• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut UU SPPA, pengertian anak yang dimasukkan dalam SPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun,tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Menurut UU SPPA, pengertian anak yang dimasukkan dalam SPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun,tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak

Dalam hukum positif Indonesia, anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa ataupun orang yang belum mencapai usia tertentu yang ditetapkan Undang-undang sebagai batasan usia dewasa. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan atas perlindunga dari tindak kekerasan, diskriminasi, serta kebebasan. 1

Beberapa sarjana mencoba memberikan pengertian mengenai anak, yakni anak adalah keadaan manusia normal yang masih muda dan sedang menentukanidentitas serta sangat labil jiwanya sehingga sangat muda kena pengaruh lingkungan. Lilik Mulyadi berpendapat ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang

1 Kartini, Gangguan-gangguan Pshikis, Sinar Baru, Bandung, 1991, hal 15

(2)

20 yang belum dewasa (minderjaiglperson under age), atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij).2

Selanjutnya Marlina, menyimpulkan bahwa definisi menurut perundangan Negara Indonesia, anak adalah manusia yang belum mencapai 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum menikah.3 Oleh karena itu, anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seseorang anak masih mempunyai keterbatasan kemaampuan berfikir dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU SPPA, pengertian anak yang dimasukkan dalam SPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun,tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana. Beberapa pandangan di atas yang telah diuraikan, bahwa pengertian anak yakni orang yang masih dalam kandungan dan berumur dibawah 18 tahun (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.

Beberapa pandangan di atas yang telah diuraikan, bahwa pengertian anak yakni orang yang masih dalam kandungan dan berumur dibawah 18 tahun(delapan belas) serta belum kawin. Maksud dari kata belum adalah anak yang tidak dalam perkawinan atau pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila anak terkait dalam suatu perkawinan, atau perkawinanya putus karena perceraian maka anak tersebut dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum 18 (delapan belas) tahun. Secara filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda, sebagai

2 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori dan Praktek Permasalhannya Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 13

3 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal 21

(3)

21 salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis serta mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.4

Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan juvenile delinquency adalah: "Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma- norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan".

Simanjuntak juvenile delinquency adalah: "Suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma- norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti sosial dimana didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. Kartini Kartono juvenile delinquency adalah: "Perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang".

Selaras dengan pendapat diatas adalah Arif Gosita5 menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah:

4 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 25

5 Arif Gosita, Masalah perlindungan Anak, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992

(4)

22

“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.

Menurut Angger Sigit Pramukti dan Faudy Primaharsya, Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana6.

Anak yang menjadi korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan. Istilah peristiwa Pidana atau Tindak Pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah Belanda “strafbaar feit”. Dalam bahasa Indonesia disamping istilah peristiwa pidana untuk terjemahan strafbaar feit atau delict dikenal juga beberapa terjemahan lain tidak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum7. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, Straf,baar, feit. Secara literlijk, kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaarfeit

6 Angger Sigit Pramukti,S.H. & Faudy Primaharsya,S.H, Sistem Peradilan Pidana Anak Rajawali Press, Jakarta, 2005, hal 107.

7 C.S.T. kansil dan Christine S.T.Kansil,Pokok-pokok Hukum Pidana, Prenada Media, Cet. I, Jakarta, 2005, hal 17

(5)

23 secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum. Padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebanarnya tidak damikian halnya. Untuk kata baar ada dua istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Untuk kata feit digunakan empat istilah, yakni : tindak peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk memang lebih pas untuk diterjemahkan dengan perbuatan. 8

Kata pelanggaran telah digunakan dalam perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah overtrading sebagai lawan dari misdrijven (kejahatan) terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam buku III dan Buku II KUHP. Sementara itu, istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai Terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan ilmu Hukum kita, misalnya istilah materiele feit atau formeele feit (feiten een formeele Omschrijiving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana formil. Sementara itu pendapat Simons yang dikutip dari karya tulis Moeljanto yakni Asas-asas hukum pidana, Strafbaarfeit itu sendiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua, hal itu berbeda juga dengan perbuatan pidana sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggung jawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.9Dalam pengertian tindak pidana, pembentuk undang-undang kita

8 Adami Chazawi, pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Perseda, Jakarta, 2002,hal 69

9 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, PTRineka Cipta, Jakarta,1993,hal 56

(6)

24 menggunakan Istilah strafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak secara Terperinci.

