[corresponding author: [email protected]]
Model Pendekatan Kepentingan Sebagai Resolusi Konflik Sunni Syiah di Kota Bangil Pada Tahun 2011
Abdullah
Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan pola penyelesaian konflik sektarian kelompok Sunni dan Syiah di Bangil. Salah satu pengetahuan tersebut adalah menyebarnya ajaran Syiah ke seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, tahun 2012 untuk pertamakalinya tejadi konflik terbuka antara Sunni Syiah di Sampang, Madura yang menyebabkan dua korban tewas, dan lima lainnya luka berat. Menariknya pada satu tahun sebelumnya tahun juga terjadi konflik Sunni Syiah di Bangil tahun 2011 yang menyebabkan enam korban luka ringan dan satu luka berat dan kerugian materil lainnya. Namun konflik di Bangil berhasil cepat diredam oleh pihak berwajib dengan dukungan masyarakat setempat sehingga tidak menyebabkan konflik yang lebih besar. Peredaman konflik terjadi diyakini sebagai akibat bertemunya kepentingan pihak-pihak terkait dalam rangka untuk menjaga keamanan di Bangil. Oleh karenanya dalam penelitian ini, penulis memiliki ketertarikan untuk menganalisa lebih detail model pendekatan kepentingan seperti apa sehingga konflik Sunni dan Syiah di Kota Bangil Pasuruan dapat diredam sehingga tidak menimbulkan konflik horizontal yang lebih luas sebagaimana yang terjadi pada konflik Sunni Syiah di sampang tahun 2011.Diharapkan model penyelesaian konflik sektarian di Bangil dapat menjadi pertimbangan dalam penyelesaian serupa di wilayah lain.
Kata Kunci: Resolusi Konflik, Pendekatan Kepentingan, Sunni, Syiah, Bangil
ABSTRACT
This study is intended to describe the pattern of resolving sectarian conflicts of Sunni and Shia groups in Bangil. One of these knowledge is the spread of Shia teachings throughout the world, including Indonesia. In Indonesia, 2012 saw for the first time open conflict between Sunni Shia in Sampang, Madura that left two people dead, and five others seriously injured.
Interestingly, one year earlier there was also a Sunni Shia conflict in Bangil in 2011 which caused six minor injuries and one serious injury and other material losses. However, the conflict in Bangil was quickly suppressed by the authorities with the support of local communities so as not to cause a bigger conflict. The de-escalation of the conflict is believed to be the result of meeting the interests of the parties concerned in order to maintain security in Bangil. Therefore, in this study, the author has an interest in analyzing in more detail what kind of interest approach model so that the Sunni and Shia conflict in Bangil Pasuruan City can be suppressed so as not to cause wider horizontal conflicts as happened in the Sunni Shia conflict in Sampang in 2011.
.
Keywords: Conflict Resolution, Interest Approach, Sunni, Shia, Bangil
PENDAHULUAN
Demokratisasi di Indonesia pada masa itu telah melahirkan era kebebasan yang tidak dinikmati para elite, pemuka agama pada rezim sebelumnya. Alhasil peluang ini tidak dilewatkan begitu saja bagi para elite agama untuk memanfaatkan demokrasi sebagai wujud kebebasan berdakwah (Jan Art Scholte, 2001). Di Kota Bangil kebebasan berdakwah nampaknya dirasakan betul oleh elite kelompok Sunni Bangil yang paling masyhur saat itu adalah KH. Nur Cholis Musytari bersama Habib Ahmad Assegaf merupakan pendiri organisasi ASWAJA yang dikenal selalu dalam dakwahnya mengajak masyarakat untuk menolak Syiah (Wawancara, Bashir).
ASWAJA telah menjadi wadah bagi komunitas Sunni bangil dalam mengkampanyekan propaganda penolakan terhadap Syiah termasuk melakukan hate speech yang ditujukan kepada kelompok Syiah (Abdullah, 2019). Pendapat pertama mengatakan bahwa Syiah telah hadir di bumi nusantara pada abad ke delapan melalui pedagang timur tengah yang datang ke Aceh hal ini dibuktikan dengan banyak tradisi Syiah yang sudah melekat dalam tradisi nusantara sejak lama di antaranya tradisi Hayok Tabut, Grebeg Suro, Barzanji, Tahlil Arwah, Haul, Kenduri, Tabut, dan beberapa tradisi lainnya (Pojok satu,2018).
Konflik antara YAPI atau Syiah dan kelompok Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja atau Sunni) terjadi cukup lama dan cenderung selalu dimulai dari serangan kelompok Aswaja.
Setelah sekian lama berselang pada awal januari 2007 massa ASWAJA melakukan lemparan batu ke rumah warga Syiah dan dilanjutkan pada 20 April tahun 2007 terjadi insiden unjuk rasa yang menuntut penutupan YAPI. Tentu hal serupa tidak terjadi di Sampang misalnya ketika konflik Sunni Syiah berubah menjadi konflik terbuka yang memakan korban tewas dan berakhir pada pengusiran minoritas Syiah. Sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut bagaimana penyelesaian konflik Sunni Syiah yang memuncak pada tahun 2011 dapat terjadi. Bagaimana model pendekatan kepentingan sebagai resolusi konflik Sunni – Syiah di Bangil di tahun 2011? Berangkat dari segala keterbatasan yang dimiliki, fokus penelitian yang dilakukan adalah pendekatan kepentingan resolusi konflik seperti apa yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam menangani konflik Sunni Syiah tahun 2011. Sedangkan Kota Bangil diangkat menjadi lokus persoalan karena dianggap berhasil menjadi model penyelesaian konflik sektarian, mengingat hal serupa tidak terjadi di sampang yang berakhir dengan konflik dengan skala besar dan berakhir dengan pengusiran.
