• Tidak ada hasil yang ditemukan

MERETAS FUNDAMENTALISME DAN DOGMATISME DI GEREJA TORAJA MAMASA: PEMBACAAN ALKITAB ALTERNATIF PADA LUKAS 11:1-13 DALAM KONTEKS SPIRITUALITAS MAKANAN MASYARAKAT MAMASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "MERETAS FUNDAMENTALISME DAN DOGMATISME DI GEREJA TORAJA MAMASA: PEMBACAAN ALKITAB ALTERNATIF PADA LUKAS 11:1-13 DALAM KONTEKS SPIRITUALITAS MAKANAN MASYARAKAT MAMASA"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

Dr. (h.c) Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D yang dengan sabar membimbing saya dalam perjalanan ilmiah dan meneladani nilai-nilai cinta melalui nasehat dan produk pemikirannya yang mencerahkan. Yusuf Artha, M.Th., M.Pd.K yang selalu peduli dan tidak pernah mengeluh, menjembatani segala kebutuhan studi saya dan menaruh harapan kepada generasi muda dan kader-kader di GTM.

Daftar Singkatan

Penafsiran teks alkitabiah dalam penelitian ini merupakan bacaan yang dipengaruhi oleh perspektif budaya penafsir/pembaca sebagai suatu praanggapan epistemik yang diakui penting dalam pencarian makna eksistensial bagi praktik teologi gereja. Kegiatan penafsiran dalam penelitian ini muncul sebagai alternatif model penafsiran yang juga bertujuan untuk mengatasi fundamentalisme dan penafsiran dogmatis yang berlaku di lingkungan Gereja Toraja Mamasa.

Abstract

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Singgih, “Memperhatikan Teks dan Konteks: Metode Penafsiran Alkitab bagi Anggota Gereja,” dalam Gereja, Teologi, dan Masyarakat, ed. Penafsiran Alkitab dalam GTM lebih mengenal pendekatan dogmatis20, yang tidak bertujuan untuk menafsirkan teks Alkitab dalam kaitannya dengan konteks seperti yang didefinisikan di atas, melainkan seperti itu. Menghidupkan teks Alkitab dengan keyakinan lokal masyarakat yang dimaksud di sini dapat menjadi upaya teologis yang “putus asa” dalam konteks GTM, apalagi konteks tersebut masih mewarisi paradigma Kristen yang sangat dogmatis.

Kecenderungan fundamentalisme dan konservatisme dalam GTM terkadang muncul dalam ungkapan verbal, seperti “kami adalah Calvinis”. Kecenderungan fundamentalisme dan konservatisme dalam GTM terlihat dari akarnya di masa lalu terkait dua hal: warisan teologi misionaris di wilayah Mamasa dan tekstualisme Barat di era evangelisasi.

Visi Kemandirian Teologi dan Orientasi Teologi Kontekstual GTM

Perbedaan konteks jemaah di GTM, misalnya antara perkotaan dan kawasan transmigrasi, cenderung berbeda dengan jemaah di desa. Pertama, beberapa kajian mengenai hal ini dalam lingkup GTM meyakini adanya perbedaan pandangan teologis terhadap kebudayaan terkait dua tokoh injili di masa lalu, Arie Bikker dan M. Kedua, fundamentalisme di kalangan GTM juga dipengaruhi oleh tekstualisme Barat pada masa injili.

Namun, hal ini berarti GTM juga harus semakin menyadari pentingnya mengubah paradigma teologisnya dari dogmatisme ke keterbukaan dialektis yang lebih besar terhadap budaya dan seni lokal melalui pendekatan teologis. Hal ini terlihat dari berbagai aksi yang dilakukan lembaga ini, seperti: Pengakuan Iman GTM pada bulan Juli 201133, reformulasi eklesiologi GTM pada bulan November 2011,34 revisi model GTM PI pada tanggal 2-3 Maret 201235, perhatian terhadap hubungan gereja dengan agama Aluk Toyolo terkait dengan kritik konteks budaya pada 4-7 Maret 201236, rumusan pandangan pastoral gereja mengenai praktik budaya pada 21-24 November 201337, dan rumusan beberapa sudut pandang GTM mengenai permasalahan konteks sosial-politik sebagai upaya untuk melihat bagaimana umat Kristiani Mamasa melihat identitasnya dalam konteks budaya38 dan pergeserannya, bahkan perubahan sosial, politik dan eklesiologis serta praktik misionaris.

