SEJARAH (SELUK BELUK) NASKAH TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami perbedaan naskah dengan teks
Mahasiswa mampu memahami seluk beluk naskah
Mahasiswa mampu menjelaskan aspek-aspek yang dikaji dalam kodikologi
Mahasiswa mampu mendeskripsikan naskah
Mahasiswa mampu menyebutkan berbagai macam bahan naskah REKOMENDASI BACAAN
Ekadjati, Edi S. 1988 Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung:
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation.
---1994 Pembuatan Kertas Tradisional di Kampung Tunggilis Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut. Dinamika Sastra. Bandung: Fakultas Sastra Unpad dengan Yayasan Pustaka Wina.
---2005 Melestarikan Naskah Sunda dalam Legenda Kertas, Bandung: Kiblat Buku Utama.
Lubis, Nabilah 1996 Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia, Lembar Sastra Edisi Khusus No. 24. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Noorduyn, J. 1965 The Making of Bark-paper in West Java, BKI. 121, 4 et al., hlm.
472--473
Rukmi, Maria Indra & Mujizah 1998 Penelusuran Penyalinan Naskah-naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: Program Penggalakan Kajian Sumber- sumber Tertulis Nusantara Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Zoetmulder, P.J.
1983 Kalangwan: Sastra Jawa Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
SUBSTANSI MATERI PERTEMUAN KODIKOLOGI
Istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Suprieure, Paris pada bulan Februari 1944. Istilah ini baru terkenal pada tahun 1949, ketika karyanya Les Manuscrits
diterbitkan. Dain, menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Selanjutnya, dikatakan bahwa tugas dan “daerah” kodikologi ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah. Istilah kodikologi berasal dari kata Latin codex (bentuk tunggal), codices (bentuk jamaknya) yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi naskah buku atau kodeks. Pada dasarnya kata codex dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis, yang berarti „teras batang pohon (Mulyadi, 1994:2). ‟
La “Codicologie” est la science qui a pour objet l tude des manuscripts‟ eux-mmes, et non colle de leur criture …. Si le mot est neuf, la science de la codicologie ne l est pas (Dain, 1975:76)‟
Kodikologi adalah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan terutama dari teks-teks klasik. Kodeks sama artinya dengan naskah. Jadi, kodikologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk atau semua aspek yang berhubungan dengan naskah, antara lain bahan naskah, umur naskah, tempat penulisan naskah, dan perkiraan penulisan naskah (Baried, 1985:55). Jadi berdasarkan penjelasan di atas, kodikologi adalah ilmu tentang naskah atau ilmu yang mempelajari seluk-beluk naskah. Yang paling utama dibahas dalam kodikologi adalah:
1. apa yang dimaksud dengan bahan naskah?
2. bagaimana cara pembuatan bahan naskah?
3. dari bahan apa naskah dibuat?
4. bagaimana memperoleh informasi mengenai umur naskah?
5. bagaimana memperoleh informasi mengenai penulisan atau penyalinan naskah?
6. bagaimana memperoleh informasi mengenai penulis atau penyalin naskah?
7. unsur-unsur apa yang ada dan harus dicari agar semua aspek dan seluk-beluk naskah dapat diketahui?
- Bahan Naskah
Bahan naskah adalah sesuatu yang dipakai untuk diterakan suatu tanda atau lambang, umumnya bagian permukaan dari suatu bahan tertentu. Mulyadi (1994:44) menyebutnya sebagai sesuatu yang dipakai untuk menulis sehingga terbentuk suatu naskah. Bahan naskah yang pernah dipergunakan di berbagai belahan dunia, di antaranya adalah bambu di Cina, daun tumbuhan palma di India dan Asia Tenggara, lempengan tanah liat (claybricks) di Mesopotamia, papyrus di Mesir. Di samping itu terdapat pula bahan naskah berupa logam, catton, linen, velum (vellum), sutera, perkamen (parchment), kertas, batu, kulit kura-kura, tulang, gading, kayu, kulit kayu, dan baju (Gaur, 1975:4--34). Mulyadi (1994:44) selanjutnya menambahkan bahan naskah lainnya yang pernah digunakan di Asia Tenggara seperti yang terlihat pada pameran "Dunia Naskah" di Perpustakaan Universitas di Leiden selama Workshop on Southeast Asian Manuscript pada bulan Desember 1992, dipamerkan beberapa macam bahan naskah, ialah perak dan gading di Birma, sutera di Cina, kain (cloth) di India Barat dan Birma, tembaga di India selatan, dan kulit binatang yang dimanfaatkan untuk naskah-naskah lbrani.
