• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of MENGGALI MAKNA PEMAAFAN HAKIM BAGI ANAK MELALUI RATIO LEGIS PASAL 70 UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of MENGGALI MAKNA PEMAAFAN HAKIM BAGI ANAK MELALUI RATIO LEGIS PASAL 70 UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

423 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2023 01602 10 Indonesia

https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena

MENGGALI MAKNA PEMAAFAN HAKIM BAGI ANAK MELALUI RATIO LEGIS PASAL 70 UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK

Nurini Aprilianda Universitas Brawijaya Jalan MT Haryono No. 169 Malang

Email: nurini.aprilianda@ub.ac.id

Disubmit: 10-07-2023 | Direview: 17-07-2023 | Diterima: 31-08-2023 Abstract

This research aims to discover the meaning of pardon given by the judge as governed in Article 70 of Law Number 11 of 2012 concerning the Judicial System of Juvenile Crime (henceforth referred to as Juvenile Law). The absence of further elucidation of Article 70 of Juvenile Law interrupts the settlement of the case handled by judges. Therefore, the value that the pardon carries in the Article needs to be further examined. This normative research uses statutory and conceptual approaches. The result shows that indicating that punishment, referring to Article 70 of Juvenile Law and imposed on a child, is given as the last resort that should take into account human values and the justice for children, philosophical bases, the values of Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia with the principle of child protection referred to as a benchmark.

Keywords: Judicial Pardon; Juvenile Criminal Justice System; Ratio Legis.

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menggali makna pemaafan hakim yang diatur dalam Pasal 70 UU Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Bila ditelaah lebih lanjut, Penjelasan Pasal 70 UU tersebut hanya memuat kata “Cukup jelas”.

Penelitian normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konsepetual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna dari pasal 70 UU SPPA adalah penghukuman kepada anak hanya dapat diterapkan sebagai upaya paling terakhir dengan mendasarkan nilai kemanusiaan dan keadilan bagi anak dengan mendasarkan pada dasar filosofis nilai- nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berpijak kepada keberlakuan prinsip perlindungan anak.

Kata Kunci : Pemaafan Hakim; Ratio legis; Sistem Peradilan Pidana Anak

(2)

Pendahuluan

Sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka perlindungan dan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan salah satu ciri yang melekat dalam negara hukum.

Dengan demikian menjadi kewajiban bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum memberikan pengakuan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, yakni hak dasar atau kewarganegaraan yang melekat pada individu sejak ia dilahirkan yang secara kodrat diberikan langsung oleh Tuhan yang tidak dapat dirampas dan dicabut serta keberadaannya wajib untuk dihormati.

Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia wajib diberikan kepada setiap manusia tanpa mengenal usia, jenis kelamin, hingga agama, sehingga perlindungan dan pengakuan terhadap HAM mutlak diberikan kepada seluruh manusia sebagai hak mendasar yang telah ia miliki sejak lahir, termasuk juga kepada anak.

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa tentu memiliki hak asasi layaknya manusia sebagaimana mestinya sehingga pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM anak wajib untuk dijamin dan diatur sedemikian rupa dalam ketentuan hukum yang berlaku. Pentingnya perlindungan HAM bagi anak tentu didasarkan pemahaman bahwa anak merupakan masa depan bangsa

1 Purwanto, Perlindungan Hukum terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia, Jurnal Idea Hukum, Vol. 6 No. 1, (Maret, 2020): 78.

2 Yory Fernando, Sejarah Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, Vol.

4, No. 4 (November 2020): 28.

dan generasi penerus dalam mewujudkan cita-cita bangsa, sehingga anak berhak untuk tumbuh, berkembang, serta perlindungan dari penghukuman yang tidak manusiawi dan penganiayaan.1

Upaya perlindungan bagi Anak bukan lagi merupakan isu nasional, namun terhadap jaminan terpenuhinya perlindungan anak telah menjadi perhatian masyarakat Internasional, hal ini tergambar dari terbentuknya Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child (CRC), konvensi yang digagas oleh Eglantyne Jeb pada tahun 1923 tersebut disahkan oleh PBB pada tanggal 20 November 1989.2 Dengan adanya konvensi tersebut mewajibkan negara yang mengakui dan meratifikasi untuk memberikan jaminan hak anak di setiap negara peratifikasi, Pemerintah Indonesia melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990 secara resmi meratifikasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, sehingga dengan dilakukannya ratifikasi konvensi hak anak di Indonesia, maka Pemerintah berkewajiban untuk menjamin dalam melindungi hak anak di Indonesia.

Sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap anak terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia pada tahun 1997 telah mengundangkan aturan terkait dengan penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

(3)

tentang Pengadilan Anak. Namun seiring dengan perkembangan masyarakat dan pengetahuan hukum pidana, maka Undang- Undang Pengadilan Anak dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, hal ini mengingat bahwa dalam ketentuan undang-undang tersebut belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga ketentuan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 dicabut dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur perlindungan bagi Anak secara lebih komprehensif, dimana dalam ketentuan Undang-Undang tersebut diatur pula terkait diversi dan pendekatan keadilan restoratif sebagai upaya perlindungan bagi anak. Pengaturan tersebut memberikan peluang agar anak tidak melanjutkan proses hukumnya dan terhindar dari pidana dan/atau tindakan, sehingga anak tidak terstigmatisasi.

Pendekatan restoratif juga sebagai pembatas bahwa pemberian sanksi atau tindakan bagi anak bukan sebagai sarana retributif.

Pendekatan restoratif dalam sistem peradilan pidana merupakan pendekatan yang digunakan mulai tahap awal hingga post ajudikasi.

Pasal 5 UU SPPA menegaskan Sistem Peradilan Pidana Anak melingkupi tahap

3 Bappenas, UNICEF, Pusakapa UI “Kesempatan Kedua dalam Hidup. Memulihkan kesempatan bagi anak dalam SPPA di Indonesia. Tekankan Pentingnya Keadilan Restoratif dalam Implementasi UU SPPA”. Siaran Pers Rabu, 04 November 2020.

penyidikan, penuntutan, persidangan anak, pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.

