• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJEMBATANI POLEMIK TARAWIH KILAT DI PONDOK MANTENAN BLITAR; STUDI MODERASI PESANTREN ANTARA TEKS DAN KONTEKS

N/A
N/A
CHOLID MA'ARIF

Academic year: 2023

Membagikan "MENJEMBATANI POLEMIK TARAWIH KILAT DI PONDOK MANTENAN BLITAR; STUDI MODERASI PESANTREN ANTARA TEKS DAN KONTEKS "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MENJEMBATANI POLEMIK TARAWIH KILAT DI PONDOK MANTENAN BLITAR;

STUDI MODERASI PESANTREN ANTARA TEKS DAN KONTEKS Oleh:

Cholid Ma'arif, S.Hum., M.Ag.

cholidmaarif@gmail.com Universitas Darul Ulum Jombang

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menyoroti implementasi moderasi dakwah di pondok pesantren melalui tradisi tarawih cepat meliputi aspek kesejarahan, pergumulan teks agama, serta respon sosial. Metode kualitatif digunakan dalam pengungkapan fenomena ini melalui teknik wawancara kepada pihak pesantren, observasi warga sekitar dan riset pustaka. Hasil penelitian ini menemukan bahwa polemik praktik tarawih cepat di Pondok Mantenan mampu dijembatani dengan empat aspek yang terkandung sebagai ciri khas pesantren sehingga mewujudkan formulasi moderasi yang tepat. Formulasi tersebut akhirnya menjadi katalisator yang mendukung tiga formulasi lanjutannya, yaitu respon positif atas Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harga mati. Ketokohan kiai pesantren dengan sikapnya yang menjaga tradisi di satu sisi sekaligus membebaskannya di sisi lain bagi masyarakat luar menunjukkan etos kebhinnekaan. Hal tersebut ditopang literasi yang mendalam terhadap turas keislaman sehingga mampu mengelaborasinya ke dalam bentuk tradisi sehingga berkesesuaian dengan pengamalan sila pertama Pancasila.

Habituasi dan tradisi yang moderat dalam bentuk praktik tarawih kilat mengandung nilai historisitas moderasi dalam skala awal pelaksanaannya yang terbukti masih kontekstual hingga era kini. Yaitu dilandaskan pada kesepakatan yang telah dibangun oleh pendiri pesantren dan masih disambut secara luas oleh masyarakat Muslim. Konsep ini mengandung nilai ketahanan NKRI dalam skala tradisi-ta'abbudi yang tahan banting terhadap unsur luar yang merisak.

Kata kunci: moderasi pesantren, tarawih kilat, Pondok Mantenan, tradisi.

A. Pendahuluan

Formulasi nilai-nilai moderasi di balik tradisi salat tarawih kilat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam Mantenan Blitar merupakan hasil pergulatan turas keislaman dan respon sosial di era disrupsi. Hal ini semakin meneguhkan bahwa pesantren tidak hanya dikenal sebagai bagian dari sistem lembaga pendidikan tertua bangsa Indonesia, melainkan juga sebagai sub- organisasi masyarakat yang mampu menyemai nilai-nilai moderasi baik di ranah keagamaan maupun sosial.1 Perwujudan tersebut nampak pada jalinan kiai, santri, dan kitab suci merupakan

1 Tim Penyusun, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa, 2019). h. 1.

(2)

relasi yang saling mengikat dan mempengaruhi hampir dalam semua aspek kehidupan walaupun seorang santri telah menjadi alumni.

Tarawih sendiri merupakan ibadah salat sunnah yang disyariatkan pelaksanaannya secara rutin pada tiap malam selama bulan Ramadan. Belakangan ini, khususnya saat bulan puasa tiba, banyak bermunculan pemberitaan mengenai keunikan praktik tarawih berjamaah yang dilakukan secara sangat cepat melebihi deskripsi praktik yang sama pada umumnya. Keunikan skala kecepatan tentu berdampak pada durasi waktu salat tarawih yang dilaksanakan selesai dengan lebih cepat menjadi kurang dari 10 menit saja daripada praktik umumnya yang memakan waktu paling cepat antara 20-25 menit dengan jumlah rakaat yang sama yaitu 20 rakaat. Sehingga model praktik yang demikian hanya bisa didapati pada tiga tempat, yaitu suatu daerah di Jawa Barat dan dua lainnya di Jawa Timur.2 yaitu Pesantren Baitussalam di kecamatan Pagu, Kediri dan di Pesantren Mambaul Hikam di dusun Wonorejo yang berbatasan dengan dusun Mantenan, desa Slemanan, kecamatan Udanawu, Blitar, atau akrab disebut Pondok Mantenan.

Perbedaan praktik dan tatacara beribadah tersebut mendapatkan respon pro dan kontra dari masyarakat luas. Walaupun sebagian pihak dapat memahaminya sebagai bagian dari 'ikhtilaf al-ummah', yaitu dengan membedakan pelbagai problematika fikih ke dalam ranah ushuliyah dan furu'iyah.3 Namun, di sisi lain, merebaknya akses terhadap gadget, keterbukaan informasi, dan kepekaan warga terhadap isu sosial keagamaan dan politik mampu memicu perdebatan yang tidak sehat di dunia virtual bagi sebagian besar generasi yang kurang 'melek' literasi keagamaan.

Fenomena ini kemudian menimbulkan perilaku disrupsi yang mengancam iklim keragaman di Indonesia dalam menghadapati tantangan teknologi digital 5.0.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis hendak meneliti lebih dalam terkait formulasi moderasi yang dilakukan oleh tokoh dan keluarga besar Pondok Mantenan di kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar dalam merespon gejolak sosial di masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia maya. Penulis akan menjawab beberapa pertanyaan penelitian diantaranya tentang bagaimana respon Pondok Mantenan dalam menengahi isu perbedaan praktik tarawih di tempatnya dan formulasi moderasi seperti apa yang ditawarkan untuk menjawab pro-dan kontra di masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui tujuan penelitian ini adalah: a) untuk mengetahui proses dan cara Pondok Mantenan dalam menyelesaikan pro-kontra masyarakat terkait praktik tarawih kilat di tempatnya. Juga b) untuk menemukan formulasi dan model moderasi yang ideal kaitannya dalam menjaga keutuhan internal pesantren dan relasinya dengan pihak luar pesantren.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memaksimalkan observasi dan wawancara. Didukung dengan riset pustaka dan analisis isi baik terhadap data lapangan maupun media sosial. Hal ini berguna untuk mempertajam analisis untuk 2 Kompas TV Kediri. Salat tarawih kilat 23 rakaat hanya 10 menit! (dikutip 05 April 2023). Available from:

https://www.kompas.tv/article/391859/salat-tarawih-kilat-23-rakaat-hanya-10-menit

3 Muhammad Nasir, Moderasi Beragama: Membumikan Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat, (Riau: Kementerian Agama Kabupaten Lingga Kepri, 2021), h.6.

