• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of METAKOGNISI SEBAGAI ALAT KESADARAN DALAM MENERAPKAN HOTS DI PROSES DAN EVALUASI PEMBELAJARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of METAKOGNISI SEBAGAI ALAT KESADARAN DALAM MENERAPKAN HOTS DI PROSES DAN EVALUASI PEMBELAJARAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

METAKOGNISI SEBAGAI ALAT KESADARAN DALAM MENERAPKAN HOTS DI PROSES DAN EVALUASI PEMBELAJARAN

Regi Damayanti1, Erlangga Kusuma Yudha2, Ratna Sari Dewi3 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Indonesia1,2,3 Corresponding Author: Regi [email protected]

ARTICLE INFO Article history:

Received 26 Oktober 2023

Revised 15 November 2023

Accepted 27 Desember 2023

ABSTRAK

Pendidikan di abad 21 ini menuntut peserta didik memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi untuk bisa menyelesaikan masalah sehari-hari. Cara mengukur sejauh mana peserta didik sudah mampu menganalisa dan mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bisa melalui pemberian soal-soal jenis High Order Thinking Skills (HOTS). Namun fakta di lapangan, penerapan HOTS masih rendah. Soal-soal yang sering dijumpai di lapangan masih menyasar pada jenis Low Order Thinking Skills (LOTS). Dalam proses pembelajaran juga cenderung pemberian pertanyaan untuk memastikan peserta didik memahami apa yang dibaca masih menggunakan jenis berpikir tingkat rendah. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kesadaran guru terhadap soal-soal yang dibuat terhadap tujuan utamanya. Maka dari itu, diperlukan strategi dalam membantu peserta didik mencapai jenis berpikir HOTS serta diperlukan kemampuan metakognisi baik guru maupun siswa untuk dapat menyadari dan mengatur strategi berpikir dalam mengelola indormasi

Kata Kunci: HOTS, Taksonomi Bloom, Kerangka SVR, Metakognisi

How to Cite : Regi Damayanti, dkk., “Metakognisi Sebagia Alat Kesadaran Dalam Menerapkan HOTS di Proses Dan Evaluasi Pembelajaran", Vol. 7, No. 2 (2023): 135-146.

DOI : https://doi.org/https://doi.org/10.52266/

Journal Homepage : https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/

This is an open access article under the CC BY SA license

: https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

PENDAHULUAN

abad 21 mengacu pada pendekatan pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan dan tantangan yang relevan dengan zaman sekarang. Abad ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang pesat, globalisasi, perubahan ekonomi, dan perubahan sosial yang signifikan. Oleh karena itu, pendidikan perlu beradaptasi agar siswa dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang relevan untuk berhasil dalam dunia yang terus berubah ini.

Untuk bisa mengikuti perkembangan global ini, diperlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Di dalam pembelajaran, peserta didik diharapkan untuk bisa memiliki kecakapan berpikir tingkat tinggi dalam menyelasaikan

P

(2)

persoalan sehari-hari. Ilmu pengetahuan merupakan konsep yang abstrak. Oleh karenanya, dalam memahami keabstrakan ini, perlu ada bimbingan dan juga pemberian strategi untuk peserta didik supaya mereka memililki keterampilan berpikir. Cara mengukur keberhasilan peserta didik dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah peserta didik mampu menganalisa dan bisa mengaplikasikan kembali ke dalam situasi yang baru. Kemampuan ini yang biasa dikenal dengan High Order Thinking Skills (HOTS). HOTS adalah jenis keterampilan intelektual yang melibatkan pemikiran kritis, analisis, sintesis, evaluasi, dan kreativitas. Ini adalah kemampuan berpikir yang lebih kompleks dan mendalam daripada keterampilan berpikir tingkat rendah, seperti mengingat fakta atau informasi dasar.