UU SPPA sebenarnya juga telah mengatur alternatif penyelesaian perkara anak melalui pemaafan hakim, tindakan dan pidana. Hal ini dapat dipahami karena penjara sebenarnya merupakan alternatif terakhir yang harus dipilih oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pada Anak. Namun demikian, Berdasarkan data penelitian Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan UNICEF dan PUSKAPA disebutkan sebanyak 90 persen anak yang diproses di pengadilan masih diputus dengan hukuman penjara, bahkan di antaranya terdapat anak di bawah usia 14 tahun.3 Demikian pula berdasarkan data yang diperoleh dari Mahkamah Agung tahun 2022, tercatat dari seluruh perkara anak yang masuk ke tingkat Kasasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, tidak satupun yang diselesaikan menggunakan Pemaafan Hakim sebagaimana dicantumkan Pasal 70 UU SPPA.

Pasal 70 UU SPPA mengatur bahwa,

“Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Namun disayangkan bahwa dalam praktik, Pasal 70 UU SPPA belum digunakan dengan baik oleh hakim, sampai

(4)

saat ini penulis baru dapat menemukan satu putusan hakim yang menerapkan pasal 70 dalam putusannya, yakni pada putusan Nomor 2/Pid-Sus-Anak/2021/PN.Rgt. Hakim belum memperhatikan arti penting dari Pasal 70 UU SPPA terkait pemaafan hakim. Bila ditelaah lebih lanjut, Penjelasan Pasal 70 UU SPPA hanya memuat kata “Cukup jelas”. Tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 70 UU SPPA justru menjadi penghambat bagi hakim dalam menyelesaikan perkara anak sehingga perlu digali nilai pemaafan hakim dalam pasal tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini menggali Makna Pemafaan Hakim Bagi Anak Melalui Ratio Legis Pasal 70 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan mendasarkan pada penelitian doktriner menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan, risalah, jurnal, dan lain-lain terkait isu hukum yang tergolong dalam bahan hukum primer maupun sekunder dan selanjutnya dianalisis menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi teleologis.

Pembahasan

A. Pengertian, Makna dan Perkembangan Judicial Pardon

Judicial Pardon atau yang sering

4 Adery Ardhan Saputro, Konsepsi Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim Dalam Rancangan KUHP, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 28, No. 1, (2016): 64.

5 Zamroni Thoif Jamal, Maafkanlah! Maka Kamu akan Sehat, (Yogyakarta: Pintu Hati), hlm.22.

dikenal dengan istilah Rechterlijk Pardon merupakan lembaga baru yang dikenal di dalam sistem peradilan pidana dimana dengan adanya Judicial Pardon dimungkinkan hakim untuk dapat menjatuhkan pemaafan kepada terpidana dengan mempertimbangkan beberapa hal yang didalamnya termasuk berat ringannya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

Secara etimologis istilah judicial pardon atau rechtelijk pardon dapat diartikan sebagai pemaafan yang diberikan oleh hakim atau pemaafan hakim, istilah pemaafan atau pengampunan pada dasarnya dapat diartikan pula kedalam beberapa bentuk istilah asing diantaranya “forgivenes”, “pardon”,

“mercy”, “amnesty” yang terhadap istilah tersebut bersifat fleksibel atau tidak memiliki permaknaan yang kaku, namun secara garis besar terminologi pemaafan tersebut dapat dimaknai dengan suatu pengampunan atas perbuatan yang bertentangan dengan legalitas peraturan perundang-undangan yang mendasarkan pada dasar keadilan dalam kehidupan masyarakat.4 Kata pemaafan memiliki implikasi yang besar, dimana seseorang akan merasa terbebaskan dari beban kesalahan dengan adanya permaafan atas perbuatan yang telah dia lakukan, memaafkan ini tidak hanya berupa tindakan lahiriah saja namun harus dengan komitmen untuk menerima tindakan memaafkan tersebut.5

(5)

Dengan demikian penerapan pemaafan hakim dalam sistem peradilan pidana memiliki makna bahwa benar hukum harus tetap ditegakan, namun dalam keadaan tertentu pemberian maaf (Forgiveness) dapat diberikan sehingga penjatuhan hukuman tidak perlu untuk dijatuhkan.6

Lebih lanjut Didalam ketentuan Black's Law Dictionary istilah Judicial sendiri dihubungkan dengan segala hal yang berkaitan erat dengan pengadilan dan segala jenis administrasi yang ada didalamnya sedangkan Pardon diartikan sebagai “An act of grace, proceeding from the power entrusted with the execution of the laws, which exempts the individual on whom it is bestowed from the punishment the law inflicts for a crime he has committed. It releases punishment and blots out the existence of guilt, so that in the eyes of the law the offender is as innocent as if he had never committed the offense”.7 Dengan demikian dapat dipahami bahwa istilah Pardon sendiri dapat dimaknai sebagai suatu tindakan atas kekuasaan yang dimiliki oleh hakim dalam keputusannya untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada individu atas perbuatan salah yang telah dilakukan.

Secara historis pemberian pengampunan atau pemaafan pada mulanya hanya dapat

6 Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum (Pemberian Abolisi Dalam perkara Mantan presiden Soeharto Tidak logis: Benarkah Itu), (Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2009), hlm. 67.

7 Henry Campbell Black, M. A., Black'slaw Dictionary:Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co., 1968), hlm.983.

8 Kathleen Dean Moor, Pardons Jutice, Mercy, and The Public Interest, (New York: Oxford University Press), hlm. 193.

9 Adery Ardhan Saputra, “Konsepsi Rechterlijk Pardon auat Pemaafan Hakim dalam Rancangan KUHP”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 28, No. 1, (Februari 2016);64, diakses tanggal 6 Agustus 2023, doi: https://doi.

org/10.22146/jmh.15867.

diberikan oleh kepala eksekutif pada suatu pemerintahan, yang terhadap hal tersebut dapat menghilangkan atau mengurangi hukuman yang sebagaimana telah dijatuhkan oleh pengadilan atau dengan pengampunan tersebut dapat mengubah hukuman dengan cara yang biasanya dianggap meringankan.8 Namun seiring perkembangan pemahaman serta pengetahuan atas pentingnya pemisahan kekuasaan (separation of power), maka saat ini keberadaan lembaga pemaafan telah dikenal pula dalam sistem peradilan terkhusus dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan istilah Judicial Pardon atau Rechterlijk Pardon. Jika menilik lebih jauh lagi maka hubungan antara pemidanaan dengan pemaafan telah diterapkan sejak code of Hamurabi, dimana adanya pengaturan keseimbangan antara kekauan legalitas dengan keadilan yang muncul dari masyarakat.9