Bahan naskah yang digunakan Indonesia di antaranya tercatat menggunakan kertas daluang, daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, dan rotan. Adapun tulisan yang diabadikan pada tonggak batu, lempengan tembaga atau emas dikategorikan sebagai prasasti (Jusuf, 1982/1983:11--13). Bahan-bahan ini diolah dengan sederhana dan ditulisi dengan aksara masing-masing daerah sehingga menjadi naskah. Menurut bahannya setiap daerah mempunyai naskah dengan bahan berbeda karena tidak semua daerah memiliki bahan untuk naskah, hanya beberapa bahan saja yang dimiliki oleh setiap daerah. Naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan Jawa banyak memakai bahan kertas. Naskah berbahasa Jawa Kuno aslinya ditulis di atas daun
lontar. Di Jawa sendiri naskah lontar sudah tidak tersimpan lagi, tetapi di Bali dan Lombok masih banyak terdapat naskah-naskah dari bahan itu (Sutrisno, 1981:12).
Naskah-naskah berbahasa Batak biasanya memakai kulit kayu dan rotan (Edwar, 1977:20) sedangkan naskah-naskah Sunda banyak ditulis pada bahan nipah, daluwang, dan kertas.
Dalam khasanah sastra Jawa Kuno, Zoetmulder (1983:154--162) menyebutkan adanya karas dan pudak sebagai media untuk merekam karya-karya para penyair.
Karas menunjuk pada bahan tulis dengan hipotesa berbentuk papan, dibuat dari bambu yang dibelah atau dipecah sehingga menjadi pipih; sedangkan pudak, dinamakan juga ketaka atau ketakī dan cindaga, menunjuk pada bunga pohon pandan yang berwarna putih. Khusus mengenai pudak sebagai bahan tulis, biasa dipakai sebagai bahan untuk menuliskan syair-syair pendek atau kakawin singkat yang terdiri dari beberapa bait saja. Penggunaan pudak sebagai media tulis terdapat dalam naskah Parthayajna. Pudak menjadi media tulis khususnya untuk menulis syair untuk seseorang menyatakan cintanya. Pudak atau bunga pandan ini banyak tumbuh di sepanjang pantai atau sungai wilayah tropis. Bagian bunga ini tersusun dalam beberapa lapisan berwarna putih-kuning dan meruncing menjadi satu pada ujungnya.
Bunga pandan juga memiliki aroma yang wangi.
“Hana ta pudak turung tulus isinya tika setugel, Kalawan ikang sadak gading I sornya pilih panulis”
Artinya: Selembar pudak terdapat di lantai dengan sebuah sajak yang belum selesai tertera di permukaan kulit pudaknya, di sampingnya terletak sebatang tusuk gading yang jelas dipakai untuk menulis sajak itu.
(Pupuh XXXIII, 12)
Bila bunganya mekar, kelopak bunga pudak yang panjang dan putihlah yang terpakai menjadi media tulis. Alat tulis yang digunakan untuk menulis adalah benda dengan ujung yang tajam seperti, sebatang tusuk gading yang memiliki nama lain sadak. Alat ini berfungsi untuk menggoreskan tanda dan huruf di atas daun bunga pudak. Meski pencarian kelopak pudak cenderung mudah dan penggunaannya tanpa perlu proses
panjang, daya tahan bunga pudak tidak lama. Saat kelopak pudak layu, warna putih kekuningannya akan berubah menjadi hitam mirip seperti warna tulisannya sehingga jadi sulit terbaca.
Sementara itu, untuk naskah-naskah yang terdapat di Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan: kulit kayu (laklak), bambu, dan tulang kerbau. Adapun mengenai bahan naskah kulit kayu dapat diolah menjadi sebuah buku yang disebut pustaha dalam bentuk dan ukuran yang berbeda-beda (Kozok, 1999:28--29); di daerah Kerinci, Provinsi Jambi, bahan naskah yang digunakan adalah tanduk kerbau, bambu, lontar, kulit kayu, telapak gajah, daluang, dan kertas (Voorhoeve dalam Mulyadi, 1994:46). Adapun jenis kayu yang digunakan adalah kayu Alim. Kayu ini banyak didapatkan dari hutan di perbatasan Barus. Kulit pohon Alim sebelumnya difermentasi dengan guratan aksara yang terbentuk dari tinta rempah serta buah deduruk. Selain media-media di atas, adapula naskah yang tertulis di bilah bambu petung, tanduk kerbau, kulit kerang, rotan, plat baja, hingga kertas eropa.
Di antara manuskrip Melayu di British Library terdapat sebuah naskah berjudul Syair perahu yang dilipat dari kulit pohon, ‘Puisi Perahu’, ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara rencong. Puisi sufi yang membandingkan jalan mistik dengan perjalanan dengan perahu, berdasarkan sistem ‘tujuh tingkatan wujud’ (wahdat al- wujud), sebelumnya dikaitkan dengan mistik Sumatera Hamzah Fansuri.