Benturan Teologis dan Ketegangan Paradigmatik

Sederhananya, bisa dikatakan bahwa pendekatan teologis kontekstual gereja bisa dianggap mengilhaminya.39 Teologi kontekstual sebagai moderasi teologi sendiri merupakan persoalan GTM, sebagaimana dalam dokumen-dokumen yang penulis tunjukkan di awal. 40 Artikel yang bagus sebagai wacana moderasi beragama yang dapat berkontribusi pada pengembangan teologi kontekstual dalam kerangka GTM adalah Makmur Tore, “Reconstructing the Protestant Church’s Approach to Islam: Radical Hermeneutics of Luther’s (and Calvin’s) Approach to Islam menurut Charles Amjad Ali dan relevansinya dengan gereja Protestan di Asia (Pakistan dan Indonesia) dalam perjumpaannya dengan Islam,” dalam LOKO KADA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Ekumenis, Vol. Akarnya juga dapat ditelusuri dari sejarah pertemuan-pertemuan di masa lalu dan berkaitan dengan kiprah para misionaris Lutheran dan Calvinis di Indonesia.

Enkulturasi budaya memang pernah terjadi di masa lalu, namun juga terkontaminasi dengan cara-cara kolonial dan imperial. Berbagai pengalaman terkait hal tersebut, terutama kaitannya dengan perpindahan agama di masa lalu dan bagaimana umat Kristiani masih mewarisi paradigma keagamaan Aluk yang memandang fungsi struktural dalam masyarakat dan hukum adat secara formal dan legal akan diuraikan pada Bab II skripsi ini. .

Persoalan Hermeneutik di GTM

Untuk mencapai visi teologisnya yang lebih kontekstual, GTM memerlukan kajian akademis yang lebih mendalam dan memadai mengenai teologi kontekstual, antarbudaya, serta pengembangan pendekatan hermeneutika yang relevan. Hal ini dapat dianggap sebagai alasan khusus mengapa konservatisme dalam GTM tumbuh dan kemudian menjadi permasalahan teologis tersendiri terkait penelitian ini. Pergeseran ini memerlukan jembatan yang disebut hermeneutika kontekstual, yang dalam kajian ini disebut dengan ‘hermeneutika tiga konteks’.

Uraian Wijsen dalam tulisan ini akan menjadi penting dalam mendukung metode hermeneutika dengan tiga konteks dalam kaitannya dengan analisis guna membangun pemahaman hasil penelitian ini dalam konteks gereja dalam kaitannya dengan teologi praktis dan pastoral dalam GTM, yaitu akan dijelaskan pada bab IV. Pendekatan atau cara pandang pascakolonial yang dipahami di sini pada dasarnya adalah paradigma dan kemudian pendekatan yang kritis terhadap cara pandang kolonialisme di masa lalu, yang mengakibatkan banyak hal terkait dengan pandangan dunia, budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang bersifat imperialis. dan mengendalikan.

Perjumpaan Teologi Makanan dalam Lukas 11:1-13 dengan Makna Makanan dalam Spiritualitas Kultural Mamasa Spiritualitas Kultural Mamasa

  • Spiritualitas mengenai Makanan di Kalangan Masyarakat Mamasa
  • Teologi Makanan dalam Lukas 11:1-13

Pertemuan teologi makanan dalam Lukas 11:1-13 dengan makna makanan dalam Spiritualitas Budaya Mamasa Spiritualitas Budaya Mamasa. Mengundang orang untuk makan merupakan kewajiban moral.50 Tuan rumah akan mengundang setiap orang yang mengunjunginya untuk makan pada saat makan. Dalam Matius, penjelasan terkait makanan dipisahkan dalam satu ayat yang jauh dari gagasan lain bahwa TB-LAI berkaitan dengan urusan hidup, meskipun masih dalam satu bab yang sama (pasal 6).

51 Francis Borgias, “Food Theology: Listening to Scripture as Cultural Criticism,” dalam Biblical Forum: Popular Scientific Journal, no. Dalam Lukas kita menemukan kisah-kisah dalam beberapa bagian yang dengan jelas menekankan makanan yang berasal dari Tuhan dan berada di bawah kendali Tuhan, dan bagaimana .

Pertanyaan Penelitian

Itu hanya menunjukkan bahwa keduanya mempunyai ciri dan tujuan masing-masing dalam penyusunan Injilnya, yang tentunya berkaitan dengan hal yang disebut bacaan pada bagian tafsir disertasi ini. Kembali ke Lukas 11, pada bagian penafsiran, penulis sengaja menekankan secara khusus ayat 1 sebagai sebuah bacaan untuk menghilangkan kesan bahwa ayat ini berbicara tentang 'doa' saja. Kemurahan hati Yesus terlihat jelas di ayat 5. Lukas 9:10-13 juga menggambarkan bagaimana Yesus “menyihir” makanan terbatas untuk ribuan orang, padahal awalnya para murid merasa khawatir.