Pada dasarnya Rechterlijk Pardon atau Judicial Pardon bukan merupakan bentuk upaya hukum sebagaimana yang dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana pada umumnya, namun penjatuhan pemaafan hakim ini bertujuan untuk meniadakan pidana demi menciptakan keadilan dan perlindungan anak. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Nico Keizer, dimana

(6)

konsep pemaafan hakim didasarkan bahwa banyaknya terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi apabila dijatuhkan pemidanaan maka akan bertentangan dengan rasa keadilan.10

Judicial Pardon juga merupakan proses dari keadilan restoratif, yang merupakan salah satu implementasi dari transitional justice.11 Keadilan ini menitikberatkan pada pemulihan atas kerugian yang dialami oleh korban dan pelaku bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Hal ini yang kemudian diakomodir dalam pasal 70 UU SPPA dan juga pada pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut sebagai KUHP Nasional).

B. Perkembangan Judicial Pardon serta Pengaturannya dalam ketentuan KUHP dan Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Konsep pemaafan sebagaimana yang diterapkan dalam pandangan Judicial Pardon telah lama dikenal dalam sistem pemaafan adat didalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam beberapa ketentuan hukum adat diberbagai daerah di Indonesia telah banyak mengatur terkait pola penyelesaian permasalahan dengan jalan memberikan maaf terhadap seseorang yang telah melanggar

10 Ibid, hlm. 63

11 Mufatikhatul Farikhah, “The Judicial Pardon Arrangement as a Method of Court Decision in the Reform of Indonesian Criminal Law Pricedure”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No 1, (2021): 4.

12 Mufatikhatul Farikhah, “Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Masyarakat Adat Indonesia”, Jurnal Media Hukum, Vol. 25, No . 1, (Juni, 2018): 87.

ketentuan adat yang berlaku yang mana pemberian maaf tersebut termasuk dalam salah satu jenis sanksi dalam hukum adat.

Untuk dapat tercapainya penyelesaian perkara dengan jalan pemaafan, maka seseorang yang melanggar ketentuan hukum adat tersebut berkewajiban untuk memohon maaf dan menyadari kesalahannya kepada korban dan keluarganya. Pola penyelesaian permasalahan dengan pemaafan dapat dilihat dalam mekanisme Mewari yang dikenal oleh masyarakat Lampung Menggala, Mewari merupakan suatu jenis putusan peradilan adat yang dikenal oleh masyarakat tradisional Lampung yakni pernyataan kesepakatan antara kedua belah pihak yang berselisih untuk dilakukan pengangkatan ikatan persaudaraan antara kedua belah pihak setelah penyelesaian secara damai atas pokok permasalahan, kemudian terhadap hal tersebut dilanjutkan dengan upacara mengikat tali persaudaraan.

Dengan telah diadakannya upacara tersebut maka untuk kedua belah pihak akan menjadi baik dan rukun sebagaimana halnya hubungan antar keluarga.12

Konsep pemaafan hakim atau Judicial Pardon dalam tataran sistem peradilan pidana Indonesia dapat dikatakan sebagai hal baru, dimana hakim diberikan kewenangan untuk memberikan pemaafan kepada pelaku kejahatan yang telah memenuhi unsur pidana dan telah terbukti melakukan tindak pidana

(7)

namun berdasarkan pertimbangan berat ringan atau keadaan pada waktu melakukan perbuatan pidana maka apabila dijatuhkan pidana akan mencederai keadilan dan kemanusiaan. Putusan atas pemaafan yang diberikan oleh hakim dalam konsep judicial pardon pada dasarnya saat ini tidak dikenal di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. KUHAP secara jelas telah membagi jenis putusan hakim kedalam 3 (tiga) jenis putusan diantaranya ialah putusan Bebas (Vrijspraak), Putusan Lepas (Ontslag van alle rechtsvervolging), dan putusan Pemidanaan (Veroordeling).

Putusan bebas (Vrijspraak) dapat terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan bebas dikeluarkan oleh Majelis Hakim karena dakwaan yang sebagaimana disusun dan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum didepan persidangan tersebut tidak terbukti berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP dan tidak adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana.13

Kemudian terhadap putusan lepas (Onslag) telah diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat 2 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa meskipun perbuatan yang didakwakan

13 Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2017), hlm. 330.

14 Ibid, hlm. 332

terbukti di pengadilan, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dimana dari pengaturan tersebut maka diketahui dua bentuk unsur dalam menjatuhkan putusan lepas kepada pelaku tindak pidana diantaranya ialah 1) apa yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan, 2) Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.14

Jenis putusan ketiga yang dikenal dalam hukum acara pidana ialah putusan pemidanaan (veroordeling), putusan pemidanaan atau menjatuhkan hukuman pidana kepada seseorang baru dapat dijatuhkan oleh hakim apabila terhadap dakwaan tersebut telah diuji di pengadilan dan terhadapnya telah terbukti serta hakim memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang sebagaimana telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dengan melihat tiga jenis putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim sebagaimana yang telah dikenal dan diatur dalam ketentuan KUHAP, maka terang hal ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan konsep pemaafan hakim judicial pardon yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan pemaafan kepada terdakwa, dimana dalam konsep pemaafan hakim memiliki kualifikasi yang berbeda dengan tiga jenis putusan sebagaimana

(8)

tersebut diatas. Konsep judicial pardon tidak dapat disejajarkan dengan putusan lepas hal ini mengingat Putusan judicial pardon dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindakan yang didakwakan dan terhadap perbuatan tersebut merupakan tindak pidana namun hakim diberikan kewenangan untuk mempertimbangkan berat ringan atau keadaan pelaku pada saat melakukan tindak kejahatan sehingga hakim dapat menjatuhkan pemaafan terhadapnya.