(3)

kemudian disajikan secara deskriptif analitik. Adapun yang menjadi objek material penelitian ini adalah praktik dan tradisi tarawih kilat, sedangkan objek formalnya adalah moderasi pesantren.

Untuk itu, penulis menempuh langkah-langkah penelitian sebagai berikut: mengumpulkan data lapangan, mengolah data mentah, melakukan analisis isi dan data, kemudian menyimpulkan dengan menarik hipotesa yang ada berbasis formulasi moderasi pesantren.

Kaitannya dengan tarawih kilat di Pondok Mantenan, terdapat penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Dua diantaranya adalah: 1) Penelitian Rosna Binta Nur Awalin dengan menggunakan perspektik organisasi keagamaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk mendapatkan pandangan hukum fikih tarawih kilat.4 2) Penelitian Muh. Rikza Taufieq yang menggunakan analisis kesejarahan tarawih kilat di Mantenan.5. Dengan demikian belum didapati penelitian yang serius khusus membahas aspek living Qur’an dalam fenomena salat tarawih kilat di Pondok Mantenan Udanawu Blitar sebagaimana diungkap dalam penelitian ini.

Sedangkan riset pada moderasi pesantren didapati sangat banyak judul diantaranya adalah:

moderasi di pesantren Annuqayyah,6 pendidikan moderasi di Pesantren Moderen,7 di Pesantren al-Muhajirin Purwakarta,8 di Pondok Nuris Jember,9 dan banyak lagi riset moderasi di lembaga pendidikan pesantren. Di antara objek penelitian moderasi tersebut dapat dikatakan belum ada yang menjadikan pondok pesantren Mambaul Hikam Mantenan Blitar sebagai lokasi riset sehingga artikel yang disajikan penulis disini menjadi layak dalam aspek kebaruannya.

Adapun pendekatan moderasi pesantren yang digunakan penulis dalam hal ini adalah melalui empat formulasi atau biasa dikenal dengan Education Portrait of Islam. Diantaranya adalah: Institutional Identity, Teaching Materials/References to Javanese, Activity Assence, dan Kontra radikalisme.10 Formulasi tersebut memungkinkan peneliti untuk mengukur keberhasilan moderasi beragama di pesantren yang melibatkan tujuh aspek validitasnya. Yaitu kiai yang moderat, literasi atau turass yang moderat, habitus, dan tradisi yang moderat, serta respon positif terhadap azaz tunggal Pancasila, Bhinneka tunggal Ika, dan Negara Kesaturan Republik

4 Rosna Binta Nur Awalin. “Tradisi Shalat Tarawih Kilat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam Desa Mantenan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar: Studi Persepsi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Blitar”. Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, 2019

5 Muh. Rikza Taufieq, “Tradisi Shalat Tarawih Cepat di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar”. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2020.

6 Ach. Sayyi, Pendidikan Islam Moderat: Studi Internalisasi Nilai-nilai Islam Moderat di Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa dan Pesantren Annuqayah Daerah Latee Guluk-guluk Sumenep, (Disertasi) Universitas Islam Malang, 2020.

7 Rukhaini Fitri Rahmawati, Pendidikan Moderasi Beragama di Lembaga Pesantren Moderen, (Prosiding) "2nd NCESCO: National Conference on Educational Science and Conselling 2022", 147-156, (http://proceeding.iainkudus.ac.id/index.php/NCESCO

8 Dezan M. Fathurrahman, "Implementasi Moderasi Beragama di Pesantren al-Muhajirin Purwakarta" (Skripsi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2022.

9 Muhammad Dzofir dan Dony Miftah M Nur, "Moderasi Beragama Dalam Tradisi Pesantren: Studi Kasus Pondok Nuris Jember", (Kudus: CV. Alinea Media Dipantara, 2021).

10 Ihsan, Pendidikan Moderasi Beragama Model Madrasah Pesantren, (Kudus: IAIN Kudus Press, 2022), iii.

(4)

Indonesia (NKRI). Aspek-aspek tersebut lebih lanjut akan dilakukan melalui teknis penelitian dalam penggalian datanya, baik itu observasi maupun wawancara penelitian.

Moderasi merupakan sebuah keniscayaan di era disrupsi seperti sekarang ini. Sebuah era yang meniscayakan matinya keotoritasan pakar dan menguatnya dekadensi moral beragama yang berujung pada aksi kekerasan atas nama agama. Persoalan moral dalam perspektif agama mutlak diperhadapkan dengan tasawuf.11 Sehingga dalam hal ini ancaman dan tantangan tersebut setidaknya telah diantisipasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui kewenangan Kementerian Agama dengan terus mempromosikan dan menanamkan spirit moderasi beragama.

Moderasi beragama adalah sebuah pandangan yang menempatkan diri pada posisi tengah diantara kedua sikap yang berseberangan dan tidak berlebihan diantara keduanya. Yusuf al- Qardawi menyamakan sikap ini dengan prinsip 'tawazun', 'i'tidal', 'ta'adul',' dan 'istiqomah'.

Sedangkan dalam Al-Qur'an, moderat disamakan dengan 'tawasuth' sebagaimana tertera dalam QS. al-Baqarah: 143 yaitu merujuk kata 'al-wasath' yang bermakna terbaik dan paling sempurna.

Dalam sebuah hadis juga disebutkan bahwa sebaik-baik urusan adalah tengah-tengah.12 Makna ini memberikan pemahaman bahwa dalam memandang sebuah permasalahan hendaklah seseorang dapat berdiri di tengah dan tidak berat sebelah secara ekstrem kanan maupun kiri dalam bersikap.

B. Tarawih Kilat di Pesantren Mantenan Blitar

Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam yang terletak di dusun Mantenan Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua yang terletak di wilayah perbatasan arah barat-utara kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri.

Pondok pesantren sendiri, menurut Badiou, adalah sebuah kejadian (atau berupa lembaga Pendidikan Islam) yang tiap elemen dan variasinya bertautan dengan masa lalu13 sebagai bagian dari peradaban dan kebudayaan. Berdasarkan letak geografisnya tersebut, dan sebagaimana menjadi tradisi penyebutan Masyarakat local, ia lebih dikenal akrab dengan sebutan “Pondok Mantenan”. Disebut lembaga pendidikan tertua karena berdasar lacakan sejarah ia didirikan oleh KH. Abdul Ghofur, seorang santri alim asal desa Blangkahpakis di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur,14 yang menjadi putra menantu H. Ibrahim, seorang kaya dermawan di Udanawu, Blitar pada tahun 1907 M.

Bermula dari keprihatinannya terhadap aspek keagamaan masyarakat di wilayah tempat tinggal mertuanya, ia mulai mendirikan langgar (musala atau tempat ibadah skala kecil) pada tahun kedua setelah menikah atau tahun 1909. Di tengah upayanya tersebut, ia juga melakukan

11 Muhammad Nur, M, Iqbal Irham, Tasawuf dan Modernisasi: Urgensi Tasawuf Akhlaki Pada Masyarakat Moderen, "Substantia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin", Volume25, nomor 1, April 2023, h. 107.