British Library juga memiliki naskah Sumatera lain yang ditulis di atas bambu. Satu naskah aksara rencong yang belum lengkap, terdiri dari 31 helai bambu, memuat tembai (mitos asal usul) dan teremba (silsilah), berupa litani metrik yang menceritakan turunnya ruh dari keadaan pralahirnya di tanah arwah.
Sementara itu di daerah Kerinci terdapat manuskrip Surat Incung yang ditulsi pada media bambu, tanduk, dan kulit kayu. Aksara pada bambu dan tanduk dibuat dengan cara dirajah menggunakan ujung pisau raut yang tajam. Sedangkan di media kulit kayu ditulis di atas daluang. Surat Incung di kulit kayu sangat jarang ditemukan.
Naskah Incung yang ditulis di permukaan bambu isi tulisannya kebanyakan tentang ratapan dan mantra. Sedangkan naskah incung yang ditulispada tanduk kerbau atau tanduk kambing kebanyakan berisi tentang perjanjian batas suatu wilayah dan silsilah. Misalnya ada sengketa perselisihan antar wilayah yang berebut batas, lalu diselesaikan, berdamai, dan dirayakan dengan kenduri dengan memotong kerbau.
Perjanjian damai lantas ditulis di masing-masing tanduk kerbau, dua pihak mendapat satu tanduk untuk tanda isi perjanjian. Selain itu, tanduk kerbau juga digunakan untuk mencatat silsilah.
Di Kerinci, manuskrip bertuliskan aksara kerinci atau Surat Incung di atas bambu banyak ditemukan di Koto Tuo, Rawang, Sungai Liuk dan Sulak, tetapi yang paling banyak di Sulak. Beberapa Surat Incung yang ditulis di atas bambu yang dia temukan juga berisi mantra dan ilmu nujum. Ada juga tentang mantra ilmu kebal. Surat Incung di atas tanduk banyak disimpan di rumah gedang kaum wilayah di Kota Sungai Penuh.
Bahan lainnya yang jamak digunakan berupa daun kelapa, serat pohon atau kulit kayu yang dikerjakan menjadi saeh, serpihan bambu, dan bermacam kertas Asia (kertas kuning) ataupun kertas Eropah. Naskah-naskah yang ditulis pada daun lontar berasal dari periode yang lebih tua (sebelum abad ke-18 Masehi), sedangkan naskah yang ditulis pada kertas Belanda berasal dari masa yang lebih muda (sejak abad ke-19 Masehi). Naskah yang menggunakan daun lontar, janur, daun enau, pandan, dan nipah dikerjakan dengan menggunakan alat pengerat (penggores). Alat itu disebut peso pangot, sedangkan naskah-naskah yang ditulis pada kertas menggunakan alat pena, tinta, atau pensil (Ekadjati, 1988:9-10). Berkenaan dengan keberadaan daluang di dalam khasanah naskah Sunda, Atja (1987:2) membedakannya dengan saeh, dalam hal ini daluang menunjuk pada sejenis kertas Cina atau daluang Cina seperti terungkap dalam pantun (sisindiran) Sunda yang berbunyi “Teungteuingeun eunteung beureum, keretas daluang Cina”. Adapun daluang dibedakan dengan bahan naskah kulit kayu seperti pada naskah-naskah Batak, didasarkan pada proses
pengolahan kulit kayu itu sendiri. Bahan naskah kulit kayu pada naskah-naskah Batak pengolahannya lebih sederhana daripada proses pengolahan daluang. Satu hal yang relatif unik dan menarik dari bahan alat tulis ini adalah kulit janin binatang sapi, domba, atau menjangan. Masyarakat Sunda menyebutnya handalam dan diyakini memiliki kekuatan gaib. Teks yang ditulis di atas handalam umumnya berupa ajaran mistik. Penggunaannya juga berlangsung di kalangan masyarakat Bali, antara lain dalam penyusunan Palalindon atau Primbon (dalam bahasa Jawa), Paririmbon (dalam bahasa Sunda) yaitu perhitungan baik dan buruk dari suatu peristiwa alam.
Tradisi penggunaan janin kulit binatang berlangsung sebelum mengenal kertas, beberapa waktu setelah kertas banyak digunakan tradisi tersebut berangsur hilang.