Seiring perkembangan pengaturan hukum pidana di Indonesia, maka dewasa ini Pemerintah Indonesia melalui ketentuan KUHP Nasional telah memberikan dasar aturan untuk dimungkinkannya diterapkan konsep pemaafan oleh hakim kepada terdakwa dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Konsep pemaafan hakim dalam KUHP Nasional tergambar dalam ketentuan Pasal 54 KUHP Nasional, adapun bunyi dari Pasal 54 KUHP Nasional ialah sebagai berikut :

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan :

a. bentuk kesalahan pelaku tindak pidana

b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana

c. sikap batin pelaku tindak pidana d. tindak pidana dilakukan dengan

15 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

direncanakan atau tidak direncanakan e. cara melakukan tindak pidana

f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban

j. pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban

k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.15

Dengan melihat ketentuan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional sebagaimana tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa melalui keberlakuan pasal tersebut hakim diberikan kewenangan untuk mempertimbangkan beberapa unsur sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 54 ayat 2 tersebut kepada terdakwa dan apabila terhadap pertimbangan tersebut hakim merasa penjatuhan pidana kepada terdakwa bertentangan dengan nilai keadilan dan kemanusiaan, maka berdasarkan

(9)

pasal tersebut hakim dapat tidak menjatuhkan pidana atau tindakan kepada terdakwa walaupun terhadap perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut telah terbukti. Proses tidak menjatuhkan pidana atau tindakan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana dengan didasarkan atas pertimbangan keadilan dan kemanusiaan serta ringan tidaknya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana dapat dikategorikan sebagai upaya pemaafan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa. Sehingga dengan adanya lembaga pemaafan hakim ini terdakwa dimungkinkan tidak menjalani pidana atau tindakan sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. Penerapan Judicial pardon juga merupakan salah satu upaya dalam mengatasi fenomena over capacity dilembaga pemasyarakatan.16

Ketentuan tersebut juga dituangkan dalam pasal 70 UU SPPA, yang ada sedikit perbedaaan pada frasa dan unsur-unsurnya, dimana dalam KUHP Nasional terdapat frasa pelaku, namun di UU SPPA diubah menjadi Anak. demikian juga dengan frasa “... dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan...”

di KUHP Nasional tegas disebutkan tidak mengenakan tindakan, sedangkan di UU SPPA frasa nya menjadi “.... dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan...”. Hal ini

16 Abdurrakhman Alhakim, “The Ideas of Rechterlijk Pardon as A restorative Justice Approach: From Vengeance to Recovery?”, Ganesha Law Review, Vol.5, No.1, (Mei 2023): 2.

17 Konsideran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

membutuhkan analisis dimana dengan frasa tersebut maka pilihan hakim ada dua yakni tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan. Hal ini berbeda dengan konsep Judicial Pardon yang dianut dalam KUHP Nasional.

C. Ratio Legis Judicial Pardon dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dasar diterapkannya konsep Judicial Pardon di dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari Politik Hukum atau arah kebijakan yang hendak dicapai oleh Pemerintah melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, apabila dikaji pada Konsideran menimbang KUHP Nasional jelas tergambar bahwa materi KUHP Nasional ditujukan untuk menciptakan keseimbangan kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, yang didalamnya mengatur pula perlindungan kepada pelaku dan korban tindak pidana, hal ini selaras dengan apa yang tertuang dalam Konsideran Menimbang huruf c yang pada intinya berbunyi “bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana…”17

Kemudian apabila kembali merujuk kedalam naskah akademik atas penyusunan

(10)

KUHP Nasional maka dapat ditemukan dasar pandangan atas diterapkannya konsep pemaafan hakim dalam ketentuan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional, dimana adanya asas Judicial Pardon dilatar belakangi oleh ide atau pokok pemikiran sebagai berikut :

1. Menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan

2. Sebagai unsur penyedia katup pengaman (veiligheids klep)

3. Sebagai bentuk koreksi judisial atas asas legalitas

4. Sebagai upaya pengimplementasian/

pengintegrasian nilai atau paradigma hikmah kebijaksanaan dalam pancasila 5. Sebagai bentuk implementasi atas tujuan

pemidanaan ke dalam syarat pemidanaan (mengingat dalam memberikan pemaafan hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan).

6. Jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya tindak pidana atau asas legalitas dan kesalahan, tetapi juga pada tujuan pemidanaan.18

Terlepas dari ketentuan KUHP Nasional, Secara Normatif Pengaturan pemaafan hakim sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional tersebut bukan hal yang baru dikenal dalam peradilan pidana di Indonesia. Konsep pemaafan hakim pada dasarnya telah lama dikenal di Indonesia yaitu dalam sistem peradilan pidana anak.

18 Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hlm. 30.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah lebih dahulu mengatur konsep pemaafan hakim (Judicial Pardon) sebagaimana tergambar dalam ketentuan Pasal 70 Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada dasarnya keberlakuan konsep pamaafan hakim didalam ketentuan KUHP Nasional dan UU SPPA memiliki dasaran filosofis yang sama, yakni hakim memiliki kewenangan dalam memberikan pertimbangan untuk memutus pengampunan kepada terdakwa yang pada dasarnya telah terbukti melakukan tindak pidana, namun berdasarkan pertimbangan berat ringannya perbuatan serta pertimbangan keadilan dan kemanusiaan maka pemaafan dapat dijatuhkan kepadanya dengan tidak menjatuhkan pidana (hukuman).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui ketentuan Pasal 70, memberikan kewenangan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pemidanaan atau tindakan dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi, serta dengan pertimbangan keadilan dan kemanusiaan. Bunyi lengkap dari ketentuan Pasal 70 UU SPPA ialah sebagai berikut :

“Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat

(11)

dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.19

Apabila melihat ketentuan Pasal 70 UU SPPA sebagaimana tersebut diatas memang tidak ditemukan sebuah frasa atau pernyataan secara tegas terkait dengan istilah “pemaafan hakim”, namun didalam ketentuan Pasal 70 UU SPPA secara jelas mengandung sebuah langkah progresif terkait dengan Judicial Pardon, hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal yang terkandung dimana hakim diberikan sebuah kewenangan untuk memutuskan tidak menjatuhkan pidana kepada Anak apabila dalam pertimbangannya hakim merasa apabila menjatuhkan hukuman akan dinilai tidak mencerminkan keadilan dan kemanusiaan.