12 Muhamad Qustulani, "Hakikat Dan Konsep Moderasi Beragama", dalam Moderasi Beragama: Jihad Ulama Menyematkan Umat dan Negeri dari Bahaya Hoax, (Tangerang: PSP Nusantara, 2019), h. 12-15.

13 Aguk Irawan MN, “Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara; Dari Era Sriwijaya Sampai Pesantren Tebuireng dan Ploso”,(Tangerang Selatan: Pustaka Iiman, 2018), 7.

14 Dokumentasi ceramah KH. Dliya’uddin Azzamzamiy dalam acara Reuni Keluarga Besar KH Abdul Ghofur di desa Bakung, Udanawu, Blitar pada tanggal 21 Agustus 2022.

(5)

kegiatan dakwah sederhana kepada masyarakat awam dengan cara berkeliling dari satu pintu ke pintu rumah lain untuk mengenalkan ajaran agama Islam secara lebih mendalam. Seiring dengan respon positif dari warga sekitar, pada tahun 1911 ia mendirikan madrasah dan pondokan dengan enam kamar dan diberi nama “Nahdlotul Thullab” sebagai tempat tinggal para santri jauh untuk menuntut ilmu sambil mukim.

Seiring dengan perkembangan yang pesat, beberapa santri senior mengusulkan untuk didirikan madrasah dengan tetap mempertahankan sistem pondok pesantren sebagai wadah mereka membantu mengembangkan dakwah dan pendidikan yang dirintis beliau. Sehingga pada tahun 1920 berdirilah Lembaga madrasah di bawah Pondok Pesantren Nahdlotut Thullab. Dalam sejarahnya, madrasah tersebut secara sah terdaftar dalam administrasi pemerintah pada tahun 1939 lalu beralih menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) pada tahun 1960.

Menariknya, pada beberapa tahun sebelumnya yaitu tahun 1948 atau tiga tahun setelah kemerdekaan, nama pesantren berubah menjadi Mamba’ul Hikam atas usulan salah satu putra pendiri, yaitu KH. Ahmad Zubaidi bin Abdul Ghofur atau ayah dari pengasuh pesantren saat ini.

Empat tahun setelah, tahun 1952, KH. Abdul Ghofur wafat dan perjuangannya dilanjutkan oleh para penerusnya hingga kini.

Selain sebagai pusat Pendidikan agama Islam dengan metode klasikal, Pondok Mantenan juga dikenal sering mengadakan kegiatan rutin yang melibatkan banyak jamaah warga luar seperti rutinan majelis tarekat Qadiriyah wa an-Naqsabandiyah al-Kholidiyah al-Mujaddadiyah15 yang dipimpin langsung KH. Dliya’uddin az-Zamzami, cucu pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam. Dalam skala yang lebih luas, tentu rutinan ibadah salat Jumat warga sekitar juga dipusatkan di masjid lingkup pondok. Sedangkan dalam tempo setahun sekali dalam satu bulan penuh pelaksanaan tarawih merupakan rutinitas yang paling banyak diminati Masyarakat luas bahkan dalam skala wilayah kabupaten. Hal itu dikarenakan pelaksanaan salat tarawih di Pondok Mantenan disertai dengan kekhasannya yaitu tradisi tarawih cepat atau kilat.

Berbeda dengan lazimnya pelaksanaan salat tarawih dengan cara yang khidmat, tenang, dan durasi yang menjadi pakem umum, terlebih bilangan rakaat yang tidak sedikit. Kisaran satu jam adalah waktu ideal yang dibutuhkan oleh momentum salat isyak dan tarawih jika disertai dengan laku wiridan, doa, apalagi ditambah jeda acara ceramah kultum sebagaimana berlaku di masjid perkotaan di bulan Ramadan. Uniknya, walaupun Pondok Mantenan melakukan ritus tarawih cepat yang berbeda dengan kelaziman kecepatan pada umumnya selama bertahun-tahun, itu tidak lantas menimbulkan konflik di masyarakat. Hal ini membuktikan adanya peran pesantren sebagai lembaga yang otonom, monopolitis, demokratis, sekaligus mengayomi.16 Secara syariat, salat tarawih adalah salat sunnah dengan banyak rakaat tertentu secara berulang- ulang yang dilaksanakan pada malam hari di bulan Ramadhan.17 Sedangkan salat tarawih kilat

15 Romzan Fauzi, “Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah di Slemanan Kabupaten Blitar”. Jurnal Analisa volume XV, Nomor 01, Januari-April 2008. 36.

16 Nasikun, “Sistem Sosial Indonesia”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), 27.

17 Abu al-Harits ‘Ali, al-Masabih fi Salat at-Tarawih li al-Imam al-Suyuthi. (Oman: Dal al-Qabas, 1976), 14;

Yahya Zainul Muarif. The Analysis Of Islamic Law In The Number Of Raka’ah In The Tarawih Prayer. Jurnal

(6)

yang diketahui publik terkini merupakan salah satu ritual ibadah sunnah yang diawali dengan niat dan diakhiri dengan salam secara berulang-ulang dan gerakan cepat dalam jumlah antara 8- 20 rakaat di tiap malam bulan suci Ramadan bagi umat Islam.

Dalam suasana tersebut lokasi pondok dipenuhi dengan parkir kendaraan roda dua yang penuh sesak. Kondisi demikian hampir sama ramainya saat perhelatan haul dan pengajian akbar di tempat yang sama di waktu yang berbeda. Jamaah dalam masjid pun berjubel hingga halaman depan yang semuanya laki-laki baik dari kalangan santri maupun warga sekitar. Satu kesamaan yang menarik dalam pantauan adalah rata-rata jamaah merupakan usia remaja dan pemuda yang tentu memiliki tenaga dan semangat prima dalam mengikuti gerak tarawih kilat. Bagi mereka tarawih kilat memiliki dalih dan motif makna tersendiri yang tidak seluruhnya dipahami oleh sebagian masyarakat luar daerah. Fenomena ini terjaga salah satunya dianggap sebagai upaya pelestarian tradisi sebagaimana yang pernah dirintis oleh pendiri pesantren awal pertama kali yaitu KH. Abdul Ghofur. Konteks yang melatarinya salah satunya adalah sebagai strategi dakwah terhadap Masyarakat desa yang mayoritas menjadi petani agar mau diajak mendirikan salat tarawih dan jauh dari kesan menghabiskan waktu dan kesempatan mereka untuk beribadah dengan banyak rakat. Konstruksi pengetahuan maupun perubahan sosial yang menyertai berlangsungnya tradisi tarawih kilat sejak awal sejarahnya hingga masih terpelihara hingga kini.

