MOROTAI:
PULAU TERLUPAKAN DALAM SEJARAH PERANG PASIFIK DI INDONESIA 1944-1945
Oleh:
Abd. Rahman
Dosen Sejarah di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra & Budaya Universitas Khairun Ternate-Maluku Utara
Pengurus MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Maluku Utara Mahasiswa Program S3 Departemen Sejarah-FIB-UI-Depok
HP. 082188286272/Email: [email protected]
ABSTRAK
Dari banyak tempat yang pernah menjadi lokasi pertempuran antara Jepang dan Sekutu di dunia termasuk Indonesia, pulau Morotai adalah salah satunya. Pulau ini adalah bekas pangkalan militer terbesar kedua Sekutu (AS) sesudah Hawaii di Pasifik. Jenderal Douglas McArthur, panglima tentara Sekutu wilayah Pasifik pernah bermarkas di sini. Namun, sayang sekali pulau ini terlupakan dalam penyelidikan sejarah Indonesia, khususnya sejarah militer. Pulau ini pernah menjadi rebutan antara Jepang dan Sekuatu (AS, Inggeris, Belanda, dan Autralia) dalam perang Pasifik (1944-1945) sebagai bagian dari Perang Dunia II (1939-1945). Bisa dikatakan bahwa hampir di setiap jengkal tanah Morotai tertimbun material bekas peralatan Perang Pasifik (senjata mesin, bom, mobil, bangkai kapal, pesawat tempur, dsb.). Morotai adalah sebuah pulau tersendiri yang terletak di kawasan laut dan kepulauan Maluku bagian Utara (salah satu daerah perbatasan antara NKRI=Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Filipina). Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara singkat tentang pulau Morotai semasa Perang Pasifik. Metode penulisan dan penelitian yang digunakan sebelumnya untuk artikel ini adalah Metode Sejarah yang didominasi oleh studi pustaka. Persoalannya adalah: faktor-faktor apakah yang menyebabkan pulau Morotai menjadi rebutan Jepang dan Sekutu dalam Perang Pasifik? Bagaimanakah proses jalannya perang antara Sekutu dan Jepang di pulau ini?
Mengapa Jepang yang pernah menduduki pulau ini menyerah kalah tanpa syarat kepada tentara Sekutu? Ini adalah tiga persoalan yang akan dijawab di dalam makalah ini.
Kata Kunci:
Pulau Morotai, Perang Pasifik, Jepang dan Sekutu, Terlupakan, Maluku Utara.
Peta lokasi pendaratan kapal-kapal angkut tentara Sekutu di Pantai Merah dan Putih Daruba dan Tanjung Dehegila Morotai Selatan, Morotai, 15 September 1944.
I. PENDAHULUAN
1. Morotai dan Kerajaan Moro
Di Maluku Utara, selain terdapat kerajaan-kerajaan besar seperti Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, terdapat pula kerajaan-kerajaan kecil yang bisa dikatakan terabaikan dari rekaman-rekaman penyelidikan sejarah Indonesia, yaitu: Loloda, Tobelo, Galela, Maba, Patani, Weda, Obi, dan Moro. Apa yang dikenal sebagai Morotai sekarang tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Moro. Kerajaan Moro terletak di daratan pantai timur Halmahera Utara, mulai dari tanjung Bisoa di utara sampai Tobelo. Karena letaknya di daratan Halmahera, ia disebut juga Morotia (Moro daratan). Sebagian lagi wilayahnya terletak di pulau seberang laut yang dinamakan Morotai (Moro lautan). Karena itu, kerajaan Moro berwilayahkan Moro daratan (Morotia) dan Moro lautan (Morotai).
Peta Maluku Utara (Sumber: Map 3 North Maluku, dalam Andaya, Leonard. 1993. The world of Maluku, Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu:
University of Hawaii, hlm. 91.