Mengenai persoalan pangan yang dapat menyebabkan manusia menjadi serakah, individualis dan enggan berbagi serta kehilangan keramahtamahan dan solidaritas sosial, Lukas 12:22-34 menggambarkan kepedulian Allah terhadap pangan dan pembagiannya sebagai bagian dari sistem keselamatan dan... a gambaran Kerajaan Allah yang surgawi dan damai yang terjadi di dunia/bumi. Catatan sepintas penulis tentang teologi makanan dari Lukas 11:1-13 dan konteksnya dalam Injil Lukas III. Bab ini akan dieksplorasi melalui bacaan dan dialog dengan konteks spiritualitas makanan di Mamasa sehingga dapat digali dari sudut pandang budayanya. terlihat seperti pada judul disertasi ini.

Tujuan Penelitian

Pernyataan Tesis (Thesis Statement)

  • Theoretical Views
  • Metode dan Analisis Sistematis
    • Metode Hermeneutik Tiga Konteks dan Model Tafsir Reading
  • Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Untuk kajian terkait teks alkitab pilihan dari Lukas 11:1-13, peneliti menggunakan metode analisis teks dengan pola bacaan yang menekankan perspektif sosial budaya dalam konteks tradisi keagamaan lokal. 72 Mengenai hermeneutika, penulis menggunakan 'tiga Metode hermeneutika konteks. Mengikuti metode hermeneutika tiga konteks yang dikemukakan Singgi, pertama-tama penulis akan menguraikan realitas fundamentalisme dalam GTM sebagai akibat dari benturan budaya dan teologis terkait dengan perspektif tekstualisme Barat yang mempengaruhi cara pandang para misionaris di masa lalu tentang budaya lokal dan misi mereka. . motivasi; warisannya dan perjuangan identitas keagamaan terkait dengan paradigma keagamaan ala Orde. Jangan bingung dengan hermeneutika tiga konteks ala Singgi, yang dalam tulisan ini telah dimodifikasi menjadi metode hermeneutika tiga konteks.

Synthesis Model', penulis kemudian menjadikannya sebagai cakrawala perspektif dalam pendekatan spiritualitas lokal terkait pangan pada masyarakat Mamasa melalui pembacaan interaktif dan dialog kritis teks Lukas 11:1-13 yang menguraikan pemikiran teologis seputar makanan dengan langkah analitis yang mengikuti tiga metode hermeneutika konteks Singgih. Ciri-ciri penelaahan Alkitab terlihat pada metode penafsiran bacaan dan Hermenetika Tiga Konteks yang digunakan untuk mengkonstruksi teologi dalam menafsirkan kembali teks Lukas 11:1-13 secara dialogis menggunakan perspektif budaya spiritual lokal Mamasa dalam kaitannya dengan makanan.

Sistematika Penulisan

Namun, sebagaimana terlihat, analisis kajian memanfaatkan hasil penelitian dan diskusi teologis yang sistematis-kontekstual dan lintas bidang keilmuan dan kajian lapangan, serta semangat interdisipliner yang menjadi ciri khas fakultas, terutama melalui spesifikasi keahlian. dari para pengawas. Oleh karena itu, sulit untuk menghindari pembahasan lintas bidang yang mencakup wacana yang berkembang dalam dunia hermeneutika filosofis (yang juga mempengaruhi metode hermeneutika alkitabiah), sosiologi, antropologi, sastra, filologi, dan perspektif kontemporer dalam teologi sistematika-kontekstual seperti perspektif pascakolonial. . . Ciri interdisiplinernya terlihat pada keterkaitan antara penekanan teologi misi (tradisi), kontekstualisasi dan arah masa depan teologi praktis, dalam lingkaran teologi kontekstual.

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat permasalahan disertasi, judul, metode, teori, dan sistematika disertasi

Pada bagian pertama, bab ini memuat gambaran tentang orang Mamasa terkait siapa mereka, struktur masyarakat, sistem kepercayaan, dan gambaran nilai spiritualitas mereka

Sehubungan dengan hal tersebut, bab ini juga membahas secara lebih kritis hakikat Alkitab sebagai firman Tuhan dengan menyoroti perkembangan dalam GTM itu sendiri yang dipengaruhi oleh Calvinisme dan tekstualisme Barat yang berkontribusi pada penafsiran dogmatis dan kesalahan hermeneutika kontekstual. Untuk membangun paradigma teologi kontekstual dengan beralih dari paradigma fundamentalisme dan konservatisme, namun tidak terjebak pada romantisme budaya, bab ini akan menguraikan prinsip-prinsip dasar teologi kontekstual yang mendalam. Bab ini juga akan membahas hermeneutika tiga konteks berikut Singgih untuk melihat keseluruhan proses kajian ini sebagai suatu kegiatan hermeneutika.