C. Praktik Moderasi Di Balik Tradisi Tarawih Kilat

Pada bagian ini penulis menyajikan data secara deskriptif-analitik, yaitu memaparkan data dan bahan riset dengan format pendekatan formulasi moderasi pesantren. Formulasi yang dimaksud adalah terkait tradisi, literatur, dan praktik masyarakat yang moderat di balik kontroversi salat tarawih kilat sebagai objek riset. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pentradisian

Salat tarawih merupakan salah satu ibadah sunnah yang masyhur dilakukan pada tiap malam bulan suci Ramadan oleh umat Muslim sedunia. Ia menjadi pelengkap ibadah puasa wajib yang dilakukan sama lamanya dalam setahun dalam hal ‘qiyam’ Ramadhan dan meningkatkan ketakwaan.18 Secara asal bahasa, “tarawih” berarti “menyenangkan”. Sehingga dalam pelaksanaannya diistilahkan dengan gerakan salat dengan banyak rakaat dan terdapat jeda istirahat diantara rakaat tertentu di dalamnya.19 Kata kunci “menyenangkan” dan “istirahat”

agaknya dimaknai secara berbeda dalam pelaksanaan salat tarawih kilat di Pondok Mantenan, yaitu proses pelaksanaannya yang berlangsung secara sangat cepat sehingga mampu mempersingkat waktu.

JPH, Volume 9, Nomor 3, December 2022;

18 Mochamad Syaifuddin, “Imam Tarawih Dan Kuliah Tujuh Menit Masjid Jami’ Al-Mubarok Wangkal Krembung Sidoarjo”, Scholastica: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 3, Nomor 2, November 2021; e- ISSN: 2686-6234. 131.

19 Burhanuddin A. Gani, “Pemahaman Hadis Seputar Shalat Tarawih Di Kalangan Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama”, Jurnal Al-Mu‘ashirah Vol. 13, No. 2, Juli 2016, 159.

(7)

Secara umum, dalil tentang salat tarawih dapat dilacak dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah:

186 yang berkaitan dengan kewajiban bulan Ramadhan. Konteks waktu Ramadhan ini kemudian menuju pengkhususan pertama dengan QS. Adz-Dzariyat ayat 17 yang berbunyi: (Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam). Tafsir ayat ini menerangkan tentang sifat-sifat orang yang takwa, yaitu sedikit sekali tidur pada waktu malam karena mengisi waktu dengan salat malam. Dipilihnya waktu malam karena dapat merasa tenang dan penuh dengan kerinduan, dan dalam munajatnya kepada Allah sengaja memilih waktu yang sunyi dari gangguan makhluk lain seperti dua orang pengantin baru dalam menumpahkan isi hati kepada kesayangannya, tentu memilih tempat dan waktu yang nyaman dan aman, bebas dari gangguan siapa pun dalam mengadakan hubungan khidmat dan mahabbah dengan Tuhan Yang Mahakuasa, satu-satunya penguasa yang dapat memenuhi segala harapan.20 Salat malam sendiri terdapat tiga pengertian yaitu salat witir, salat tahajud, dan salat tarawih yang khusus dilaksanakan di bulan Ramadan.

Dengan semangat menghidupkan malam Ramadan, Pondok Mantenan memiliki cara yang unik dan bernilai ibadah untuk menunjukkan simbol kedua bulan puasa yaitu dengan pengamalan salat tarawih secara kilat dan menjadikannya sebagai tradisi khas pesantren yang turun temurun. Hal tersebut diakui oleh pengasuh Pondok Mantenan, KH. Dliya’uddin Azzamzamiy, dalam sebuah wawancara yang mengatakan bahwa selain melanjutkan tradisi yang sudah dimulai oleh pendiri pesantren, tentu selain melandaskannya kepada dalil kebolehan yang ada.21 Begitu pula saat diwawancarai oleh banyak media online, istilah tradisi selalu menjadi jawaban yang standar bagi pesantren kepada publik.

Informasi terkait dikuatkan dengan fakta sejarah bahwa pada masa generasi kedua Pondok Mantenan, khususnya sekitar tahun 1970-an, praktik tarawih cepat berlangsung di dua titik utama dalam satu lokasi pondok,. Yaitu: di masjid pondok seperti sekarang yang dipimpin oleh KH. Zubaidi dan di dalem timur yang diimami oleh K. Abdullah.22 Fakta ini menunjukkan kejayaan praktik tarawih cepat yang telah lama berlangsung sebagai sebuah tradisi.

Perspektif lain ditunjukkan oleh Arwan Rifa’i, alumni Pondok Mantenan yang kini menjadi warga di daerah setempat berpendapat bahwa tradisi tarawih cepat merupakan bagian dari proses dakwah. Hal ini berkaitan dengan efektifitas waktu yang mampu digunakan secara lebih produktif manfaatnya bagi para pekerja ekonomi saat malam Ramadan berlangsung. Hal ini senada dengan konteks awal dalam sejarah praktik tarawih kilat di Mantenan yang bermula untuk mengajak masyarakat muslim pra-kemerdekaan dan kesibukan pagi harinya digunakan untuk berladang. Praktis kondisi tersebut membuat warga merasa kelelahan dan keberatan untuk melaksanakan tarawih yang dikenal banyak rakaat dan membutuhkan waktu yang cukup lama berkumpul dengan gerakan yang sama dalam satu tempat. Sehingga lahirlah kreasi ibadah

20 https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/51?from=1&to=60 diakses pada tanggal 25 Agustus 2023.

21 Rosna Binta Nur Awalin. “Tradisi Shalat Tarawih Kilat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam Desa Mantenan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar:, 44.

22 Wawancara dengan putri sulung alm. K. Abdullah, Nyai Fatimatuzzahro (60 tahun)pada tanggal 10 September 2023 di kediamannya Dusun Wonorejo desa Slemanan, Udanawu, Blitar.

(8)

tarawih kilat oleh KH Abdul Ghofur dengan tujuan untuk mengatasi dan menampung kegelisahan masyarakat masa itu.

2) Tekstualitas

Dalam konteks salat malam, penelusuran muasal tarawih oleh Syekh al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’atul Mafatih Syarhu Misykatul Mashabih kemudian berkembang dalam istilah "qiyam al Ramadhan" (menghidupkan atau mendirikan ibadah Ramadhan) yang sebenarnya juga masih umum, yaitu meliputi salat tarawih, witir, dan tahajjud yang dilaksanakan pada malam bulan Ramadhan.23 Pun demikian, dalam penelaahan Imam al-Suyuthi, pembahasan berbagai hadits dengan kata kunci “qiyam al-Ramadhan” merujuk pada salat tarawih.24 Hadist pokok yang dimaksud memiliki arti berikut:25Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”(HR. Bukhari no. 2008 dan Muslim no. 174). Jika diperhatikan dengan seksama dan keterkaitan makna yang mendalam. dapat disimpulkan bahwa kedua dalil baik ayat al-Qur’an maupun hadits tersebut memiliki maqsad (tujuan)26 yang sama, yaitu agar seorang muslim lebih tekun mendekatkan diri kepada Allah swt. Lebih khusus lagi, jika maqsad ayat menunjuk pada keutamaan ibadah waktu malam, sedangkan maqsad sunnah mengarah pada eksistensi Ramadhan dan ibadah tarawih termasuk di dalamnya.