Ekadjati (2001), menjelaskan bahan dan alat pembuatan naskah Sunda. Dilihat dari bahan yang digunakan untuk membuat tulisan tangan di tanah Sunda sepanjang sejarahnya terdiri atas batu alam, lempengan logam, daun (lontar, nipah, enau, kelapa), bambu, saeh atau daluwang (kertas tradisional), dan kertas (pabrik). Selain itu, sebagai alat tulisnya digunakan tatah, palu, paku, pisau (peso pangot), pena (lidi atau potongan bambu diruncingkan), dan tinta. Khusus untuk membuat naskah digunakan bahan tulisan berupa daun, bambu, daluwang, dan kertas yang ditulisi dengan menggunakan pisau, pena, dan tinta. Berlainan dengan cara menyimpan dan mengatur lembaran-lembaran naskah yang terbuat dari daun (papirus, lontar) di Mesir dan Sulawesi Selatan yang digulung melingkar, cara penyimpanan naskah Sunda (juga Jawa, Bali, dan Sasak) ditumpuk dari bawah ke atas, lembaran daunnya sudah dipotong-potong dalam ukuran tertentu, di tengahnya diberi lubang untuk tempat masuk benang yang menjadi pengikatnya, dan di bagian luarnya dipasang potongan kayu yang ukurannya sama dengan potongan daun sebagai jilidnya, kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu yang disebut kropak. Bahan naskah kertas dilipat sebagaimana umumnya buku sekarang, hanya ukurannya berbeda-beda (folio, kuarto, dan lain-lain).
CONTOH DESKRIPSI NASKAH BABAD MATAWIS XP 10 KOLEKSI MUSEUM SONOBUDOYO
Naskah yang berjudul Babad Mentawis merupakan koleksi Museum Negeri Sonobudoyo. Koleksi berkode XP.10 ini teridentifikasi sebagai naskah baru, yang tentunya belum terkatalogisasi oleh T.E. Behrend pada tahun 1989-1990. Dengan demikian, melalui kegiatan alih aksara ini, dilakukan pula kerja kodikologis untuk mengidentifikasi intern evidence sekaligus extern evidence dari naskah tersebut.
Pada tahun 2018, teks babad ini pernah dikerjakan oleh tim dari Prodi Sastra Jawa, Universitas Gadjah Mada, namum belum dipublikasikan. Alangkah sayangnya jika teks yang menceritakan kronikal masa Sultan HB II ini tidak dilanjutkan dengan publikasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, tim yang sama bermaksud menyinambungkan apa yang sebelumnya telah dikerjakan. Dengan adanya publikasi ini, diharapkan mampu menambah referensi mengenai Sultan HB II.
Terbitan kali ini menggunakan edisi perbaikan bacaan, sehingga diharapkan dapat membantu mempermudah pembaca dalam memahami maksud teks. Beberapa catatan berkaitan dengan tata cara penulisan disampaikan dalam pedoman alih aksara.
Meskipun sudah menggunakan edisi perbaikan bacaan,namun pada aparat kritk tetap disampaikan pertanggungjawaban atas teks.
Tujuan Alih-Aksara
Naskah nusantara memuat berbagai informasi masa lalu. Namun, kecenderungan dari naskah-naskah tersebut ditulis dalam aksara daerah. Hal ini menjadi kendala bagi para peneliti maupun masyarakat yang tidak menguasai aksara tersebut. Untuk itulah proses alih aksara dilakukan agar masyarakat lebih mudah dalam mengakses sumber data yang bersumber naskah. Selain itu alih aksara terhadap naskah kuna merupakan salah satu upaya pelestarian khazanah isinya. Dapat dikatakan bahwa alih aksara menjadi salah satu bentuk konservasi preventif terhadap naskah, teks, dan tentunya informasi budaya.
Penelusuran Naskah dan Alasan Pemilihan Naskah
Berbicara mengenai korpus teks Babad Mentawis tidak lepas dari korpus Babad Ngayogyakarta. Hal tersebut disebabkan adanya kecenderungan Babad Mentawis juga menceritakan tentang Ngayogyakarta. Terdapat pula kemungkinan pemilihan diksi Mentawis dan Ngayogyakarta digunakan untuk memberi judul babad yang merujuk pada cerita yang sama, yaitu Mataram Yogyakarta. Dengan demikian perlu dilakukan tinjauan korpus Babad Mentawis yang setelah dilakukan pembacaan berulang, ternyata bercerita tentang Sultan HB II. Tahapan ini dilakukan melalui studi katalog dengan kata kunci Sultan HB II.
Dari Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid II: Keraton Yogyakarta terdapat naskah, antara lain, Serat Candranata: Adam, Panembahan Senapati Dumugi HB III (W.36) yang berisi tentang deskripsi singkat raja-raja Jawa dari Dinasti Mataram.