Pembedaan tindak pidana anak dengan tindak pidana orang dewasa lebih dititikberatkan pada sistem pemidanaannya. Di bawah ini akan diuraikan mengenai sistem pemidanaan terhadap anak sebagaimana yang diatur secara khusus dalam UU SPPA. Di bentuknya UU SPPA antara lain karena anak merupakan amanah dari karunia Tuhan yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa untuk menjaga harkat danmartabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.

Bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Didasari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima sebagai suatu fakta sosial. Oleh karena perlakuan terhadap Tindak Pidana anak seyogyanya berbeda dengan perlakuan terhadap tindak pidana pada umumnya yang di lakukan oleh orang dewasa.

Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana anak adalah setiap perbuatan baik berupa kejahatan maupun pelanggaran sebagaimana diatur dalam perundang-undangan hukum pidana. Bahkan berdasarkan UU SPPA diperluas

(7)

25 lagi, bukan hanya perbuatan yang dilarang oleh perundang-undangan hukum pidana melainkan termasuk perbuatan yang dilarang menurut peraturan hukumlain yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Konteks upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak, kiranya penggunaan kualifikasi tindak pidana dengan menggunakan istilah anak nakal akan lebih tepat untuk menghilangkan cap yang kurang baik bagi perkembangan psikologi anak dikemudian hari. Namun demikian ada juga pendapat yang ingin menggunakan istilah anak bermasalah dengan hukum sebagaimana digunakan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.

Menurut pendapat Nandang Sambas penggunaan istilah anak bermasalah dengan hukum lebih bersifat subyektif, dalam arti ditunjukan terhadap anak secara individu. Sedangkan istilah anak nakal secra objektif ditunjukan terhadap perilaku anak.10

Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukm lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Fenomena yang melatarbelakangi adalah adanya pelaku tindak pidana yang masih dalam kategori anak. Pengertian ini mengandung makna bahwa anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena dalam

10 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, graha ilmu,2010, hal.167

(8)

26 dirinya melakat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945, dan sisi kehidupan berbangsa dan bernegara Anak adalah masa depan dan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hal sipil dan kebebasan. Mengingat cirri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili, pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyeslesaian diluar jalur pengadilan, yakni melalui pendekatan keadilan Restoratif. Sebagian berpendapat bahwa putusan Pengadilan anak menjatuhkan vonis bersalah pada si pelaku anak dengan pidana di bawah ancaman minimum undang-undang Perlindungan anak, mengingat menurut undang-undang itu pula dinyatakan bahwa pemidanaan hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir jika upaya lain tidak lagi dirasakan efektif memberikan rasa keadilan.

Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap harus mempertanggung jawab perbuatannya, namun demikian mengingat pelaku tindak pidana masih dibawah umur maka proses

(9)

27 penegakan hukumnya dilaksanakan secara khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan yang tertuang didalam UU SPPA.

Sesuai dengan aturan maka dapat diindentifikasi bahwa dalam hal menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan cirri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penanganan sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kesejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perwatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Perlindungan anak pada dasarnya merupakan suatu bidang pembangunan Nasional, dimana semangat yang dikembangkan bahwa melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuhnya. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusi Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur.

mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan menetapkan pembangunan nasioanal. Akibat tidak adanaya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,keamanan, dan pembangunan hukum itu sendiri11 Perubahan dan perkembangan dalam kerangka pembangunan hukum khususnya dalam UU

11Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Widiaksara Indonesia, Jakarta, 2006, hal,32

(10)

28 SPPA dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak. Perubahan dan perkembangan tersebut di antaranya adalah adanya diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka (7) UU SPPA dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 6 UU SPPA menyebutkan bahwa Diversi bertujuan : a.Mencapai perdamaian anatara korban dan anak

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA berisi bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Pasal 7 ayat (2) nerisi bahwa diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Tujuan diversi dalam sistem peradilan pidana adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut merupakan upaya untuk memenuhi berbagai hak anak yang bermasalah dengan hukum.

(11)

29 Uraian di atas menunjukan bahwa terdapat upaya yang patut diapresiasi bahwa pemerintah telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaharuan undang-undang atau substansi hukum. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana. Urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan criminal, dna kebijakan penegak hukum).