Ibukota kerajaan Moro adalah Mamuya, terletak di Morotia, sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Galela. Untuk sementara ini belum diketahui secara pasti kapan kerajaan Moro berdiri dan siapa pendirinya. Menurut A.B. Lapian dalam Amal (2010:213), dalam satu tulisannya yang paling akhir tentang kerajaan Bacan, ialah bahwa
kerajaan Moro sama tuanya dengan kerajaan Loloda dan Kerajaan Jailolo. Kota-kota penting kerajaan Moro, selain Mamuya, adalah Sugala, Pune (Galela), Tolo, Cawa, Samafo (Tobelo), Sakita, Mira, Cio, dan Rao (Morotai). Pada masa Portugis, Moro berada di bawah pemerintahan Tioliza.
Penduduk kerajaan Moro sebagiannya memeluk agama Islam, sebagian lagi beragama Katolik, dan yang lainnya masih menganut anismisme. Secara etnografis, penduduk kerajaan Moro terdiri dari etnis Galela dan Tobelo, baik di Morotia maupun di Morotai. Sampai pada pertengahan ketiga abad ke-16, kerajaan ini masih eksis. Moro adalah penghasil beras terbesar di Maluku dan oleh karenanya merupakan gudang-pangan
—beras dan sagu serta ikan dan daging—yang mensuplai kebutuhan pangan kota Ternate.
Kerajaan ini mendapat kesulitan karena kerajaan besar seperti Ternate ingin mencaploknya. Selain Ternate, Moro juga diincar Jailolo.
Ketika Baabullah dinobatkan sebagai Sultan Ternate pada 1570, ia melanjutkan perang terhadap Portugis yang telah dikobarkan pendahulunya, Khairun. Peperangan ini berhasil dimenangkannya dan mengakibatkan Portugis terusir dari sebagian besar Maluku.
Misi Jesuit Moro, yang di zaman Khairun banyak memperoleh bantuan dan kemudahan, mulai surut pada masa Baabullah. Para pastor mulai meninggalkan kerajaan Moro menuju Ternate, dan pada 1574 meninggalkan Maluku.
Pada perempatan terakhir abad ke-16, Baabullah menggabungkan Kerajaan Moro kedalam wilayah kekuasaan Ternate. Ia mengirim ekspedisi militer ke Galela, kemudian ke Tolo (Tobelo), dan ke Morotai. Walaupun pasukan Baabullah menemui perlawanan sengit di Tolo, pusat Misi Jesuit di Kerajaan Moro, seluruh wilayah Moro akhirnya berhasil dikuasai Kesultanan Ternate. Eksistensi Kerajaan Moro pun berakhir.
Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar (1610-1627), sejumlah orang Moro dari Mamuya, Samafo, Kioma, dan Tolo dievakuasi ke Ternate. Pada 1628, Sultan Hamzah dari Ternate memutuskan membawa sejumlah 800 orang Moro ke Ternate untuk memperkuat angkatan perangnya. Sementara pada 1686, sejumlah orang Moro yang berasal dari Morotai: Cio, Sopi, Sakita, dan Mira dipindahkan ke Jailolo dan Dodinga.1
Sebelum terbentuk sebagai kabupaten tersendiri, Morotai adalah bagian dari Kabupaten Halmahera Utara, yang beribukota di Tobelo. Morotai kini telah menjadi salah
1 Christian Frans van Fraassen, ”Type of Socio-Political Structure in North-Halmahera History”, dalam Masinambow, E.K.M. (ed.). 1980. Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi Penelitian. Jakarta:
Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI), hlm. 91.
satu Kabupaten di Propinsi Maluku Utara dengan nama Kabupaten Pulau Morotai.
Kabupaten baru ini terbentuk di tahun 2010 yang beribukota di Daruba, kota yang terletak di pesisir pantai Morotai selatan yang dikenal sebagai lokasi pendaratan awal tentara- tentara Jepang dan Sekutu.
2. Gambaran Umum Lokasi
Transportasi menuju Pulau Morotai cukup sulit, karena harus menyeberangi beberapa teluk. Perjalanan menuju ke sana dapat melalui pelabuhan besar Ahmad Yani Ternate.