Fakta di lapangan, penanaman soal-soal evaluasi dengan tingkat berpikir HOTS masih rendah. Guru-guru masih banyak menggunakan jenis soal

‘Pilihan Ganda’ yang mana level berpikir murid tidak mengandung hal-hal yang dibutuhkan untuk berpikir tingkat tinggi. Hal ini bahkan terjadi sampai tingkat SMA. Hal ini juga didukung oleh kurangnya kesadaran guru terhadap jenis soal yang dibuat saat mrnyusun evaluasi murid. Untuk mencari aman dan mudah dalam menginput data, guru cenderung memilih jenis soal ‘Pilihan Ganda’. Oleh karena itu, untuk bisa mengubah paradigma ini, diperlukan sebuah alat untuk bisa mengukur sejauh mana murid dalam memecahkan masalah sudah mampu menggunakan strategi atau belum. Maka dari itu, akan dibahas mengenai HOTS, bagaimana mengaplikasikan HOTS pada proses dan evaluasi serta apa kunci supaya semua ini bisa berjalan sesuai rencana. Dilihat dari perspektif teori taksonomi Bloom memetakan level kognitif yang terjadi pada manusia. Taksonomi Bloom adalah sebuah teori yang mengklasifikasikan pemikiran menurut enam tingkat kompleksitas kognitif. Tingkatan tersebut sering kali digambarkan sebagai sebuah tangga, sehingga menyebabkan banyak guru mendorong siswanya untuk "naik ke (level) pemikiran yang lebih tinggi". Forehand (2005) mengemukakan, tiga tingkat terbawah adalah:

mengingat. memahami, dan menganalisa. Sementara tiga tingkatan tertinggi adalah: menganalisa, mengevaluasi, menciptakan. Taksonomi Bloom bersifat spiral, yang berarti setiap tingkatan digabung dengan tingkatan yang lebih tinggi. Sehingga ketika seorang peserta didik yang level berpikirnya berada pada tingkat ‘mengaplikasikan’, itu artinya ia juga memiliki level berpikir

‘mengingat’ dan ‘memahami’." (Academy, 2003).

Dalam konteks yang lebih spesifik lagi, saat seseorang menerima informasi, sebetulnya banyak hal yang terjadi sampai seseorang dikatakan memahami apa yang baru saja dibacanya. Gough dan Tunmer (1986) menemukan dan merumuskan tentang Simple View of Reading (SVR) yang jika

(3)

diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah Pandangan Sederhana tentang Membaca. Mereka menarik kesimpulan bahwa untuk seseorang bisa membaca dengan pemahaman perlu ada dua komponen dasar yaitu decoding (mengeja) dan language comprehension (pemahaman bahasa). Seseorang perlu menguasai bagaimana cara mengeja untuk mendapatkan pemahaman. Namun, bukan hanya mengeja saja, pemahamaan bahasa juga diperlukan karena justru bagian ini yang menyasar pada level berpikir tingkat tinggi. Decoding (mengeja) merupakan hal-hal teknis untuk seseorang bisa membaca secara lancar.

Menurut teori SVR, jika salah satu dari dua komponen ini hilang, maka tujuan dari membaca disertai pemahaman yang baik tidak akan tercapai. Sehingga untuk membantu murid mencapai pemahaman terhadap apa yang dibaca, diperlukan dua variabel dalam SVR, yaitu kemampuan mengeja dan pemahaman bahasanya (Kendeou, 2009). Banyak literatur yang mencoba mengklasifikasikan tingkatan berpikir kognitif peserta didik. Sasaran utama dalam dunia Pendidikan yaitu, mau menciptakan peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir High Order Thinking Skills (HOTS). Desain kegiatan yang dilakukan di dalam kelas menjadi kunci peserta didik bisa mengembangkan potensinya (Hendriawan, 2019).

