• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melissa Aime Lintang 15000122140218 IoT Review Jurnal

N/A
N/A
meh

Academic year: 2023

Membagikan "Melissa Aime Lintang 15000122140218 IoT Review Jurnal"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A

Disusun Oleh : Melissa Aime Lintang

15000122140218

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

2022

(2)

Nama Jurnal, Vol (No.), Halaman Social Work Jurnal, 10 (2), 199-208

Penulis Fadhlizha Izzati Rinanda Firamadhina, Hetty Krisnani

Latar Belakang Generasi Z merupakan generasi pertama yang sejak dini sudah terpapar oleh teknologi. Perbedaan yang sangat mencolok dari generasi Z dengan generasi lainnya ialah penggunaan telepon seluler. Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga TikTok dipenuhi oleh berbagai generasi. Jika Facebook lebih sering digunakan oleh Generasi X, maka TikTok lah yang didominasi oleh Generasi Z. TikTok disukai oleh Gen Z karena karakteristik TikTok yang belum pernah dimiliki oleh media sosial lainnya. Perilaku Generasi Z dalam menggunakan TikTok sebagai media penyaluran edukasi dan aktivisme merupakan suatu perilaku manusia dalam periode umur remaja yang inovatif dan kreatif.

Tujuan Tujuan dari penulisan artikel yang disajikan ini adalah menginformasikan kepada para pembaca bahwa media sosial bukan sebagai media hiburan saja, tetapi mampu sebagai media edukasi dan aktivisme dalam dunia yang sudah terglobalisasi dari cara tradisional.

Metode Pendekatan yang akan digunakan dalam mengamati

perilaku ini adalah penggunaan perspektif konstruksionis sosial dan teori interaksionisme simbolik dalam mendalami perilaku penggunaan TikTok terhadap Generasi Z.

Pendekatan tersebut digunakan karena keinginan untuk

mengetahui hasil yang diciptakan dari interaksi sosial antar

(3)

Hasil Hasil studi ini menyatakan bahwa penggunaan sosial media TikTok oleh Generasi Z mampu mengembangkan suatu makna dan sense of self akibat dari interaksi sosial yang konstan sesama pengguna. Dengan adanya interaksi sosial, masing-masing pengguna akan menerjemahkannya sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut, lalu dari adanya pertukaran perspektif tersebut muncullah berbagai realitas dalam hidupnya. Karena masing-masing pengguna atau individu merupakan makhluk yang unik.

Refleksi Penggunaan media sosial di bidang pendidikan

memang bermanfaat, namun perlu lebih banyak penelitian

dan model lebih lanjut untuk aplikasinya dalam

kegiatannya.

(4)

Media Sosial Melalui Pendekatan Living Values Education (LVE)

Nama Jurnal, Vol (No.), Halaman PEMBELAJARAN : Jurnal Ilmu Pendidikan, Keguruan, dan Pembelajaran, Vol 5 (No.2), Hal.150-158

Penulis Leli Patimah, Yusuf Tri Herlambang

Latar Belakang Generasi z dikenal sebagai generasi yang sejak kecil sudah akrab dengan adanya teknologi informasi khususnya internet yang telah menjadi budaya menglobal, pandai menggunakan gadget dan salah satu generasi yang mampu melakukan beberapa aktivitas dalam satu waktu yang sama (multi tasking) (Putra, 2016:130). Dari perspektif berbeda generasi z merupakan generasi yang ketergentungan terhadap internet terutama media sosial, mereka senang terhadap kepopularitasan, mengumpulkan pengikut (followers) dan penyuka (like) pada unggahannya di media sosial. Akibat dari ketergantungan dan ketidakbijakan dalam menggunakan media sosial tersebut menimbulkan problematika baru yang mengarah pada aspek, ekonomi, sosial, budaya dan psikologi penggunanya. Problematika lain dari aspek sosial yang ditimbulkan akibat terlalu lama mengonsumsi media sosial, kebanyakan generasi z menjadi kurang cakap dalam berkomunikasi di dunia nyata dan menjadi pribadi yang individualistik.

Tujuan Untuk mengedukasi kepada para pembaca mengenai sebuah

nilai bermakna dari asosiasi living values education,

merekonsiliasi dekadensi moral di Indonesia, membantu

menyadari bahwa setiap individu itu istimewa. Selanjutnya

menyadari bahwa pendidikan adalah ruh dari sebuah

peradaban yang maju.

(5)

bahan kepustakaan, membaca dan mencatat serta menganalisis segala sesuatu yang bersesuaian dengan tema yang akan diangkat yaitu menanggulangi dekadensi moral generasi z akibat dari media sosial melalui pendekatan living values education.

Hasil terdapat dua persfektif berbeda pada generasi z yang mana bila ditelaah kembali kedekatan antara generasi z dengan teknologi internet seperti dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila kemampuan dan karakteristik generasi z dalam menguasai dunia teknologi informasi dan komunikasi dapat dioptimalkan dengan baik, generasi ini akan menjadi generasi yang bisa mengubah tatanan kehidupan menjadi sebuah peradaban yang modern dengan segala kecanggihan teknologi yang diciptakan di dalamnya.

Refleksi LVE menanamkan 12 nilai kehidupan yang diupayakan

dapat membangun peradaban dunia yang cinta akan

kedamaian, memiliki rasa hormat dan toleransi, tanggung

jawab dan kerja sama, kebahagiaan dan kejujuran,

kerendahan hati dan kesederhanaan, serta kebebasan dan

persatuan. Nilai nilai tersebut diharapkan menjadi kompas

sebagai acuan dalam memetakan perjalanan dan tujuan

hidup seseorang agar lebih bermakna dan lebih luasnya lagi

dapat membangun insan-insan manusia secara keseluruhan

yang bermutu.

(6)

199

PERILAKU GENERASI Z TERHADAP PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TIKTOK:

TikTok Sebagai Media Edukasi dan Aktivisme

Fadhlizha Izzati Rinanda Firamadhina

1

, Hetty Krisnani

2

1,2

Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran

1

fadhlizha19001@mail.unpad.ac.id,

2

hettykrisnani@yahoo.com

ABSTRACT

Social media is widely a common thing for everyday lives now, Even some people cannot live without it. One of the most downloaded applications in 2020 now is TikTok and they change the game in social media with its 15-60 duration videos. No wonder the impact it has on multiple sectors in the world. But can TikTok operate in the education sector? In this article, the writer will analyze Generation Z's behavior towards TikTok used as educational media and activism. The intervention methods used in this article are with literature review. Results found that TikTok can be used as a form of informal education and digital activism. Informal education, it is found that a model of learning and policy is needed to have its effect on activities. To conclude, social media usage in educational sectors is indeed beneficial, but it needs more further research and models for its applications in its activities.

Keywords: Social Media, TikTok, Generasi Z

Media sosial secara luas merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari saat ini, bahkan sebagian orang tidak dapat hidup tanpanya. Salah satu aplikasi yang paling banyak diunduh di tahun 2020 sekarang adalah TikTok dan mereka mengubah permainan di media sosial dengan video berdurasi 15-60. Tidak heran dampaknya terhadap banyak sektor di dunia. Tetapi, bisakah TikTok beroperasi di sektor pendidikan? Pada artikel kali ini penulis akan menganalisis perilaku Generasi Z terhadap TikTok yang digunakan sebagai media pendidikan dan aktivisme. Metode intervensi yang digunakan dalam artikel ini adalah dengan studi pustaka. Hasil penelitian menemukan bahwa TikTok dapat digunakan sebagai bentuk pendidikan informal dan aktivisme digital. Dalam pendidikan informal ditemukan model pembelajaran dan kebijakan yang dapat berpengaruh pada kegiatan. Kesimpulannya, penggunaan media sosial di bidang pendidikan memang bermanfaat, namun perlu lebih banyak penelitian dan model lebih lanjut untuk aplikasinya dalam kegiatannya.

Kata Kunci: Media Sosial, TikTok, Generasi Z

PENDAHULUAN

Populasi dunia yang terus berkembang menciptakan beberapa generasi. Mulai dari Generasi Baby Boomers (1946-1960) hingga generasi yang memiliki peran vital saat ini yakni Generasi Z atau Gen Z (1995-2010). Generasi Z merupakan generasi pertama yang sejak dini sudah terpapar oleh teknologi. Teknologi-

teknologi tersebut berupa komputer atau media elektronik lainnya seperti telepon seluler, jaringan internet, bahkan aplikasi media sosial. Generasi Z dibesarkan dengan web sosial, mereka berpusat pada digital dan teknologi adalah identitas mereka (Singh & Dangmei, 2016). Lahir dan dibesarkan seiring dengan kemajuan-kemajuan dalam dunia

(7)

200 digital ini membuat Gen Z berbeda dengan generasi sebelumnya. Perbedaan yang sangat mencolok dari generasi Z dengan generasi lainnya ialah penggunaan telepon seluler.