Pendekatan penanganan berbasis kepentingan ini menawarkan serangkaian
“alternatif” menyelesaikan konflik. Yang dimaksud dengan alternatif di sini adalah, alternatif terhadap penggunaan kekuatan dan kekerasan dalam model pertama maupun alternatif terhadap pendekatan berbasis hak, seperti sistem alternatif penyelesaian sengketa yang dimaksudkan di dalam UU no. Di dalam Undang-undang ini, beberapa cara alternatif yang dimaksud adalah, antara lain, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Walaupun dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa perdata, beberapa cara ini juga relevan untuk penanganan konflik keagamaan yang melibatkan pihak-pihak dari berbagai latar belakang keagamaan maupun sektarian.
Pendekatan berbasis kepentingan ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, ada usaha merukunkan pihak-pihak yang bertikai dan menemukan jalan keluar yang dapat memenuhi kepentingan mereka, seperti keinginan, kebutuhan, harapan, dan kekuatiran mereka. Selain itu, pendekatan ini relatif lebih murah dibandingkan dengan penggunaan kekuatan lebih-lebih dengan penggunaan kekerasan yang menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap jiwa maupun harta benda (Furlong 2005, 110 & 116). Proses yang digunakan dalam pendekatan ini adalah negosiasi, mediasi, pemecahan masalah bersama, curah pendapat, dialog, dan lain- lain. Kekuatan pendekatan ini (Furlong, 2005: 113) terletak pada beberapa prosesnya yang bersifat: Pihak pihak yang bertikai bekerja sama mencari jalan keluar bagi konflik dan masalah yang mereka ciptakan, tidak konfrontatif atau menang-menangan melainkan win-win. Pihak- pihak yang bertikai menciptakan jalan keluar bagi mereka sendiri, yang dapat mereka terima, tidak dipaksakan atau didesakkan oleh pihak ketiga, baik pemerintah atau mediator. Fokusnya adalah bagaimana menyelesaikan dan memecahkan masalah yang dihadapi, bukan menghukum, menyalahkan, dan mendominasi pihak lawan. Karena proses yang kolaboratif, nirkonfrontasi dan nirdominasi, hubungan antara pihak-pihak yang bertikai tidak rusak dan rekonsiliasi lebih mudah. Karena kesepakatan dicapai dan diciptakan kedua pihak (atau lebih) yang bertikai dan menyelesaikan masalah mereka (Problem-solving), maka kesepakatan tersebut lebih tahan lama.
Kendati demikian, pihak-pihak yang bertikai kadang-kadang merasa bahwa proses penyelesaian konflik berbasis kepentingan cenderung memakan waktu lama. Bagi kelompok garis keras di dalam tubuh pihak-pihak yang bertikai, pendekatan ini sering dianggap sebagai bukti sikap lunak dan kekalahan. Salah satu mekanisme yang paling tepat mewadahi pendekatan berbasis kepentingan adalah perundingan dan dialog. Mekanisme ini memungkinkan pihak-pihak yang bertikai bertemu dan berunding menyelesaikan masalah dan perbedaan yang mereka hadapi. Melalui proses ini, mereka bisa meningkatkan saling pengertian, saling mengakomodasi (bukan saling mendominasi dan adu kekuatan). Bertemu dan berkomunikasi langsung adalah cara yang tepat karena dalam forum ini pihak-pihak yang bertikai memiliki kendali yang lebih besar terhadap penanganan masalah mereka, tanpa kehadiran pemimpin atau pihak ketiga yang dapat mendesakkan jalan keluar dan menetapkan siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang diperlukan adalah suasana dan komunikasi yang setara, selaras dengan asas “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Ada anggapan yang mengatakan bahwa tidak semua persoalan dalam konflik sosial berlatarbelakang agama bisa dirundingkan.
Studi-studi negosiasi juga membedakan antara yang bisa dirundingkan dan yang tidak bisa dirundingkan. Tetapi, pihak- pihak yang berbeda agama dan sekte, dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tempat ibadah, dapat bertemu langsung dan berkomunikasi, saling mengakomodasi kepentingan mereka. Sebab, berbagai kelompok di masyarakat sama-sama memiliki kepentingan, perasaan, dan kebutuhan asasi manusia seperti identitas, keamanan, keadilan, dan harga diri. Pemenuhan terhadap kepentingan dan kebutuhan asasi ini tak dapat diraih dengan pendekatan yang win-lose yang menjadi ciri pendekatan atau model kekuatan dan hak (Avruch 2006). Selain perundingan, mekanisme lain yang dapat mewadahi model penanganan konflik berbasis kepentingan adalah mediasi. Definisi mediasi yang paling
sederhana adalah perundingan dengan bantuan pihak ketiga – assisted negotiation. adalah perundingan, negosiasi, yang berlangsung di antara pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini pihak-pihak yang bertikai dalam kasus penodaan agama, sengketa tempat ibadah, dan konflik sektarian. Kendali dan kewenangan menangani dan menyelesaikan konflik dan persoalan yang timbul ada di tangan para perunding (pihak-pihak yang bertikai). Mediator membantu proses komunikasinya, menyediakan tempat yang aman, dan membantu menemukan jalan keluar yang dapat diterima pihak-pihak yang bertikai. Tetapi mediator tidak dapat memaksakan dan mendesakkan jalan keluar – kalau itu terjadi, maka yang berlangsung bukan mediasi.