Pada kasus salat tarawih kilat di Pondok Mantenan, ditemukan landasan hadits lain yang menjadi pendukung tambahan bagi terpeliharanya praktik tarawih kilat. Hadits tersebut berkaitan dengan anjuran bagi imam untuk meringankan makmum saat berjamaah yang artinya:

اذههه لاههق هبنم نب مامه نع رمعم انثدح قازرلا دبع انثدح عفار نبا انثدح هللا لوسر دمحم نع ةريره وبأ انثدح ام لاههقو ،اهههنم ثيداههحأ ركذههف ﷺ

هللا لوسر ريبكلا همهيف نإف ةلصلا ففخيلف هسانلل همكدحأ ماق ام اذإ : ﷺ

ءاش ام هاتلص لطيلف هدحو ماق اذإو فيعضلا مهيفو

27

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dia berkata, ini adalah sesuatu yang diceritakan Abu Hurairah ra kepada kami, dari Muhammad, Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, maka dia menyebutkan beberapa hadits darinya, dan Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian mendirikan shalat mengimami manusia, hendaklah dia meringankan shalat tersebut, karena di antara mereka ada

23 Abdul Wahid, Membungkam Perdebatan Seputar Tarawih 11 Versus 23 Rakaat, (Malang: Penerbit The Wahid Center, 2018), 28.

24 -_____________, “Al-Maśābi Fī alāh al-Tarāwī Li al-Imam al-Suyuthi ”, (Oman: Dar al-Qabas, 1986), 14-39.

25 Abu Abdillah Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj al-Marwazi. “Mukhtashar Qiyamullail”, (Pakistan: Hadits Akademi, 1988), 213.

26 Cholid Ma’arif, “Maqasid Al-Qur’an Al-Ghazali Dalam Kitab Siraj at- alibin Karya Syekh Ihsan al-Jampesi”, Jurnal QOF, Vol. 4, No. 1, 2020, 58.

27 Abi al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, “Shahih Muslim: al-Musnad al-Sahih al- Mukhtasar min al-Sunan”, (Riyadh: Dar al-Tayyibah li al-Nasr wa al-Tawzi’, 2006), 215.

(9)

orang tua dan lemah. Dan apabila dia shalat sendirian, hendaklah dia memanjangkan shalatnya sebagaimana yang dia kehendaki."

Senada dengan hadits tersebut, setidaknya terdapat 12 riwayat yang mengandung perintah kepada imam untuk meringankan salatnya saat berjamaah Bersama makmum.28 Bahkan dalam Riwayat lain tersebut mengandung redaksi dan pesan yang lebih lengkap mengenai alasan di balik perintah meringankan salat. Salah satu ‘illat atau argumentasinya adalah karena faktor kondisi jamaah yang berbeda-beda, seperti: ada yang berusia tua sehingga membutuhkan perlakuan khusus, ada yang dalam keadaan sakit, dan ada juga yang dikejar dengan kepentingan mendesak lain pasca salat sehingga sangat mungkin menghendaki proses pelaksanaan salat jamaah dengan cepat.

Selain argumen tekstual tersebut, penulis juga menemukan argumen lain terkait faktor dan sejarah tarawih cepat di pondok Mantenan. Versi lain tersebut sebagaimana diungkap oleh KH. Abdul Aziz atau akrab dipanggi Kiai Ajik (46 tahun),29 salah satu pengasuh Pondok Mantenan dari zuriyah alm. Kiai Abdullah, yang menyatakan:

Sebenarnya ada dua versi yang beredar geh niku setunggale Mbah Yai Abdulloh ingkang milai tradisi tarawih cepat. Malah mbah Yai Abdullah dulu natos matur datang jamaah pas pengaosan niku mekaten: ‘bilih tarawih cepat meniko amargi mengejar waktu agar banyak tersisa untuk segera dimulai pengajian kitab pasan (kilatan Ramadan). Waktu itu ngaji pasan bisa sampai jelang sahur atau jam 2 dini hari. Maleh beliau natos ngutip setunggale hadits bilih derek ngaos ilmu niku langkung utama tinimbang salat sunnah”, jelasnya.

Jika ditelusuri lebih lanjut, salah satu redaksi hadist dimaksud berbunyi:30

يورو رذ اههبأ اههي :ملههسو هههيلع هللا ىلص هللا لوسر لاق :لاق رذ يبا نع

نل و ,ةعكر ةئام يلصات نا نم كل ريخ هللا باتك نم ةيآ ملعتتف ودغات نل يلههصات نأ نم كههل ريههخ هب لمعي مل وأ هب لمع ملعلا نم اباب ملعتتف وذغات ةعكر فلأ

Artinya:

“Diriwayatkan dari Abu Dzar, yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Dzar, hendaklah kamu pergi di pagi hari dan belajar satu ayat dari Kitab Allah itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat, dan apabila kamu mempelajari satu bab ilmu, baik kamu amalkan atau belum, maka itu lebih baik bagimu daripada shalat seribu rakaat. (HR. Ibnu Majah dengan sanad Hasan).

28 Al-Naisaburi, Shahih al-Muslim, 215-217.

29 Wawancara pada tanggal 12 September 2023 di kediamannya kompleks Pondok Mantenan.

30 Abu Muhammad Zakiyuddin al-Mundziri, “At-Targhib wa at-Tarhib”, (Riyad: Baitul Akfar ad-Dauliyah, tt.), 45.

(10)

Kehujjahan hadis ini hakikatnya merupakan keutamaan ilmu untuk dipelajari dan diamalkan. Namun, dalam konteks tarawih kilat, Pondok Mantenan menggunakannya untuk menunjukkan pengalaman tarawih kilat dengan cara mempersingkat peribadahan sunnah berjamaah demi terpenuhinya waktu pengajian kitab yang maksimal. Dilihat dari pemaparan dua hadits di atas, diketahui bahwa hadist yang pertama lebih berorientasi pada kondisi jamaah atau faktor internal salat , sedangkan hadist kedua lebih pada keutamaan belajar ilmu atau menjadikan faktor eksternal sebagai argument tarawih cepat.

Lebih lanjut, dzuriyah Pondok Mantenan menegaskan bahwa dalam praktik salat tarawih kilat tidak ada hal yang melanggar syariat Islam, baik itu dalam aspek syarat maupun rakaatnya.

Untuk itu ia menjelaskan sebagian tata cara dan tips yang sesuai aturan agama mengenai pelaksanaan tarawih cepat. Diantaranya adalah: mempercepat bacaan surah setelah Fatihah, melaksanakan tuma’ninah dengan durasi yang paling singkat yaitu sesuai bacaan tasbih praktis, membaca tasyahud saat duduk tahiyat akhir dengan mengambil versi bacaan yang paling pendek, dan lain sebagainya.