Penggunaan akses internet dengan mudah melalui telepon seluler seiring hidup di era globalisasi pada Gen Z menghasilkan generasi yang dependen dengan internet. Dampak dari kemudahan dalam mengakses internet menciptakan internet sebagai sumber referensi utama dalam mencari suatu informasi. Seiring dengan peningkatan konektivitas global, pergeseran generasi dapat memainkan peran yang lebih penting dalam menentukan perilaku daripada perbedaan sosio-ekonomi. Kaum muda telah menjadi pengaruh yang kuat bagi orang- orang dari segala usia dan pendapatan, serta pada cara orang-orang tersebut mengonsumsi dan berhubungan dengan mereka (Francis &

Hoefel, 2018). Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga TikTok dipenuhi oleh berbagai generasi. Jika Facebook lebih sering digunakan oleh Generasi X, maka TikTok lah yang didominasi oleh Generasi Z.

TikTok, atau Douyin di China, adalah layanan jejaring sosial berbagi yang menggunakan video berdurasi pendek sebagai media untuk menangkap dan menyajikan kreativitas, pengetahuan, dan momen lainnya yang dimiliki oleh ByteDance, sebuah perusahaan teknologi internet yang berbasis di Beijing dan diciptakan pada tahun 2012 oleh Zhang Yiming.

Awal mula TikTok berawal dari tahun 2016 dengan nama Douyin dan baru berlayar di China hingga tahun 2017 diluncurkan dengan nama TikTok untuk seluruh dunia. Sebelum sepenuhnya beroperasi, TikTok bergabung dengan Musical.ly, aplikasi lip sync, sebagai aplikasi seutuhnya.

TikTok disukai oleh Gen Z karena karakteristik TikTok yang belum pernah dimiliki oleh media sosial lainnya. Seolah-olah dengan penggunaan TikTok, Gen Z dapat mengungkapkan identitas atau jati dirinya masing-masing.

Gambar 1. Logo TikTok

Pemaparan teknologi sejak dini dan kemudahan dalam mendapatkan informasi merupakan sebuah perkembangan dalam

membentuk Generasi Z. Media koran, radio, dan berita di televisi merupakan cara konvensional dalam memeroleh informasi. Adanya perkembangan internet yang menghasilkan media sosial membuat cara-cara konvensional tergeserkan dengan cara yang lebih mudah diakses yakni dengan menggunakan media sosial.

Dengan kemudahan dengan mengunduh aplikasi, maka informasi yang ingin dicari menjadi mudah.

Salah satu media sosial yang sedang hangat dibicarakan dan paling banyak digunakan oleh Gen Z adalah TikTok. Dengan menggunakan perspektif konstruksionis sosial dimana hasil interpretasi dari interaksi sosial membentuk sense of self kepada pengguna dan penonton yang tertarik pada konten tertentu di TikTok.

Mayoritas siswa percaya bahwa media sosial lebih banyak digunakan oleh para promotor suatu produk dibandingkan para pendidik, namun media sosial diikuti oleh penggunaan para pendidik dan siswa. Para responden pun setuju bahwa harus adanya perubahan dalam sistem akademik dan media sosial sebagai metode yang lebih inovatif dalam mencapai tujuan pendidikan (Kalia, 2013). Menurut Jayme (dikutip dalam Kalia, 2013), Jayme menyatakan bahwa jejaring media sosial dalam kalangan remaja merupakan bagian dari budaya mereka. Orang tua atau guru tidak dapat mengharapkan remaja meninggalkan Internet dan berkembang dalam masyarakat modern, karena komputer, teknologi, Internet, dan jaringan sosial digunakan dalam semua aspek kehidupan modern, bahkan di tempat kerja.

Perilaku Generasi Z dalam menggunakan TikTok sebagai media penyaluran edukasi dan aktivisme merupakan suatu perilaku manusia dalam periode umur remaja yang inovatif dan kreatif. Upaya intervensi dalam perilaku ini adalah mengubah cara pandang media sosial yang selalu di anggap negatif karena perilaku adikitif yang mampu dimunculkan oleh media sosial tersebut.

Namun, kreativitas yang disajikan dalam TikTok oleh para pengguna merupakan salah satu cara yang dapat mengubah perspektif tersebut menjadi positif. Tujuan dari penulisan artikel yang disajikan ini adalah menginformasikan kepada para pembaca bahwa media sosial bukan sebagai media hiburan saja, tetapi mampu sebagai media edukasi dan aktivisme dalam dunia yang sudah terglobalisasi dari cara tradisional. Manfaat yang akan diperoleh dari bahan bacaan artikel adalah informasi baru yang didapatkan mampu mengubah perspektif suatu individu terhadap media sosial TikTok sebagai penyaluran edukasi

(8)

201 maupun aktivisme. Adanya perspektif baru ini mampu mengubah individu untuk memiliki pemahaman lebih baik terhadap penggunaan TikTok karena adanya perkembangan diri dari hasil interpretasi interaksi sosial antar penonton dan pencipta konten.

METODE

Pendekatan yang akan digunakan dalam mengamati perilaku ini adalah penggunaan perspektif konstruksionis sosial dan teori interaksionisme simbolik dalam mendalami perilaku penggunaan TikTok terhadap Generasi Z.

Pendekatan tersebut digunakan karena keinginan untuk mengetahui hasil yang diciptakan dari interaksi sosial antar pencipta konten dan penonton terhadap diri masing-masing dan cara pandang mereka terhadap dunia sosial melalui interaksi tidak langsung antar satu sama lain.

Metode dalam penulisan artikel ini menggunakan studi kepustakaan. Proses dalam mencari referensi literatur untuk menulis artikel ini dengan cara mencari artikel atau jurnal resmi dari Google Scholar, Portal Garuda, Research Gate, Science Direct, Elsevier, dan bahkan rujukan elektronik lainnya seperti situs resmi TikTok. Pembatasan dalam pencarian pustaka difokuskan dengan mencari kata-kata kunci yang relevan dan paling sering muncul seperti media sosial dan Generasi Z.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Media Sosial dalam Bidang Edukasi

Media sosial menggunakan teknologi seluler dan berbasis web untuk menciptakan platform yang sangat interaktif di mana individu dan komunitas mampu berbagi, membuat bersama, mendiskusikan, dan memodifikasi konten yang dibuat pengguna (Kietzmann, Hermkenz, McCarthy, & Silvestre, 2011).

Kegunaan TikTok sesuai dengan apa yang dijelaskan dikutipan diatas. Berbagai komunitas dengan minat yang berbeda ada didalamnya, entah itu komunitas masak, komunitas berbagi pengetahuan, hingga komunitas aktivisme.

Penggunaan TikTok yang masif pada awal tahun 2020 dan ditambah dengan karantina COVID-19 pada pertengahan bulan Maret 2020, membuat TikTok menjadi aplikasi nomor satu yang paling banyak di download pada tahun 2020 (IDN Times, 2020). TikTok pun diprediksi akan meraih 1 miliar pengguna aktif di 2021 secara global.

Perkembangan berbagai aplikasi seperti aplikasi

jaringan sosial TikTok mampu membuat manusia atau individu mengonsumsi media sosial lebih banyak dari sebelumnya. Namun, apakah penggunaan jejaring sosial tersebut berdampak positif?.

Menurut Mao (2014) dalam menjelaskan bahwa penggunaan media sosial di bidang pendidikan yakni, penggunaan media sosial dalam bidang pendidikan oleh guru untuk pengajaran dan pembelajaran di kelas bersifat sporadis atau jarang, sementara penggunaan oleh siswa sendiri untuk tujuan pembelajaran tampaknya berlimpah tetapi juga insidental dan informal. Pencapaian dalam pengambilan ilmu pengetahuan mampu berasal dari mana saja. Entah itu pendidikan formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) atau pendidikan informal seperti dari keluarga bahkan media sosial sekalipun. Sudah banyak diperdebatkan oleh para tenaga pendidik hingga peneliti, apakah media sosial mampu menjadi prasarana pendidikan formal maupun informal.

Namun, fokus utama dalam artikel ini adalah tentang media sosial sebagai media edukasi dan aktivisme secara informal.

Di masa lalu, web adalah alat transfer informasi satu arah karena konten sebagian besar diproduksi oleh para ahlinya, yakni mereka yang menerbitkan informasi faktual dan memiliki keterampilan untuk membuat laman web. Itu merupakan definisi dari web 1.0 yang contohnya adalah situs berita “cnn.com”. Pengguna hanya dapat melihat situs web tetapi tidak dapat memperbaiki, mengubah, atau menambahkan konten apa pun. Seiring teknologi berevolusi, web telah menjadi saluran universal yang interaktif dan partisipatif di mana pengguna diizinkan untuk menjadi produsen dan konsumen konten digital secara real time langsung melalui browser web.