Laporan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (2013) menunjukkan bahwa pendekatan yang tidak berbasis hak dan kekuatan mulai digunakan, dengan berbagai keterbatasannya. Akan tetapi, ada beberapa masalah yang terkait dengan pengatas namakan mediasi sebagai mekanisme menyelesaikan konflik berlatar belakang agama. Sebagai contoh, belum ada mediator dalam konflik-konflik keagamaan di Indonesia. Yang berlangsung sebenarnya adalah proses-proses yang melibatkan pihak ketiga secara serabutan. Kadang- kadang peran pihak ketiga itu dimainkan oleh forum antar umat beragama, dan kadang- kadang polisi (di luar kapasitas sebagai aparat penegak hukum), pemda, dan lain-lain. Pihak ketiga ini kadang-kadang tidak netral, tapi memihak kepada salah satu di antara pihak-pihak yang bertikai. Selain tak netral, pihak ketiga serabutan ini sering tak imparsial, melainkan pandang bulu. Laporan CRCS menunjukkan pemda, polisi, tokoh agama, dalam konflik- konflik keagamaan seringkali pandang bulu dan tidak netral, misalnya karena menjadi bagian dari konflik yang terjadi sebagaimana pada konflik Sunni Syiah di Sampang (Program Studi Lintas Agama dan Budaya 2013).
KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif karena akan mendiskripsikan resolusi konflik yang telah dilakukan dalam penyelesaian konflik Sunni–Syiah di Bangil tahun 2011. Ruang lingkup mengenai masalah yang akan diteliti focus kepada dinamika konflik Sunni–Syiah di Bangil hingga puncaknya pada tahun 2011. Dalam melakukan penelitian ini teknik pengumpulan data yang di lakukan adalah melalui pengumpulan data sekunder dengan studi pustaka dan dokumen. Sumber data lainnnya adalah hasil wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait dan berwenang seperti Kepolisian, Al-Itrah Bangil (Yayasan Syiah), ASWAJA Bangil. Teknik analisa data yang digunakan adalah penelitian bersifat kualitatif.
Sehingga teknik ini tidak di analisa dengan statistik dan adapun data sekunder seperti tabel, angka maupun grafik dijabarkan melalui kalimat. Teknik analisa tersebut dilakukan melalui berapa tahapan, dengan proses awalnnya dimulai dari memilah data yang telah penulis kumpulkan, kemudian dicari sumber data yang relevan dengan rumusan masalah. Dengan cara data yang di dapat akan di kumpulkan kemudian di lakukan kategorisasi, lalu kemudian mereduksi data yang ada sehingga selanjutnya data tersebut penulis gunakan sebagai acuan dalam proses menganalisa penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Insiden Konflik Sunni – Syiah di Bangil
Ketegangan antara warga Sunni dan Syiah di Bangil terjadi sejak awal tahun 2007 yang dimulai dengan lemparan batu ke rumah Habib Ali Ridho, pengasuh pondok pesantren YAPI. Aksi vandalisme terhadap pondok pesantren YAPI terus berlanjut hingga memuncak pada aksi unjuk rasa menentang ajaran Syiah pada tanggal 20 April Gelagat bahwa akan terjadi demonstrasi anti-Syiah sudah polisi rasakan kira- kira sebulan sebelumnya. Oleh karena itu, polisi segera menggagas pertemuan dengan berbagai pihak baik yang berkonflik maupun yang peduli dengan keamanan di Bangil. Pertemuan pertama pada 21 Maret 2007 melibatkan tokoh agama/ormas Islam se- Kabupaten Pasuruan dan Muspida Plus. Pertemuan kedua antara Kapolres Pasuruan dan PC NU Kecamatan Bangil digelar pada tanggal 7 April 2007.
Pertemuan ketiga diadakan pada 19 April 2007 di Mapolres Pasuruan, dihadiri Muspida Plus, tokoh agama se-Kabupaten Pasuruan (termasuk kelompok Syiah), dan Korlap Himpunan Pemuda Aswaja Bangil (Hamas). Pertemuan-pertemuan yang tadinya dirancang untuk membicarakan upaya mencegah kemungkinan terburuk demonstrasi anti-Syiah berakhir dengan kegagalan dan unjuk rasa tetap dilakukan pada 20 April 2007. Ratusan personil polisi, dipimpin kapolres, mengawal langsung demonstrasi yang digelar hari itu antara lain lengkap dengan tali pengikat agar pengunjuk rasa berjalan tertib.