Untuk mendukung hal tersebut dan menunjukkan analisis disertasi ini mengenai perubahan makna yang terjadi melalui deskripsi, analisis, interpretasi, refleksi dan rekomendasi praktis, maka pada bab ini akan dibahas lingkaran teologi praktis Frans Wijsen.

Memuat uraian analitis dan interpretatif terhadap teks Lukas 11:1-13 yang berangkat dari penelusuran umum terhadap Injil Lukas dengan memanfaatkan hasil-hasil tafsir

Bab ini akan memuat “situasi ideal” yang terbangun dari hasil reinterpretasi dialogis di Bab III dan perspektif-perspektif yang dibangun oleh penulis sebagai alternatif

PENUTUP

Signifikansi Studi Hermeneutik Kontekstual dan Kajian Interdisiplinaris dalam Gereja Merancang-Bangun Teologinya secara Praksis (Eklesiologi dan Misi) Gereja Merancang-Bangun Teologinya secara Praksis (Eklesiologi dan Misi)

Melalui skripsi ini, penulis membangun sebuah hermeneutika yang menghubungkan atau menjembatani realitas tertentu yang terkait dengan budaya masyarakat di daerah Mamasa mengenai sebuah spiritualitas tentang makna makanan yang muncul darinya. Untuk mengembangkan hermeneutika kritis dan interpretasi kritis, menghubungkan secara dialogis teks suci Alkitab dengan konteks realitas GTM menjadi latar belakang penelitian ini. Secara hermeneutis, kini dipahami sebagai dialog antara (konteks) teks dan (konteks) realitas, oleh karena itu dalam tesis ini disebut perjumpaan.

Ciri-ciri kajian alkitabiah dalam tesis ini terlihat pada metode pembacaan tiga konteks dan penafsiran hermeneutik yang digunakan. Kegiatan ini untuk mengkonstruksi teologi pangan dalam reinterpretasi teks Lukas 11:1-13 dalam kerangka teologi pangan Lukas dalam dialog dengan budaya spiritual lokal Mamasa mengenai makanan.

Poin-poin Temuan Penelitian

  • Mengenai Teologi Makanan Lukas dan Spiritualitas mengenai Makanan dalam Budaya Mamasa Budaya Mamasa
  • Mengenai Identitas Gereja dan Fundamentalisme serta Dogmatisme Tafsir

Dalam narasi besar Kerajaan Allah, makanan ditempatkan sebagai hal yang paling mendasar untuk diberi nilai spiritual. Berdialog dengan teks Lukas 11:1-13 dengan spiritualitas budaya Mamasa mengenai makanan, maka ayat ini menjadi dapat dipahami dan memberi makna iman terhadap pertanyaan eksistensial gereja di GTM terkait identitas Kristiani dan identitas budaya. Selain itu, keyakinan masyarakat Mamasa terhadap pangan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan juga dikoreksi secara kritis dan digeser dengan makna penyalahgunaan sumber pangan oleh KKN.

Sebagai pembaca budaya Mamasa, dialektika tiga konteks yang dilakukan terhadap teks Alkitab Lukas 11:1-13 menjadi metode yang relevan dalam menafsirkan teks Alkitab. Teologi pangan Lukas dalam kerangka visi besar Yesus tentang Kerajaan Allah di dunia ekumenis, seperti pada poin sebelumnya, dapat menjadi kritik terhadap gejala fundamentalisme agama yang mengarah pada sikap anti-temperance dan anti-kultural.

Rekomendasi

  • Bagi Pendidikan Teologi dan Teologi Gereja
  • Bagi Gereja
  • Bagi Masyarakat
  • Bagi Pemerintah

L., “Pengantar Umum,” dalam Ecclesia Reformata Semper Reformanda: Dua Belas Tulisan tentang Calvin dan Calvinisme, geredigeer deur A. Singgih, Emanuel Gerrit, “Jangan Biarkan Aku Malu: Menuju Hermeneutika Indonesia,” dalam Teologi dalam Konteks: Pemikiran - gedagtes oor die Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, geredigeer deur E. Singgih, Emanuel Gerrit, “Masalah Seputar Definisi Kontekstualisasi,” dalam Melakukan Teologi dalam Konteks: Pemikiran Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, geredigeer deur E.

Singgih, Emanuel Gerrit, “Memikirkan Kembali Makna Sinkretisme: Sebuah Perspektif Historis,” dalam Melakukan Teologi dalam Konteks: Refleksi Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, diedit oleh E. Singgih, Emanuel Gerrit, “Menuju Teologi Akademik Kontekstual,” dalam Berteologi dalam Konteks: Pemikiran Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, diedit oleh E.

Referensi

Dokumen terkait