Babad Ngayogyakarta: Hamengkubuwana I Dumugi Hamengkubuwana III (W.78) yang memuat tetang sejarah kerajaan Yogyakarta, mulai dari pembagian wilayah sesuai perjanjian Giyanti hingga peristiwa Geger Sepehi. Babad Mataram, Jilid 7:
Hamengku Buwana I Dumugi Hamengku Buwana III (W79) yang merupakan jilid terakhir dari 7 seri Babad Mataram, Kartasura, dan Yogyakarta mulai akhir abad XVI hingga awal abad XIX. Babad Ngayogyakarta: Hamengku Buwana I Dumugi Hamengku Buwana III (Geger Sepehi) (W.80) yang memuat sejarah kerajaan di bawah pemerintahan Sultan HB I hingga Sultan HB III, termasuk pula peristiwa Perang Spehi dan konsekuensi yang ditanggung keraton. Babad Ngayogyakarta:
Hamengkubuwana II Dumugi Perang Sepehi dengan (W.82) memuat cerita sejarah Yogyakarta pada masa pemerntahan Sultan HB II hingga penobatan Sultan HB III oleh Inggris. Pengetan Warna-Warni: Hamengkubuwana I Dumugi Hamengkubuwana VII dengan (W97b) yang memuat macam-macam catatan bertarikh tentang kejadian-kejadia penting di keraton Yogyakarta (Lindsay, 1994).
Selain itu, penelusuran juga dilakukan terhadap Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I: Museum Sanabudaya. Dari katalog ini terdapat naskah berjudul Babad Giyanti Dumugi Geger Inggrisan, Jumeneng HB III (PBA.301) yang memuat cerita tentang gambaran pemerintahan Sultan HB I dan Sultan HB II. Naskah diakhiri dengan pengangkatan Sultan HB III dan Paku Alam I (1813). Babad Giyanti Dumugi Geger Inggrisan, Jumeneng HB III (SB.89) yang menceritakan tentang pemerintahan Sultan HB I hingga munculnya Kadipaten Pakualaman (1813). Babad Ngayogyakarta Jilid 1,2,3 (SB.135, SB.136, dan SB.144b). Ketiga naskah ini berisi tentang Penobatan Sultan HB II hingga Sultan HB V, jatuhnya Jawa ke tangan Inggris hingga laporan Residen Domis kepada Jenderal van Geen untuk meminta bantuan menghadapi pemberontakan di Demak. Berakhir dengan penumpasan pemberontakan di Demak dan Perang Diponegoro. Terdapat pula naskah berjudul Babad Ngayogyakarta: Masa HB II-V (PBA.280) yang berisi tentang pemerintahan Sultan HB II hingga pengepungan Diponegoro di Slarong. Babad Ngayogyakarta: Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara (Sinuwun Raja) (SK.113) yang memuat kisah tentang Ratu Bendara pulang ke Yogyakarta dan menimbulkan perselisihan antara Adipati Mangkunegara dengan Sultan HB II. Serat Suryaraja (SB.19) yang memuat cerita alegori keadaan Keraton Yogyakarta yang dikarang oleh Sultan HB II saat menjadi putra mahkota. Terakhir adalah Tasringalam Jati, Rasa Sejati, Babad Sepehi (PBE.40). Teks ini berupa teks latin yang menceritakan perjalanan Pangeran Mangkudiningrat saat menemani Sultan HB II dibuang di Penang dan Ambon (Behrend, 1990).
Sementara dari Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman naskah yang memuat informasi tentang Sultan HB II diantaranya Babad Betawi (Jilid III)
(Bb.7) yang memuat cerita tentang keberaangkatan Sultan HB II ke tempat pembuangan. Babad Giyanti Palihan Nagari (Bb.15) yang menceritakan tentang peristiwa dalam Perjanjian Giyanti, Sultan HB I, Sultan HB II, hingga kenaikan takhta Paku Alam I. Babad Mangkudiningratan (Bb.19) dan Babad Mangkudiningratan (Bb.20). Kedua babad tersebut mengisahkan Pangeran Mangkudiningrat dalam perjalanan mendampingi ayahnya, Sultan HB II saat diasingkan ke Pulau Pinang hingga ke Negeri Ambon (Saktimulya, 2005).
Di Surakarta, ditemukan pula naskah-naskah yang menceritakan perihal pemerintahan Sultan HB II, peristiwa Geger Spehi, hingga pembuangan Sultan ke Pulau Penang. Di Perpustakaan Radyapustaka terdapat naskah berjudul Babad Nitik Yogyakarta (30113) yang menceritakan kronik Sultan Mataram hingga penyerbuan Yogyakarta oleh Raffles dari Semarang (Girardet, Nikolaus. 1983).