Perjalanan dari pelabuhan besar Ternate ini dapat dilanjutkan ke desa Sidangoli di Pulau Halmahera dengan menggunakan speedboat (perahu motor cepat) menyeberangi Teluk Ternate. Perjalanan kemudian dilanjutkan dari Desa Sidangoli menuju Kota Tobelo dengan menggunakan kendaraan umum selama empat jam. Dari kota Tobelo menuju pelabuhan untuk melanjutkan perjalanan menuju Pulau Morotai dengan menggunakan perahu motor selama lebih kurang dari dua jam. Perjalanan laut ini berakhir di Pelabuhan Daruba, di wilayah Kecamatan Morotai Selatan.
Di Pulau Morotai terdapat Bandara yang telah dibangun oleh bala tentara pendudukan Jepang, namun kemudian direbut dan digunakan oleh angkatan perang Sekutu yang menjadi lawan Jepang. Bandara ini adalah bandara militer dengan fasilitas tujuh runway (tujuh landasan pacu) dalam kondisi masih sangat baik, yang mana ke depan bandara tersebut dapat dikembangkan dan dioperasikan kembali menjadi Bandara Internasional sebagai penghubung utama kawasan industri dan perdagangan Morotai ke belahan dunia lainnya. Pulau Morotai terletak terpisah dari daratan Halmahera Utara dengan luas wilayah 2.474.94 km². Batas-batas wilayahnya adalah:
1. Di sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, 2. Di sebelah Timur dengan Laut Halmahera,
3. Di sebelah Selatan dengan Selat Morotai, dan 4. Di sebelah Barat dengan Laut Sulawesi.
Dengan letak yang demikian, maka Pulau Morotai sangat strategis karena berbatasan dengan negara lain di ujung utara dan merupakan pintu masuk menuju Pasifik sehingga bisa dikembangkan sebagai salah satu sentra perdagangan global.
II. PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Pertempuran Morotai, adalah bagian dari Perang Pasifik rangkaian dari Perang Dunia II (1939-1945). Berlangsung dari 15 September-4 Oktober 1944 (periode awal), dan peretmpuran-pertempuran kecil masih berlanjut sampai akhir Perang Pasifik yaitu 9 September 1945. Lokasi pertempuran di pulau Morotai, Halmahera Utara. Hasilnya kemenangan berada di pihak Sekutu. Pihak yang terlibat dalam perang ini adalah Sekutu (Amerika Serikat, Autralia, Belanda, dan Inggeris) melawan pasukan-pasukan bala tentara pendudukan Kekaisaran Jepang. Panglima tentara sekutu yaitu Charles P. Hall (darat) Daniel E. Barbey (laut). Panglima tentara kekaisaran Jepang yaitu Takenobu Kawashima dan Kisou Oichi terhitung sejak 12 Oktober 1944). Dari sisi kekuatan awal, Sekutu memiliki 57.020 orang personil tentara dan Jepang kurang lebih hanya 500 orang personil tentara yang kemudian diperkuat.
1. Invasi Tentara Jepang ke Morotai
Morotai adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Halmahera Utara, Kepulauan Maluku.
Dengan koordinat 2°19′0″ (LU) 128°32′0″ (BT) / 2.316667° (LU) 128.533333° (BT) . Sebagian besar bentang alam pulau ini masih tertutup hutan lebat. Dataran Doroeba di barat daya Morotai adalah yang terbesar dari beberapa dataran rendah di pulau tersebut.
Sebelum perang pecah, Morotai dihuni oleh 9.000 penduduk dan belum dikembangkan secara komersial. Pulau ini merupakan bagian dari Hindia Belanda dan diperintah oleh Belanda melalui Kesultanan Ternate. Jepang menduduki Morotai di awal tahun 1942 selama kampanye perang Hindia Belanda, tetapi tidak menempatkan pasukannya di Morotai atau pun mengembangkannya.