METODE PENELITIAN

Metodologi yang digunakan dalam menyusun tulisan ini yaitu menggunakan Studi Pustaka dengan sumber-sumber berupa beberapa artikel jurnal ilmiah, dan buku referensi. Langkah-langkah menggunakan Studi Pustaka ini prosedurnya yaitu 1) brainstorming ide mengenai topik yang akan dibahas, 2) melakukan riset terhadap informasi yang relevan dan bisa mendukung topik, 3) memilih, mengelompokkan, dan memetakan informasi dan mengorganisasikannya menjadi kerangka tulisan, 4) Mencari sumber data dari berbagai jenis sumber, seperti artikel jurnal ataupun buku, 5) memetakan sumber data ke dalam kerangka tulisan dan membuat gambaran besar pembahasannya, 6) melakukan analisis terhadap informasi dari sumber data yang diperoleh dan membuat mengecek rumusan masalah, apakah sudah terjawab atau belum, 7) mencari data tambahan supaya cakupan sudut pandang tulisan bisa luas, 8) Menyusun hasil tulisan berdasarkan kerangka yang sudah dibuat dengan menggunakan 6 langkah proses menulis untuk bisa menghasilkan sebuah tulisan yang cukup berkualitas.

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan High Order Thinking Skills (HOTS) Dengan Taksonomi Bloom High Order Thinking Skills (HOTS) yaitu level berpikir seseorang yang menyasar pada kemampuan menganalisa, mengevaluasi, dan menciptakan berdasarkan Taksonomi Bloom. Jenis berpikir HOTS mengandung di dalamnya kemampuan memecah masalah, berpikir kreatif, logis, kritis, metakognitif. serta mampu mengambil keputusan dengan mengemukakan argumen yang matang (Saputra, 2016). Definisi ini juga dikuatkan oleh Lewis dan Smith (1993) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi ditandai dengan kemampuannya berpi kir kritis dan mampu memecahkan masalah.Berdasarkan pengertian HOTS di atas, bisa kita kaitkan dengan Taksonomi Bloom. Bloom memetakan tingkatan kognitif seseorang seperti berikut.

Gambar 1. Kerangka Level Kognitif Menurut Taksonomi Bloom

Adapun gambaran konsep capian pembelajaran dalam perspektif Taksonomi Bloom, sebagai berikut:

Tabel 1. Rincian Penjelasan Taksonomi Bloom

Level Kognitif Cakupan Kognitif

1 Mengingat Mengambil, mengenali, dan mengingat kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang 2 Memahami Membangun makna dari pesan lisan, tulisan, dan grafik

melalui penafsiran, pemberian contoh, pengklasifikasian, pengikhtisaran, penyimpulan, pembandingan, dan penjelasan

3 Mengaplikasikan Melaksanakan atau menggunakan suatu prosedur melalui pelaksanaan, atau penerapan

4 Menganalisa Memecah materi menjadi bagian-bagian pokok, menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut berhubungan satu sama lain dan dengan keseluruhan struktur atau tujuan melalui pembedaan, pengorganisasian, dan pengatribusian

5 Mengevaluasi Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar

(5)

melalui pengecekan dan kritik

6 Menciptakan Menyatukan unsur-unsur untuk membentuk suatu kesatuan yang koheren atau fungsional; menata ulang unsur-unsur menjadi pola atau struktur baru melalui pembangkitan, perencanaan, atau produksi

Berdasarkan penjelasan mengenai level kognitif menurut Bloom, bisa dilihat kalau level kognitif 1-3 masuk ke dalam kategori jenis berpikir Low Order Thinking Skills (LOTS), sementara level kognitif 4-6 merupakan kategori jenis berpikir High Order Thinking Skills (HOTS). Sehingga sangat jelas, jika peserta didik diharapkan untuk bisa bersaing di era global saat ini, yang mana menuntut untuk memiliki keterampilan berpikir yang bisa memecah masalah, mereka harus banyak dilatih untuk menggunakan level kognitif tingkat tinggi.