Bermula dari Alun-alun Bangil, mereka berjalan menuju kantor Ponpes YAPI, SD Plus Mutiara Ilmi yang berafiliasi dengan Syiah, menyuarakan aspirasinya di sebuah stasiun radio swasta Bangil, dan akhirnya berhenti di kantor Kejaksaan Negeri Bangil. Tidak ada lagi pengerahan massa anti-Syiah yang besar-besaran setelah peristiwa unjuk rasa ini, serangan- serangan berskala kecil Reaksi cepat dan tegas polisi dalam berkoordinasi dengan pemerintah dan tokoh setempat cukup ampuh dalam menangani penentang anti-Syiah. Insiden kembali terjadi pada 14 Februari 2011, ponpes perempuan YAPI dilempari batu oleh orang tak dikenal. Tidak ada korban jiwa dalam insiden pelemparan itu. Esok harinya, 15 Februari 2011, sekitar 100 orang dari kelompok Aswaja berkonvoi dengan sepeda motor usai mengikuti pengajian di Singosari, yang salah satunya menyinggung soal aliran Syiah. Sewaktu melintasi ponpes putra YAPI di Desa Kenep, Kecamatan Beji, mereka terlibat saling ejek dan saling lempar batu dengan santri YAPI. Misalnya, polisi preman yang telah disiagakan di lokasi ponpes memberikan tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan massa penyerang.
Akibat kejadian 15 Februari cukup berat: sembilan santri dan dua satpam YAPI terluka, beberapa fasilitas ponpes rusak termasuk pos jaga satpam rusak berat terkena lemparan batu, dan dua orang dari kelompok penyerang terluka (Rizal Panggabean, Untuk mengkonfirmasi pencarian data melalui internet, penulis dalam pencarian data juga menggunakan metode pencarian data primer dengan melakukan wawancara ke pihak-pihak yang berkonflik.
Dalam wawancara pertama dengan pihak Al-Itrah Bangil yang notabene merupakan yayasan komunitas syiah di Bangil. Maksud dari penggalian data primer ini agar penulis mendapatkan konfirmasi yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai dinamika konflik sunni syiah di Bangil. Dalam hal ini penulis ditemui Ali Ridho Assegaf, selaku Ketua Yayasan Al-Itrah. Dalam wawancara penulis mendapatkan konfirmasi bahwa Syiah merupakan salah satu mazhab yang diakui dalam mazhab-mazhab islam. Hal ini
dibuktikan dengan adanya pengakuan dari Universitas Al-Azhar Mesir sebagai lembaga representatif dalam rujukan Pendidikan Agama Islam. Selain itu Penganut Syiah secara umum banyak ditemui di negara-negara Timur Tengah (Ali Ridho, 7 September 2020). Dalam pandangannya Ali ridho mengatakan pemikiran Syiah masuk ke Indonesia semenjak meletusnya revolusi islam Iran tahun 1979, dengan beredarnya Namun pada saat itu hanya dalam bentuk pemikiran saja, tidak berupa pada penerapan fiqih. Sehingga meskipun ajaran syiah sudah masuk sejak 1979 namun kehidupan sosial keagamaan di Bangil masih relatif kondusif, karena secara kasat mata ajaran Syiah belum diterapkan secara fiqih, dan juga perayaan hari keagamaan mazhab syiah relatif tidak ada. Pada tahun-tahun tersebut penganut Syiah di Indonesia bisa dihitung dengan jari, misalnya O.
Perlu dicatat bahwa orang-orang diatas pada mulanya juga merupakan muslim yang bermazhab Sunni, tetaapi karena alasan keyakinan dan pemahaman dalam pengetahuan agama, akhirnya mereka dengan kesadaran memilih untuk bermazhab Syiah dalam menjalankan identitasnya sebagi Muslim. Alasan signifikan lainnya adalah mereka mengatakan bahwa Ajaran Syiah lebih bisa menjelaskan secara komprehensif mengenai sejarah kehidupan Rasulullah dan Ahlulbaitnya yang diyakini berhubungan dengan kemurnian ajaran yang sampai pada generasi selanjutnya. Berbeda dengan ajaran Sunni yang dianggap kurang dapat menjelaskan keganjilan pengetahuan sejarah diatas. Berlanjut dengan wawancara mengenai konflik yang tejadi sejak tahun 2007 hingga 2011, Ali Ridho mengatakan konflik selalu dimulai dari kelompok ASWAJA yang selalu melakukan aksi koersif untuk membendung ajaran syiah dengan harapan masyarakat Syiah takut sehingga akan meninggalkan keyakinannya. Aksi koersif dilakukan dengan cara mencaci maki simbol syiah baik melalui pengajian rutin aswaja atau media sosial, dan melakukan pelembaran batu kepada rumah ustad syiah, maupun pondok pesantren YAPI. Namun menurut Ali Ridho, aksi ini tidak efektif, bahkan menimbulkan simpati dari saudara-saudara Sunni kepada saudara-saudara Syiah. Karena seringkali penganut Syiah dan Sunni ini berada dalam rumah yang sama atau masih satu keluarga. Sehingga langkah untuk menakuti penganut Syiah dengan cara koersif tidak akan pernah mencapai tujuan. Meski selalu dicaci maki, kelompok syiah selalu merespon setiap aksi ASWAJA dengan cara menghormati pihak hukum seperti melaporkan ke pihak berwajib dan tidak membalas provokasi yang dilakukan ASWAJA.
