dari guru pengampu mata pelajaran matematika di kelas tersebut.

Terdapat 3 kategori kelompok dari hasil angket Adversity Quotient yaitu Climbers, Campers, dan Quitters.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan sifat dari orang, objek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Variabel dalam penelitian ini meliputi keefektifan implementasi pembelajaran yang dilakukan, kemampuan berpikir kreatif, dan adversity quotient. Terdapat dua variabel yang digunakan pada penelitian ini, diantaranya variabel bebas (Independen) dan variabel terikat (Dependen). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah adversity quotient dan variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kreatif matematis.

3.5 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sumber data dalam penelitian yang diperoleh secara langsung tidak memalui media perantara.

Sedangkan, data sekunder merupakan sumber data dalam penelitian yang diperoleh melalui media perantara.

Sumber data primer dalam penelitian ini berupa tes, observasi, dokumentasi dan hasil wawancara dengan guru matematika dan siswa yang dipilih untuk menjadi subjek penelitian. Sedangkan, data sekunder diperoleh dari buku-buku ataupun data yang sudah ada di sekolah untuk melengkapi sumber data primer.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, tentunya peneliti perlu untuk mengumpulkan data. Untuk mengumpulkan suatu data dibutuhkan teknik pengumpulan data. Ada banyak teknik yang bisa peneliti gunakan untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data akan membantu peneliti memperoleh data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam penelitian ini, pengumpulan data kuantitatif menggunakan teknik tes dan kuesioner. Sedangkan untuk mengumpulkan data kualitatif, peneliti menggunakan teknik wawancara, dokumentasi, dan triangulasi.

(31)

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif 3.6.1.1 Tes

Tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berpikir kreatif. Tes kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dan mengukur seberapa besar pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipelajari selama pembelajaran berlangsung. Dengan adanya tes ini, maka diperoleh hasil pekerjaan siswa yang akan digunakan untuk menentukan tingkat kemampuan berpikir kreatifnya.

Pada penelitian ini, tes diberikan dalam bentuk pretest dan posttest mengenai soal kemampuan berpikir kreatif terkait materi yang telah diajarkan. Hasil tes siswa tidak hanya dilihat dari benar atau salah hasil jawaban siswa, tetapi juga dilihat dari kemampuan siswa dalam menyajikan jawabannya. Data hasil tes kemampuan berpikir kreatif nantinya akan diolah untuk pengujian hipotesis.

3.6.1.2 Kuesioner Adversity Quotient

Kuesioner dalam penelitian ini adalah kuesioner Adversity Quotient (AQ) yang akan digunakan untuk menentukan tipe AQ siswa apakah tergolong tipe Climber, tipe Camper, tipe Quitter. Data yang diperoleh dari kuesioner ini kemudian digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Hasil kuesioner AQ ini akan digunakan untuk menganalisis kemampuan berpikir kreatif siswa ditinjau dari dari tipe AQ yang dimiliki oleh siswa. Kuesioner AQ pada penelitian ini menggunakan Adversity Response Profile (ARP) yang telah dikembangkan oleh Paul G Stoltz dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.

3.6.2 Teknik Pengumpulan Data Kualitatif 3.6.2.1 Wawancara

Menurut Creswell (2010) wawancara dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan subjek, wawancara melalui telepon, atau wawancara dalam kelompok tertentu yang terdiri dari enam sampai delapan anggota per kelompok. Cara-cara tersebut memerlukan pertanyaan yang tidak terstruktur dan bersifat terbuka dengan tujuan untuk memunculkan pandangan dan opini dari partisipan.

(32)

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan cara bertemu secara langsung dengan subjek untuk bertukar informasi dan ide sehingga dapat diperoleh gambaran tentang kemampuan berpikir kreatif dan Adversity Quotient siswa. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara mengenai hasil jawaban sesuai dengan kondisi masing-masing partisipan. Wawancara akan dilakukan dengan enam siswa yang dipilih dari kelas eksperimen dengan masing-masing tipe AQ diambil dua partisipan.