Dengan demikian pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengundang makna, suatu upaya untuk melakukan reformasi hukum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio- filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan penegakan hukum di Indonesia Teori hukum dalam Diversi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan Negara, dengan demikian anak perlu dibina denganbaik agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak. Setiap komponen bangsa,baik pemerintah maupun non-pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Komponen-komponen yang harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Anak nakal itu merupakan hal yang wajar-wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua yang menghendaki kenakalan anaknya berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana.

(12)

30 Pada kenyataannya banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak.

Jika ditelusuri, seringkali anak yang melakukan tindak pidana adalah anak bermasalah yang hidup ditengah lingkungan keluarga atau pergaulan sosial yang tidak sehat istilah kenakalan anak itu pertama kali di tampilkan pada badan peradilan di Amerika dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang peradilan bagi anak di Negara tersebut.

Secara filosofi anak merupakan bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang yang memiliki peran serta cirri-ciri khusus serta memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara langsung tidak langsung.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak yang berkonflik dengan hukum yang diduga melakukan tindak pidana. Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/ keadaan di bawah umur (minderjarigheid/ inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (mindrjarige ondervoordij). Dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut diatas ternyata hukum Indonesia tidak mengatur

(13)

31 adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak. Masalah perlindungan hukum dan hak- haknya bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak- anak Indonesia. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Agar perlindungan hak-hak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat indonesi yang dijiwai sepenuhnya oleh pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil, dan kesejahteraan anak. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kasus yang sering muncul di dalam masyarakat yang melibatkan anak sebagai pelakunya maka dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi dapat memungkinnkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial lainnya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda atau dibawah umur tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.

(14)

32 Pelaksanaan diversi juga harus dengan persetujuan anak sebagai pelaku kejahatan, orang tua atau walinnya serta memerlukan kerja sama dan peran masyarakat sehubungan dengan adanya program seperti : pengawasan, bimbingan,pemulihan, serta ganti rugi kepada korban. Proses diversi wajib memperhatikan : kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negative, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan keputusan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Terhadap anak yang telah ditangkap polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. kemudian apabila kasus anak sudah sampai dipengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila anak sudah sampai berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat membuat kebijakan diversi terhadap anak sehingga anak dapat dilimpahkan ke lembaga sosial, atau sensi alternative yang berguna bagi perkembangan dari masa depan anak. Akan tetapi diversi ini hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Hal ini sangat Perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi pemaksan dan intimidasi pada Semua tahap proses diversi. Seorang anak tidak boleh merasa tertekan atau Ditekan agar menyetujui program-program diversi.

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan /atau keluarga Anak Korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

(15)

33 setempat. Dalam ide dasar dari pelaksanaan diversi ini ialah teori absolute dan relative, di dalam teori absolute mengatakan bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan merupakan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat. Sedangkan dalam teori relative (doeltheori) dilandasi tujuan (doel) sebagai berikut :

1. Menjerakan dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bagi masyarakat umum dapat mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hukuman yang serupa.

2. Memperbaiki pribadi terpidana dalam perlakuan dan pendidikan yang diberikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna. Yang kedua, menurut kami teori hukum yang menjadi ide dasar diberlakukan diversi ialah teori kedulatan hukum.

Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa digunakan untuk memenuhi rasa keadilan bagi orang terbanyak yang dituduhkan kepadannya. Karena sifatnya yang berusaha mencari keadilan yang setinggi-tingginya, maka hukum wajib ditaati oleh manusia. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewajiban atau kekuasaan. Ini merupakan salah satu bentuk penyelesaian yang digunakan dalam sistem peradilan pidana, dalam sistem peradilan pidana ini memiliki cirri yang khusus oleh anak pun bersifat pula. Karena dalam proses pelaksanaan diversi ini, kedua pihak baik dari pihak pelaku maupun korban bersama-sama dengan aparat

(16)

34 penegak hukum mencari jalan keluar atau solusi yang tepat untuk penyelesaian perkara dengan jalan kekeluargaan.