Tindakan yang dilakukan kelompok Syiah didasarkan pada pemahaman bahwa sunni dan Syiah adalah saudara Menurut Ali Ridho, perbedaan yang ada dalam Islam muncul karena berbeda dalam mengambil sumber teks-teks hukum Islam sehingga menimbulkan perbedaan paradigma dalam menjalankaan praktik keagamaan. Sehingga upaya provokasi untuk menciptakan konflik Sunni dan Syiah merupakan tindakan kebodohan oleh segelintir umat yang tidak memahami dinamika perbedaan dalam Islam atau lebih ekstrem upaya menciptakan konflik Sunni Syiah merupakan agenda musuh islam untuk melemahkan kekuatan kaum muslimin. Penulis mendapatkan konfirmasi mengenai identitas ASWAJA, Sepak terjang ASWAJA, dan Sikap Aswja terhadap Syiah. Aswaja Bangil merupakan organisasi beraliran Sunni yang dibentuk pada tahun 2007 bersamaan dengan diadakannya aksi demo menentang keberadaaan Syiah di Bangil. Organisasi ini dibentuk dengan harapan dapat mempertahankan akidah ASWAJA masyarakat bangil dari paham transnasional Syiah
dan Wahabi. Dalam pandangannya terhadap ajaran Syiah, Bashir mengatakan bahwa Syiah dan Sunni tidak bisa dipertemukan, dikarenakan Syiah memiliki sumber yang berbeda dengan Sunni dalam menetapkan hukum islam. Perbedaan-perbedaaan yang ada menurutnya merupakan legitimasi bahwa Syiah merupakan ajaran yang berbeda dengan Islam yang dianut mayoritas Pandangan yang diinterpretasikan Bashir tentu berasal dari pemahamannya tentang ajaran Syiah. Jika kita merujuk pada sumber-sumber kredibel seperti Al-Azhar Mesir, dan dalam lembaga-lembaga ilmiah lainnya dapat ditemukan fakta bahwa perbedaan pemikiran dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar dalam dunia Islam.
Bahkan baru-baru ini telah diadakan konferensik persatuan Islam di Amman yang menghasilkan risalah Amman yang bertujuan untuk memperkuat persatuan mazhab-mazhab dalam Islam termasuk Sunni dan Syiah didalamnya. Meski dengan pemahaman yang dangkal tersebut mengenai Syiah, namun Bashir selalu mengatakan tidak ada masalah dengan person- person Syiah, hal ini disebabkan banyak dari penganut Syiah adalah dari kalangan keturunan nabi yang sangat dijunjung tinggi dalam tradisi budaya Islam Indonesia. penganut Syiah dapat kembali ke Ahlussunnah sehingga kehidupan sosial keagamaan yang rukun, teduh sebagaimana 30 tahun silam (sebelum merebaknya paham Syiah di bangil) dapat kembali bersemai ditengah-tengah masyarakat Bangil. Bashir menegaskan yang menjadi konsen dari kelompok ASWAJA adalah bagaimana ajaran Syiah ini telah merusak pemahaman agama Islam mayoritas yang selama ini telah eksis sejak ribuan tahun lalu di bumi nusantara.
Perusakan akidah ini ditemui dengan menyebarnya pemikiran Syiah yang dianggap melecehkan simbol ahlussunnah seperti pencacian terhadap sahabat nabi. Sehingga dalam rangka merespon hal tersebut Bashir menekankan penguatan akidah Aswaja melalu pengajian keliling 2 mingguan yang disyiarkan di wilayah Kabupaten Pasuruan termasuk Bangil untuk menghadang Bashir juga mengatakan dalam keterangannya terkait dengan konflik terbuka tahun 2007 dan 2011. Konflik terjadi karena terdapat provokasi ajaran syiah yang mencaci simbol ahlussunanh dalam buku yang ditulis ustad Syiah yang mendapat respon spontan dari anggota ASWAJA. Bashir beralasan aksi yang dilakukan Anggota aswaja pada tahun 2007 terkait pelemparan batu kepada rumah ustad Syiah dan bentrokan tahun 2011 selepas pulangnya rombongan ASWAJA dari singosari merupakan aksi spontan. Namun, Bashir juga memahami aksi ini menjadi pelajaran agar ASWAJA lebih dapat mengontrol anggotanya agar tetap bergerak sesuai kerangka hukum yang ada, karena ASWAJA merupakan organisasi yang taat hukum. Oleh karenanya ASWAJA selalu siap ketika diajak diskusi, dialog, maupun mediasi oleh polisi untuk bertemu dengan kelompok Syiah. yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2011 yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah dan Kepolisian.
Berdasarkan pencarian data yang penulis kumpulkan di internet, dapat diperoleh keterangan bahwa Polres dalam penanganan konflik Sunni Syiah di Bangil selalu melaksanakan empat tindakan pokok kepolisisan yakni pre-emptif untuk petugas intel, pencegahan ketika terjadi pengerahan massa, penanggulangan saat terjadi peristiwa, serta proses hukum dan penanganan pasca konflik. Keempatnya berjalan relatif baik dalam kasus pemolisian konflik sektarian di Bangil. Indikator tersebut terlihat dari aktivitas unit intel telah mengetahui adanya ketegangan beberapa hari sebelum insiden perselisihan 15 Februari 2011.