Sementara di British Library terdapat pula naskah-naskah yang mengisahkan Sultan HB II. Beberapa tersebut diantaranya, Babad Sultanan utawi Mangkunegaran (Add.12288) yang mengisahkan suksesi Perang Jawa ketiga pada 1749 dan berakhir pada 1754. Di dalam halaman judul terdapat tulisan punika seratanipun Kanjeng Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II). Adapula arsip yang ditulis pada masa Sultan HB II (Add.12303) yang berisi teks padu pradata, angger ageng, surat perintah kerajaan, angger Ageng ing pradata-dalem, hingga kontrak kerajaan dengan pemerintahan kolonial. Arsip ini ditulis ketika pemerintahan kerajaan di bawah Sultan HB II, pada tahun 1812. Serat Babad Ngegreng kaping kalih utawi Serat Babad ngegreng ing sapunika tedhakan ingkang amesthi ngengreng kaping kalih (Add.12330) yang mengisahkan peristiwa Geger Spehi hingga berdirinya kerajaan baru Kadipaten Pakualaman (Ricklefs, dkk. 2014).
Hasil penelusuran ini menguatkan asumsi bahwa nantinya alih aksara dari Babad Mentawis ini bisa menjadi referensi bandingan dalam kajian mengenai sejarah Yogyakarta, khususnya masa Sultan HB II.
Deskripsi Naskah
Naskah yang menjadi objek dalam penelitian ini merupakan koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah ini merupakan naskah temuan baru yang belum masuk ke dalam Katalog Naskah Museum Sonobudoyo. Pada halaman dalam naskah terdapat judul naskah Babad Dalem Jeng Sultan Mentawis yang ditulis dengan huruf tegak bersambung.
Gb.1. Judul di halaman naskah
Tulisan judul ini kemungkinan ditulis oleh konservator atau peneliti sebelumnya.
Naskah ini kemudian disebut dengan Babad Mentawis. Sementara pada halaman 1 teksnya berbunyi “Babad dalěm Jěng Sultan Matawis, lan kang garwa pamursiteng kalam,ing kartasmadu wirage,aneng Ambon nagriku”.
Gb.2. Teks halaman1
Pada punggung naskah terdapat etiket punggung yang bertuliskan “ No.1133 Babad Dalem Jeng Sultan Mentawis”. Terdapat juga etiket gantung yang bertuliskan data inventarisasi sebagaimana bisa kita lihat pada gambar di bawah ini.
Gb.3. Etiket Punggung
Gb. 4. Etiket Gantung
Naskah Babad Mentawis memiliki panjang 31,3 cm dan lebar 24 cm dengan ketebalan naskah 1 cm. Sampul naskah terbuat dari karton tebal yang dilapisi oleh kertas berwarna hitam. Sampul naskah ini sepertinya bukan sampul asli saat naskah dibuat. Hal ini terlihat dari bahan sampulnya yang masih cukup baru. Jilidan naskah terlihat cukup rapi. Naskah dijilid dengan menggunakan benang sejenis lawe.
Ukuran kolom teks yang ditulisi memiliki lebar 4 cm dan panjang 24 cm. Jarak antar baris 1,2 cm. Ukuran huruf 0,3 cm dengan spasi 0,1 cm. Jumlah baris tiap halaman 16 baris. Terdapat bekas garis dengan benda tumpul yang dimaksudkan untuk membuat kolom pembingkai teks dan kolom huruf.
Jumlah keseluruhan halaman naskah halaman. Jumlah halaman teks 138 halaman.
Jumlah halaman kosong 5 halaman, 4 halaman kosong di depan dan 1 halaman kosong di belakang. Penomoran halaman dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Penomoran halaman ditulis dengan pensil di pojok kanan atas naskah. Penomoran ditulis dengan menggunakan angka Arab 1, 2, 3, dst.
Tinta yang digunakan untuk menulis berwarna hitam. Tinta berwarna merah, hijau dan biru digunakan untuk mewarnai ilustrasi wedana, penanda pupuh dan juga bingkai teks.Aksara yang digunakan adalah aksara Jawa dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Adapun ragam yang digunakan adalah ragam krama dan ngoko.
Sementara kertas yang digunakan untuk menuliskan teks adalah kertas Eropa. Naskah telah dikonservasi dengan menggunakan Japanese paper.
Kuras adalah graf kertas yang telah dicetak dan sudah dilipat sedikitnya dua kali, merupakan bagian dari buku, biasanya terdapat huruf atau angka pada bagian bawah halaman pertama sebagai pedoman bagi penjilidan (Tim, 2012: 761). Untuk menghitung jumlah kuras bisa dengan menjumlahkan benang yang muncul pada tengah tiap-tiap bendel kuras. Naskah ini memiliki 8 kuras, namun jumlah lembar kertas tiap kuras bervariasi, ada yang 8 lembar dan ada yang 10 lembar.
Wĕdana adalah gambar ornamental pembingkai teks. Pada umumnya, gambar wĕdana dilukis pada dua lembar halaman berjejer, yakni satu di lembar bernomor genap dan satu di lembar bernomor ganjil. Gambar di kedua halaman ini simetris (Saktimulya, 2016: 240). Pada naskah Babad Mentawis terdapat wĕdana sebanyak 1 buah. Wĕdana terletak di halaman pertama naskah.
