Mahmud Abū Rayyah adalah seorang tokoh intelektual Muslim kontroversial asal Mesir yang pemikirannya sering dikategorikan sebagai pemikiran Inkār al-Sunnah modern. Menurut hemat penulis, hal tersebut hanyalah klaim subjektif saja, karena klaim tersebut muncul dari asumsi dan persepsi yang hanya mengkaji isi saja, tanpa melihat aspek metode yang digunakan oleh Abū Rayyah. Metode pemahaman Abū Rayyah bukanlah hal baru dalam wacana keilmuan hadis, namun ia dapat menimbulkan kontradiksi di kalangan ulama hadis, sehingga memungkinkan adanya perkembangan dan kemajuan yang signifikan dalam kajian hadis.
Selain itu, sikap kritis yang ingin dibangun oleh Abu Rajah merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan tradisi taqlid yang buta terhadap pendapat ulama terdahulu, sehingga semangat pembaharuan dapat menemukan momentumnya dengan merekonstruksi kemajuan umat Islam. . membebaskan hadits dari kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini dapat menyegarkan kembali pola pikir umat Islam yang selama ini dianggap cuek, terbelakang, dan tidak penting. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pimpinan UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora serta seluruh jajaran yang telah memberikan kesempatan dan fasilitasi untuk menerbitkan buku ini.
Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji makna hadits Abu Rayah melalui kitab Aḍwa' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammediyyah, sehingga kita dapat mengetahui metode apa yang digunakan beliau dalam memahami hadits Nabi SAW. dia. Apa arti dan pentingnya metode pemahaman hadis Mahmud Abu Rayah dalam kitab Aḍwa' 'Alā al-Sunnah al-Muhammediyah. Sepanjang penelitian penulis telah banyak dilakukan kajian terhadap pemikiran Abu Rayah dalam karyanya Aḍwā' 'Alā al-Sunneh al-Muḥammedijah.
Selain itu terdapat beberapa penelitian yang membahas topik dalam kitab Aḍwā' 'Alā al-Sunneh al-Muḥhammediyyah, diantaranya yang dilakukan oleh Suniyah mempelajari kritik Abu Rajah terhadap riwayat Abu Huraira. 18 Suniyah, Kritik Abu Rajah terhadap Abu Huraira dalam Kitab Aḍwā' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammadijah, Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. Munib, Kodifikasi Hadits Sudut Pandang Mahmūd Abu Rayyah (Kajian Kitab Aḍwā' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammadijah), Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, hal.20), hal.20 .
Artinya penulis hanya mencoba menjelaskan dan menafsirkan pemikiran serta metode pemahaman hadis yang digunakan Abū Rayyah dalam kitab Aḍwā' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah.
Oleh karena itu, berdasarkan informasi di atas, mencari kebenaran hadis pada masa Nabi Muhammad SAW. ini sangat mudah. Oleh karena itu, kajian tentang metode memahami hadis Nabi Muhammad SAW menjadi penting untuk meminimalisir kontroversi di kalangan umat Islam. Yang kedua adalah kelompok kontekstualis yaitu kelompok yang memahami hadis melalui teks dan faktor-faktor yang melingkupi teks hadis, kelompok ini disebut Ahli Ra'ji.22 Menurut Edi Safri yang dikutip Mursidi, makna kontekstual dari hadis adalah arti dari hadis tersebut. memperhatikan dan menelaah hubungannya dengan peristiwa atau keadaan yang melatar belakangi terjadinya suatu hadis.23 Definisi Amin Abdullah.
26 Yusuf al-Qardhawi, Cara Memahami Hadits Nabi, trans. jelas) kontradiktif; 28 (4) memahami hadis berdasarkan kondisi latar belakang dan tujuannya, sehingga dapat ditemukan makna hadis dan relevansinya dengan kebutuhan historis penafsir, sehingga dapat ditemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi; 29 (5) membedakan antara sarana (wasīlah) yang berubah (sementara) dan sarana (gāyah) yang bersifat permanen; 30 (6) membedakan antara ungkapan yang mempunyai makna sebenarnya (haqīqī) dan yang majaz (majāzī) dari lafadz hadits, yang sesuai dengan tata cara bahasa Arab;31 (7) membedakan antara lafadz hadits yang mengacu pada dunia gaib dan kasat mata;32 dan (8) menegaskan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis tersebut.33. Hadits Nabi SAW tidak dapat dipahami hanya sebagai kumpulan hukum saja, namun di samping itu juga mengandung nilai-nilai etika. 46 Nizar Ali, Pengantar buku Abdul Mustaqim, Ilmu Interkoneksi Paradigma Hadits Ma'āni; Beda teori dan metode memahami hadis nabi.., hal. ix.