Untuk itu diversi ini juga menggunakan teori tersebut sebagai ide dasar penerapannya. Pelaksanaan diversi memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sesuai dengan prinsip utama dari diversi, mempunyai dasar kesamaan yaitu menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan anak pelaku untuk menjalankan sanksi alternatif. Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan kebijakan diversi membawa partisipasi masyarakat dan mediator sebagai salah satu komponen penting selain aparat penegak hukum sistem peradilan pidana. Peran masyarakat di sini adalah memberikan aspirasinya dalam pelaksanaan proses restorative justice yaitu dengan mengusahakan agar dapat mengembalikan tatanan masyarakat yang terganggu akibat pelanggaran yang dilakukan pelaku dan mengembalikan korban dan pelaku ke dalam wadahnya semula yaitu keluarga dan lingkungan.

B. Diversi

Indonesia telah meratifikasi Convention on The Rights of the child atau konvensi hak-hak Anak melalui keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, oleh karena itu indonesia telah terikat baik baik secara yuridis, Politis, maupun moral untuk

(17)

35 mengimplementasikan konvensi tersebut.12 Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan bagi anak. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah anak, anak yang memrlukan perlindungan khusus diantaranya anakanak berkonflik dengan hukum.

Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia (President Crime Commission) di Amerika Serikat pada tahun 1960.

Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk Seperti diversi telah ada sebelum tahun1960 ditandai dengan bedirinya peradilan Anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautionig).13

Di Indonesia istilah diversi pernah di munculkan dalam perumusan hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 oktober 1996. di dalam perumusan Hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara lain diversi, yaitu Kemungkinan hakim menghentikan atau mengahlikan/tidak meneruskan Pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan

12 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Cet.ke-4 (edisi Revisi), Bandung, 2013, hal 129

13 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hal 10

(18)

36 Di muka sidang. ide diversi sebagai bentuk pengahlian atau penyampingan Penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional, ke arah Penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi Dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek Penyelenggaraan peradilan anak. Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakanmeneruskan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah perkara tersebut diteruskan atau dihentikan.

Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanksi pidana yang harus dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah pihak dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini menjadi prinsip mengapa dilakukan diversi khususnya bagi tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi residivis.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 angka 7 UU SPPA. Secara konseptual, diversi adalah mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial. Diversi juga bermakna suatu upaya untuk mengalihkan anak

(19)

37 dari proses yustial menuju proses non-yustial. Upaya untuk mengalihakan proses peradilan (pidana) anak menuju proses non-peradilan didasarkan atas pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam proses peradilan pada dasarnya telah melahirkan stigmatisasi.14 Pengalihan proses yustisial ke proses non- yustisial dalam penyelesaian perkara anak mempunyai urgensi dan relavansi sebagai berikut:

A. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis, khususnya kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak hukum. Terjadinya kekerasan terpola dan sistimatis terhadap anak dalam proses pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi anak. Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap anak justru akan menghindarkan anak dari danpak negatif karena terjadinya kontak antara anak dengan aparat penegak hukum dalam proses peradian.

B. Melalui mekanisme diversi tetap diberikan peluang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi melalui mekanisme yang lebih elegan menurut prespektif anak.

Penyelesaian secara non-yustisial tidak dimaksudkan untuk membebaskan anak dari kemungkinan adanya prtanggungjawaban

14 Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penanggulangan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.111 dikutip dari buku : Kusno Adi, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Op.cit,hal.122

(20)

38 anak terhadap segala akibat perbuatannya. Oleh karenanya, melalui mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda. Di satu sisi anak terhindar dari berbagai danpak negatif akibat kontak dengan aparat penegak hukum, di sisi lain anak tetap dapat mempertanggungjawabnkan akibat perbuatannya tanpa harus terjadi terkenan terhadap mental anak.

C. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi terhadap penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama ini. Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan pidana termasuk terhadap anak seiring menimbulkan danpak negatif yang demikian kompleks, sehingga menjadi faktor kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak pidana anak.

D. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non-yustisial, diversi berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan berbagai layanan seperti, medis, psikologis, rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka diversi juga merupakan proses depenalisasi dan sekaligus dekriminalisasi terhadap pelaku anak.

E. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus seseorang, misalnya seorang anak yang diduga telah melakukan tindak pidana.

(21)

39 Tujuan memberlakuan diversi pada kasus seorang anak antara lain adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelebelan amak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.

Secara teoritis, penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi akan memberikan berbagai manfaat sebagai berikut.

a. Memperbaiki kondisi anak demi masa depannya

b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka perlindungan anak.

c. Meningkatkan peran dan kesadaran orang tua dan lingkungan keluarga anak.

d. Mengurangi beban kerja pengadilan.

Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Kata “wajib diupayakan”

mengandung makna bahwa penegak hukum dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa dilaksanakan.

Kewajiban mengupayakan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU SPPA. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenagan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau diskresi. Menurut konsep diversi dalam penanganan kasus anak, di Kepolisian yang berhadapan dengan hukum, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi

(22)

40 mendidik kembali dan memperbaiki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif.

Diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana. Selain itu, diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat.

Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Lembaga pemasyarakatan yang tadinya disebut penjara, bukan saja dihuni oelh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, tetapi juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar, dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu dengan intesifnya penegak hukum pemberantasan KKN dan white collar crime lainya, penghuni lembaga pemasyarakatan pun makin beragam antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni lembaga pemasyrakatan pun menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia, maupun panjangnya hukuman dari 3 bulan, sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

(23)

41 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalun non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawaan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabdikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang mentaati hukum. Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum tidak terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan menempatkan kejujuran dan pelaksanaan yang sama terhadap semua orang. Petugas dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan berbeda. pelaksanaan diversi bertujuan mewujudkan keadilan dan penegakan hukum secara benar meminimalkan pemaksaan pidana.

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya ,masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (approprite treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :

1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation) yaitu aparat

(24)

42 penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan

atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau

peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas

perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi

pelaku oleh masyarakat.

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu me;laksanakan fungsi untuk mengawasi, mencmpuri,

memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.

Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan

perbaikan atau pelayanan

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation) yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korbn pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model informal yang tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti

(25)

43 polisi memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk berdamai) keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian, penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku. Secara konteks variabel seperti pengorganisasian, kedudukan dan faktor situasi juga relevan dalam pelaksanaan diversi. Isu kunci kemampuan sebuah organisasi dapat mengontrol perilaku anggotanya dengan mengawasi jalannya aturan dan praktek pelaksanaannya agar tidak dipengaruhi oleh keinginan pribadi atau sebagian dari masyarakat dengan prioritas atau standar kemampuan. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia sebagai bagi pembangunan nasional.

Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, diperlakuan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Pada media massa dan elektronika sering memberitakan tentang kejahatan yang dilakukan anak dapat merugikan orang lain, bahkan mengganggu ketertiban umum.

Adapun perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak ini tentu saja harus ditangani lebih serius, terutama proses penyidikan anak dan peradilan berdasar peraturan perundangan yakni tentang pengadilan anak. Kenakalan anak

(26)

44 yang menjurus pada tindak pidana itu bukan saja dilatarbelakangi oleh lingkungan keluarga, namun juga disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain disebabkan adanya dampak dari keadaan interen keluarga, lingkungan social dan pengaruh pergaulan serta kondisi internal, aspek biologis dan psikologis anak. Selain itu faktor eksteren bisa saja menjadi faktor pendorong kejahatan anak, yakni kurangnya perhatian orang tua, lingkungan pergaulan yang mempengaruhinya serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimanfaatkannya dan atau yang tidak mampu diadopsi dalam pribadinya secara tepat oleh si anak.

Perubahan kondisi keluarga cukup dominan mempengaruhi perkembangan jiwa dan sikap anak, antara lain anak kurang kasih sayang, asuhan dan bimbingan dalam perkembangan sikapnya, perilaku, kemampuan menyesuaikan diri serta pengawasan yang lebih konduksif terhadap pekembangan lahir batin anak sehingga dapat merugikan perkembangan pribadi anak tersebut. Pada saat ini pergeseran norma-norma yang ada dalam masyarakat berkembang secara dinamis dan tidak dapat dihindarkan lagi. Anak yang mampu mengadaptasi dan merespon dinamika perkembangan masyarakat akan menjadi anak yang baik, pandai dan memiliki dedikasi. Anak yang tidak mampu merespon kondisi dinamik dalam masyarakat karena kemajuan dan pembangunan, anak menjadi anak yang frustasi, tidak memiliki kemampuan dan tindaknya merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Untuk menjamin dan menjaga kelangsungan keseimbangan individu dalam hubungan antara anggota masyarakat diperlukan aturan-aturan hukum yang dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat, dimana aturan hukum itu ditaati

(27)

45 dan dijalankan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat.