Pada awal tahun 1944, Morotai muncul sebagai wilayah yang penting bagi militer Jepang ketika mulai mengembangkan pulau-pulau di Halmahera sebagai titik fokus untuk mempertahankan pendekatan selatannya ke Filipina.2 Pada bulan Mei 1944, Divisi ke-32 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tiba di Halmahera untuk mempertahankan pulau dan sembilan landasan udaranya.3 Divisi ini telah mengalami kerugian besar ketika konvoi yang membawanya dari China (konvoi Take Ichi) diserang oleh kapal selam AS.4 Dua batalyon dari Resimen Infanteri ke-32 Divisi ke-211 awalnya dikerahkan ke Morotai untuk mengembangkan sebuah landasan udara di Dataran Doroeba. Namun, kedua batalyon
2 Robert Ross Smith . 1953. The Approach to the Philippines. United States Army in World War II: The War in the Pacific. Washington DC: United States Army Center of Military History, hal. 460.
3 Ibid.
4 Charles A. Willoughby (editor in chief). 1966. Japanese Operations in the Southwest Pacific Area Volume II – Part I. Reports of General MacArthur. Washington DC: United States Government Printing Office, hal.
273.
tersebut ditarik ke Halmahera pada pertengahan Juli, ketika landasan tersebut ditinggalkan karena masalah drainase.5 Pemecah kode Sekutu mendeteksi keberadaan Jepang di Halmahera yang berakibat pada melemahnya pertahanan Jepang di Morotai, Sekutu kemudian meneruskan informasi ini kepada staf perencanaan tempurnya dengan cepat dan tepat.6
Peta lokasi pergerakan tentara
pendudukan Jepang di Morotai dalam Battle of Morotai, Pacific War, Part of World War II. Coordinates: 2°19′0″N 128°32′0″E, 2.31667°N, 128.53333°E
Pada bulan Juli 1944, Jenderal Douglas MacArthur, komandan South West Pacific Area (Wilayah Pasifik Barat Daya), memilih Morotai sebagai lokasi untuk pangkalan udara dan fasilitas angkatan laut yang diperlukan untuk mendukung pembebasan Mindanao, yang rencananya akan berlangsung pada tanggal 15 November. Karena Morotai belum berkembang, maka pulau ini lebih dipilih daripada Halmahera karena wilayah Halmahera terlalu besar dengan posisi pulau yang secara signifikan dinilai terlalu sulit untuk diamankan.7 Pendudukan Morotai ditetapkan sebagai Operasi Tradewind (pusaran angin).
Pendaratan dijadwalkan berlangsung pada tanggal 15 September 1944, hari yang sama
5 Ibid.
6 Edward J. Drea. 1992. MacArthur's ULTRA. Codebreaking and the war against Japan, 1942–1945.
Lawrence: University of Kansas Press.
7 Robert Ross Smith. 1953. The Approach to the Philippines. United States Army in World War II: The War in the Pacific. Washington DC: United States Army Center of Military History, hal. 450–451.
dengan pendaratan Divisi Marinir ke-1 di Peleliu. Jadwal ini memungkinkan divisi utama Armada Pasifik Amerika Serikat untuk secara bersamaan melindungi operasi dari potensi serangan balik Jepang.8
Ketika perlawanan yang diharapkan dari pihak lawan sedikit, perencana perang Sekutu memutuskan untuk mendaratkan pasukan invasi berdekatan dengan lokasi lapangan udara di Dataran Doroeba. Dua pantai di barat daya pulau ini dipilih sebagai lokasi pendaratan yang cocok, dan ditetapkan sebagai Pantai Merah dan Pantai Putih.