Pendapat Abdul Mustaqim di atas juga diamini oleh Mursidi bahwa untuk mencapai pemahaman hadis yang komprehensif diperlukan pendekatan yang beragam, hal ini mengingat ada hadis yang mempunyai asbāb al-wurud yang dapat diketahui dengan pendekatan sejarah, namun ada pula hadis lain yang memiliki asbāb al-wurud. . tidak terdapat asbāb al-wurud, sehingga diperlukan pendekatan lain, seperti 1) pendekatan sejarah, yaitu upaya memahami hadis dengan mempelajari situasi atau peristiwa sejarah yang berkaitan dengan latar belakang munculnya hadis.49 Dengan pendekatan ini, kekhususan dapat atau secara umum maka akan diketahui 'illah (akal) dan nāskh (pembatalan). hukum) yang terkandung dalam sebuah hadis;
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di era inovasi yang menolak tradisi taqlīd dan pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, Abū Rayyah tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sangat kritis dan semangat inovasi mempengaruhinya. jalan. berpikir. Selain itu Abū Rayyah juga berguru kepada al-Dakwah wa al-Irsyād, sehingga tidak diragukan lagi bahwa beliau terpengaruh dengan pola pikir Rasyīd Riḍā. Pada tahun 1945, Abū Rayyah menuliskan pemikirannya tentang hadis dalam artikel di al-Risālah yang berjudul “Ḥadīṡ Muhammad”.
Artikel ini menimbulkan polemik antara Abū Rayyah dan Abū Syahbah - guru besar fakultas Uṣuluddin al-Azhar -. Karena kegelisahannya, Abū Rayyah kemudian ingin menulis buku yang membahas tentang hadis. Muhammad Abū Syahbah, beliau memberikan sanggahan bertahap terhadap pemikiran Abū Rayyah di Majallāt al-Azhar.
Muṣṭafa al-Siba'ī menanggapi pemikiran Abū Rayyah tentang hadis dengan menulis kitab al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyrī'. Abū Rayyah membagi sumber ajaran Islam menjadi tiga hal, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Qauliyah dan Sunnah 'Amaliyyah.32. Menurut Abd al-Aziz, Abd al-Aziz menuliskan hadis tersebut, menurut Abū Rayyah hal tersebut hanyalah upaya pemerintahan Bani Umayyah untuk melegitimasi kepemimpinannya sehingga berlangsung cukup lama.
Menurut Abū Rayyah, keterpaksaan Ahmad Ibnu Hazm didasarkan pada keyakinan dan bukti sejarah bahwa kodifikasi hadis belum terjadi. Dalam bab ini Abū Rayyah membahas tentang sikap para sahabat dan tabi'in terhadap hadis. Hal inilah yang menjadi landasan bagi Abū Rayyah untuk terus melaksanakan al-Jarḥ wa al-Ta'dīl terhadap para sahabatnya.36.
Untuk menambah pendapatnya, Abu Rayyah menulis sebuah buku berjudul Syaikh al-Maḍīrah: Abu Hurairah. Faktor yang mendorong Abu Rayyah menulis kitab Aḍwā' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah ialah keinginannya untuk melindungi hadith Rasulullah daripada hadith qauliyah palsu ciptaan orang munafik dan musuh Islam.
Maka, hadis diertikan sebagai segala sesuatu yang datang daripada Nabi SAW., kecuali al-Quran, yang boleh dijadikan sandaran hukum. Definisi ulama hadis yang merangkumi sabda Nabi, sebagaimana hadis menjadikannya tidak diketahui kecuali dengan lisan (khabar). Kedua, hadith-hadith berupa sabda dan ketetapan Rasulullah SAW., yang banyak terdapat dalam hadith āḥad.
Abu Raja juga berpendapat bahwa Sunnah hanya digunakan untuk menunjukkan perilaku Muhammad, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, dalam masalah agama. 21 Abu Rayah berusaha membedakan kedudukan Nabi Muhammad SAW, sebagai rasul dan sebagai manusia pada umumnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana Abu Rajah memahami dan mengkritisi hadits Nabi SAW, berikut ini akan kita bahas hadits-hadits yang dipahami Abu Rajah secara cermat dan kritis dalam kitabnya Aḍwa' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammadijah. .