Kewenangan untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada Anak tersebutlah yang mencerminkan telah terdapatnya konsep pemaafan hakim didalam ketentuan UU SPPA.

Lahirnya ketentuan Pasal 70 UU SPPA tidak terlepas dari politik hukum atas terbentuknya Undang-Undang SPPA secara umum, dimana ketentuan UU SPPA lahir untuk memberikan perlindungan bagi Anak secara khusus dalam proses sistem peradilan, hal ini mendasarkan pula pada ketentuan Convention on the rights

19 Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

20 Arif & Ambarsari, Penerapan Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Al-Adl:

Jurnal Hukum Vol. 10, No. 2, (2018): 174.

21 Anonymous, “Naskah akademik rancangan undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Peradilan pidana Anak – Part A”. https://berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20201027-112729-4810.pdf, hlm.

38-39, diakses tanggal 1 Agustus 2023.

of the child yang telah mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Sehingga dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sebisa mungkin untuk tidak menjatuhkan hukuman, hal ini mengingat bahwa untuk kejahatan tertentu, terkadang penjatuhan pidana tidak selalu dianggap tepat untuk memperbaiki keadaan serta kondisi pelaku, terutama pada anak-anak yang pada dasarnya masih dalam masa pertumbuhan.20

Pada prinsipnya, adanya pembatasan penghukuman bagi anak memiliki makna bahwa penghukuman bagi anak bukan semata-mata untuk menghukum, namun lebih bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki prilaku anak. Penerapan diversi dan judicial pardon sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan anak dari proses dalam sistem peradilan pidana sekaligus menghindarkan anak dari penghukuman yang membawa dampak negatif bagi anak.21 Penghukuman yang secara umum dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan tidak membuat pelakunya menjadi lebih baik, karena tujuan awal dari adanya lembaga pemasyarakatan adalah memberikan efek jera, namun sebaliknya saat ini terjadi kelebihan kapasitas serta adanya fakta bahwa pelaku yang telah dihukum juga melakukan kembali

(12)

perbuatannya setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan (residive).22

Mengingat perampasan kemerdekaan pada anak merupakan “measure of the last resort23 maka penjatuhan pidana kepada anak harus diletakan sebagai upaya terakhir, sehingga ketentuan UU SPPA sejatinya telah menunjukan bahwa terdapat sarana lain selain hukuman sebagai sarana penanggulangan kejahatan.24 Hal ini terlihat dengan kewajiban melaksanakan diversi terlbih dahulu kepada Anak pada setiap tingkat pemeriksaan baik dari proses penyidikan hingga proses persidangan, serta diaturnya kewenangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana kepada anak apabila dalam pertibangannya dengan dijatuhkan hukuman akan menciderai keadilan dan kemanusiaan. Tentu penerapan sistem peradilan pidana anak tersebut harus dilaksanakan dan diaplikasikan sesuai dengan ketentuan asas-asas sebagaimana yang tercantum dalam UU SPPA yang diantaranya ialah sebagai berikut :

a. Perlindungan;

b. Keadilan;

c. Tanpa Diskriminasi d. Kepentingan terbaik anak;

e. Menghormati pendapat anak;

f. Kelangsungan hidup dan perkembangan

22 Sagung Putri M.E. Purwani dan Putu Mery Lusyana Dewi, “Judicial Pardon: Renewal of Criminal Law Towards Minor Criminal Offense”, Yustisia Jurnal Hukum Vo.10, No.3, (2021): 417, diakses tanggal 10 Agustus 2023, doi: https://doi.org/10.20961/yustisia.v10i3.55347.

23 Anonymous, “Keterangan Presiden Atas Rancangan Undang-undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta, 28 Maret 2021”. https://berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20201027-113543-3412.pdf, hal. 3, diakses tanggal 3 Agustus 2023.

24 Guntarto Widodo, “Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan pidana Anak”, Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 6, No. 1, (2016): 58.

25 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

anak;

g. Pembinaan dan pembimbingan anak;

h. Proporsional;

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;

j. Penghindaran pembalasan.25

Mengingat bahwa perampasan kemerdekaan dan pemidanaan diletakan sebagai upaya terakhir, maka konsep pemaafan hakim menjadi penting untuk dituangkan dalam ketentuan UU SPPA sebagai sebuah dasar perwujudan prinsip penjatuhan pidana kepada anak merupakan upaya atau cara terakhir yang dapat dipilih dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Anak. Tentu kehadiran 70 UU SPPA pun sejatinya tidak dapat dilepaskan dari amanat konstitusi yang menggambarkan bahwa anak memiliki peran strategis yang telah dikemukakan secara tegas bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sehingga jelas bahwa kepentingan terbaik bagi anak perlu untuk dijunjung tinggi dengan mendasarkan pada nilai kemanusiaan dan keadilan bagi anak.

Menghindari anak dari perampasan kemerdekaan juga menjadi salah satu cara

(13)

menghindarkan anak dari dampak buruk lembaga pemasyarakatan (lapas), berbagai faktor baik external dan internal sangat berpengaruh pada perkembangan Napi anak di lapas26. Sarana dan prasarana yang ada di lembaga pemasyarakatan anak dan balai pemasyarakatan menjadi salah satu hal penting, dimana saat ini tidak semua kabupaten/kota memiliki lapas khusus anak, sehingga menyebabkan beberapa napi anak di titipkan di lapas dewasa, hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada perkembangan anak.

Selain itu makanan/minuman, pendidikan dan pelatihan, kesehatan, keamanan dan rasa aman, agama serta komunikasi dengan keluarga dan masyarakat menjadi hal yang penting untuk perkembangan anak, dan hal tersebut akan sulit diperoleh ketika anak menjadi Napi di lapas, sehingga sedapat mungkin anaka kembali ke orang tua dan masyarakat. Hazairin berpendapat bahwa sebenarnya di Indonesia tidak diperlukan lagi penerapan pidana penjara, hal ini dikarenakan penjara memiliki banyak kekuarangan, sejalan dengan itu Herman Bianchi secara extrem berpendapat bahwa lembaga penjara dan penjara harus dihapuskan karena banyak sisi gelap yang muncul dari adanya lembaga penjara.27

Dengan melihat ketentuan Pasal 70 UU SPPA sebagaimana tersebut diatas menggambarkan bahwa hakim dimungkinkan

26 Naskah akademik randangan undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Peradilan pidana Anak, Op.Cit., hal. 47.