Pada insiden 2011, polisi menempatkan enam personel berbaju preman dari polsek (termasuk intel dan sabhara) di sekitar pesantren untuk berjaga-jaga, meski ditolak pengurus YAPI karena khawatir menambah keteganan. Selama masa konflik, perubahan personel di tubuh Polres Pasuruan pernah terjadi, tapi polres memiliki beberapa personel yang tidak dirotasi atau dimutasi seperti Kabagops Jajak Herawan. Beliau telah bertugas di sana sejak tahun 1993 sekaligus dipercayai untuk mengurusi konflik itu. Beberapa tahun terakhir, beliau menjadi komunikator antara pihak kepolisian dan terutama kelompok Syiah. Keberadaan dan pengalamannya dalam waktu lama sebagai penghubung memberikan dampak positif bagi kinerja pemolisian Polres Pasuruan yang dinilai berhasil menjaga keamanan dari ancaman konflik sektarian. Berkaitan dengan tindakan pencegahan ketika telah terjadi pengerahan massa, aparat kepolisian siap dengan segala informasi dan koordinasi baik selama peristiwa unjuk rasa anti-Syiah 20 April dan bentrok 15 Februari. mereka telah mengetahui adanya mobilisasi massa dari pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Sementara itu, pada peristiwa kedua, informasi konvoi kelompok Aswaja selepas pengajian di Singosari datang dari personel polsek yang bersiaga, selain dari pihak YAPI.
Dalam rangka penanggulangan saat peristiwa terjadi pada kasus demonstrasi Polisi lalu mengirimkan 400 petugas bersenjata dan satu unit mobil pemadam kebakaran untuk berjaga- jaga selama demonstrasi berjalan. Sedangkan dalam peristiwa 15 Februari, sebanyak dua kompi pasukan diterjunkan ke lapangan dari Polsek Bangil dan Beji, Polres Pasuruan, dan Polda Jatim(Panggabean, 2014). serangkaian tindakan pemolisian: petugas intel melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan kelompok penyerang; Kasat Binmas bersama Kasat Sabhara dan anggotanya mengimbau santri untuk masuk ke masjid dan ruang kelas sambil menghalau kelompok Aswaja untuk kembali ke Bangil; Kasat Reskrim melakukan olah TKP, menangkap tiga orang tersangka (tiga tersangka lain ditangkap kemudian; total pelaku ada enam orang), mengidentifikasi saksi-saksi, mencari dan mengumpulkan barang bukti, dan mengamankan TKP; Kasat Lantas beserta anggotanya melakukan pengaturan arus lalu lintas.
Secara khusus, kehadiran Kapolres dan Kapolsek di lapangan sangat membantu tindakan pemolisian. Selain melaporkan situasi kepada Kapolda Jatim, Kapolres juga berkoordinasi dengan Muspida, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, antara lain: Ketua PCNU K.H.
Sonhaji, Ketua MUI K.H. Nurul Huda, dan tokoh budaya sekaligus agama K.H. Khoiron Syakur, untuk merumuskan langkah-langkah persuasif berikutnya.
Pasca kejadian, polisi memproses enam tersangka secara hukum, menerjunkan sejumlah personel keamanan di beberapa wilayah yang dianggap masih rawan, dan melakukan persuasi dengan berbagai pihak mulai dari rapat/pertemuan bersama, menghadiri haul, bersilaturahmi baik dengan pengurus Aswaja maupun YAPI, hingga berkontribusi tercapainya 5 poin kesepakatan dalam Rapat Muspida yang ditujukan untuk menjaga perdamaian dan kondusifitas di wilayah Kabupaten Pasuruan. Secara umum, semua tindakan pokok pemolisian dilaksanakan dengan baik, terkoordinasi rapi antara unit yang satu dengan yang lainnya dan jumlah kekuatan yang diterjunkan memadai. Mengutip Pandangan Rizal Panggabean dari Pusat studi perdamaian UGM mengenai penyelesaian konflik sosial keagamaan. Panggabean memaparkan tiga model penanganan konflik keagamaan yang digunakan di Indonesia selama ini.
Pertama, penanganan berbasis kekuatan atau kekuasaan (power-based approach), yaitu pendekatan menggunakan represi, ancaman, dan intimidasi dalam penyelesaian konflik.
Penyelesaian persoalan melalui pendekatan ini menggunakan proses pengadilan yaitu mencari pelanggarnya, mengadili, dan memenjarakannya. Untuk itu dibutuhkan instumen perangkat hukum yang disepakati bersama, seperti UU, peraturan, konvensi kebijakan, kontrak, adat istiadat, dan lain-lain. Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan atau interest-based approach, yang saat ini sedang diupayakan sebagai model penanganan alternatif dalam menyelesaikan konflik keberagaman di Indonesia. Dari ketiga model diatas, penulis menggunakan model pendekatan berbasis kepentingan dalam menganalisa tercapainya resolusi perdamaian antara kelompok ASWAJA dan Syiah di Bangil pendekatan berbasis kepentingan merupakan serangkaian cara alternatif dalam menyelesaikan konflik. Yang dimaksud dengan alternatif di sini adalah, alternatif terhadap penggunaan kekuatan dan kekerasan dalam model pertama maupun alternatif terhadap pendekatan berbasis hak, seperti sistem alternatif penyelesaian sengketa yang dimaksudkan di dalam UU. Di dalam Undang-undang ini, beberapa cara alternatif yang dimaksud adalah, antara lain, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Walaupun dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa perdata, beberapa cara ini juga relevan untuk penanganan konflik keagamaan yang melibatkan pihak-pihak dari berbagai latar belakang keagamaan maupun sektarian. Pendekatan berbasis kepentingan ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, ada usaha merukunkan pihak-pihak yang bertikai dan menemukan jalan keluar yang dapat memenuhi kepentingan mereka, seperti keinginan, kebutuhan, harapan, dan kekuatiran mereka. Selain itu, pendekatan ini relatif lebih murah dibandingkan dengan penggunaan kekuatan lebih-lebih dengan penggunaan kekerasan yang menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap jiwa maupun harta benda (Furlong 2005, 110
& 116). Proses yang digunakan dalam pendekatan ini adalah negosiasi, mediasi, pemecahan masalah bersama, curah pendapat, dialog, dan lain-lain. Kekuatan pendekatan ini (Furlong 2005, 113) terletak pada beberapa prosesnya yang bersifat: Kolaboratif, Kreatif, Memecahkan masalah, Memelihara hubungan, dan Berdaya tahan.