Sekutu berencana menyerukan resimen infanteri ketiga dari Divisi ke-31 yang akan mendarat di pantai ini pada tanggal 15 September dan segera melakukan perjalanan darat untuk mengamankan daratan. Karena bentang alam Morotai yang tidak memiliki nilai militer, Sekutu tidak berniat untuk memajukan sarana di luar batas yang diperlukan untuk mempertahankan lapangan udara yang sudah dibangun.9 Perencanaan pembangunan lapangan udara dan instalasi dasar lainnya juga dilakukan sebelum pendaratan, dan lokasi fasilitas militer sementara telah dipilih pada 15 September.10
Secara geografis wilayah Maluku Utara yang berbatasan langsung dengan Kawasan Pasifik, membuat posisi Pulau Morotai dari aspek geopolitik sangat strategis sewaktu terjadi Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik. Pernyataan ini dikeluarkan berdasarkan strategi politik militer yang dijalankan oleh Laksamana Yamamoto, panglima perang bala tentara Dai Nippon di kawasan Pasifik yang dibantu oleh seorang Minseifu (pusat pemerintahan sipil di wilayah pendudukan angkatan laut di kepulauan Indonesia) atau vice admiral angkatan laut (kaigun) yang berkedudukan di Kao-Malifut, yaitu Letnan Jenderal Ishey.11 Dari posisi ini Jepang dapat mengontrol jalanya Perang Pasifik. Pada mulanya dari Kao terdiri dari enam orang yang kemudian disusul dengan satu batalion,12 yang kemudian mereka membangun lapangan terbang (yang sekarang menjadi lokasi transmigrasi SP (satuan pemukiman) 2 (dua) di Desa Pilowo, dan karenanya lokasi
8 Taafe, Stephen R. (1998). MacArthur's Jungle War. The 1944 New Guinea Campaign. Lawrence:
University Press of Kansas.
9 Smith. 1953. Op.Cit., hal. 475–477.
10 Office of the Chief Engineer, General Headquarters, Army Forces Pacific. 1951.. Airfield and Base Development. Engineers of the Southwest Pacific 1941–1945; v. 6. Washington DC: US Government Print, hal. 272.
11 Irza Arnyta Djafaar. 2005. Dari Moloku Kie Raha hingga Negara Federal: Iskandar Muhammad Djabir Syah, Biografi Politik Sultan Ternate (Yogyakarta: Bio Pustaka), hal. 57-58.
12 Susilawati M. Tanggule. 2007. Kekuasaan Militer Jepang di Morotai (Skripsi Sarjana). Ternate: Program Studi Ilmu Sejarah-Fakultas Sastra dan Budaya-Universitas Khairun, hal. 26 dan 53. Berdasarkan hasil wawacara dengan Bapak Afandy Boy (73) di Jalan Desa Yayasan Kompleks Puskesmas, Kecamatan Morotai Selatan, mantan pekerja paksa di Masa Pendudukan Jepang, dan Bapak Safi Kurung (75), di Jalan Desa Muhajirin, Belakang Masjid, mantan pekerja paksa masa pendudukan Jepang. Tanggal 8 Juli 2006.
tersebut sudah menjadi lahan persawahan. Lapangan terbang yang kedua dibangun di Morotai Selatan yang sekarang dikenal sebagai Dusun MTQ (Desa Darame) di mana di lokasi tersebut telah dibangun suatu gedung pertemuan, gedung sekolah, dan perumahan.
Di Dusun Gotalamo tentara Jepang terdiri dari satu batalyon akan tetapi karena lemahnya pertahanan, mereka terpaksa lari bersembunyi di hutan. Dusun Gotalamo, oleh Jepang dijadikan sebagai markas. Di dusun ini juga, pasukan-pasukan Amerika dan sekutunya juga membangun lapangan terbang darurat dengan landasan pacu yang terbuat dari besi.
Di Morotai, Jepang tidak mendirikan bangunan untuk pertahanan, seperti gedung, benteng, dan sejenisnya. Hal ini adalah salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi diri dari serangan Sekutu. Cara lainnya adalah dengan membuang alat-alat perangnya, seperti berbagai jenis senjata dan amunisi, kapal-kapal, dan pesawat-pesawatnya ke pantai atau ditanam di bawah tanah. Kedadatangan orang-orang Jepang di Morotai bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaan dan ingin menguasai daerah-daerah yang berada di kawasan Pasifik.13
2. Morotai dan Rakyatnya di Bawah Militerisme Jepang
Secara geopolitik, Maluku Utara yang berbatasan langsung dengan Kawasan Pasifik.