27 M.Holy One N. Singadimedja, “Mencari Kemungkinan Judicial Pardon Sebagai salah satu Alternatif Bentuk Pemidanaan”, Jurnal Ilmiah Rinjani Vol.9 No.1, (2021): 44-45, diakses tanggal 10 Agustus 2023, doi: https://

doi.org/10.53952/jir.v9i1.300.

untuk tidak menjatuhkan hukuman baik pemidanaan ataupun tindakan kepada anak apabila berdasarkan pertimbangannya dalam beberapa hal diantaranya

1. perbuatan yang dilakukan oleh anak ialah termasuk dalam tindak pidana ringan.

Dalam unsur pertama ini ringannya perbuatan sejatinya mengacu pada kejahatan yang sifatnya ringan, dan apabila mengembalikan kepada ketentuan asas penjatuhan pidana bagi anak adalah upaya terakhir, maka menjadi wajar bahwa perlu adanya solusi atau upaya penyelesaian yang lebih mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, baik hal itu melalui penyelesaian diversi ataupun melalui pemaafan hakim.

2. pertimbangan atas keadaan pribadi anak pada saat melakukan tindakan pidana tersebut. Dalam hal ini pertimbangan diletakan kepada aspek individu anak yang melakukan tindak pidana, yang dapat dilihat dengan menelusuri latar belakang anak atau asal-usul anak terhadap keluarganya dan kehidupan di tengah masyarakat. Dimana dalam menentukan hal ini dapat pula dilakukan dengan bantuan ahli dalam bidang psikologi atau karakterlogi, hal ini mengingat bahwa pelaku masih anak maka perlu untuk memperhatikan keadaan pribadi sang anak.

(14)

3. pertimbangan atas keadaan tertentu pada waktu dilakukannya perbuatan oleh anak. Dalam unsur ini sejatinya melihat kondisi yang mengikuti anak pada saat melakukan tindak pidana dan dalam unsur ini pula perlu digali apakah anak dalam melakukan merupakan bentuk dari pengulangan tindak pidana atau bukan, serya apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak tersebut merupakan hasil dari perancanaan terlebih dahulu atau tidak, dan juga perlu untuk dipertimbangkan terkait dengan kerugian yang diderita oleh korban akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

4. pertimbangan dari nilai keadilan dan pertimbangan dari nilai kemanusiaan.

Pada pertimbangan nilai keadilan dan kemanusiaan sejatinya memiliki makna dan arti yang sangat luas, dimana keadilan merupakan salah satu tujuan hukum selain dari nilai kepastian dan kemanfaatan, sehingga secara ideal hukum sudah seharusnya memuat keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, sehingga hal ini memberikan kepastian bagi masyarakat terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Oleh dengan demikian maka pertimbangan nilai keadilan dan kemanusiaan memiliki peranan yang penting dalam meyakinkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana (hukuman)

28 Chairul Huda, dalam Ridwan Suryawan, “Asas Rechtelijk Pardon (Judicial Pardon) dalam Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia”, Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology Vol.2, No.3, (November, 2021);172.

kepada anak yang secara nyata telah terbukti melakukan tindak pidana.

Keempat bentuk dasar pertimbangan yang dapat digunakan oleh hakim dalam memutus pemaafan bagi anak yang melakukan tindak pidana, jelas memiliki makna bahwa penghukuman kepada anak hanya dapat diterapkan sebagai upaya paling terakhir dengan mendasarkan nilai kemanusaiaan dan keadilan bagi anak. Apabila perbuatan yang dilakukan oleh anak tersebut sangat ringan yang sudah seharusnya apabila anak tersebut dijatuhkan hukuman baik pemidanaan ataupun tindakan akan bertentangan dengan rasa keadilan yakni tidak menciptakan keseimbangan antara perbuatan dengan hukuman yang didapatkan, maka melalui pasal 70 UU SPPA ini lah hakim diberikan hak untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada anak. Judicial pardon dapat dijatuhkan sepanjang hakim berpandangan bahwa bobot kesalahan terdakwa sudah cukup, tanpa harus menetapkan lebih lanjut dengan pidana waktu tertentu, secara faktual hal ini hanya dapat diberikan pada kasus tertentu dan bersifat trivial case.28

Pasal 70 UU SPPA memiliki beberapa hal yang perlu dipedomani untuk dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan untuk tidak menghukum anak yang telah terbukti melakukan tindak pidana, maka hal ini sejalan dengan teori integratif yang memiliki makna bahwa tujuan hukum tak lain untuk harga diri,

(15)

kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia, dengan menempatkan resolusi yang tidak hanya menekankan bahwa aturan hanya sebagai perekam aktif kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tetapi dalam hal ini lebih menekankan pada kenyataan bahwa hukum pada hakekatnya terdiri dari morma dan nilai semabaimana disebut sebagai karakter tripartit Indonesia, serta apabila pelaku tindak pidana tidak menyadari bahwa kejahatan yang dilakukan akan menimbulkan kerugin yang sangat besar maka pidana penjara juga tidak pantas untuk dikenakan.

Judicial Pardon yang juga dapat dikatakan sebagai salah satu proses restoratif justice selaras dengan tujuan yang dikemukakan pembentuk UU SPPA, dimana peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif memiliki tujuan antara lain:29

a. mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;

b. mengutamakan penyelesaiakan diluar proses peradilan;

c. menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;

d. menanamkan rasa tanggung jawab anak;

e. mewujudkan kesejahteraan anak;

f. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

g. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

h. menghindari stigma negatif;

29 Anonymous, “Naskah akademik randangan undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Peradilan pidana Anak – Part A”, Op. Cit., hlm. 49.

30 Anonymous, “Naskah akademik rancangan undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Peradilan pidana Anak - Part B”. https://berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20201027-112843-4329.pdf, hlm.