Keterangan tersebut diperkuat oleh Agus Ahmad Salimi (39 tahun)31 atau akrab dipanggil Gus Amik, yang menyatakan bahwa kecepatan dalam salat apalagi tarawih itu sudah diatur ketentuannya dalam minimal empat kitab madzhab fikih. Jadi sebagai alumni santri Pondok Langitan yang pernah mondok selama sembilan tahun ia berani menjamin sahnya salat cepat.

Terlebih ia sendiri mengakui sangat menikmati dan bisa khusyuk saat mengikuti tarawih cepat di Pondok Mantenan tiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

3) Kontekstualitas

Di lain kesempatan, penulis juga memintai keterangan tiga orang warga sekitar lingkup pondok yang juga masih ‘zurriyah’ (keturunan) dari keluarga besar pendiri pesantren Mantenan.32 Diantaranya adalah Agus Mamak (41 tahun) yang menganggap fenomena tarawih kilat sebagai sebuah kelaziman dan adat yang dulu berjalan dengan konsisten. Ia menambahkan bahwa jamaah tarawih cepat di Mantenan kini lebih didominasi oleh kalangan kaum pria dan remaja yang datang berbondong-bondong bahkan dari luar daerah.

Kemudian kesaksian datar juga disampaikan oleh Agus Lukman (36 tahun) yang menekankan pada pengalaman pertamanya sebagai menantu pendatang dan hanya pernah sekali mengikuti gerakan tarawih. Pun demikian, ia tidak membiasakan kembali praktik tarawih kilat karena membedai dengan kebiasaan di kampung halamannya.

Diajukan dengan pertanyaan serupa, dua narasumber yang berada di luar lingkungan Pondok namun masih kerabat dari pendiri memberikan respon yang kurang lebih sama. Seperti

31 Wawancara pada tanggal 12 September 2023 di kediamannya kompleks Pondok Mantenan.

32 Wawancara pada tanggal 10 September 2023 di lokasi yang sama namun dengan tempat dan waktu yang berbeda.

(11)

H. Achmad Syuhada’ (58 tahun)33, pengajar sekaligus putra menantu alm. Kiai Abdullah bin Abdul Ghofur, berpendapat bahwa keriuhan tentang tarawih kilat hanya terjadi pada era kekinian. Dalam hal ini, menurut peneliti, kemajuan teknologi digital berperan besar terbentuknya efek sosial media sebagai perantara tersebarnya fenomena khas yang terjadi pada skala lokal.

Disebut skala lokal karena dalam struktur masyarakat dusun Mantenan dan sekitarnya ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu kesatuan sosial berdasar perbedaan horizontal sekaligus vertikal.34 Praktik tarawih mampu mengeratkan identifikasi atas ideologi ahlussunnah wal jama’ah an-nahdliyah sekaligus menyatukan berbagai kelas sosial sebagai kesatuan jamaah dari berbagai struktut kelas masyarakat. Hal tersebut nampak pada keberterimaan secara luas terhadap praktik tarawih cepat yang dapat diterima secara luas dengan baik oleh masyarakat sebagaimana sering disaksikan oleh Ning Kunny (34 tahun)35, menceritakan bahwa sejak masa kecilnya ia sudah mendapati minimalnya ada empat titik tarawih cepat di Pondok Mantenan.

Yaitu di masjid induk, pondok pasulukan, dalem Mbah Yai Abdullah, dan pondok putri.

Tarawih kilat juga memberikan gambaran stigma kepada masyarakat sekitar dan jamaah terhubung bahwa perilaku tersebut merupakan kekhasan tersendiri dari Pondok Mantenan. Hal ini sebagaiman disampaikan oleh KH. Abdul Aziz dan Agus Muhamamd Salimi bahwa banyak pesantren atau masjid di Ringinagung Pare Kediri hingga Senori Tuban telah dan ingin ikut jamaah tarawih cepat di Mantenan sekedar hendak mengadaptasikannya di daerah masing- masing.36 Variabel tersebut disokong dengan dukungan era disrupsi yang memberikan respon yang beragam dalam skala yang lebih luas dan berbeda dengan penilaian masyarakat sekitar lokasi itu sendiri.

Praktik tarawih kilat turut mempengaruhi perilaku para jamaah baik kalangan santri maupun warga sekitar. Sehingga mereka ikut mengkondisikan perilaku individunya baik sebelum atau sesudah tarawih kilat dilakukan. Diantaranya sebagaimana dituturkan oleh Agus Muhammad Salim dan Arwan Rifai yang mengurangi porsi makan berbuka puasa demi mampu mengikuti tarawih dengan khidmat dan cepat serta memaksimalkan kegiatan atau rutinitas malam hari seusai tarawih.37

Puncak kekhidmatan dalam tarawih kilat menunjukkan bahwa mayoritas responden memahami hakikat pelaksanaan tarawih cepat adalah kembali pada aspek spiritual keagamaan sebagai bagian dari persoalan persiapan kehidupan setelah mati yaitu akhirat. Sehingga pandangan ini menjadikan praktik sosial agama sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan penuh keyakinan bahwa amal manusia akan berbalas pahala.38 Dengan

33 Wawancara pada tanggal 11 September 2023 di rumah desa Temenggungan, Udanawu, Kabupaten Blitar.

34 Nasikun, “Sistem Sosial Indonesia”,, 34.

35 Wawancara pada 09 September 2023 di kediaman orang tuanya dalam kompleks Pondok Mantenan.

36 Diolah dari wawancara dengan KH. Abdul Aziz dan Agus Muhammad Salimi, dzuriyah Pondok Mantenan.

37 Diolah dari wawancara dengan Arwan Rifa’i, alumni Pondok Mantenan.

38 Diolah dari wawancara dengan sebagian jamaah atau santri aktif Pondok Mantenan

(12)

pemahaman ini sikap moderat terbentuk dengan sendirinya sebatas dengan kebutuhan dan adaptasi kemampuan warga sekitar terhadap tarawih kilat.

D. Formulasi dan Nilai Moderasi Pondok Mantenan Blitar

Pemaparan hasil wawancara dan data di atas menunjukkan praktik moderasi yang terkandung minimalnya ke dalam tiga aspek, yaitu: pentradisian, tekstualitas, dan kontekstualitas masyarakat sebagai respon atas polemik yang mencuat di era disrupsi terkini. Adapun formuasi dan nilai yang terkandung dalam praktik moderasi tradisi di Pondok Mantenan ini minimalnya dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:

1) Kiai yang Moderat

Karakter ini dapat dikonfirmasi dengan pengakuan beberapa jamaah yang terdiri dari santri dan warga alumni. Arwan Rifa’i (36 tahun)39 yang pernah mondok sejak tahun 2003 hingga 2011. Dalam penuturannya ia menyaksikan saat KH. Dliyauddin Azzamzami pernah berpesan kepada para santri agar kelak walaupun di pondok sudah ditradisikan tarawih cepat hendaknya jangan terus dipraktikkan di lingkungan daerah masing-masing karena semua disesuaikan dengan kondisi atau kesepakatan jamaah Masyarakat sekitar. Lebih lanjut ia teringat kemanfaatan tarawih cepat hingga kini sebagaimana pernah dikisahkan oleh pengasuh bahwa kalangan pegawai toko atau penjaga malam di sekitar Kediri Selatan, seperti daerah Pasar Sambi, Srengat, maupun Kandat seringkali pilih tarawih di Mantenan karena kecepatannya tersebut.