Kerangka Simple View of Reading (SVR) dan Kaitannya dengan HOTS

Kerangka SVR atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pandadngan sederhana tentang membaca mencoba memetakan level kognitif dilihat dari segi kemampuan membaca dengan disertai pemahaman. Kerangka SVR dapat dilihat pada gambar 2 berikut.

Gambar 2. Kerangka Simple View of Reading (SVR)

Pada gambar di atas, terdapat dua kaki berwarna merah dan biru. Dua kaki tersebut adalah indikator seseorang mampu dikatakan memahami sebuah bacaan. Kaki sebelah kiri yang berwarna merah adalah kemampuan seseorang dalam memahami sebuah bahasa termasuk di dalamnya mengandung faktor-

(6)

faktor seperti kosakata, pengetahuan sebelumnya, struktur dan tata Bahasa, serta pemahaman tingkat tinggi. Sementara untuk kaki sebelah kiri yang berwarna biru adalah kemampuan seseorang dalam mengeja sebuah bahasa untuk mendapatkan kelancaran membaca. Ahn Hyonbin dan Kang Yusun (2016) dalam tulisannya menyimpulkan bahwa membaca dengan pemahaman perlu disusun dari gabungan variable utamanya, yaitu kemaampuan mengeja dan kemampuan pemahaman Bahasa secara lisan. Pada sisi lain, juga terdapat kaitannya dengan level kognitif? HOTS berkaitan erat dengan Pemahaman Bahasa (kaki berwarna merah) sementara LOTS berkaitan dengan cara mengeja (kaki berwarna biru). Sehingga untuk bisa mengembangkan kemampuan HOTS siswa, kita sebagai pendidik bisa mengembangkan pemahaman bahasanya siswa. Semakin sering siswa dilatih untuk menggunakan level berfikir HOTS, maka tingkat pemahamannya akan semakin baik. Sebaliknya, jika siswa terbiasa hanya menggunakan akal secara sederhana atau jawaban yang dihasilkan tidak mengaktifkan pikirannya, maka kualitas pemahaman juga tidak akan dalam. Dini (2018) mengatakan, peserta didik yang menunjukkan kemampuan berpikir HOTS, mereka mampu mengkreasikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk bisa menghasilkan solusi-solusi yang relevan terhadap permasalahan.

Strategi Menerapkan HOTS dalam Proses Evaluasi Pembelajaran

Keberhasilan dalam suatu proses pembelajaran di ruang kelas dapat ditandai dengan siswa bisa memahami konsep atau kegiatan yang dilakukannya. Apa yang bisa menjadi alat ukurnya? Bagaimana guru bisa mengetahui sejauh mana pemahaman siswa. Menurut buku Core’s Teaching Reading Sourcebook (Honig, 2018), untuk bisa memetakan level kemampuan pemahaman seseorang, bergantung pada jenis pertanyaan yang ditanyakan.

Ada 4 jenis pertanyaan, yaitu: 1) Langsung di sini, 2) Mencari, 3) Inferensi, dan 4) Saya sendiri. Adapun gambaran Penjelasan dan strategi mengenai 4 jenis pertanyaan akan diuraikan pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. 4 Jenis Pertanyaan dan Strategi Penggunaannya No Jenis

Pertanyaan Keterangan Sumber

Jawaban Strategi 1 Langsung

di sini Jawaban untuk pertanyaan langsung ada dalam bacaan. Kata-kata dalam pertanyaan dan jawaban sama.

bacaan cari kata-kata pertanyaan yang

sama dalam

bacaan, tinggal ambil

bagian/copas bagian untuk jawaban.

2 Mencari Jawaban untuk pertanyaan bacaan cari bagian-bagian

(7)

ada dalam bacaan tapi disebar di beberapa bagian dalam bacaan. Kata-kata dalam pertanyaan berbeda dari kata-kata jawaban.

bacaan yang mengandung jawaban, gabungkan

informasi untuk menjadi jawaban.