Konflik Sunni Syiah di Bangil tahun 2011 telah menunjukkan terdapat upaya kolaborasi antar berbagai pihak. Hal ini tampak dari adanya pertemuan yang digagas Pemerintah daerah dan kepolisian resor pasuruan dengan mengundang Tokoh masyarakat, dan Pihak bertikai dalam hal ini ASWAJA dan YAPI. Hadir dalam pertemuan dipimpin Wabup Edy paripurna itu segenap Muspida Kabupaten Pasuruan, dan perwakilan kedua pihak. Dari Ponpes YAPI tampak hadir M Alwi, M Muhsin Assegaf, Al Bakir al Habsiy, Hasyim A Nur. Sedangkan dari kelompok pengajian ASWAJA tampak hadir KH Nur Kholis, Ahcmad Shodiq, M Basyir, Nur Fuad dan Munir Sholikin. Pertemuan mediasi itu berakhir dengan menghasilkan 5 butir kesepakatan.
Wabup Edy Paripurna menegaskan agar masing-masing pihak segera mensosialisasikan ini kepada santri dan pengurus dengan rasa tanggungjawab. Berikut ini 5 butir kesepakatan itu (Tempo, 2011): Pertama, Kami menyesalkan dan prihatin atas kejadian di maksud. Kedua, Menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk
meperoses secara obyektif dan adil secara dengan hukum yang berlaku serta memperhatikan akar persoalanya. Ketiga, Menjaga ketenangan dan kondusifitas keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Pasuruan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Keempat, Para pihak sepakat untuk saling menghormati dan mengendalikan umatnya agar tidak mudah terpancing oleh isu-isu tidak bertanggungjawab. Kelima, Sepakat untuk tidak melakukan konvoi dan membawa atribut-atribut yang dapat memicu keributan terhadap kelompok lain pada saat melakukan kegiatan keagamaan/pengajian.
Dari kelima poin diatas, secara eksplisit dapat ditarik benang merah bahwa pertemuan ini digagas untuk menciptakan kondisi kabupaten pasuruan yang tertib, aman dari segala bentuk konflik sektarian. Dari poin pertama telah diungkapkan bahwa semua pihak menyesal atas kejadian ini artinya ada upaya kolaboratif bersama untuk memecahkan permasalahan ini agar tidak terulang lagi. Para pihak berharap konflik terbuka ASWAJA dan YAPI tidak sampai berlanjut sehingga diharapkan masing- masing pihak dapat mengarahkan anggotanya untuk tidak saling terprovokasi satu Kedua, tindakan cepat Pemerintah Daerah dan kepolisian untuk melakukan musyawarah bersama dapat dikatakan sebagai upaya kreatif , kolaboratif karena melibatkan semua pihak dan tokoh masyarakat. Dalam musyawarah tersebut terdapat poin-poin mengenai kepentingan pemerintah daerah dan kepolisian untuk menjaga wilayah kabupaten pasuruan agar aman dan tertib sangat menonjol di setiap poin sehingga kepentingan Pemda dan kepolisian sangat terakomodasi dalam kesepakatan tersebut.
Sedangkan kepentingan dari pihak berkonflik juga tetap terakomodasi dengan tetap dipersilahkannya dua kelompok tersebut untuk tetap eksis berdakwah, namun tetap memperhatikan untuk menjaga keamanan di wilayah Kabupaten Pasuruan. Berbeda dengan pendekatan berbasis kekuasaan yang cenderung membela pihak mayoritas dan akan mengucilkan pihak minoritas, atau pendekatan berbasis HAM yang selalu membela secara buta pihak minoritas tanpa mempertimbangkan kepentingan mayoritas. Dalam pendekatan kepentingan ini bagaimana pihak minoritas Syiah tetap diberikan ruang untuk mengembangkan eksistensinya dengan mempertimbangkan poin menjaga keamanan di wilayah kabupaten Pasuruan. Begitu juga sebaliknya ASWAJA tetap dipersilahkan untuk menggelar pengajiannya dengan mematuhi aturan yang berlaku. Sehingga dalam pendekatan ini seluruh kepentingan dari seluruh pihak terakomodasi. Terbukti pasca tahun 2011 hingga kini Konflik terbuka sunni syiah tidak pernah terulang kembali.
Gambar 1. Wawancara dengan Ketua Alitrah
Gambar 2. Wawancara dengan Ketua Harian ASWAJA Bangil
KESIMPULAN
Konflik sektarian yang melibatkan kelompok Sunni dan Syiah di Bangil menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan praktik keagamaan ada sejak awal formasi konflik. Selain itu, perbedaan menjadi basis mobilisasi pihak-pihak yang bertikai, baik pihak Sunni maupun Syiah. di Bangil, kelompok Sunni anti-Syiah tidak monolit, dan dalam beberapa insiden protes dan kekerasan hanya direpresentasikan satu kelompok minoritas. Kelompok Syiah dapat melawan dan membela diri, tetapi juga bersedia menggunakan cara-cara yang lebih lunak.