Hal tersebut menggambarkan perilaku tarawih cepat nyatanya mendapatkan penerimaan yang positif bagi masyarakat sekitar terlebih santri dan keluarga Pondok Mantenan. Hal ini secara umum merupakan penerapan salah satu falsafah Jawa bahwa seseorang dimanapun dan kapanpun berada harus beradaptasi dengan lokasi dimana ia hidup. Prinsip ini juga sering disampaikan ulang oleh pengasuh Pondok Mantenan kepada para santrinya agar menyesuaiakan ritme tarawih sesuai dengan kebiasaan lingkungannya masing-masing kelak.40

2) Literasi yang Moderat

Pada tataran perilaku membuktikan bahwa fenomena tarawih kilat di Pondok Mantenan merupakan pengamalan dari QS. Al-Baqarah 183 mengenai keutamaan puasa bulan Ramadan, lalu ditopang dengan QS. Adz-Dzariyat: 17. Lebih lanjut, imam tarawih kilat mendasarkan perilakunya berdasar dua hadits tentang perintah meringankan jamaah makmumnya saat memimpin salat dan hadits terkait keutamaan belajar dalam suatu majelis ilu lebih utama daripada salat sunnah. Dalam hal ini ditemukan korelasi tindakan jamaah tarawih cepat

39 Wawancara pada tanggal 12 September 2023 di kediamannya desa Ringinrejo, Kecamatan Sambi, Kabupaten Kediri.

40 Diolah dari hasil wawancara dengan Ahmad Budairi, alumni santri Pondok Mantenan.

(13)

merupakan upaya menghidupkan dan mengkontekstualisasikan anjuran meramaikan malam Ramadhan sekaligus dengan cara yang paling ringan yaitu salat tarawih cepat demi mencapai tujuan pendidikan pesantren yaitu lebih mengutamakan kegiatan belajar mengajar agama.

Pemahaman tokoh agama atau imam jamaah tarawih cepat dalam konteks ini tentu merupakan realisasi dari penafsiran ayat-ayat tentang keutamaan bulan Ramadan dan salat malam. Terlebih kreasi resepsi kedua ayat tersebut ditopang dengan dalil hadist tentang anjuran meringankan salat berjamaah. Dalam hal ini muncul pemahaman lain di kalangan jamaah bahwa salat tarawih dilakukan secara secepat kilat dalam rangka menghindarkan jamaah dari godaan syetan. Karena saking cepatnya Gerakan syetan tidak sempat lagi untuk merayu pelaku salat cepat tersebut.41

3) Habitus Moderat

Dalam hal sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Mubarok Romadhoni (22 tahun) dan Tri Wahyudi (22 tahun), dua santri Pondok Mantenan asal Lampung, bahwa praktik tarawih cepat yang mereka ikuti merupakan bentuk tabarukan pada leluhur Pondok yang merintis tradisi tersebut.42 Bagi aktor utama, secara khusus hal ini merupakan bentuk kepatuhan kepada leluhur yaitu dengan cara memelihara tradisi yang telah dirintis oleh para pendahulu tarawih cepat.

Secara khusus, pembentukan kognisi dan mental terbuka pada respo yang berbeda terkait praktik tarawih kilat juga dilakukan oleh segenap santri dan dzurriyah yang berada mukim di sekitar Pondok Mantenan, yaitu dalam semangat yang sama melakukan tradisi yang masih dilakukan oleh pengasuh pesantren. Pada kasus tertentu, pengasuh pernah menegur seorang khatib salat Jumat yang menyampaikan khutbahnya dengan tempo waktu yang lama atau tidak sesuai tradisi setempat.43 Ini membuktikan semua unsur di Pondok Mantenan bertanggungjawab menjaga tradisi tersebut.

4) Tradisi yang Moderat

Dari pengakuannya dapat diungkap bahwa praktik tarawih cepat menurut tokoh agama terkait setidaknya merupakan pengamalan dari dua hadist yang berbeda namun bermuara pada dasar gerakan cepat salat sunnah malam Ramadan tersebut. Pertama, hadist tentang anjuran kepada imam agar meringankan salat saat berjamaah dengan banyak makmum. Hal ini lebih banyak terjadi pada awal mula terbentuknya Sejarah tarawih cepat pada era pendiri Pondok menjadi faktor pendorong. Sebab dengan meninjau keadaan fisik maupun situasi kesibukan masyarakat setempat, maka praktik tarawih dilaksanakan secara cepat. Sedikit banyak, makna historis ini juga dapat terjadi di masa sekarang dengan dimensi waktu yang berbeda sebagaimana dipersaksikan oleh masyarakat sekitar Pondok Mantenan.

41 Diolah dari hasil wawancara dengan Ning Kholila Mukaromah, dzuriyah Pondok Mantenan.

42 Wawancara pada 16 September 2023.

43 Diolah dari hasil wawancara dengan Agus Muhammad Fauzi, dzurriyah Pondok Mantenan.

(14)

Penegasan hadis tentang melaksanakan pengajian itu lebih utama daripada salat sunnah.

Walaupun dimaknai dengan sedikit bergeser pada konteks asal yaitu keutamaan mencari ilmu, namun pemakaian hadis ini tetap relevan khususnya bagi lingkungan internal Pondok Mantenan.

Sebab, dalam proses sebelum dan sesudah praktik tarawih dilaksanakan, terdapat kegiatan belajar mengajar kitab kuning alias ngaji pasanan. Yaitu pendalaman pengajaran agama dengan metode klasikal satu kitab khusus sekali khatam dalam momentum satu bulan utuh selama Ramadan. Kegiatan ini diperuntukkan baik bagi kalangan santri yang biasa dilaksanakan pasca tarawih maupun masyarakat umum yang dilaksanakan pra-tarawih.

Dalam konteks ini, jamaah yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari warga sekitar mampu memperoleh informasi yang akurat terkait landasan normatif teologis terkait praktik tarawih cepat. Di samping ia mengungkap bahwa motif Masyarakat awam mayoritas lainnya lebih pada tujuan pragmatis dengan melibatkan diri pada praktik tersebut. Yaitu terlaksananya partisipasi jamaah tarawih secara cepat untuk kemudian melakukan aktifitas Kembali setelahnya seperti semula. Baik itu aktifitas ekonomi seperti dialami oleh pekerja di lingkungan luar pondok maupun aktifitas pengajian kitab sudah menjadi rutinitas santri dalam pesantren.