3 Inferensi pikiran pembaca yang didasari

pengalaman/pengetahuan . Bentuk jawaban terbuka tapi berdasarkan akal. Jika ditanya pikiran di belakang jawaban, pembaca bisa memberi penjelasan yang masuk akal serta terkait apa yang ditulis dalam bacaan.

(1) bacaan (2)

pengalaman /

pengetahuan pembaca

memahami bacaan dengan hubungkan bacaan dengan pengalaman diri sendiri atau pengetahuan dari

teks yang

lain/dunia. Dari hubungan-

hubungan ini, lakukan inferensi.

4 Saya sendiri Jawaban untuk pertanyaan

datang dari

pengalaman/pengetahuan pembaca saja. Bacaan bisa menjadi ‘inspirasi’ atau

‘contoh’ jawaban, tapi tanpa bacaan pun, pembaca harus bisa menjawab pertanyaan.

Pengalaman /pengetahua n pembaca

Strategi: pikirkan pengalaman/peng etahuan yang terkait dengan pertanyaan.

Mari kita coba latihan menggunakan 4 jenis pertanyaan menggunakan contoh bacaan berikut.

(bacaan diadaptasi dari artikel Bobo edisi 44, hal.6)

Piknik Bawah Laut

“Lauuut! Lauuut!” seru Bobo dan Doni kegirangan. Hari itu, mereka ikut piknik sekolah ke pantai. Bobo dan Doni langsung turun dari bis, lalu mengenakan peralatan snorkeling mereka.

Bobo dan Doni langsung menceburkan diri ke pantai. Mereka mengagumi pemandangan bawah air yang indah. Ikan berwarna-warni asyik berenang di bawah mereka.

Namun, belum lama Bobo dan Doni berenang, sirine tanda bahaya berbunyi ketika mereka sedang menikmati melihat terumbu karang yang macam-macam bentuk.

Bobo dan Doni segera naik ke daratan. “Ombak besar datang. Terlalu berbahaya untuk berenang di pantai,” jelas penjaga pantai.

Tabel 3. Pemetaan Pertanyaan Sesuai Jenisnya

Pertanyaan Jenis Pertanyaan Jawaban

Bobo dan Doni ikut piknik sekolah ke

Langsung di sini

kata-kata pertanyaan sama dengan kata-kata dalam bacaan

Bobo dan Doni ikut piknik sekolah ke pantai.

(8)

mana? jawaban tinggal disalin dari bacaan dan dimasukkan ke kalimat tanya Bobo dan Doni

melihat apa saja di bawah laut?

Mencari

jawaban ada dalam bacaan tapi

kata-kata pertanyaan tidak ada di bacaan

jawaban harus dicari di beberapa tempat di bacaan

informasi untuk bacaan perlu digabungkan

Bobo dan Doni melihat ikan yang berwarna-warni dan terumbu karang yang macam-macam

bentuk di bawah laut.

Kira-kira Bobo dan Doni peduli

terhadap keamanan mereka tidak?

Inferensi

jawaban tidak ditulis secara langsung di bacaan

ada informasi dari bagian bacaan yang beri petunjuk jawaban (Bobo dan Doni segara naik ke daratan)

informasi dari bacaan tidak cukup untuk menjawab, pembaca perlu menghubungkan informasi dengan pengalaman/pengetahuan untuk buat ‘tebakan yang masuk akal’ (msl:

ketika aku lihat ada api, saya langsung kabur karena takut kena api)

Bobo dan Doni peduli terhadap keamanan mereka. [karena mereka langsung naik ke darat, ini adalah tanda mereka tidak mau kena bahaya]

Kamu pernah senang-senang bermain lalu tiba-tiba harus berhenti

bermain?