Keyakinan inilah yang membuat Abu Rayya berasumsi bahwa hadis ini tidak mungkin berasal dari Nabi SAW, karena. Kelompok ini tentunya menyimpan sabda Nabi Muhammad SAW, dalam bentuk hadits, ketat dalam bentuk lafẓ. 38 Tidak sah mendoakan seseorang yang tidak shalawat kepada Nabi SAW, dan hadis لم ةلاص يلص نم هنم لبقت لم تييب لهأ ىلعو ّيلع احيف لصي (Barang siapa yang mendoakan dan tidak mendoakan aku dan keluargaku tidakkah doa mereka akan diterima).
Abu Rayyah selalu menggunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah untuk mencela Abu Hurairah. Dalam sanad berita di atas diambil dari al-Dāri, kemudian Rasulullah SAW., yang sampaikan kepada para sahabatnya. Hadis musykil menurut Abu Rayyah ialah hadis yang mengandungi perkara yang bercanggah dengan al-Quran dan tidak masuk akal.
Dengan kata lain, Abū Rayyah jelas menolak hadis tertentu yang tidak sejalan dengan al-. Berdasarkan definisi tersebut, Abū Rayyah berpendapat bahwa hanya amalan Nabi ('amalī) yang disunnahkan. Untuk memahami tingkah laku Nabi secara benar tentu saja memerlukan penelitian sejarah yang luas dan detail.
Asumsi ini didasarkan pada pemahaman bahwa, jika hadis tersebut berasal dari Nabi SAW, tentu hadis tersebut tidak bertentangan dengan akal sehat.
Keseriusan Abu Rayya terlihat jelas ketika ia mencoba menyajikan dan mengkaji setiap kata-kata hadis metan, orientasi penelitiannya pada makna hadis fokus pada kritik terhadap metan guna mengungkap keotentikan sebuah hadis metan. Abu Rajah menganggap penelitian terhadap metaan hadis merupakan suatu hal yang mendesak, sehingga ketika sanad suatu hadis shahih, belum tentu suatu hadis dapat diterima, namun jika metana hadis tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah (lainnya). riwayat) dan tidak sesuai dengan bukti (alasan) sejarah dan ilmiah yang benar maka hadis tersebut tertolak. Keempat hal inilah yang menjadi standar yang digunakan Abu Rayah untuk memeriksa keabsahan hadis.
Hal ini diterapkan Abū Rayyah ketika dihadapkan pada perbedaan pengucapan dalam narasi hadis yang sama dan dalam hadis metafisik. Abū Rayyah dapat digolongkan sebagai kelompok kontekstualis yang kritis dalam mengkaji hadis dengan menggunakan pendekatan sosiologi, linguistik, dan sejarah. Hadits sahih dalam pandangan Abū Rayyah adalah hadis yang dicontohkan langsung oleh Nabi dan para sahabatnya dan diwariskan secara turun temurun.
Perbedaan pemahaman antara Aū Rayyah dengan para ahli hadis pada umumnya akhirnya menjadikan Aū Rayyah sebagai orang yang diklaim inkar al-sunnah. Menurut hemat penulis, hal tersebut hanyalah klaim subjektif saja, karena klaim tersebut muncul atas dasar asumsi dan persepsi yang mengkaji hanya isi saja tanpa melihat aspek metode yang digunakan Abu Rayah. Namun metode pemahaman yang dihasilkan Abu Rayah bukanlah metode yang sempurna sehingga bebas dari kritik.
Hal ini juga terjadi dalam hadis tentang berbohong kepada Nabi SAW. ِراَّنلا), Abū Rayyah mengkritisi hadis yang terdapat pada pasal utama اًد ِّم ع تُم, karena tidak sesuai dengan perilaku Nabi SAW, yang akrab dipanggil. -Amīn dan pasal utama hadits ini hanya diriwayatkan oleh Anas dan Abū Hurairah, namun nyatanya hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak sahabat seperti Ibnu Mas'ūd, al-Mugīrah, Sa'īd al-Khudrī, Ibnu 'Abbas . Kitab ini hanya membahas tentang pengertian hadits Mahmud Abū Rayyah, walaupun pemikiran Abū Rayyah dalam kitab Aḍwā' 'Alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah sangat komprehensif, beliau membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan hadits dan 'ulūm al-ḡ, sehingga kajian tentang Buku ini sangat menarik untuk dibahas lebih mendalam, khususnya tentang 'ulūm al-ḥadīṡ. Selain itu, kajian dengan membandingkan pemikiran Abū Rayyah dengan pemikiran para pengkritiknya sangat menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Sebab, banyak pemikir yang menyatakan Abū Rayyah sebagai inkār al-Sunnah, namun semuanya tetap sangat menyayangkan. Kodifikasi Hadits dari Sudut Pandang Mahmud Abū Rayyah (Kajian Kitab Adwa' 'Ala al-Sunnah al-Mohammediyyah).