E. Penutup

Pemaknaan praktik tarawih kilat mendapatkan kadar yang sedikit berbeda lebih tinggi bagi subjek imam atau dzuriyah Pondok Mantenan. Sebab bagi mereka minimalnya praktik tarawih cepat mengandung makna implementasi hadis Nabi, pemeliharaan tradisi, sekaligus tabarukan pada leluhur yang merintis Pesantren sekaligus mengawali tradisi tarawih cepat, yaitu KH. Abdul Ghofur, KH. Zubaidi Abdul Ghofur, dan K. Abdullah. Ekpresi yang beragam ini menegaskan tingkat keterlibatan aktif dan pasif dari kalangan jamaah tarawih cepat bergantung strata sosial dan intensitasnya.

Beberapa polemik terkait tarawih kilat dapat dijembatani dengan empat aspek yang terkandung sebagai ciri khas pesantren sehingga mewujudkan formulasi moderasi yang tepat.

Formulasi tersebut akhirnya menjadi katalisator yang mendukung tiga formulasi lanjutannya, yaitu respon positif atas Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harga mati. Ketokohan kiai pesantren dengan sikapnya yang menjaga tradisi di satu sisi sekaligus membebaskannya di sisi lain bagi masyarakat luar menunjukkan etos kebhinnekaan. Hal tersebut ditopang literasi yang mendalam terhadap turas keislaman sehingga mampu mengelaborasinya ke dalam bentuk tradisi sehingga berkesesuaian dengan pengamalan sila pertama Pancasila. Habituasi dan tradisi yang moderat dalam bentuk praktik tarawih kilat mengandung nilai historisitas moderasi dalam skala awal pelaksanaannya yang terbukti masih kontekstual hingga era kini. Yaitu dilandaskan pada kesepakatan yang telah dibangun oleh pendiri pesantren dan masih disambut secara luas oleh masyarakat Muslim. Konsep ini mengandung nilai ketahanan NKRI dalam skala tradisi-ta'abbudi yang tahan banting terhadap unsur luar yang merisak.

(15)

Daftar Pustaka

‘Ali -al. Abu Harits. al-Masabih fi Salat at-Tarawih li al-Imam al-Suyuthi. Oman: Dal al- Qabas, 1976.

Mundziri -al, Abu Muhammad Zakiyuddin, “At-Targhib wa at-Tarhib”, Riyad: Baitul Akfar ad-Dauliyah, tt.

Naisaburi, al-, Abi al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, “Shahih Muslim: al- Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min al-Sunan”, Riyadh: Dar al-Tayyibah li al-Nasr wa al- Tawzi’, 2006.

Baidan, Nashruddin & Aziz, Erwati. “Metodologi Khusus Penelitian Tafsir”.

Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar, 2016.

Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Metode, Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran (edisi ke-IV), Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2016.

Dzofir, Muhammad dan Dony Miftah M Nur

Fauzi, Romzan. “Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah di Slemanan Kabupaten Blitar”.

Jurnal Analisa volume XV, Nomor 01, Januari-April 2008. 36.

Fitri Rahmawati, Rukhaini. Pendidikan Moderasi Beragama di Lembaga Pesantren Moderen, (Prosiding) "2nd NCESCO: National Conference on Educational Science and Conselling 2022", 147-156, (http://proceeding.iainkudus.ac.id/index.php/NCESCO

Gani, Burhanuddin A. “Pemahaman Hadis Seputar Shalat Tarawih Di Kalangan Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama”, Jurnal Al-Mu‘ashirah Vol. 13, No. 2, Juli 2016.

Ibrahim, Abdullah b. Risalah Ramadhan: Fadhail, Khasais, Ahkam, Fawaid, Adab, Fatawa, Tawjihat. Madinah: tp., 1994.

Ihsan, Pendidikan Moderasi Beragama Model Madrasah Pesantren, Kudus: IAIN Kudus Press, 2022.

Longhurst, Brian. “Karl Mannheim and the Contemporary Sociology of Knowledge”, (London; The Macmillan Press, Ltd, 1989)

Ma’arif, Cholid. “Maqasid Al-Qur’an Al-Ghazali Dalam Kitab Siraj at-Ṭalibin Karya Syekh Ihsan al-Jampesi”, Jurnal QOF, Vol. 4, No. 1, 2020, 58.

Marwazi al-, Abu Abdillah Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj. “Mukhtashar Qiyamullail”. Pakistan: Hadits Akademi, 1988.

Moleong, Lexy J., “Metodologi Penelitian Kualitatif” (edisi revisi) Bandung: PT.

Rosdakarya Remaja, 2021.

M. Fathurrahman, Dezan. "Implementasi Moderasi Beragama di Pesantren al-Muhajirin Purwakarta" (Skripsi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2022.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.

(16)

Nasir, Muhammad. Moderasi Beragama: Membumikan Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat, Riau: Kementerian Agama Kabupaten Lingga Kepri, 2021.

Nur, Muhammad, M, Iqbal Irham, Tasawuf dan Modernisasi: Urgensi Tasawuf Akhlaki Pada Masyarakat Moderen, "Substantia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin", Volume25, nomor 1, April 2023, h. 107

Nur Awalin, Rosna Binta. “Tradisi Shalat Tarawih Kilat di Pondok Pesantren Mambaul Hikam Desa Mantenan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar: Studi Persepsi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Blitar”. Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, 2019.

Penyusun, Tim. Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam, Jakarta:

Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa, 2019.

Qustulani, Muhamad. "Hakikat Dan Konsep Moderasi Beragama", dalam Moderasi Beragama: Jihad Ulama Menyematkan Umat dan Negeri dari Bahaya Hoax, (Tangerang: PSP Nusantara, 2019),

Rikza Taufieq, Muh. “Tradisi Shalat Tarawih Cepat di Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar”. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2020.

Sayyi, Ach. Pendidikan Islam Moderat: Studi Internalisasi Nilai-nilai Islam Moderat di Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa dan Pesantren Annuqayah Daerah Latee Guluk-guluk Sumenep, (Disertasi) Universitas Islam Malang, 2020.

Syaifuddin, Mochamad . “Imam Tarawih Dan Kuliah Tujuh Menit Masjid Jami’ Al- Mubarok Wangkal Krembung Sidoarjo”, Scholastica: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 3, Nomor 2, November 2021; e-ISSN: 2686-6234.

Wahid, Abdul. “Membungkam Perdebatan Seputar Tarawih 11 Versus 23 Rakaat”.

Malang: Penerbit The Wahid Center, 2018.

Zainul Muarif, Yahya. The Analysis Of Islamic Law In The Number Of Raka’ah In The Tarawih Prayer. Jurnal JPH, Volume 9, Nomor 3, December 2022.

Zarkasih, Ahmad. Sejarah Tarawih. Jakarta: Penerbit Rumah Fiqih Publishing: 2009.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

11 charter today, we are more than ever conscious that its aim is to protect individual human beings, not to protect those who abuse them.” Annan, 1999 It was clear, however, that

And whereas the Commissioiier of Crown Lands did, on the tweuty-first day of September, one thousand eight hundred and sixty-one, give instructions that 120 cattlc sliould be allowed