Saya Sendiri

tidak perlu baca bacaan untuk menjawab

jawaban datang dari pengalaman pembaca

Pernah. Saya pernah lagi naik sepeda sama teman lalu dipanggil pulang kerjakan PR.

Berdasarkan contoh di atas, dapat kita tarik kesimpulan jika HOTS terjadi pada jenis pertanyaan yang “Inferensi” dan “Saya Sendiri”. Mengapa?

Karena pada jenis pertanyaan yang “Langsung di Sini” dan “Mencari”, jawaban masih dapat ditemukan dalam bacaan. Siswa tidak perlu melibatkan pengetahuan dan pengalaman untuk bisa menjawab soal tersebut, sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi tidak terjadi. Sementara pada jenis

“Inferensi” dan “Saya Sendiri”, jawaban memerlukan pengetahuan dan pengalaman siswa untuk bisa menghasilkan jawaban. Sehingga keterampilan berpikir tingkat tinggi sangat dilibatkan.Desti Anggraini (2021) dalam pene litiannya mengemukakan bahwa peserta didik yang dilatih menggunakan strategi QAR menunjukkan peningkatan pemahaman saat mereka menghadapi bacaan naratif.

(9)

Peran Metakognisi sebagai Kunci Dalam Kegiatan Pembelajaran

Metakognisi adalah pemahaman dan pengawasan diri terhadap proses berpikir kita sendiri. Ini adalah kemampuan untuk memikirkan bagaimana kita berpikir, mengatur strategi berpikir, dan mengelola proses berpikir kita.

Metakognisi melibatkan pemahaman tentang apa yang kita ketahui dan apa yang kita tidak ketahui, serta bagaimana kita dapat mengelola pengetahuan dan pemikiran kita untuk mencapai tujuan yang spesifik. Menurut Amir (2018), metakognisi masuk ke dalam jenis berpikir tingkat tinggi, di mana peserta didik dalam berpikir melibatkan proses kognitif yang aktif dan adanya kesadaran terhadap yang sedang dipikirkan. Metakognisi memiliki kedudukan yang penting dalam pemerolehan sebuah informasi, terutama bagi peserta didik yang sedang dalam fase belajar formal (Anggo, 2011). Dalam konteks pendidikan, metakognisi adalah kemampuan untuk memahami bagaimana kita belajar, mengatur cara kita mempelajari informasi, memantau kemajuan kita, dan menilai efektivitas strategi pembelajaran kita. Ini mencakup kesadaran terhadap strategi yang digunakan untuk memahami, mengingat, dan memecahkan masalah.

Singkatnya, metakognisi adalah seperangkat keterampilan yang memungkinkan peserta didik menjadi sadar tentang bagaimana mereka belajar dan untuk mengevaluasi serta menyesuaikan keterampilan ini menjadi semakin efektif dalam pembelajaran. Di dunia yang menuntut pembelajaran seumur hidup, memberi orang-orang strategi metakognitif yang baru dan lebih baik adalah anugerah yang dapat bertahan selamanya. Sebagai pengajar, penting untuk menyadari apa yang menjadi tujuan pembelajaran di dalam kelas. Alat ukur untuk bisa melihat keberhasilan suatu proses pembelajaran tergantung dari bagaimana alat penilaian yang didesain oleh guru (Hartini, 2021). Kadang, kita tahu jika ingin meningkatkan kemampuan berpikir HOTS pada siswa, namun sering kali kita tidak menyadari pertanyaan-pertanyaan yang kita buat apakah sudah sesuai tujuan atau belum. Maka dari itu, peran metakognisi sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar. Metakognisi ini bukan hanya perlu dimiliki oleh guru, namun penting juga untuk dimiliki oleh peserta didik.

Di beberapa negara seperti Singapura dan Jepang, kerangka kurikulum yang dimiliki mengandung metakognisi. Sehingga menjadi penting bila seseorang memiliki keterampilan bermetakognisi.