Contoh web yang sangat interaktif dan mampu diubah oleh pengguna ialah Wikipedia.

Penggunaan media sosial dalam bidang edukasi terjadi saat ini yakni saat pandemi COVID-19 yakni dimana pembelajaran tatap muka di pendidikan formal ataupun non formal mengalami perubahan untuk sementara waktu menjadi pembelajaran daring melalui program perangkat lunak videotelepon seperti Zoom dan Google Meet. Sebelum adanya perpindahan pembelajaran tatap muka ini, di lingkup pendidikan non formal yang berupa lembaga bimbingan belajar terdapat bimbingan belajar secara online. Contohnya adalah Zenius Education dan Ruang Guru. Keterbatasan beberapa murid dalam mengelola waktu antara sekolah dan

(9)

202 bimbingan belajar secara tatap muka membuat bimbingan belajar mendapatkan poin unggul yakni mampu dijadikan platform pembelajaran yang efektif walaupun secara online. Bimbingan belajar secara online seperti contoh di atas menggunakan tenaga pendidik yang unggul yakni dari beberapa lulusan universitas ternama dengan keunggulan diri tenaga pendidik masing-masing.

Penggunaan media sosial di lingkup pendidikan non formal sudah disebutkan di atas.

Bagaimana dengan penggunaan media sosial di lingkup formal? Penggunaan media sosial dalam lingkup formal sebenarnya sudah sering dilakukan yakni dalam pencarian sumber daya pembelajaran yang tidak terbatas dari sumber yang berkredibilitas terpercaya. Pencarian yang tidak terbatas ini digunakan oleh siswa secara umum untuk melengkapi keperluan masing-masing siswa entah itu dalam melengkapi esai atau presentasi atau hanya sekedar pencarian suatu materi yang sebelumnya belum dipelajari di sekolah.Apabila penggunaan media sosial diberlakukan di dalam ruang kelas, guru perlu terus memantau siswa untuk mengetahui masalah apa pun yang dialami siswa tersebut. Memahami masalah, ketakutan, atau kebingungan siswa akan membantu fakultas lebih memahami kesulitan belajar siswa (Faizi, Afia, & Chiheb, 2013). Contoh media sosial dalam bidang edukasi yang dicontohkan adalah Brainly.

Brainly merupakan situs web belajar yang berbasis teknologi, dimana siswa menjadi seorang pengguna situs web menuliskan pertanyaan yang ingin mereka ketahui dan pengguna lainnya yakni siswa lain menjawab pertanyaan yang diajukan.

Brainly merupakan situs web yang sangat interaktif karena dirangkai oleh pembuatnya dengan slogan untuk siswa, dari siswa.

Di dalam kelebihan pasti ada kekurangan.

Setelah dijelaskan beberapa keuntungan dan contoh media sosial dalam bidang edukasi, berikut ini adalah contoh kekurangan dari penggunaan media sosial dalam bidang edukasi. Sebelumnya telah dijelaskan pentingnya monitor atau pengawasan oleh tenaga pendidik seperti guru terhadap siswa apabila penggunaan media sosial dibutuhkan. Keterbukaan hubungan komunikasi antar siswa dan guru pun harus dibentuk untuk meminimalisasi kejadian yang tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak di masa depan. Media Sosial merupakan cara efektif untuk meningkatkan keterlibatan siswa. Karena fitur sosial dari sumber daya media sosial telah menarik perhatian jutaan orang di seluruh dunia, fitur yang sama ini juga mampu menarik perhatian siswa terhadap peluang belajar yang

disediakan oleh institusi akademik mereka (Faizi, Afia, & Chiheb, 2013). Komunikasi yang baik antar siswa dan guru mampu membuat siswa lebih aktif dalam berpartisipasi dalam kelas tatap muka.

Menurut McLoughlin dan Lee (dalam Faizi, Aifa, &

Chiheb, 2013) menjelaskan bahwa Alat kolaboratif dan partisipatif seperti Wiki, blog, Google Docs dapat mendorong siswa untuk menjadi peserta aktif atau bahkan co-produser daripada konsumen pasif konten.

Kemampuan TikTok Sebagai Platform Edukasi dan Aktivisme

Menurut Zickhur (dalam Gruzd, Staves, dan Wilk 2012.) menjelaskan bahwa penggunaan media sosial seperti blog, wikis, dan situs jejaring sosial telah meningkat secara eksponensial, dan media semacam itu terus menjadi lebih terintegrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari.

Contoh media sosial termasuk situs jejaring sosial (mis., Facebook); wiki (misalnya, ruang wiki);

layanan berbagi media (mis., YouTube); alat blogging (mis., Blogger); layanan mikro-blogging (mis., Twitter); bookmark sosial (mis., Lezat); alat manajemen bibliografi (misalnya, Zotero); dan alat berbagi presentasi (mis., Slideshare) (Gruzd, Staves, dan Wilk 2012). Teknologi yang sangat berkembang dan keperluan manusia yang semakin tinggi menyebabkan media sosial terus berkembang pula dengan permintaan yang ada.

Hadirlah TikTok dengan keunikan dan karakteristiknya sendiri yakni, durasi videonya yang pendek, 15 atau 60 detik, yang mampu membuat pengguna mengakses aplikasi tersebut secara berulang-ulang karena durasi ini yang seolah-olah menghipnotis pengguna dengan kesenangan yang instan. Pembawaan TikTok yakni dengan iringan musik mampu membuat pengguna merasakan rasa senang yang bersifat adiktif dan menyebabkan pengguna terus menggulir konten-konten di dalam aplikasi tersebut.

Lalu, bagaimana cara pengguna mengakses genre konten tertentu yang ingin pengguna tonton atau ikuti? Cara kerja konten- konten di TikTok berdasarkan algoritme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, algoritme adalah prosedur sistematis untuk memecahkan masalah matematis dalam langkah- langkah terbatas. Menurut Christensson (2013) dalam TechTerms.com, Algoritme adalah sekumpulan instruksi yang dirancang untuk melakukan tugas tertentu. Algoritme menjadi proses sederhana, seperti mengalikan dua angka, atau operasi yang kompleks, seperti memutar file

(10)

203 video terkompresi. Mesin pencari menggunakan algoritme kepemilikan untuk menampilkan hasil yang paling relevan dari indeks pencarian mereka untuk permintaan tertentu. Algoritme digunakan di seluruh aplikasi media sosial, namun algoritme TikTok berbeda karena penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) nya yang mengatur jalannya algoritme TikTok dan algoritmenya yang bersifat lebih demokratis mampu membuat konten suatu pengguna menjadi viral. Pembuatan konten yang berupa video pun secara teknis sangat mudah. Pengguna dapat memilih musik dalam mesin pencari yang tersedia dalam fitur aplikasi dan bebas memilih sesuai keinginan pengguna. Pengguna pun dapat menyunting video mereka dengan gaya tulisan yang telah di sediakan dan penambahan efek video pun disediakan dalam fitur TikTok. Setelah merasa puas dengan konten video yang disunting, pengguna dapat menuliskan judul konten yang diinginkan dan dapat pula mencantumkan hashtag atau tagar. Menurut (Chang & Iyer, 2012), Hashtag adalah tag metadata yang diawali dengan simbol hash, #. Hashtag banyak digunakan pada layanan mikroblog dan berbagi foto seperti Twitter dan Instagram sebagai bentuk penandaan yang dibuat oleh pengguna yang memungkinkan referensi silang konten yang berbagi subjek atau tema. Contohnya, pencarian di Instagram untuk hashtag #cats mengembalikan semua posting yang telah diberi tag dengan hashtag tersebut. Setelah simbol hash awal, hashtag dapat mencakup huruf, angka, dan garis bawah. Algoritme akan berjalan dengan sendirinya sesuai dengan apa yang pengguna cari, entah berasal dari hashtag atau sekedar menuliskan suatu kata kunci pada mesin pencarian.

Setelah penjelasan singkat tentang cara kerja aplikasi TikTok, bagaimana cara platform ini digunakan dalam bidang edukasi dan aktivisme?

Edukasi dalam TikTok merupakan edukasi informal dimana ilmu-ilmu yang disajikan di dalam aplikasi ini bersifat umum ataupun spesifik tergantung konten apa yang disajikan oleh suatu pengguna. Salah satu contoh penyajian edukasi dan aktivisme dalam TikTok adalah dengan penggunaan hashtag untuk menjalani suatu kampanye. Dilansir dari Berita Lima, Beberapa waktu lalu lebih tepatnya pada bulan Oktober 2020, TikTok mengajak kreator untuk berbagi konten edukasi dalam kompetesi #TikTokPintar.