Posisinya sangat strategis apabila sewaktu-waktu pecah perang Asia Timur Raya.
Pendapat ini muncul berdasarkan analisis seorang ahli strategi perang Jepang, Laksamana Yamamoto, yang juga adalah seorang Panglima Perang Dai Nippon di Pasifik yang dibantu oleh satuan-satuan Angkatan Lautnya (kaigun) yang berada di bawah seorang Minseinfu atau vice admiral (Letnan Jendral Ishey), yang berkedudukan di Kao-Malifut.
Dari posisi ini, Jepang dapat mengontrol jalannya Perang Pasifik. Propinsi Militer versi Jepang yang beribukota di Kao-Malifut ini meliputi pula Maluku, Irian Barat, Papua Nugini, Talaut, hingga kepulauan Salomon di Pasifik Selatan,14 sedangkan Amerika Serikat dengan pasukan-pasukan Sekutunya di bawah pimpinan Komando Jenderal Douglas Mc Arthur, mengambil posisi di Pulau Morotai sebagai operation base and Consolidation (markas koamando) dengan strategi ”lompat katak” (leap frog strategy).
Mac Arthur memperoleh keberhasilan dengan menggunakan strategi lompat katak itu, yaitu bahwa ia tidak berusaha untuk merebut setiap jengkal tanah mulai dari Irian hingga Jepang, tetapi tentaranya bergerak maju dengan cara “meloncat-loncat”. Setiap loncatan
13 A.B. Lapian dan J.R. Chaniago. 1988. Op.Cit., hal. 2.
14 Irza Arnyta Djafaar, Op.Cit., hal. 57-58. Lihat pula dalam Tanggule. 2007. Ibid., hal. 31.
jaraknya sekitar 300 km, sesuai dengan jangkauan terbang pesawat-pesawat pembom (B- 25) dari Angkatan Udara Amerika Serikat.
3. Serangan Sekutu atas Tentara Pendudukan Jepang di Morotai
Pada tanggal 5 September 1944, tentara Sekutu mendarat di Morotai. Sejak Fajar menyingsing di ufuk Timur, pantai di sekitar tempat pendaratannya di Daruba, Gotalamo, dan Tanjung Dehegila dihujani tembakan-tembakan meriam dari atas kapal-kapal perang hingga pukul Sembilan pagi. Pasukan Sekutu kemudian didaratkan di sepanjang pantai dan pulau Morotai kemudian secara praktis dikusai Sekutu pada hari itu juga. Pulau Morotai dipertahankan oleh Jepang dengan kekuatan dua batalion tentara saja, yang sebagian besar adalah orang-orang berbangsaan Jepang sendiri. Setelah menghadang pendaratan pasukan Sekutu dengan suatu pertempuran singkat, maka tentara Jepang mundur ke hutan dan pegunungan, serta melakukan gerakan gerilya dengan menyerang fasilitas-fasilitas militer Sekutu.15 Pedaratan di Morotai berarti dimulainya persiapan untuk menyerang Filipina, bahkan selain Filipina, Sulawesi, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara juga tidak luput dari serangan bom pesawat-pesawat Sekutu yang berpangkalan di Morotai.
Pilihan Morotai sebagai tempat pendaratan Sekutu di Maluku Utara didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan menjadikan pulau ini sebagai basis militer Sekutu, akan memudahkan pula Amerika Serikat menyerbu dan merebut Filipina.
Tentara Sekutu yang didaratkan di Morotai terdiri dari dua divisi pasukan Australia yakni Divisi Ke-7 dan Divisi Ke-9 serta satu divisi pasukan Amerika Serikat, yakni Divisi Negro Ke-93. Australia kemudian menjadikan Morotai sebagai markas besarnya. Panglima Tentara Sekutu Jenderal Douglas Mac Arthur, juga ikut dalam pendaratan di Morotai. Ia membangun markasnya di Pulau Sum-Sum, sekitar satu setengah mil dari Pantai Daruba.