Penerapan sanksi hukum terhadap warga masyrakat termasuk anak yang melanggar hukum, diharapkan dapat berpengaruh positif bagi perkembangan kepribadian anak, sepanjang hukuman itu bersifat mendidik bukan semata-mata bentuk sanksi atau ganjaran pidana kepada anak yang melakukan kejahatan tadi.

Mengenai hak anak selaku tersangka/terdakwa, pemerintah memberikan perlindungan sejak dari penyidikan, pemeriksaan sampai persidangan. Adapun hak-hak anak tersebut diantarannya adalah :

a. Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan, hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

b. Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

c. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

d. Tersangka anak berhak segera diadili oleh pengadilan.

e. Anak berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.

f. Anak mendapatkan kebebasan dalam memberikan keterangan selama persidangan berlangsung.

g. Anak berhak mendapatkan perlakuan yang layak, dibedakan dan dipisahkan dengan tahanan dewasa.

Perbedaan perlakuan dan ancaman yang telah diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak itu, perbedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa

(28)

46 dan negara. Untuk menangani perkara pidana anak, UU SPPA menghendaki petugas hukum khusus. Dalam bidang kesehatan tidak asing lagi ada petugas yang sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penangnan perkara anak.

Berkenan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang undang-undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masing- masing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanaya petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 pasal 2 ayat (3) dan (4) bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Kedua ayat tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.

Perlindungan anak adalah suatu usha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Menurut Arif Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu untuk mengatahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempunyai

(29)

47 peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Pada dasarnya usaha perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk kepentingananak dan mempunyai danpak positif pada orang tua. Harus diperjuangkan agar asas-asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahankan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Namun hal terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas anak untuk menyuarakan kehendak, cita-cita dan harapan mereka terhadap masyarakat dan perubaha social menurut perspekti mereka.

C. Tujuan Pemidanaan dalam sisten Peradilan Pidana Anak

Sanksi pidana merupkan suatu penerapan hukuman yang di jatuhkan kepada para pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatana melawan hukum, dimana perbuatan tersebut dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain dan telah diatur dalam suatu undang-undang tertentu. Di Indonesia sendiri penerapan sanksi pidana telah diatur dalam suatu undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Dalam penerapan sanksi atau hukuman pidana terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, menurut ketentuan pasal 10 KUHP, hukuman itu terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana Kurungan dan denda. Sementara pidana tambahan terdiri dari : pencabutan Hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

(30)

48 Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen) dan teori relative atau teori tujuan (utilitarian/doelt theorien), yang dapat dijelaskan sebagai berikut :15

a. Teori absolute atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen),

Teori absolute, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-semata karena orang

telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest).

b. Teori relative atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)

Oleh karena teori pembalasan kurang memuaskan, maka timbul teori relatif.

Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib dalam masyarakat.

Mengenai teori-teori tenttang tujuan pemindanaan ini dikenal juga teori treatment (teori pembinaan/perawatan). Treatment sebagai tujuan pemindanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemindanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemindanaan dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan

15 Dwidja Priyanto, system Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung , Refika Aditama, 2006,hal 24

(31)

49 sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatsi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Pemidanaan seyogyanya memperhatikan tujan pemidanaan yang bersumber dari filsafat pemidanaan, yang dijelaskan lebih detail di dalam berbagai teori tujuan pemidanaan. Pidana yang dijatuhkan idealnya harus sesuai dengan tujuan pemidanaan, sehingga dampak positif yang diharapkan dari pemidanaan itu dapat tercapai.

Pada pengadilan anak berbeda dengan pengadilan biasa, dalam pengadilan anak sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa dalam pengadilan anak saat ini berpedoman dengan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku yaitu UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sesuai dengan asas lex specialis derogate lex generale, maka dengan berlakunya UU SPPA, hal-hal yang mengatur tentang peradilan pidana anak telah diatur didalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu hal-hal yang mengatur sistem peradilan pidana anak di luar undang-undang tentang sistem peradilan pidana anak secara otomatis tidak berlaku lagi, kecuali hal-hal yang tidak diatur dalam undang- undang tentang sistem peradilan pidana anak tersebut.