Kompetesi ini berhadiah ratusan juta rupiah dan para kreator dibebaskan untuk memberikan konten apapun namun dalam tema di bidang

edukasi. Entah itu dapat berupa pengetahuan umum, bisnis, fakta umum, tips dan trik, bahasa asing, hingga IPTEK. Adanya Pandemi COVID 19 yang menyebabkan pelarangan keluar rumah kecuali untuk hal penting-penting saja, membuat TikTok banyak diunduh dan digunakan oleh Generasi Milenial dan Generasi Z. Menurut laporan artikel yang di lansir oleh Deloitte Global Millenial Survey 2020, bahwa hampir tiga perempat responden (27.528 responden, keduanya generasi milenial dan generasi Z, dari 43 negara) mengatakan pandemi telah membuat mereka lebih bersimpati terhadap kebutuhan orang lain dan bahwa mereka berniat mengambil tindakan untuk memberi dampak positif pada komunitas mereka. Hal ini dapat tercerminkan dari penggunaan tagar #SamaSamaBelajar yang mendapatkan kurang lebih 20 juta tontonan oleh para pengguna. Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa terlepas dari tantangan individu dan sumber kecemasan pribadi yang dihadapi generasi milenial dan Gen Z, mereka tetap fokus pada masalah sosial yang lebih besar, baik sebelum maupun setelah dimulainya pandemi.

Jika ada, pandemi telah memperkuat keinginan mereka untuk membantu mendorong perubahan positif di komunitas mereka dan di seluruh dunia.

Dan mereka terus mendorong dunia di mana bisnis dan pemerintah mencerminkan komitmen yang sama kepada masyarakat, menempatkan orang di atas keuntungan dan memprioritaskan kelestarian lingkungan.

Algoritme dan tagar memiliki peran vital dalam media sosial yang menggunakannya.

Setelah membicarakan di bidang edukasi, bagaimana dalam bidang aktivisme? Sebelumnya telah dijelaskan di pendahuluan bahwa generasi yang paling banyak menggunakan TikTok adalah Generasi Z dalam rentang umur kelahiran tahun 1995-2010. Pengaruh Generasi Z saat ini sangat vital dikarenakan adanya globalisasi dan penggunaan teknologi yang masif. Ingat gerakan aktivisme Black Lives Matter dan protes kematian George Floyd pada bulan mei 2020? Ya, Tiktok berperan sangat penting dalam gerakan ini.

Sebelumnya gerakan Black Lives Matter atau BLM bermula sejak tahun 2013 dengan penggunaan tagar #BlackLivesMatter pertama kali di media sosial Facebook oleh Alicia Garza. Garza menuliskan kontennya di facebook pada tanggal 13 juli 2013 karena geram atas pembebasan George Zimmerman, seorang kulit putih, atas pembunuhan remaja kulit hitam yang tak bersenjata, Trayvon Martin. Dilansir dari National Geographic, Setahun kemudian, penembakan

(11)

204 Michael Brown, remaja kulit hitam lainnya yang tidak bersenjata, oleh seorang polisi kulit putih di Ferguson, Missouri, mendorong Black Lives Matter untuk menjadi organisasi nasional. Lalu, dengan kematian George Floyd, protes Black Lives Matter telah meletus di seluruh dunia dan kata-kata itu sendiri dilukis dengan huruf kuning besar di jalan menuju Gedung Putih.

Gambar 2. Mural Black Lives Matter di Washington, DC.

Alicia Garza bersama kedua rekannya yakni wanita kulit hitam lainnya, Patrisse Cullors dan Opal Tometi membentuk organisasi Black Lives Matter Global Network Foundation, Inc.

yakni sebuah organisasi global di AS, Inggris, dan Kanada, yang misinya adalah memberantas supremasi kulit putih dan membangun kekuatan lokal untuk campur tangan dalam kekerasan yang ditimbulkan pada komunitas Kulit Hitam oleh negara dan warga. Dilansir dari situs web Black Lives Matter, menjelaskan bahwa dengan memerangi dan melawan tindakan kekerasan ini, dapat menciptakan ruang untuk imajinasi dan inovasi kulit hitam, dan memusatkan kegembiraan kulit hitam, warga kulit hitam memenangkan peningkatan langsung dalam hidupnya.

Lalu apa yang dilakukan pengguna TikTok dalam gerakan aktivisme ini? Dilansir dari bbc.com, menjelaskan bahwa TikTok memiliki peran penting dalam Black Lives Matter, dengan mempopulerkannya sebagai tren di halaman Discover (halaman utama) dengan tagar yang disaksikan lebih dari 23 miliar kali. Salah satu konten video yang popular milik pengguna bernama Kareem Rahma dengan isi konten saat protes gerakan BLM di Minneapolis, daerah dimana Pembunuhan George Floyd oleh polisi bernama Derek Chauvin terjadi.

Gambar 3. Unggahan Video Pengguna TikTok Kareem Rahma

Unggahan video tersebut merupakan salah satu dari ribuan video lainnya dalam tagar

#blacklivesmatter di TikTok yang saat ini mencapai 23.8 miliar tontonan. Gerakan aktivisme yang terjadi di TikTok ini memunculkan perubahan yakni era baru aktivisme di dunia digital. Sebelumnya aktivisme di dunia digital sudah terjadi. Seperti di Twitter dengan penggunaan tagarnya untuk menginformasikan tentang suatu isu. Aktivisme digital dikuasai oleh Generasi Z karena dunia mereka yang sedari mereka lahir sudah terpapar oleh teknologi.

Gambar 4. Tagar BLM di TikTok

Di Indonesia sendiri, penggunaan aktivisme digital terjadi saat beberapa lalu yakni cuitan tagar di Twitter #ReformasiDikorupsi.

Dilansir dari Alinea.id, Generasi Z yang dikira apolitis akhirnya terlibat dalam aktivisme digital yang mengangkat isu korupsi, HAM dan isu sarat politik lainnya. Generasi Z bahkan memobilisasi massa untuk turun ke jalan dan melakukan aksi yang disebut-sebut sebagai aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998. Hasilnya, pengesahan sejumlah rancangan undang-undang ditunda. Adanya pandemi COVID 19, keterlibatan Gen-Z dalam aktivisme digital semakin tampak.

Kebijakan belajar dari rumah meningkatkan penggunaan internet dan memberikan banyak waktu untuk beraktivitas di media sosial. Hal itu

(12)

205 memperbesar kesempatan Generasi Z menjadi audiens atau bahkan partisipan sebuah aktivisme digital yang sedang berlangsung.

Hubungan Perspektif Konstruksionis Sosial dan Teori Interaksionisme Simbolik dengan Hasil Studi

Perspektif konstruksionis sosial berfokus pada bagaimana orang mengkonstruksi makna, a sense of self, dan dunia sosial melalui interaksi mereka satu sama lain (Hutchinson, 2014). Dari perspektif konstruksionis sosial, berakarlah sebuah teori interaksionisme simbolik yang dimana teori ini mengusulkan bahwa saat manusia berinteraksi, mereka mengembangkan simbol yang mereka lampirkan makna. Kata-kata adalah simbol, begitu pula tindikan, tato, bendera nasional, dan gaya busana (Hutchinson, 2014).

Dalam artikel ini, simbol yang dimaksudkan adalah TikTok dimana peran media sosial ini menjadi sarana orang-orang berinteraksi untuk tujuan yang sama yakni dalam pengumpulan ilmu baru dan melakukan gerakan sosial, berupa aktivisme.

Kunci dari hubungan antara perspektif dan teori ini dengan hasil studi adalah adanya interaksi sosial antar pengguna. Ada bukti yang menunjukkan bahwa interaksi sosial dengan orang lain yang dekat harus membawa manfaat terbesar (Sandstrom & Dunn, 2014). Dalam penelitian dari (Wheeler, Reis, & Nezlek, 1983), menunjukkan bahwa terlepas dari jenis kelamin mereka, orang- orang melaporkan bahwa mereka tidak terlalu kesepian ketika mereka memiliki interaksi yang lebih intim antar satu sama lain.

Adanya nteraksi sosial ini membentuk sebuah makna dan dalam makna tersebut, bagaimana individu menerjemahkannya ke nilai-nilai yang mereka anut. Bagi para konstruksionis sosial, tidak ada realitas objektif tunggal, tidak ada realitas sejati yang ada "di luar sana" di dunia.

Masing-masing individu memiliki realitas yang berbeda saat berinteraksi dalam konteks yang berbeda. Realitas dibentuk melalui interaksi sosial dan terus dibentuk kembali oleh interaksi sosial yang berkelanjutan (Hutchinson, 2014).

Beberapa konstruksionis sosial fokus pada kesadaran individu, Mereka melihat diri berkembang dari interpretasi interaksi sosial. Dari adanya perkembangan diri tersebut hadirlah konsep looking glass self oleh Cooley yang diartikan secara singkat “I am what I think you think I am.”