Gb.5. Wĕdana Gapura pada halaman 1
Ringkasan Isi Cerita
Babad Mentawis menceritakan tentang pengasingan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) II bersama permaisurinya ke Negeri Ambon. Peristiwa ini terjadi pasca pembuangan Sultan ke Negeri Penang sebagai konsekuensi kalah dari Inggris. Di awal episode diceritakan Raden Ayu Kencono Wulan (disebut juga sebagai Retna Dewi Dayaningrat atau Retnaningrat) menjadi permaisuri yang dikehendaki kedatangganya oleh Sultan ke Negeri Ambon. Hingga pada akhirnya Sultan mengirimkan surat kepada Nahuys van Brugst (Pupuh I Dhandhanggula, 8-9, 13).
Sang ratu berangkat dengan kedua abdi perempuannya dan diiring oleh beberapa abdi lain, serta prajurit (Pupuh I Dhandhanggula, 14). Perjalanan sang dewi ditempuh lewat Semarang (Pupuh II Kinanthi, 11).
Perjalanan menuju negeri pengasingan melewati beberapa wilayah mancanegara, diantaranya Juwana, Rembang, Tuban, Pathi, dan Gresik. Dalam persinggahan di Gresik, sang ratu mendapat hadiah tandu dari adipati, bahkan Adipati Gresik turut mengiring perjalanan Ratu Kencono menuju Surabaya. Setibanya di Surabaya, Ratu Kencono disambut oleh banyak orang Belanda, tetapi mipro tidak menemuinya (Pupuh VII Megatruh, 5-6). Delapan hari setelah di Surabaya, terdapat kapal dari Betawi untuk mengantar sang ratu menuju Negeri Ambon (Pupuh VII Megatruh, 21).
Pada hari Selasa, 21 Jumadilakir tahun Be, Ratu Kencono berangkat menuju Ambon dengan menggunakan kapal yang dipimpin oleh Kapitan Krusiya (Pupuh VIII Maskumambang, 2).
Diceritakan dalam perjalanan menuju Ambon, Ratu Kencono sudah tidak sabar bertemu dengan Sultan dikarenakan kerinduan yang teramat sangat (Pupuh IX Dhandhanggula). Cerita perjalanan sang ratu berhenti, dilanjutkan dengan cerita Sultan (HB) II yang di Saparua. Sultan tinggal di Pesanggrahan Batu Mirah (Batu Merah) yang berada di dekat Fort Durstede sehingga dapat mudah diawasi. Di pengasingan, Sultan merasa gundah hingga sang dyah Ratu Kencono tiba dari Yogyakarta (Pupuh XII Asmaradana, 1).Pada Kamis Wage, 20 Rajab, Tahun Be, sang ratu baru bertemu dengan Sultan yang telah menantinya di pengasingan (Pupuh XII Asmaradana, 18).
Seluruh biaya pengasingan Sultan dan keluarga dibebankan pada keraton. Bahkan pesanggrahan yang ditempati Sultan di Batu Mirah disewa atas biaya sendiri (Pupuh XIV Asmaradana, 15). Diceritakan pula pada masa pengasingan, Sultan kerap berkunjung ke rumah residen sekaligus pemerintah kolonial di Ambon. Tidak hanya itu, Sultan juga mengangkat anak yang berasal abdinya, baik laki-laki dan perempuan (Pupuh XV-XVI; Gambuh-Dhandhanggula).
Selama Sultan HB II menjalani pengasingan di Negeri Ambon, Keraton Yogyakarta mengalami gejolak politik. Pada 3 November 1814, Sultan Hamengku Buwono III meninggal secara mendadak. Konsekuensinya, Raden Mas Ibnu Djarot yang berusia
berusia 10 tahun (dalam arsip kolonial berumur 12 tahun) dinobatkan sebagai Sultan HB IV pada 6 November 1814. Masa pergantian Sultan di keraton dimanfaatkan oleh Sultan HB II (eyang Sultan) agar dapat dipulangkan ke Yogyakarta (Pupuh XVII Asmaradana). Akan tetapi kehenda eyang Sultan belum dapat dikabulkan.
Selama menjalani pengasingan, pesanggrahan Sultan di Batu Mirah kerap dikunjungi oleh residen atau pejabat kolonial di Ambon. Begitu pula sebaliknya, Sultan dan istri kerap melakukan kunjungan balik dengan memberikan buah tangan kepada setiap orang yang ditemuinya di kediaman residen. Pada masa pengasingan, Sultan HB II ditemani oleh dua putranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertasana.