Berdasarkan KUHP bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada seorang anak Berbeda dengan sanksi yang dijatuhkan kepada orang dewasa. Dalam pasal 47 Ayat (1) KUHP menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada anak, maka maksimum pidana pokok terhadap perbuatan pidananya dikurangi

(32)

50 sepertiga, sedangkan dalam UU SPPA, terhadap anak nakal dapat dijatuhkan sanksi berupa pidana Maupin tindakan. Hal ini telah diatur dalam pasal 71 dan pasal 82 UU SPPA yaitu :

A. Pidana (Pasal 71 UU SPPA)

(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas : a) Pidana peringatan

b) Pidana dengan syarat :

1) Pembinaan diluar lembaga 2) Pelayanan masyarakat, atau 3) Pengawasan.

c) Pelatihan kerja

d) Pembinaan dalam lembaga, dan e) Penjara

(2) Pidana tambahan terdiri atas :

a) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana b) Pemenuhan kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materil diancam pidana komulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

(4) Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan Martabat anak.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

b. Tindakan (Pasal 82 UU SPPA)

(33)

51 (1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi :

a. Pengembalian kepada orang tua / wali b. Penyerahan kepada seseorang

c. Perawatan di rumah sakit jiwa d. Perawatan di LPKS

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta

f. Pencabutan surat ijin mengemudi, dan atau g. Perbaikan akibat tindak pidana.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 tahun.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh penuntut umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Tindakan dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran dapat dilaksanakan secara langsung oleh hakim atau tidak langsung oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh. Tindakan tersebut berupa peringatan kepada anak untuk btidak melakukan atau mengulangi tindak pidana lagi. Dalam UU SPPA tidak menghendaki adanya penjatuhan hukuman pidana berupa pidana mati terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam pemeriksaan perkaraa yang melibatkan seorang anak harus mengutamakan kepentingan anak. Hal ini disebabkan anak merupakan suatu cikal bakal bangsa yang harus dijaga untuk mendapatkan

(34)

52 perlindungan dan pembinaan dalam rangka menjamin pertumbuhan perkembangan fisik dan mental.

Apabila seorang anak dijatuhi hukuman pidana mati maka tidak mungkin terpidana akan mendapatkan pembinaan ke masa depan yang lebih baik dan tidak mungkin juga akan memperbaiki kesalahan terhadap apa yang dilakukan, demikian juga degan pidana seumur hidup UU SPPA tidak menginginkannya.

Jenis sanksi yang selanjutnya adalah berupa tindakan, dimana anak nakal menurut putusan pengadilan dikembalikan kepada orang tua/wali, atau orang tua asuhnya bukan berarti sepenuhnya dibawah pengawasan orang tuanya tersebut, akan tetapi anak yang bersangkutan tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan dari pihak Lembaga Pemasyarakatan Anak. Dalam suatu perkara anak nakal yang mana hakim telah berpendapat bahwa orang tua,wali,atau orang tua asuhnya tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja sendiri dimaksudkan agar anak nantinya setelah menjalani tindakan tersebut dapat berubah menjadi seseorang yang mandiri.

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan sangatstrategis dalam perkembangan dan kemajuan suatu Negara. Menurut Nicholas Mcbala dalam buku Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode di antara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan, kemampuan, termasuk

(35)

53 keterbatasan yang membahayakan orang lain.16 Melindungi anak adalah melindungi dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat dari pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Apabila tidak adanya perlindungan anak maka akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat menganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional.

Hal ini menandakan bahwa perlindungan anak harus dilakukan dan ditegakan demi pembangunan nasional yang memuaskan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerapan hukum terhadap anak memiliki pendefinisian tentang anak yang berbeda-beda. Berikut adalah pengertian tentang anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain.

1. Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapn belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Dalam Pasal 1 ayat (26) Unang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pengertian anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

3. Dalam hukum adat pengertian anak menurut Hilman Hadikusuma bahwa seseorang dikatakan sudah dewasa apabila sudah kawin dan berumah tangga (mandiri) dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tuannya.17

16 Nicholas M..C Bala dan Rebecca Jeremko Bromwich, Juvenile Justice System an Internastional Comparasion of Problem and Solutions, Toronto, Eduacitional Publishing inc,hal.4

17 Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta, Fajar Agung,1982, hal.17

(36)

54 4. Sedangkan menurut hukum islam untuk menentukan orang sudah dewasa atau belum dapat dilihat dari umum dan cirri fisik.