Penggunaan media sosial dalam bidang edukasi dan aktivisme oleh Generasi Z dilihat dari

perspektif konstruksionis sosial dan teori interaksionisme simbolik adalah para pengguna saling bertukar makna terlepas dari perbedaan mereka karena mereka lebih mementingkan orang lain daripada dirinya. Namun, walaupun mereka lebih mementingkan kepentingan orang lain, mereka mendapatkan kebutuhan emosionalnya yakni dengan membantu sesama.

Perbandingan Suatu Hasil Studi lain dengan Hasil Studi Ini

Salah satu studi lain yakni di dalam bidang edukasi berjudul “Social media and education: reconceptualizing the boundaries of formal and informal learning” atau “Media sosial dan pendidikan: merekonseptualisasikan batas- batas pembelajaran formal dan informal” oleh (Greenhow & Lewin, 2015). Dalam bagian ini penulis akan membandingkan hasil studinya dengan hasil studi oleh Greenhow dan Lewin.

Hasil studi Greenhow dan Lewin menunjukkan bahwa untuk mengintegrasikan pembelajaran formal dan informal dalam penggunaan media sosial, dibutuhkan suatu model. Oleh sebab itu, Greenhow dan Lewin membuat model pembelajaran singkat menggunakan gagasan konstruktivis sosial dan konektivis beserta karya Colley, Hodkinson, dan Malcolm (2003) yang menyatakan bahwa siswa dapat mempraktikkan pembelajaran dengan atribut formal, informal, dan non-formal di berbagai konteks dan cukup banyak latihan. otoritas atas bagaimana mereka belajar, kapan mereka belajar, dan dengan siapa.

Model Greenhow dan Lewin merangkum atribut yang diajukan oleh Colley, Hodkinson, dan Malcolm (2003), mengenali masalah yang timbul dalam mereduksi konsep kompleks menjadi serangkaian label. Misalnya, atribut seperti itu dapat diganggu gugat, diinterpretasikan secara berbeda, dan mungkin tidak sama pentingnya dalam konteks pembelajaran yang berbeda (Colley, Hodkinson, dan Malcolm 2003). Selain itu, 'beberapa dari "kutub yang berlawanan" mungkin benar-benar hidup berdampingan' (Colley, Hodkinson, dan Malcolm 2003). (Greenhow &

Lewin, 2015) menjelaskan bahwa mereka telah mengembangkan atribut lebih lanjut dengan mempertimbangkan atribut pembelajaran apa yang mungkin spesifik untuk konteks media sosial.

Model yang ditunjukkanpun dimaksudkan untuk menawarkan titik awal untuk diskusi daripada menjadi solusi yang telah ditentukan sebelumnya untuk masalah pemahaman kompleksitas pembelajaran. Dalam karya ini telah memungkinkan Greenhow dan Lewin untuk

(13)

206 mengusik dan mempermasalahkan dampak media sosial dalam konteks pendidikan.

Model yang dibuat oleh Greenhow dan Lewin diilustrasikan ke dalam penelitian di studi Eropa dan studi Amerika Serikat. Studi Eropa sepenuhnya berfokus pada penanaman media sosial di ruang kelas sekolah. Aktivitas dipimpin oleh guru kelas daripada minat siswa dalam penggunaan sosial media dalam kelas. Dapat dilihat bahwa ini merupakan pembelajaran secara formal. Sedangkan Studi AS menggambarkan bahwa komunitas yang dimulai dan dilihat oleh 'pakar', tetapi konten, tujuan, dan tindakannya sebagian besar didorong oleh kontribusi dari anggota jaringan. Studi AS dapat di ilustrasikan sebagai pembelajaran informal. Dalam kedua kasus tersebut, media sosial menawarkan peluang bagi kaum muda untuk memanfaatkan kekuatan jaringan dan mencari keahlian yang relevan.

Namun, penerapan penggunaan media sosial saja yang berbeda.

Jika di perbandingkan hasil studi ini dengan hasil studi penulis maka hasilnya adalah konsisten dan mendukung. Greenhow dan Lewin menulis tentang model yang mampu di diskusikan lebih lanjut dalam penggunaan media sosial di dalam pembelajaran formal dan informal. Apabila model Greenhow dan Lewin dikembangkan dan di diskusikan lebih lanjut, maka model yang dibuat ke depannya mampu menyokong pembelajaran informal seperti yang artikel ini tuliskan, yakni penggunaan TikTok dalam bidang edukasi maupun aktivisme.

Implikasi dari hasil studi ini digunakan untuk para pembaca yang ingin mengetahui apakah penggunaan media sosial berupa TikTok oleh Generasi Z mampu digunakan sebagai media positif yakni sebagai media edukasi dan aktivisme.

Manfaat penggunaan TikTok sebagai media edukasi dan aktivisme merupakan manfaat yang bagus dalam upaya mencari ilmu baru dan hal baru. Dikarenakan TikTok merupakan salah satu aplikasi yang mempu mengubah cara permainan media sosial sebelumnya dengan keunikan mereka yakni video berdurasi 15-60. Maka tidak heran dampaknya terhadap banyak sektor di dunia.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari artikel ini melalui studi pustaka adalah penggunaan media sosial di bidang pendidikan memang menguntungkan, namun perlu lebih banyak penelitian dan model lebih lanjut untuk penerapannya dalam

kegiatannya. Penggunaan media sosial tidak selalu buruk atau bersifat negatif. Apabila memiliki tujuan positif seperti melakukan aktivisme dengan cara menyebarluaskan informasi atau mengumpulkan ilmu baru yang bersifat sengaja maupun tidak disengaja.

Hasil studi ini menyatakan bahwa penggunaan sosial media TikTok oleh Generasi Z mampu mengembangkan suatu makna dan sense of self akibat dari interaksi sosial yang konstan sesama pengguna. Dengan adanya interaksi sosial,

masing-masing pengguna akan

menerjemahkannya sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut, lalu dari adanya pertukaran perspektif tersebut muncullah berbagai realitas dalam hidupnya. Karena masing-masing pengguna atau individu merupakan makhluk yang unik.

Saran penulis dalam penulisan artikel ini adalah pengembangan media sosial dalam bidang pendidikan maupun gerakan sosial sudah cukup luas dan baik untuk digunakan. Namun, apabila ada pengembangan dalam model yang bersifat sistematik dan mampu diaplikasikan secara utuh, maka akan lebih baik hasilnya bagi individu maupun komunitas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan artikel ini. Penulis pun berterima kasih kepada dirinya sendiri karena kuat bertahan dalam menyusun serta menulis artikel ini dengan jerih payahnya. Terima kasih juga ditujukan untuk Bu Nurliana Cipta Apsari, Bu Hetty Krisnani, dan Bu Binahayati selaku dosen mata kuliah Human Behavior and Social Environment. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada orang tua penulis karena mereka penulis mampu menulis artikel ini. Penulis juga ingin berterima kasih kepada teman-teman Kesejahteraan Sosial 2019 yakni Erika Putri, Nabila Nurul A., dan Farrelia Azzahra yang telah membantu penulis dalam menilik saran dan nasihat kepada penulis selama menyusun artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Algoritme (Def.1) (n.d) . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses Melalui

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/algorit me , 28 Desember 2020.

(14)

207 Berita Lima. (2020, Oktober 7). TikTok Ajak

Kreator Berbagi Konten Edukasi dalam Kompetisi #TikTokPintar. Retrieved from Berita Lima: https://beritalima.com/tiktok- ajak-kreator-berbagi-konten-edukasi- dalam-kompetisi-tiktokpintar/

Black Lives Matter. (n.d.). About. Retrieved December 2020, from Black Lives Matter:

https://blacklivesmatter.com/about/

Brainly. (2020). About Brainly. Retrieved from Brainly:

https://brainly.com/careers/about.html Byte Dance. (2012). Our Products. Retrieved from

ByteDance:

https://www.bytedance.com/en/products Chang, H.-C., & Iyer, H. (2012). Trends in Twitter

Hashtag Applications: Design Features for Value-Added Dimensions to Future Library Catalogues. Library Trends, 61(1), 248- 258.

Christensson. (2013, August 2). Algorithm Definition. Retrieved December 2020, from TechTerms:

https://techterms.com/definition/algorith m

Colley, H., P. Hodkinson, and J. Malcolm. 2003.

Informality and Formality in Learning: A Report for the Learning and Skills Research Centre. London: LSRC

Deloitte Global. (2020). Deloitte. Retrieved from The Deloitte Global Millennial Survey 2020 Millennials and Gen Zs hold the key to creating a “better normal”:

https://www2.deloitte.com/global/en/pag es/about-

deloitte/articles/millennialsurvey.html#

Faizi, R., Afia, A. E., & Chiheb, R. (2013).

Exploring the Potential Benefits of Using Social Media in Education . International Journal of Engineering Pedagogy, 50-53.

Francis, T., & Hoefel, F. (2018, November 12).