Langkah-langkah wawancara yang dikemukakan oleh Sugiyono (2016) mengacu pada pendapat Lincoln dan Guba adalah sebagai berikut:

1. Menentukan siapa partisipan yang akan melakukan wawancara.

2. Menyiapkan pokok-pokok yang akan dijadikan bahan pembicaraan.

3. Mengawali wawancara.

4. Melangsungkan wawancara.

5. Mengkonfirmasikan hasil wawancara dan mengakhirinya.

6. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan.

7. Mengindentifikasikan hasil wawancara yang telah diperoleh.

Perekaman dilakukan selama proses wawancara berlangsung. Hasil dari wawancara dicatat untuk kemudian diarsipkan. Hasil wawancara dari siswa di triangulasi dengan hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa untuk mengetahui pola kemampuan berpikir kreatif siswa sebagai subjek penelitian.

3.6.2.2 Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2016) dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah terlewat. Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar, catatan, foto, ataupun video.

Dokumentasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan dokumen-dokumen selama penelitian yang meliputi nama dan banyaknya siswa, hasil pekerjaan siswa, foto selama pembelajaran berlangsung.

(33)

3.7 Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dilakukan untuk membuktikan kebenaran data yang diperoleh selama penelitian. Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.7.1 Uji Credibility

Dalam penelitian ini, uji kreadibilitas data hasil dari penelitian dilakukan dengan cara triangulasi. Menurut Sugiyono (2016), triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu. Triangulasi dalam penelitian ini menggunakan triangulasi teknik, yaitu membandingkan data hasil pekerjaan siswa dengan hasil wawancara, dan memeriksa data wawancara dari subjek yang berbeda dalam satu tipe AQ yang sama, serta hasil pengamatan aktivitas siswa.

3.7.2 Uji Transferability

Uji transferability merupakan validitas eksternal yang mana menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi dimana sampel diambil (Sugiyono, 2016).

Dalam penelitian ini, uji transferability dilakukan dengan memberikan uraian rinci, jelas, sistematis, serta dapat dipercaya terhadap data analisis kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika dengan model pembelajaran treffiger dalam laporan penelitian.

3.7.3 Uji Dependability

Dalam penelitian kuantitatif, dependability disebut dengan reliabilitas. Suatu penelitian yang reliabel yaitu apabila orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut (Sugiyono, 2016). Menurut Sugiyono (2016) menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, uji dependability dilakukan dengan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Dalam penelitian ini, uji dependability dilakukan dengan memeriksa kembali bagaimana proses penelitian secara keseluruhan.

3.7.4 Uji Confirmability

Dalam penelitian kualitatif, uji confirmability mirip dengan uji dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan (Sugiyono, 2016). Dalam penelitian ini, uji confirmability memastikan data yang diperoleh dan yang diuraikan

(34)

benar-benar berasal dari proses penelitian yang telah dilakukan peneliti.

3.8 Teknik Analisis Data

Data yang di dapat dari penelitian ini dianalisis untuk mengetahui bagaimana hasil pada penelitian. Analisis data digunakan untuk membuktikan apakah hipotesis yang telah diajukan benar atau tidak.

3.8.1 Analisis Data Kuantitatif

3.8.1.1 Uji Normalitas Data Awal

Data awal yang digunakan dalam penelitian ini merupakan nilai pretest tes kemampuan berpikir kreatif matematis. Uji normalitas berfungsi untuk menentukan pengujian selanjutnya dan penentu untuk penggunaan statistik parametrik atau statistik non parametrik. Dalam penelitian ini uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk karena banyak sampel pada masing-masing kelompok kurang dari 50. Rumus Saphiro-Wilk yaitu:

T= 1 D¿ dengan D=

i=1 n

(

XiX

)

2

Keterangan:

ai : koefisien test Saphiro-Wilk

Xni+1 : angka ke n-i + 1 pada data

Xi : angka ke-i pada data X : rata-rata data

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut.

H0 : Data awal berasal dari populasi berdistribusi normal.

H1 : Data awal berasal dari populasi tidak berdistribusi normal.

Kriteria pengujiannya sebagai berikut.

a. Jika signifikasi pengujiannya 0,05 , maka H0 diterima.

b. Jika signifikasi pengujiannya 0,05 , maka H0 ditolak.

3.8.1.2 Uji Homogenitas Data Awal

Data awal yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil pretest kemampuan berpikir kreatif matematis. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data awal

Referensi

Dokumen terkait