Pangeran Mangkudiningrat merupakan putra terkasih dari Sultan. Mangkudiningrat pun mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkudiningrat (Mandoyokusumo, 1980:17), yaitu calon putra mahkota yang ditunjuk oleh Sultan tetapi gagal untuk bertakhta. Sayangnya, pada masa pengasingan di Ambon, Mangkudiningrat meninggal dunia pada Ahad Manis, 13 Rajab, Tahun Dal 1239.
Sultan menghendaki jasad sang anak disemayamkan di Batu Mirah terlebih dahulu (Pupuh XIX Pucung,15-23). Sementara Pangeran Martasana nantinya akan dijemput oleh Belanda kembali ke Yogyakarta untuk menjadi wali dari Sultan HB V, usai kepergian Sultan HB IV secara mendadak sepulang berpesiar dari Kaliurang.
Kegelisahan Sultan atas meninggalnya Pangeran Mangkudiningrat memicu rasa ingin untuk segera kembali ke Yogyakarta. Sultan terus meminta Ratu Kencono untuk menyampaikan keinginannya pada Idlir Mirkus (Gouverment van Moluken P.
Merkus) tetapi tidak segera dikabulkan. Hingga akhirnya, Jendral Kapilen (van der Capellen) memutuskan untuk mengembalikan Sultan HB II sebelum terjadinya Perang Jawa, tahun 1825. Meskipun kembali ke Jawa, Sultan tidak diperkenankan kembali Yogyakarta. Sultan hanya memiliki pilihan untuk tinggal di Surabaya atau Batavia. Pada tanggal 24 Maret 1824, Sultan HB II bersama rombongan dipulangkan ke Surabaya dari pengasingan. Kepulangan Sultan menggunakan kapal sewaan dari seorang saudagar Arab, Said Alui Habsyi. Di Surabaya, Sultan tetap menjadi tawanan politik dari pemerintah kolonial, dengan segala aktivitas Sultan yang penuh pengawasan.
Pedoman dan Metode Alih-Aksara
Dalam tujuan untuk memudahkan pembaca dalam membaca teks, maka dalam menyunting suatu teks diperlukan suatu pedoman. Urutan huruf sebagai pedoman suntingan mengikuti Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Nusatama bekerjasama dengan pemerintah provinsi DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur (2002). Berikut ini adalah pedoman yang digunakan dalam menyunting Babad Mentawis.
Sistem Suntingan Aksara Jawa dalam Teks Babad Mentawis.
- Aksara Jawa yang digunakan di dalam Babad Mentawis berjumlah dua puluh huruf (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga) yang dianggap sebagai konsonan dan belum diberi sandhangan serta dibunyikan [a] sesuai dengan konsep bahasa Jawa yang bersifat silabik.
- Ada beberapa aksara Murda dan aksara Rĕkan yang digunakan di dalam teks Babad Mentawis. Aksara ini di dalam teks disunting sama sesuai dengan ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan. Apabila mendapatkan sandhangan, maka akan disunting sesuai dengan sandhangan yang melekat.
Sistem Ejaan dan Teknis Penyajian
Sistem ejaan teks Babad Mentawis merujuk pada sistem ejaan dalam buku mengikuti Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh Yayasan Nusatama bekerjasama dengan pemerintah provinsi DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur (2002).
- Aksara (ha) dengan pengucapan jelas atau berat akan disunting menjadi (h). Sementara aksara (ha), (hi), (hu), (he), (ho) yang diucapkan ringan disunting menjadi vokal (a,i,u,e,o).
- Huruf rangkap akibat pasangan tidak ditulis.
- Huruf kapital digunakan pada awal kalimat, penyebutan Tuhan, nama orang, dan nama tempat.
- Kata-kata serapan bahasa Arab disajikan pada suntingan sesuai dengan teks asli kemudian dicetak miring untuk menginformasikan kepada pembaca bahwa teks tersebut merupakan serapan dari bahasa Arab.
- Kata-kata serapan bahasa Melayu, seperti tapi yang berarti topi dan laji yang berarti loji, disajikan pada suntingan sesuai dengan teks asli.
- Penulisan e pepet ditulis e dengan diakritik (ĕ), sedangkan penulisan e taling ditulis e tanpa diakritik (e).
- Kekhasan teks berupa penulisan klaster [-ěr] ditulis konsisten [-rě] seperti pada kata trĕkadang, tĕtĕngkrĕ,grĕrah, brĕrindhil, krĕruntĕlan, dan blabrĕ dipertahankan dalam suntingan.
- Bentuk ira, nira, manira yang berfungsi sebagai enklitik (-nya, -mu, -ku) ditulis gabung dengan kata dasarnya.
- Segala hal yang bermasalah diletakkan di dalam aparat kritik yang ditulis dengan angka 1,2,3 dst dalam bentuk catatan kaki atau (footnote).