‘True Gen’: Generation Z and its implications for companies. Retrieved from McKinsey & Company:

https://www.mckinsey.com/industries/con sumer-packaged-goods/our-insights/true- gen-generation-z-and-its-implications-for- companies

Galer, S. S. (2020, Desember 23). Bagaimana TikTok mengubah dunia di 2020. Retrieved from BBC:

https://www.bbc.com/indonesia/vert-cul- 55421498

Greenhow, C., & Lewin, C. (2015). Social media and education: reconceptualizing the

boundaries of formal and informal

learning. Learning, Media and Technology, 1-25.

Gruzd, A., Staves, K., & Wilk, A. (2012).

Connected scholars: Examining the role of social media in research practices of faculty using the UTAUT model.

Computers in Human Behavior, 2340- 2350.

Hartigan, R. (2020, July 8). She co-founded Black Lives Matter. Here’s why she’s so hopeful for the future. Retrieved December 2020, from National Geographic:

https://www.nationalgeographic.com/hist ory/2020/07/alicia-garza-co-founded- black-lives-matter-why-future-hopeful/

Hutchinson, E. D. (2014). Dimensions of Human Behavior: Person and Environment.

Richmond, Virginia, USA: SAGE Publications.

IDN Times. (2020, Desember 17). 10 Aplikasi Paling Banyak Diunduh pada 2020, Siapa Nomor 1? Retrieved from IDN Times:

https://www.idntimes.com/tech/trend/izz a-namira-1/10-aplikasi-paling-banyak- diunduh-pada-2020-siapa-nomor/10 Kalia, G. (2013). A Research Paper on Social

media: An Innovative Educational Tool.

Issues and Ideas in Education, 43-50.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (n.d.). Definisi Algoritme. Retrieved December 2020, from Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/algorit me

Kietzmann, J. H., Hermkenz, K., McCarthy, I. P., &

Silvestre, B. S. (2011). Social media? Get serious! Understanding the functional building blocks of social media. Business Horizons, 241-251.

Malloy, D. (2020, July 26 ). Ozy. Retrieved from THE POWER OF TIKTOK:

https://www.ozy.com/news-and- politics/the-power-of-tiktok/362145/

Mao, J. (2014). Social media for learning: A mixed methods study on high school students’

technology affordances and perspectives.

Computers in Human Behavior, 213-223.

Sandstrom, G. M., & Dunn, E. W. (2014). Social Interactions and Well-Being: The Surprising Power of Weak Ties.

Personality and Social Psychology Bulletin, 40(7), 910-922.

Singh, D. A., & Dangmei, J. (2016).

UNDERSTANDING THE GENERATION Z:

(15)

208 THE FUTURE WORKFORCE . South Asian Journal of Multidisciplinary Studies (SAJMS), 1-5.

Warda, Y. S. (2020, Juni 29). Gen-Z dan aktivisme digital. Retrieved from Alinea:

https://www.alinea.id/kolom/gen-z-dan- aktivisme-digital-b1ZOR9vuZ

Wheeler, L., Reis, H., & Nezlek, J. (1983).

Loneliness, Social Interaction, and Sex Roles. Journal of Personality and Social Psychology, 45(4), 943-953.

(16)

150

Menanggulangi Dekadensi Moral Generasi Z Akibat Media Sosial Melalui Pendekatan Living Values Education (LVE)

Leli Patimah

1

, Yusuf Tri Herlambang

2

1,2

Universitas Pendidikan Indonesia

Corresponding e-mail: lelipatimah@upi.edu

1

; yusufth@upi.edu

2

Abstrak: Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang informasi seperti media sosial menjadi problematika baru. Ketidaksiapan masyarakat khususnya generasi z terhadap arus perkembangan tersebut menimbulkan distorsi perilaku, perbuatan serta akhlak seperti bullying, pergaulan bebas, pencurian, tawuran, miras dan narkoba, social media anxiety sampai pada kasus kematian akibat kekerasan. Hal tersebut merupakan gejala dari dekadensi moral yang banyak menyelimuti kalangan generasi z di Indonesia. Guna menanggulangi permasalahan tersebut living values education muncul sebagai salah satu pendekatan yang bisa digunakan oleh para pendidik, orangtua ataupun fasilitator yang bertujuan untuk meminimalisir dekadensi moral yang semakin hari semakin memprihatinkantan. Living values education menekankan pada pencarian makna hidup seseorang untuk lebih bernilai serta mengembangkan potensi agar menjadi manusia berkualitas dan menumbuhkan nilai – nilai kemanusiaan.

Kata Kunci: Dekadensi Moral, Generasi Z, Media sosial, Living Values Education.

Abstract: The rapid development of science and technology in the field of information such as social media is a new problem. The unpreparedness of the community, especially generation Z, to the current development causes distortion of behavior, actions and morals such as bullying, promiscuity, theft, brawl, alcohol and drugs, social media anxiety to cases of death due to violence. This is a symptom of the moral decadence that has surrounded generation z in Indonesia. In order to overcome these problems, living values education appears as an approach that can be used by educators, parents or facilitators with the aim of minimizing moral decadence, which is increasingly becoming a concern. Living values education emphasizes the search for the meaning of one's life to be more valuable and develop the potential to become a quality human being and foster human values.

Keywords: Moral Decadence, Generation Z, Social Media, Life Values Education.

©2021 –Ini adalah artikel dengan akses terbuka dibawah licenci CC BY-NC-4.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/ ) by penulis.

1 PENDAHULUAN

Peradaban dunia semakin hari semakin komprehensif akan berbagai kemajuan yang dikembangkan oleh manusia dari dahulu kala hingga sekarang. Eksistensi manusia sebagai makluk intelektual dimuka bumi menjadi pusat pergerakan perubahan dunia. Kemajuan teknologi

memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap konstelasi kehidupan. Beragam inovasi teknologi dikembangkan sesuai fungsi untuk memudahkan pekerjaan manusia. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi akses terpenting pada beradab abad 21. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan tantangan nyata pada era digital yang semakin hari semakin kompleks karena berbagai

(17)

151 bidang kehidupan membawa pengaruh-pengaruh yang bisa membuat perubahan di setiap sisi.

Teknologi informasi yang berkembang disesuaikan dengan kebutuhan aktivitas manusia.

Fitur yang digunakan akan semakin beragam guna menyeimbangkan pola yang terjadi di kehidupan.

(Setiawan, 2017:5)

Berkenaan dengan hal itu perlu kiranya manusia abad 21 sebagai makluk pemikir mengelaborasi fenomena kemajuan teknologi secara kafah dengan menyeimbangkan unsur-unsur didalamnya.

Kemampuan yang perlu dimiliki untuk menyimbangkan ilmu pengetahuan dengan skill abad 21 ialah keterampilan hidup dan berkarir, keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan teknologi dan media informasi (Wijaya, Sudjimat: 2016). Lebih lanjut pendapat tersebut dipertegas dengan standar kompetensi umum yang perlu dimiliki untuk kemampuan teknologi informasi dan komunikasi menurut menteri kentenagakerjaan republik Indonesia nomor 56 tahun 2018 ialah menggunakan perangkat komputer, menggunakan sistem operasi, menggunakan peralatan peripheral, menggunakan perangkat lunak pengolah kata, menggunakan perangkat lunak lembar sebar (spreadsheet), menggunakan perangkat lunak presentasi, menggunakan penelusur situs web (web

browser), menggunakan perangkat lunak

pengakses surat elektronik (e-mail client), menggunakan aplikasi berbasis internet (internet based applications literacy) dan menggunakan aplikasi media sosial.

Selain cerdas mengoperasikan perangkat lunak dan perangkat keras pada teknologi informasi dan komunikasi perlu kiranya manusia terkhusus generasi z bijaksana dalam menyerap informasi dunia dari berbagai aspek ekonomi, sosial dan budaya. Generasi z dikenal sebagai generasi yang sejak kecil sudah akrab dengan adanya teknologi informasi khususnya internet yang telah menjadi budaya menglobal, pandai menggunakan

gadget

dan salah satu generasi yang mampu melakukan beberapa aktivitas dalam satu waktu yang sama (multi tasking)

(Putra, 2016:130).

Dari perspektif berbeda generasi z merupakan generasi yang ketergentungan terhadap internet terutama media sosial, mereka senang terhadap kepopularitasan, mengumpulkan pengikut (followers) dan penyuka (like) pada unggahannya di media sosial. Durasi waktu

yang dihabiskan untuk mengonsumsi media sosial rata-rata sekitar 6 sampai 7 jam perhari, sedangkan 44% dari mereka memeriksa media sosial hampir setiap jam. (Mulyadi, Hasanah 2019)

“Secara pragmatis, perkembangan teknologi bersifat multiinterpretasi.

Pada perspektif tertentu teknologi telah dianggap mampu memberi makna dan manfaat bagi kehidupan manusia. Namun dalam perspektif berbeda teknologi telah dianggap sebagai penyebab bagi kehancuran kehidupan manusia” (Herlambang, 2018:129).