Sesorang belum dikatakan dewasa apabila belum berumur 15 (lima belas) tahun, kecuali sebelum itu telah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh tetapi tidak kurang dari 9 (Sembilan) tahun.

Anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan pidana atau perbuatan yang terlarang bagi anak. Baik terlarang menurut perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Masalah anak melakukan perbuatan pidana dapat mudah dipahami, yaitu melanggar ketentuan dalam peraturan-peraturan hukum yang ada. Misalnya melanggar pasal-pasal yang diatur dalam KUHP atau peraturan hukum pidana lainnya yang tersebar diluar KUHP, seperti perbuatan pidana narkotika dan sebagainnya. Tidak demikian masalahnya dengan pengertian melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Larangan berarti hal-hal yang dianggap tabu dan tidak boleh dilakukan oleh setiap anak. Pengertiannya jauh lebih luas, karena selain norma hukum juga meliputi norma-norma adat kebiasaan, norma agama, etika dan kebudayaan yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang bersangkutan.18

Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini diperlukan karena anak merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu perlindungan anak dan perawatan khusus terhadap anak sangatlah

18 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta, djambatan,2000,hal.21

(37)

55 diperlukan. Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada dasranya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Setelah diundangkannya Undang-undang pelindungan anak, amak istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), saat ini UU SPPA menggunakan anak yang berkonflik dengan hukum.

Diversi sendiri tidak bisa terlepas dari adanya restoratif justice, proses secara restorative justice merupakan penyelesaian tindakan pelanggaran hokum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama- sama. Dimana dalam pertemuan tersebut terdapat mediator yang memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya.

Pengadilan Negeri wajib mengupayakan Diversi, dengan syarat tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Dalam keadilan restoratif atau restoratif justice merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, atau keluarga mereka dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Keadilan restoratif merupakn sistem peradilan pidana yang harus mendukung terciptanya masyarakat yang damai dan adil, sistem peradilan seharusnya ditunjukan untuk menciptakan peramaian, bukan untuk menghukum.

Para pendukung keadilan restoratif memandang upaya Negara untuk menghukum

(38)

56 dan mengawasi (sebagaimana pendekatan retributive) justru telah memicu orang melakukan kejahatan-kejahatan berikutnya, bukan membuat orang takut melakukan kejahatan. Permasalahan yang mendasar ialah sulitnya keadilan restoratif diterima karena pandangan terhadap pelaku kejahatan tesebut digeneralisir dan dilandaskan oleh suatu kebencian, dendam atau ketidaksukaan buka kepada kepentingan yang lebih luas di dalam pembelakuan hukum pidana dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentigan pelaku dan korban.

Tujuan pradilan pidana anak dengan keadilan restoratif yaitu untuk :

a. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak b. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan c. Menjauhkan anak dari pengharuh negative proses peradilan d. Menanamkan rasa tanggung jawab anak

e. Mewujudkan kesejahteraan anak

f. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan g. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

h. Meningkatkan ketrampilan hidup anak.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan atau dari jalur hukum ke jalur non hukum, serta adanya kesepakatan dari pihak pelaku, korban, dan keluarganya.

Tujuan memberlakuan diversi pada kasus seorang anak antara lain adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelebelan anak sebagai penjahat, anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya. Jadi, pada

(39)

57 dasarnya pengertian diversi adalah pengalihan dari proses peradilan ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negative terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut diskresi. Dengan penerapan diversi bentuk peradilan formal yang ada selam ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungn bagi anak dari tindakan pemenjaraan.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum. Kedua, keadian tersebut dipaparkan melalui sebuah penilitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment). Ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu :

a. Pelaksanaan control secara sosial (social control orientatation). yaitu aparat penegakan hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatan dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu dengan melaksanakan fungsi untuk mengawasi, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.

Masyarakat dapat membantu keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

(40)

58 c. Menuju proses restorative justice perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu memberi kesempatan pelaku bertanggang jawab langsung pada korban dan masyarakat serta membuat sebuah kesepakatan bersama antara korban, pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Diversi dalam penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana secara spesifik ketentuannya diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA, Mengingat cirri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyesalan diluar jalur pengadilan, yakni melalui proses diversi berdasarkan pendekatan keadilan restorative.

Referensi

Dokumen terkait

1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. 2) Pidana pembatasan