Dengan bermetakognisi, kita bisa menyadari dan berefleksi tentang apa yang kita lakukan. Pengelolaan informasi juga jadi lebih menyeluruh. Bagi guru, dengan metakognisi di dalam pembelajaran bisa menumbuhkan kesadaran bahwa untuk menciptakan peserta didik yang berkualitas, ada banyak aspek yang perlu dibangun, seperti misalnya rencana pelaksanaan

(10)

pembelajaran, evaluasi murid, serta tindak lanjut yang dirancang dengan mempertimbangkan kemampuan murid. Dari sisi murid, peran metakognisi membantu mereka menyadari sejauh mana mereka paham terhadap apa yang mereka pelajari. Pembelajar yang sukses biasanya menggunakan metakognisi setiap kali mereka belajar. Namun ada kemungkinan untuk gagal juga karena situasi pembelajarannya beragam. Beberapa contoh penggunaan metakognisi yang secara tidak sadar sebetulnya sudah sering dilakukan peserta didik:

1. Membuat catatan pelajaran tertentu karena mengetahui batasan terhadap ingatan diri sendiri.

2. Membuat peta konsep atau diagram versi sendiri sebagai strategi dalam memahami sebuah informasi.

3. Memonitor pemahaman saat membaca. Saat membaca kadang-kadng kita tersadar kalau kita tidak mengerti apa yang baru saja dibaca, lalu memilih untuk membaca ulang sambil mengubah pendekatan untuk berusaha memahami apa yang dibaca.

4. Berulang kali latihan suatu keterampilan, misalnya berenang, berlari, bernyanyi untuk mendapat kemahiran.

5. Mengerjakan soal-soal untuk memastikan apakah sudah memahami konsep tersebut atau belum.

6. Saat membaca, lebih memilih membaca sinopsis di belakang buku untuk mengetahui apakah tertarik atau tidak terhadap buku tersebut sebelum memutuskan untuk meminjam buku dari perpustakaan.

Hal-hal di atas adalah beberapa contoh metakognisi yang dilakukan sehari- hari secara tidak sadar. Sebagai guru, untuk membantu peserta didik untuk bisa mencapai berpikir level tinggi, bisa dilakukan dengan cara: 1) Perbanyak ajukan pertanyaan untuk peserta didik yang jenis “inferensi” dan “penulis dan saya”, dan 2) Dalam membuat evaluasi, sadari bahwa untuk meningkatkan level berpikir tingkat tinggi, buat soal-soal yang menargetkan level kognitif 3-6 (dalam Taksonomi Bloom) dengan mengacu pada jenis pertanyaan “inferensi”

dan “penulis dan saya”. Sehingga aktifkan metakognisi murid dengan membiasakan murid melakukan refleksi terhadap apa yang mereka pelajari.

Contohnya, tiap akhir kegiatan, bisa tanyakan ke peserta didik, “Apa hal menarik hari ini yang kamu pelajari?” atau “Kamu suka bagian mana dari Pelajaran hari ini?” dan pertanyaan sejenisnya.

SIMPULAN

Di era global saat ini, kita sebagai pendidik harus mempersiapkan siswa untuk bisa menjadi bagian dari warga dunia. Kecepatan mengakses informasi dan bagaimana mengelolanya semua didasari atas pemikiran tingkat tinggi.

(11)

Guru yang berkualitas adalah guru yang mempersiapkan muridnya menuju ke arah tersebut. Hal yang bisa dilakukan oleh guru untuk bisa mencapai itu adalah dengan menyadari tujuan apa yang diharapkan muncul pada siswa.

Semua perlu tercermin pada kegiatan-kegiatan di ruang kelas dan juga pada evaluasi yang disusun. HOTS adalah alat ukur keberhasilan tersebut. Dengan banyak memberikan soal-soal level HOTS, pemahaman siswa akan jauh lebih baik. Sebaliknya, bila guru menginginkan muridnya memiliki kecakapan berpikir tingkat tinggi tetapi hanya di-ekspose dengan pertanyaan-pertanyaan LOTS, cara pikir murid juga tidak akan berkembang dan pemahamannya tidak mendalam selama proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Academy, UW Teaching. (2003). Exam question types & student competencies:

How to measure learning accurately: Bloom's Taxonomy.