Akibat dari ketergantungan dan ketidakbijakan dalam menggunakan media sosial tersebut menimbulkan problematika baru yang mengarah pada aspek, ekonomi, sosial, budaya dan psikologi penggunanya.

Seiring dengan tuntutan era teknologi yang mengharuskan generasi z memiliki perangkat

smartphone

untuk menunjang aktivitas di media sosial dan eksistensinya. Atas dasar tersebut lingkungan mengharuskan seorang remaja memiliki

smartphone

agar diakui keberadaannya dilingkungan menimbulkan beragam masalah. Seperti pada kasus seorang remaja broken home di Surabaya terpaksa mencuri sebuah

smartphone dan uang tunai

dengan alasan ingin memiliki handphone baru.

Pelaku berinisial IKN berusia 17 tahun ini sudah melakukan hal tersebut kedua kalinya dengan membobol rumah tetangganya. Pelaku di laporkan kepada polsek tambak dan dijerat dengan pasal 362 KUPH dengan ancaman hukukamn diatas 5 tahun penjara (Wijayanto, dalam radarsurabaya.jawapos.com 2020).

Problematika lain dari aspek sosial

yang ditimbulkan akibat terlalu lama

mengonsumsi media sosial, kebanyakan

generasi z menjadi kurang cakap dalam

berkomunikasi di dunia nyata dan menjadi

pribadi yang individualistik. Meskipun pada

dasarnya media sosial dibangun untuk

berinteraksi dengan orang lain akan tetapi

interaksi tersebut dilakukan tanpa berhadapan

secara langsung. Contoh konkret yang bisa

dirasakan oleh kita ialah ketika berkumpul

bersama keluarga dalam satu ruangan, setiap

anggota keluarga cenderung sibuk dengan

smartphone nya masing-masing. Kegiatan

komunikasi yang seharusnya dibangun untuk

mempererat tali kasih sesama keluarga malah

(18)

152

maya dengan orang lain.seKEM

Perilaku diskomunikasi ini juga terjadi ketika berkumpul dan bercengkrama dengan teman lama atau teman baru, aktivitas interaksi sosial yang diharapkan tidak terjadi dengan baik.

Hampir setengah waktu yang dihabiskan dalam berkumpul dipakai berfoto ria untuk kebutuhan unggahan di media sosial. Akibat dari tindakan tersebut sering dilakukan serta menjadi budaya dan gaya baru generasi z dalam berkumpul, hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan kebutuhan manusia berinteraksi secara langsung menjadi tidak terpenuhi. Dampak lain yang muncul adalah etika berkomentar di media sosial tidak terkontrol. Banyak ditemukan kalimat tidak sopan, tidak senonoh dari pengguna yang mengakibatkan

cyberbullying.

Menurut data asosiasi penyelengara jasa internet Indonesia (APPJI) atas hasil survey tanggal 9 maret – 14 april 2019 sebanyak 49% pengguna pernah dibully. Sebanyak 31,6 persen di antaranya mengaku kerap membiarkan perlakuan tersebut dan tak melakukan apa-apa.

Sementara ada sebanyak 7,9 persen yang membalas perlakuan tersebut dengan tindakan bullying yang serupa. (asosiasi penyelengara jasa internet Indonesia APPJI:2019).

Salah satu kasus cyberbullying yang terjadi dan sempat ramai di media sosial adalah kasus yang menimpa siswi SMP berusia 14 tahun bernama Audrey di Pontianak, korban tidak hanya mendapatkan komentar buruk dimedia sosial tetapi juga mendapatkan penganiayaan oleh 6 pelaku siswi SMA. Akibat dari perilaku cyberbullying, korban mengalami trauma psikis yang cukup serius. Kasus Audrey ini menyorot perhatian presiden, kalangan artis dan masyarakat media sosial. Tagar justiceforaudrey sempat ramai di media twitter, Instagram, facebook dan line sebagi bentuk dukungan moral kepada korban Audrey.

Hukuman yang dijatuhkan kepada 6 pelaku siswi SMA ialah pelaku harus menjalani hukuman selama dua jam per hati setelah pulang sekolah selama tiga bulan. (Salis dalam Tribunnews.com:2019)

Ironinya lagi, konten-konten dewasa dan budaya barat dengan mudahnya masuk ke media sosial malah menjadi malapetaka. Sebagian besar pengguna internet Indonesia berusia 14 – 18 tahun dan kini mendominasi media sosial. Usia peralihan remaja ini memiliki keadaan psikologi yang masih labil, mereka sedang senang mencari jati diri.

Proses pencarian jati diri yang seringkali tidak diiringi dengan edukasi yang baik menimlkan

hal informasi yang mereka dapatkan tanpa memfilter terlebih dahulu, termasuk tayangan dan konten media sosial yang disuguhkan. Pada akhirnya proses pencarian jati diri ini, malah menimbulkan penyimpangan sosial yang cukup berat seperti seperti seks bebas, mengonsumsi miras dan narkoba demi kesenangan semata duniawi.

Berkaitan dengan fenomena problematika dekadensi moral di Indonesia yang sangat kompleks, perlu adanya rekonsiliansi untuk menangani, membimbing dan mendidik yang tepat kepada generasi z. Usaha yang dirancang untuk menanggulagi permasalahan dekadensi moral tersebut dengan menanamkan pendidikan living values education (LVE). LVE mengakomodasi kesempatan bagi anak-anak dan generasi muda,untuk menggali lebih dalam dan mengembangkan nilai-nilai universal, keterampilan sosial dan emosional, intrapersonal dan interpersonal. Lebih dalam lagi LVE juga membantu siswa dalam menyelesaikan masalah kehidupan pribadi sehari-hari. Tujuan yang didesain dari pendidikan nilai ini ialah memberi ruh kepada hal yang sudah ada, dan menyediakan alat untuk menyelami sebuah dampak dari suatu tindakan pada diri sendiri, orang lain dan masyarakat, serta mengelevasi kemampuan kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai tersebut.

Visi LVE ialah “mengkonseptualisasikan pendidikan yang mempromosikan pengembangan komunitas pembelajaran berbasis nilai dan menempatkan pencarian makna dan tujuan di jantung pendidikan. LVE menekankan nilai dan integritas setiap orang yang terlibat dalam penyediaan pendidikan, di rumah, sekolah, dan komunitas. Dalam memupuk pendidikan nilai yang berkualitas, LVE mendukung pengembangan individu secara keseluruhan dan budaya nilai-nilai positif di setiap masyarakat dan di seluruh dunia, percaya bahwa pendidikan adalah aktivitas yang bertujuan untuk membantu umat manusia berkembang”. (Association for Living Values Education International:2020).

LVE menanamkan 12 nilai kehidupan yang diupayakan dapat membangun peradaban dunia yang cinta akan kedamaian, memiliki rasa hormat dan toleransi, tanggung jawab dan kerja sama, kebahagiaan dan kejujuran, kerendahan hati dan kesederhanaan, serta kebebasan dan persatuan.

Nilai nilai tersebut diharapkan menjadi kompas sebagai acuan dalam memetakan perjalanan dan tujuan hidup seseorang agar lebih bermakna dan lebih luasnya lagi dapat membangun insan-insan manusia secara keseluruhan yang bermutu.

Pengimplementasian living values education terhadap fenomena dekadensi moral ini dibantu dengan intervensi antara orangtua ataupun pendidik agar menghasilkan nilai-nilai yang lebih

(19)

153 optimal dan memberi makna yang mendalam bagi pelaku dekadensi moral.

Tujuan dari penelitian ini ialah mengedukasi kepada para pembaca mengenai sebuah nilai bermakna dari asosiasi living values education, merekonsiliasi dekadensi moral di Indonesia, membantu menyadari bahwa setiap individu itu istimewa. Selanjutnya menyadari bahwa pendidikan adalah ruh dari sebuah peradaban yang maju.

2 METODE

Penelitan ini menggunakan library riset (Studi Kepustakaan). Penelitan ini termasuk kedalam jenis penelitian kualitatif, dengan cara mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan, membaca dan mencatat serta menganalisis segala sesuatu yang bersesuaian dengan tema yang akan diangkat yaitu menanggulangi dekadensi moral generasi z akibat dari media sosial melalui pendekatan living values education. Keseluruhan data yang diambil sesuai dengan tema penelitian yang sudah ditentukan sehingga ketika sudah terkumpul akan dilakukan sebuah analisis data, sehingga menghasilkan sebuah penelitan yang diharapkan oleh peneliti. Tahapan penelitian yang akan dilalui yaitu (1) Mengumpulkan bahan penelitian, (2) membaca bahan kepustakaan, (3) Membuat catatan penelitian, dan (4) Mengolah catatan penelitian, serta (5) menyimpulkan bahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Generasi Z Dan Perilakunya Di Media Sosial

Peradaban dan manusia memiliki korelasi yang erat kaitannya dengan membangun generasi yang beradab. Sebuah peradaban yang beradab ditandai dengan menghasilkan produk generasi pemikir dan kritis, berbudaya dan santun, berbudi pekerti dan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kehidupan. Dalam persfektif berbeda tidak ada peradaban yang sempurna, segelintir manusia dan generasi yang lain memiliki karakter yang tidak diharapkan sebuah peradaban.