Konflik sektarian intra-Muslim adalah preseden penting dalam sejarah konflik dan kekerasan sektarian di Indonesia. Korban yang jatuh adalah dari kelopok Syiah, dalam pertarungan yang tidak seimbang, bukan karena mereka tidak melawan termasuk dalam rangka membela diri.
Konflik sektarian intra-Muslim yang berlangsung dengan relatif damai terjadi karena pihak- pihak yang bertikai dapat menahan diri dan polisi serta pemerintah daerah memainkan peran ketiga yang dapat meredam dan menangkal.
Di Bangil, baik kelompok Syiah maupun Sunni dapat menahan diri dari tindakan agresif yang keras yang dapat menimbulkan korban jiwa dan kerusakan harta benda yang meluas karena tokoh agama di kedua belah pihak berperan mengendalikan unsur-unsur di dalam tubuh masing pihak. Polisi dan pemerintah daerah berkoordinasi dan aktif mencegah kekerasan. Musyawarah bersama yang dihadiri pihak berkonflik, Pemerintah daerah, kepolisia, Ormas keagamaan, Tokoh Masyarakat dapat dimaknai sebagai upaya kolaboratif, kreatif dalam pemecahan permasalahan konflik sektarian ini. Dalam musyawarah tersebut terdapat poin-poin mengenai kepentingan pemerintah daerah dan kepolisian untuk menjaga wilayah kabupaten pasuruan agar aman dan tertib sangat menonjol di setiap poin sehingga kepentingan Pemda dan kepolisian sangat terakomodasi dalam kesepakatan tersebut.
Sedangkan kepentingan dari pihak berkonflik juga tetap terakomodasi dengan tetap dipersilahkannya dua kelompok tersebut untuk tetap eksis berdakwah, namun tetap memperhatikan untuk menjaga keamanan di wilayah Kabupaten Pasuruan. kepentingan ini bagaimana pihak minoritas Syiah tetap diberikan ruang untuk mengembangkan eksistensinya dengan mempertimbangkan poin menjaga keamanan di wilayah kabupaten Pasuruan. Begitu juga sebaliknya ASWAJA tetap dipersilahkan untuk menggelar pengajiannya dengan mematuhi aturan yang berlaku. Sehingga dalam pendekatan ini seluruh kepentingan dari seluruh pihak terakomodasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, The Causes of Sunni and Shia Conflict in Bangil Year 2007-2016, Disampaikan dalam Brawijaya Social and Political International Conference, Universitas
Brawijaya Malang, 26-28 November 2019.
Avruch, Kevin. “Toward an Expanded “Canon” of Negotiation Theory: Identity, Ideological, and Values-based Conflict and the Need for a New Heuristic,”
Marquette Law Review 89, no. 3 (2006): 567-582.
Bakry, Umar Suryad. Metode Penelitian Hubungan Internasional.
Davies, John, Power, Rights, Interests, and Identity: Conflict Management Strategies for Building a Democratic Peace dalam John Davies dan Edward Kaufman, eds, Second Track/Citizens’ Diplomacy. Concepts and Techniques for Conflict Transformation. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. 2003, 107- 148.
Furlong, Gary T., The Conflict Resolution Toolbox. Ontario: Wiley, 2005.
IPAC., The Anti-Shi’a Movement in Indonesia, Institute For Policy Analysis of Conflict, IPAC Report No.27, pp.1-30, 27 April 2016
Pojok Satu, Tradisi Syiah di Indonesia, No 8 Paling Sering Kamu Lakukan Lho,
https://pojoksatu.id/lipsus/2018/06/08/9-tradisi-syiah-indonesia-nomor-8-paling- sering- kamu-kerjakan-lho/, 24 Maret 2020.
Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Yogyakarta: CRCS, 2013.
Rizal Panggabean and Ihsan Ali Fauzi, Pemolisian Konflik Sektarian Anti Syiah di Bangil Pasuruan dalam Pemolisisan Konflik Keagamaan di
Indonesia,
{https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/20140100_Pemolisian-Konflik- Keagamaan_PUSAD-Paramadina.pdf, Jakarta: PUSAD Paramadina pp.135-167, Januari 2014.
Rizal Panggabean, Penanganan Konflik Sosial Berlatarbelakang Agama: Kekuatan, Hak, &
Kepentingan, https://media.neliti.com/media/publications/780-ID-penanganan- konflik- sosial-berlatarbelakang-agama-kekuatan-hak-kepentingan.pdf, 2013.
Roudhotussalaf, Bangil Kota Santri Ahlussunnah wal
Jamaah.,http://www.roudlotussalaf.com/index.php?pilih=news&mod=ye
&aksi=lihat&id=129, 17 desember 2011.
Scholte, Jan Aart, Globalization: a Critical Introduction, New York, Palgrave, 2001.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2016.
Tempo, Tokoh Aswaja Tandatangani Lima
Kesepakatan,https://nasional.tempo.co/read/313957/tokoh-aswaja-pasuruan- tandatangani-lima- kesepakatan/full&view=ok, 16 Februari 2011.