Amir, M. F. (2018). Pengembangan perangkat pembelajaran berbasis masalah kontekstual untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa sekolah dasar. Journal of Medives: Journal of Mathematics Education IKIP Veteran Semarang, 2(1), 117-128.

Forehand, M. (2005). Bloom’s Taxonomy: Original and Revised. In M. Orey (Ed) Gough, P. and Tunmer, W. (1986). Decoding, reading, and reading

disability. Remedial and Special Education, 7, 6–10.

Honig, Bill. (2018). Core’s Teaching Reading Sourcebook (Hal. 702-709)

Hoover, W. A., & Gough, P. B. (1990). The simple view of reading. Reading and writing, 2, 127-160.

Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining higher order thinking. Theory into practice, 32(3), 131-137.

Saputra, H. (2016). Pengembangan mutu pendidikan menuju era global: Penguatan mutu pembelajaran dengan penerapan hots (high order thinking skills). Smile's.

Ahn, H., & Kang, Y. (2016). Reading fluency and listening comprehension abilities as predictors of reading comprehension. English teaching, 71 (1), 3- 24.

Anggraini, D. (2021). Question-Answer Relationship (QAR) as A Strategy Training to Improve Student’s Reading Comprehension Of Narrative Text. Journal Maintenance, 9 (02), 161-169.

Dinni, H. N. (2018). HOTS (High Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan Kemampuan Literasi Matematika. PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika, 1, 170-176.

(12)

Hartini, P., Setiadi, H., & Ernawati, E. (2021). Instrumen penilaian berbasis LOTS dan HOTS buatan guru kelas VI sekolah dasar mata pelajaran IPA di Jakarta. Jurnal Penelitian Dan Penilaian Pendidikan, 3(1), 14-24.

Hendriawan, D. (2019). Penerapan Pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS) Di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar Setiabudhi, 2(2), 72-85.

Kendeou, P., Savage, R., & van den Broek, P. (2009). Revisiting the simple view of reading. British Journal of Educational Psychology, 79(2), 353-370.

Anggo, M. (2011). Pelibatan metakognisi dalam pemecahan masalah matematika. Edumatica: Jurnal Pendidikan Matematika.

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan, tujuan pelaksanaan PIP adalah untuk membantu peserta didik memenuhi kebutuhan pendidikannya, sehingga tidak ada peserta didik yang putus sekolah

Sebelum menghasilkan teks-teks tersebut, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui

Indikator selanjutnya guru menggunakan metode penilaian untuk memantau kemajuan dan hasil belajar peserta didik dalam mencapai kompetensi tertentu sebagaimana yang

scientific terdiri dari 7 sub indikator, yaitu: memberikan pertanyaan mengapa dan bagaimana; memancing pserta didik untuk bertanya; memfasilitasi peserta didik untuk

Maka dari itu dibutuhkan sebuah pengembangan buku yang praktis untuk membantu dan menunjang guru pada proses pembelajaran Sejarah, sehingga peserta didik bisa belajar mandiri,

dengan Menggunakan Blog Aljabar untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Peserta didik Pada Materi Persamaan Kuadrat.” Dari penelitian ini diperoleh hasil

Belajar matematika menuntut kita untuk berpikir secara kritis dan kreatif sehingga dapat membantu peserta didik dalam pengembangan nalar, berpikir logis, sistematik, dan

Pada kelas eksperimen, masing-masing kelompok belajar diberikan Lembar Kerja Peserta Didik LKPD sebagai sarana untuk membantu dan mempermudah peserta didik dalam memproses pemahaman