Berpijak pada hal diatas, untuk membangun peradaban yang maju serta mempersiapkan generasi yang siap menjawab tantangan kehidupan perlu kiranya sebuah perhatian untuk memperhatikan karakteristik generasi yang medominasi saat ini. Mengingat bahwa pada rentang tahun 2020 sampai 2035 Indonesia mengalami bonus demografi dimana fenomena ini menjelaskan bahwa pada sat ini internetjumlah masyarakat Indonesia dengan usia

produktif yaitu dengan rentang umur 15-64 tahun jauh lebih banyak melebihi mereka yang termasuk dalam usia non-produktif (anak-anak dan lansia).

Karakteristik usia 15-64 khususnya generasi z atau generasi muda yang rentang usia dari 12-18 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada dasarnya generasi z ini sedang pada tahap pencarian jati diri.

Generasi z merupakan insan muda pencari jati diri yang sejak kecil lekat dan akrab dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Generasi ini disebut juga igeneration karena dalam perjalan berkembang dan bertumbuh dalam konstelasi kehidupan berdampingan dengan internet. Lebih lanjut karakteristik generasi z dijabarkan sebagai berikut.

a. Mereka bercengkrama dengan internet setiap hari.

b. Mereka menggunakan internet untuk kebutuhan jejaring sosial.

c. Mereka terkonetivitas secara global, pintar dan sebagian diantara mereka sangat menjujung tinggi makna toleransi.

d. Situs jejaring sosial menjadi platfrom utama untuk mereka berkomunikasi.

e. Konsumen informasi dari berbagai sumber di seluruh dunia.

f. Terampil dalam menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak media.

g. Memiliki pengikut (followers) yang jumlahnya ribuan di media sosial.

h. Dapat melakukan beragam aktivitas seperti mendengarkan musik dan menulis dalam satu waktu yang sama (multitasking).

i. Lebih cepat dalam pengambilan sebuah keputusan.

j. Mereka belajar, berteman dengan berbeda- beda latar belakang budaya, agama, sosial.

(Csobanka: 2016 dalam Nagy & Székely, 2012; Nagy, 2016)

Dari sisi berbeda menurut Csobanka (dalam buku Annamária Tari:2011) berpendapat sebagai sebirkut.

a. Generasi muda sekarang tidak memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat seperti generasi yang sebelumnya.

b. Mereka cerdas, akan tetapi dalam mencerna informasi sering kali hanya menerima informasi yang mereka pahami saja dan seringkali sulit memproses emosional dengan baik.

c. Mereka mampu bermultitasking, akan tetapi dalam menghafal atau memahami sesuatu cenderung sulit dan lama.

d. Berkepribadian lebih narsistik untuk kebutuhan media sosial mereka agar eksistensi mereka dalam jejaring sosial tersebut diakui, diketahui orang lain.

(20)

154 yang menyebabkan kurangnya ras empati terhadap orang lain.

f. Mengidolakan tokoh dalam media sosial atau bintang film, sehingga memengaruhi kepribadian atau gaya hidup yang cenderung hedonis.

g. Karena aktivitas mereka banyak dilakukan di media sosial, akibatnya semua konten yang disuguhkan cenderung tidak difilter, termasuk konten dewasa sehingga mereka melakukan bentuk tindakan yang ditayangkan.

Berdasarkan pernyataan di atas terdapat dua persfektif berbeda pada generasi z yang mana bila ditelaah kembali kedekatan antara generasi z dengan teknologi internet seperti dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila kemampuan dan karakteristik generasi z dalam menguasai dunia teknologi informasi dan komunikasi dapat dioptimalkan dengan baik, generasi ini akan menjadi generasi yang bisa mengubah tatanan kehidupan menjadi sebuah peradaban yang modern dengan segala kecanggihan teknologi yang diciptakan di dalamnya. Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, pemanfaatan teknologi internet, media komunikasi dan informasi oleh generasi z digunakan sebagai market berjualan. Sering kita temui para mahasiswa, anak SMA ataupun SMP saat ini ternyata mereka memiliki toko online di media sosial khusunya Instagram dan facebook, produk yang mereka jual biasanya produk skin care, makanan, pakaian, tas, aksesoris dan lain sebaginya. Fenomena lain yang menjadi bukti kehebatan generasi z dalam dunia internet ialah seorang peretas atau biasa disebut hacker.

Terkesan buruk jika kita mendengar kata hacker, akan tetapi jika kita lihat dalam sisi berbeda hacker bisa membantu meganalisa kelemahan dari suatu sistem, membantu menjaga keamaan sebuah sistem, mampu mengatasi gangguan yang diakibatkan oleh cracker (orang yang masuk ke sebuah sistem dengan tujuan negative atau merugikan). Keunggulan kemampuan ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menjaga sistem keamaan sebuah situs negara juga dapat membantu polisi dalam menganalisis, menangkap jaringan atau oknum-oknum illegal.

Dalam kacamata berbeda, sisi lain dari karakteristik genersi z yang akrab dengan internet dapat menjadi sebuah bencana bagi peradaban.

Ibarat pisau bermata dua yang bila mana digunakan dengan baik akan bermanfaat bagi banyak hal dan jika digunakan tidak baik menjadi malapetaka banyak hal. Internet bagi generasi z seperti jantung kehidupan mereka, yang kini menjadi kebutuhan primer. Bagaimana tidak hampir setiap saat benda yang mereka bawa adalah smartphone, dimanapun dan kapanpun. Akibatnya genersi z masa kini bermental instan, menginginkan segala sesuatu

makananpun banyak dari mereka yang memesan online atau istilah saat ini menyebutnya dengan go- food. Mereka menghabiskan setengah waktu nya dalam sehari untuk berinteraksi di media sosial, kecenderungan itu memunculkan pribadi yang narsistik dimana mereka terlalu mencintai diri sendiri sehingga keberadaan mereka di media sosial menjadi hal penting untuk dipublikasikan.

Konten-konten yang di konsumsi di media sosial memberikan dampak yang sangat berpengaruh pada pola perilaku di kehidupan sehari-hari.

Banyaknya konten di media sosial yang tidak mendidik penggunanya justru malah ditiru oleh penikmat konten tersebut, akibatnya generasi saat ini terjangkit krisis moral atau dekadensi moral.

Dekadensi moral ini ditandai dengan perilaku kurang baik seperti cyberbullying, seks bebas, pencurian, anti-sosial, tidak sopan terhadap orangtua, miras dan narkoba dan lain sebagainya.

3.2 Faktor Umum Dan Khusus Penyebab Dekadensi Moral

Pribahasa berkata tidak akan ada asap jika tidak ada api, sama halnya dengan fenomena dekadensi moral yang sekarang terjadi. Krisis moral yang menggerogoti bangsa kita saat ini pasti ada penyebab umum dan khusus yang perlu ditelaah agar dapat ditanggulangi dengan tepat. Dekadensi moral yang saat ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal yang cukup krusial sebagaimana dijelaskan pada hal dibawah ini.

Pertama, nilai-nilai pendidikan agama di rumah, sekolah atau lingkungan semakin luntur.

Lahirnya ilmu pengetahuan dunia yang dianggap begitu lengkap dan rasional atas segala hal yang terjadi dimuka bumi menjadi peyebab manusia untuk mengetahui segala informasi yang dibutuhkannya sehingga manusia terkadang melupakan hubungan vertikal dengan tuhan yang maha esa. Kemerosotan nilai-nilai agama ini menjadi penyebab seseorang melakukan sesuatu tanpa adanya regulasi, tanpa pedoman dan seolah- olah tindakan yang dilakukannya tidak akan dipertanggungjawabkan. Lunturnya nilai-nilai agama pada seseorang maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada dalam dirinya. Satu-satunya alat yang menjadi penyekat atau parameter seseorang untuk bertindak adalah norma yang ada di masyarakat dan segala sanksi yang mengaturnya. Akan tetapi biasanya, norma yang ada dimasyarakat tidak sekuat dengan pengawasan dari dalam diri. Sebagai contoh remaja saat ini sulit mengontrol komentar di media sosial, dengan mudahnya mereka menjadi cyberbullying, menjudge sebuah postingan yang tidak mereka sukai tanpa memikirkan akibat dari perbuatan mereka. Ketidakkuatan sistem pengontrol dalam diri menjadi pemicu seseorang untuk melakukan

Referensi

Dokumen terkait