Menanti Pendidikan (tidak) Gratis
Oleh TOTO T. SURIAATMADJA
PILGUB secara prosedural baru saja selesai digelar. Sebagai masyarakat, kita akan menunggu realisasi janji pendidikan gratis dari pasangan Hade. Pertanyaan kita adalah, apakah mungkin terselenggara pendidikan gratis di Jawa Barat? Adakah hambatan untuk merealisasikan janji tersebut?
Frasa "sekolah gratis" perlu dimaknai dengan hati-hati. Secara man in the street, sekolah gratis berarti sekolah yang tidak berbasis biaya, yaitu anak sekolah dari tingkat SD hingga SMA tidak akan dikenai biaya sekolah. Tidak akan dikenakan pembayaran iuran ini dan itu. Anak didik di Jawa Barat hanya cukup punya niat, tekad, dan kesungguhan untuk meraih prestasi sesuai standar atau bahkan di atas standar nasional.
Gebrakan ini sangat baik karena akan menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat yang saat ini menduduki ranking di luar sepuluh besar. Pencapaian IPM, sesungguhnya, tidak harus selalu dengan pendidikan gratis, karena tidak semua persoalan pendidikan terletak pada pembiayaan.
Melainkan bisa juga diakibatkan oleh faktor lain seperti masalah manusianya, sistem yang diterapkan, atau faktor manajemen. Baru kalau diketahui penyebabnya adalah masalah pembiayaan, maka pendidikan gratis menjadi sangat relevan.
Pendidikan gratis sebagaimana dipahami awam, sesungguhnya akan menyebabkan tidak berjalannya fungsi sosial para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk proses belajar mengajar. Gratis hanya dapat diartikan bahwa murid atau peserta didik tidak dikenakan wajib bayar (baik sifatnya wajib maupun sukarela). Oleh karena itu, pemaknaan gratis hanya dapat diterapkan pada ketiadaan komponen biaya bagi murid baik yang bersifat wajib maupun sukarela/sumbangan yang benar-benar free.
Dengan keadaan tersebut, ada kondisi yang bertentangan, tidak ada pemasukan dari murid tetapi ada yang harus dibiayai. Lalu dari mana sumber dana untuk memenuhi biaya tersebut?
Kalau dihubungkan dengan janji kampanye dari cagub/cawagub terpilih yang baru saja diumumkan oleh KPUD, maka sumber biaya harus dipenuhi oleh APBD. Mampukah? Mungkin saja, tetapi akan tergantung pada banyak kondisi.
Eksekutif vs legislatif
Sumber keuangan bagi penyelenggaraan pendidikan tidak selamanya berasal dari APBD/APBN karena ada juga yang berasal dari hibah/bantuan dari perorangan atau lembaga donor. Akan tetapi, harus diakui bahwa sebagian besar masih tetap berasal dari APBN/APBD.
Berbicara APBD, berarti kita berbicara hukum keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU No.
17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1 /2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam kedua aturan itu disebutkan, segala sesuatu yang menyangkut keuangan daerah harus melalui perda APBD yang merupakan produk bersama pemerintah daerah dan DPRD. Sampai pada kesimpulan ini tidak ada masalah sama sekali.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa DPRD adalah lembaga politik yang terdiri atas anggota politik sehingga proses yang ditempuh akan selalu terkait dengan kepentingan politik. Artinya, penyusunan APBD yang harus dalam bentuk perda tidak mungkin dapat melepaskan diri dari kalkulasi politik partai politik yang punya perwakilan.
Dalam tahapan ini, DPRD dapat menjadi penghambat sekaligus pendorong bagi terealisasinya kebijakan-kebijakan pemerintah daerah Jawa Barat yang memerlukan persetujuan DPRD. Keadaan ini akan lebih menarik bagi peminat politik apabila dihubungkan dengan prakondisi menghadapi Pemilu 2009 yang sudah pasti semua partai politik mau memberikan citra yang baik dalam membela
:: repository.unisba.ac.id ::
kepentingan konstituennya, sekaligus mengehendaki hasil sampingan yaitu buruknya citra partai politik lain.
Bahayanya adalah, apabila hasil sampingan tersebut mengenai partai politik yang menjadi basis kekuatan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat terpilih.
Luas wilayah
Provinsi Jawa Barat walaupun berada dekat dengan ibu kota tidak berarti sudah mapan dalam infrastruktur. Masih banyak daerah yang sampai saat ini masih harus dijangkau dengan berjalan kaki atau naik ojek sehingga tidak mengherankan kalau banyak daerah yang punya sekolah tidak memenuhi standar nasional. Hal tersebut lebih terasa kalau dihubungkan dengan kompetensi guru di daerah-derah.
Dengan tidak bermaksud merendahkan guru di daerah, fakta alir informasi lebih banyak didapatkan oleh guru yang berada di perkotaan.
Dengan demikian, untuk menyejajarkan kualifikasi dan kompetensi guru, sarana-prasana serta kelengkapan lainnya memerlukan anggaran yang lebih besar dan proporsional alokasinya. Dilihat dari alokasi anggaran, situasi tersebut akan memengaruhi besarnya anggaran yang harus disediakan. Selain itu, masih ada masalah lain yaitu tingkatan pemerintah daerah provinsi yaitu pemkab/pemkot yang masing-masing punya dinas teknis yang mengurusi pendidikan. Mata rantai sebagai akibat keadaan tersebut akan menambah panjang rentang antara provinsi dan tempat pendidikan diselenggarakan.
Dengan kata lain, semakin jauh daya kontrol provinsi untuk menerapkan kebijakan dalam pendidikan gratis.
Penerapan pendidikan gratis masih harus dilihat secara menyeluruh dalam sistem pendidikan di Indonesia, yaitu adanya pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan ada pula pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Yang satu disebut sekolah negeri, dan satunya dikenal sebagai sekolah swasta. Kalau pendidikan akan digratiskan, sudah pasti akan menambah beban APBD. Apakah hal ini dapat terjadi. Rasa-rasanya sangat berat sehingga pendidikan gratis tidak akan dapat secara keseluruhan free untuk semua sekolah.
Kemungkinan, penerapan kebijakan sekolah gratis secara total masih memerlukan pemikiran yang cukup serius, karena berbagai faktor baik politis, geografis, maupun keragaman. Pendidikan gratis yang free segalanya tidak mungkin terjadi, yang ada adalah beban pembiayaan pendidikan ikut menjadi beban APBD.
Namun demikian, adanya iktikad baik atau keinginan politik untuk itu, setidak-tidaknya dapat mendorong pewacanaan yang lebih luas di masyarakat, sehingga menimbulkan pola pikir bahwa sekolah tidak identik dengan keharusan membayar uang sekolah (wajib atau sukarela).
Kanggo Hade, wilujeng mancén tugas mugia tiasa ngalaksanakeun naon anu tos dijanjikeun dina kampanye, pangpangna pendidikan gratis. Ulah dugi ka pendidikan teu gratis. Wallahualam.***
Penulis, Guru Besar Fakultas Hukum/Pascasarjana Unisba.
Sumber:
Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 April 2008
http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=20408
:: repository.unisba.ac.id ::