81, diakses 1 Agustus 2023.

i. meningkatkan ketrampilan hidup anak.

Jika melihat tujuan diatas, maka hal tersebut juga sesuai dengan tujuan adanya putusan Judicial pardon untuk yang berkonflik dengan hukum.

Keberlakuan ketentuan Pasal 70 UU SPPA juga selaras dengan apa yang telah diatur dalam The Beijing Rules, Resolusi No. 40/33, 1985 yang memiliki prinsip bahwa kehilangan kebebasan tidak dapat dikenakan kecuali diputuskan atas suatu tindakan yang serius dan melibatkan kekerasan terhadap orang lain atau atas ketetapan dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang serius lainnya dan kecuali tidak ada jawaban lain yang memadai.30

Dengan terdapatnya Prinsip penuntutan sebagaimana yang diatur dalam The Beijing Rules tersebut sangat menggambarkan makna bahwa upaya pemidanaan kepada anak yang bersifat menghilangkan kebebasan hanya dapat diterapkan apabila terdapat putusan atas suatu tindakan yang serius dan melibatkan kekerasan terhadap orang lain. Hal ini menjadi wajar bahwa apabila tindakan yang dilakukan oleh anak bersifat ringan maka sejauh mungkin upaya pemidanaan dan penghukuman harus diletakan sebagai upaya terakhir.

Prinsip umum yang terkandung dalam The Beijing Rules tersebut merupakan salah satu dasar pijakan atas penerapan konsep pemaafan hakim (Rechterlijk Pardon) dalam ketentuan

(16)

Pasal 70 UU SPPA. Hal ini menjadi logis mengingat dengan adanya lembaga pemaafan hakim sebagaimana dalam ketentuan Pasal 70 UU SPPA upaya penghukuman kepada anak menjadi pilihan terakhir apabila hakim dalam pertimbangannya merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh anak bersifat ringan, sehingga hal ini selaras dengan prinsip penuntutan yang terkandung dalam Beijing Rules yang menyatakan bahwa kehilangan kebebasan pribadi tidak dapat dikenakan kecuali anak diputus vonisnya atas suatu tindakan yang serius.

Kemudian secara filosofis lahirnya konsep pemaafan hakim sebagaimana yang terkandung dalam ketentuan Pasal 70 UU SPPA tersebut tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Dimana apabila memahami makna serta nilai yang terkandung dalam ketentuan Sila ke 2 Pancasila yang menyatakan bahwa “Kemanusiaan yang adil dan beradab” tak lain merupakan kesadaran atas sikap moral dan tingkah laku manusia yang terhadap hal tersebut didasarkan pada potensi hati nurani manusia dalam hubungan dengan norma dan kebudayaan. Sehingga beberapa bentuk pengamalan pada pancasila sila ke 2 diantaranya adalah :

Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, dan sebagainya.

Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

31 BPIP, “Pentingnya Pengamalan Pancasila Sila Ke-2 di Lingkungan Masyarakat”. https://bpip.

go.id/berita/991/582/pentingnya-pengamalan-pancasila-sila-ke-2-di-lingkungan-masyarakat.

html#:~:text=Sila%20ke%2D2%20%E2%80%9CKemanusiaan%20yang,dengan%20norma%2Dnorma%20 dan%20kebudayaan, diakses pada 6 April 2023.

Berani membela kebenaran dan Keadilan.31 Mengacu pada 3 (tiga) bentuk pengamalan sila ke 2 pancasila tersebut diatas jelas tergambar bahwa pengakuan atas persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban harus diberikan dan diterapkan kepada setiap manusia tanpa memandang suku ras budaya ataupun usia. Bila merujuk kembali kepada ketentuan Pasal 70 UU SPPA yang menganut konsep pemaafan hakim memberikan legitimasi kepada hak anak dalam memperoleh keadilan dengan menjunjung nilai kemanusiaan dalam proses penjatuhan hukuman pemidanaan atau tindakan, sehingga sesuai dengan prinsip yang diakui masyarakat internasional bahwa pemidanaan kepada anak hanya dapat diterapkan apabila terdapat vonis atas kasus yang serius, maka terhadap kasus ringan yang dilakukan anak sudah seharusnya anak diberikan pemaafan oleh hakim sebagai hak yang sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 70 UU SPPA.

Lahirnya ketentuan Pasal 70 UU SPPA tersebut mengandung nilai filosofis yakni demi terciptanya kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mengakui persamaan derajat dan menjunjung tinggi nilai keadilan serta kemanusiaan yang selaras dengan bunyi ketentuan Pasal 70 UU SPPA dimana hakim dapat mempertimbangkan ringannya perbuatan anak, keadaan anak saat melakukannya, Kemanusiaan serta Keadilan bagi anak.

Apabila mengkaji konsep keadilan

(17)

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ulpianus, dimana keadilan akan tercapai apabila memberikan hak kepada seseorang yang berhak untuk menerimanya (justitia est constant et perpetua voluntas ius suum cuique),32 maka apabila melihat salah satu hak yang dimiliki dan harus dipenuhi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum ialah

“tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali hal tersebut sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang singkat” sehingga jelas bahwa hadirnya pasal 70 UU SPPA yang memberikan hak kepada hakim untuk mempertimbangkan pemberian pemaafan atas perbuatan ringan yang dilakukan anak mengandung nilai keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ulpianus, dimana dengan adanya lembaga pemaafan hakim diharapkan hak anak atas penjatuhan pidana sebagai upaya terakhir menjadi terwujud, dengan demikian maka tentu pemaafan hakim dapat mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dalam memperoleh keadilan dengan dasar pertimbangan kemanusiaan

Simpulan

Keberlakuan Pasal 70 UU SPPA sebagai

32 Nindyo Pramono dan Sularto, Hukum Kepailitan dan Keadilan Pancasila Kajian Filsafat Hukum atas Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia, (Jakarta: ANDI, 2017), hlm. 20.

dasar penerapan konsep Judicial Pardon atau Pemaafan yang diberikan oleh hakim kepada Anak dengan mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya, 1) perbuatan yang dilakukan oleh anak ialah termasuk dalam tindak pidana ringan. 2) pertimbangan atas keadaan pribadi anak pada saat melakukan tindakan pidana tersebut, 3) pertimbangan atas keadaan tertentu pada waktu dilakukannya perbuatan oleh anak, 4) pertimbangan dari nilai keadilan 5) pertimbangan dari nilai kemanusiaan. Sehingga makna yang dapat digali dari ketentuan Pasal 70 UU SPPA adalah, penghukuman kepada anak hanya dapat diterapkan sebagai upaya paling terakhir dengan mendasarkan nilai kemanusiaan dan keadilan bagi anak dengan mendasarkan pada nilai nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berpijak kepada keberlakuan The Beijing Rules, selain itu juga menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, dimana menempatkan anak dalam lembaga pemasyarakatan memberikan berbagai dampak negatif pada perkembangan anak sekaligus mempengaruhi masa depan anak.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Black, Henry Campbell. Black'slaw Dictionary:Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern.

ST. Paul, Minn: West Publishing Co., 1968.

Draft Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP),

(18)

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Jamal, Zamroni Thoif. Maafkanlah! Maka Kamu akan Sehat. Yogyakarta: Pintu Hati.

Konsideran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Moor, Kathleen Dean. Pardons Jutice, Mercy, and The Public Interest. New York:

Oxford University Press.

Pangaribuan, Aristo M.A., dkk. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia.

Jakarta: Rajawali Pers, 2017.

Pramono, Nindyo dan Sularto. Hukum Kepailitan dan Keadilan Pancasila Kajian Filsafat Hukum atas Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia. Jakarta: ANDI, 2017).

Reksodiputro, Mardjono. Menyelaraskan Pembaruan Hukum (Pemberian Abolisi Dalam perkara Mantan presiden Soeharto Tidak logis: Benarkah Itu).

Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2009.

Jurnal

Alhakim, Abdurrakhman. “The Ideas of Rechterlijk Pardon as A restorative Justice Approach: From Vengeance to Recovery?”. Ganesha Law Review Vol.5, No.1, (Mei, 2023): 2.

Arif dan Ambarsari. “Penerapan Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Al-Adl:

Jurnal Hukum Vol. 10, No.2, (2018):

174.

Farikhah, Mufatikhatul. “Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Masyarakat Adat Indonesia”. Jurnal Media Hukum Vol. 25, No. 1, (Juni, 2018): 87.

Farikhah, Mufatikhatul. “The Judicial Pardon Arrangement as a Method of Court Decision in the Reform of Indonesian Criminal Law Procedure”. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8, No 1, (2021):

4.

Fernando,Yory. “Sejarah Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol. 4, No.

4 (November 2020): 28.

Guntarto, Widodo. “Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan pidana Anak”. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 6, No. 1, (2016): 58.

Huda, Chairul, dalam Ridwan Suryawan.

“Asas Rechtelijk Pardon (Judicial Pardon) dalam Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia”. Indonesian Journal of Criminal law and Criminology Vol.2, No.3, (November 2021): 172.

Purwani, Sagung Putri M.E. dan Putu Mery Lusyana Dewi. “Judicial Pardon:

Renewal of Criminal Law Towards Minor Criminal Offense”. Yustisia

(19)

Jurnal Hukum Vo.10, No.3, (2021): 417.

Diakses 10 Agustus 2023. Doi: https://

doi.org/10.20961/yustisia.v10i3.55347.

Purwanto. “Perlindungan Hukum terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Idea Hukum Vol. 6 No. 1, (Maret 2020): 78.

Saputra, Adery Ardhan. “Konsepsi Rechterlijk Pardon auat Pemaafan Hakim dalam Rancangan KUHP”. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 28, No. 1, (Februari 2016):

64. Diakses 6 Agustus 2023. Doi:

https://doi.org/10.22146/jmh.15867.

Singadimedja, M. Holy One N. “Mencari Kemungkinan Judicial Pardon Sebagai salah satu Alternatif Bentuk Pemidanaan”. Jurnal Ilmiah Rinjani Vol.9 No.1, (2021): 44-45. Diakses 10 Agustus 2023. Doi: https://doi.

org/10.53952/jir.v9i1.300.

Peraturan Perundang-Undangan

The United Nations Convention on the Rights of the Child

The United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) of 1985

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1

Artikel

Bappenas, UNICEF, dan Pusakapa UI.

“Kesempatan Kedua dalam Hidup.

Memulihkan kesempatan bagi anak dalam SPPA di Indonesia. Tekankan Pentingnya Keadilan Restoratif dalam Implementasi UU SPPA”. Siaran Pers Rabu, 04 November 2020.

Anonymous. “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”.

Naskah Internet

Anonymous. “Keterangan Presiden Atas Rancangan Undang-undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta, 28 Maret 2021”. https://berkas.dpr.

go.id/armus/file/Lampiran/leg_1- 20201027-113543-3412.pdf. Diakses 3 Agustus 2023.

Anonymous. “Naskah akademik rancangan undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Peradilan pidana Anak - Part A”. https://berkas.dpr.go.id/

armus/file/Lampiran/leg_1-20201027- 112729-4810.pdf. Diakses 1 Agustus 2023.

Anonymous. “Naskah akademik rancangan undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Peradilan pidana Anak - Part B”. https://berkas.dpr.go.id/

armus/file/Lampiran/leg_1-20201027- 112843-4329.pdf. Diakses 1 Agustus 2023.

BPIP. “Pentingnya Pengamalan Pancasila Sila Ke-2 di Lingkungan Masyarakat”.

(20)

https://bpip.go.id/berita/991/582/

pentingnya-pengamalan-pancasila- sila-ke-2-di-lingkungan-masyarakat.

html#:~:text=Sila%20ke%2D2%20

%E2%80%9CKemanusiaan%20 y a n g , d e n g a n % 2 0 n o r m a % 2 D n o r m a % 2 0 d a n % 2 0 kebudayaan. Diakses 6 April 2023.

Referensi

Dokumen terkait

4.2.1 Pengaruh Total Asset Turnover, Ukuran Perusahaan¸ dan terhadap Return On Asset pada PT Indofood Sukses Makmur Tbk Tahun 2011-2021 67 4.2.2 Pengaruh Total Asset Turnover