Arthur sendiri tidak lama berdiam di Morotai, sebab tugas utamanya adalah membebaskan Filipina serta menaklukkan Kepulauan Jepang untuk segera mengakhiri peperangan.16 Pada waktu Sekutu mendarat pertama kali di Morotai mereka langsung membangun sebuah lapangan terbang yang berukuran sekitar 2 x 100 x 200 meter. Lapangan ini merupakan lapangan darurat. Bahan-bahannya terbuat dari tangki-tangki minyak yang didatangkan dari Pasifik. Mereka rakit tangki-tangki itu yang jumlahnya ribuan.
15 Adnan Amal dan Irza Arnyta Djafaar. 2003. Op.Cit. hal. 144-145.
16 Ibid., hal. 146.
Peta lokasi pergerakan pasukan Sekutu, dalam Battle of Morotai, Pacific War, Part of World War II.
Coordinates: 2°19′0″N 128°32′0″E, 2.31667°N, 128.53333°E
Armada kapal pensuplai pasukan Sekutu mendarat di Pantai Biru
(LSTs=Landing Supplies Troopens at Blue Beach), di Morotai.
Entah berapa ribu tangki, belum diketahui. Rakit-rakit tangki itu adalah lapangan terbang darurat yang mereka gunakan untuk mendaratkan pesawat-pesawat tempurnya sementara waktu. Selain itu terdapat landasan udara di darat yang letaknya di Desa Gotalamo, bekas Jepang yang dahulunya menjadi salah satu markasnya di Morotai.
Lapangan terbang terapung itu hanya digunakan selama tiga hari. Karena setelah itu pesawat-pesawat yang sebelumnya mendarat di atas landasan terbang darurat tersebut harus segera diterbangkan kembali ke lapangan terbang darurat yang ada di darat yaitu di desa Gotalamo. Setelah itu lapangan terbang terapung (pontong) tersebut mereka bongkar satu-persatu dan dirubah pula menjadi jembatang pontong dengan panjang 1 km dan lebar 8 m, dengan jarak mulai dari dok Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di depan rumah Danlanud (komandan wilayah udara) sampai ke kampung Juanga (sekarang), yang kemudian dikenal sebagai daerah Angkatan Laut. Pekerjangan membangun jembatan itu dilakukan siang dan malam. Dalam waktu sekejap kapal-kapal Sekutu sudah dapat mendarat pada jembatan (dermaga) terapung tersebut. Lapangan terbang darurat yang tadinya hanya digunakan selama tiga hari saja kemudian ditinggalkan dan diganti dengan lapangan terbang baru yang sudah dibangun di daratan. Lapangan terbang tersebut dibangun di atas tanah dengan ukuran yang jauh lebih besar karena memiliki tujuh bahkan ada yang mengatakan empat belas landasan pancu (runway). Pekerjaan membangun lapangan terbang ini juga dilakukan siang dan malam sehingga dalam waktu yang begitu singkat saja sudah rampung dan siap digunakan.
Sebelum pasukan mendarat dengan kapal-kapal pendaratnya (landing) mereka sudah menurunkan tank-tank baja (anti peluru), dan tank-tank amfibi jenis “onta laut” dan
“onta darat”. Orang Morotai menamakan kendaraan-kendaraan perang itu dengan “onta besar dari laut”, yang ratusan jumlahnya. Mereka melakukan penembakan-penembakan sepanjang jalur jalan yang akan dilalui. Tank-tank baja (anti peluru) mendarat dengan muatan pasukan yang ratusan jumlahnya dilengkapi dengan persenjataan yang lengkap dan siap bertempur. Kapal-kapal pendarat (landing ship) dengan segala persiapan perangnya sudah mendarat di Pulau Morotai dengan persiapan yang sudah dilakukan Sekutu sejak 10 bahkan 15 tahun sebelumnya. Pasukan-pasukan Sekutu dengan fasilitas persenjataan perang dan militernya yang lengkap itu bermarkas di Pulau Sum-Sum. Menurut pendapat umum areal markas besar Sekutu termasuk kantor administrai militernya berukuran luas kira-kira 10 x 20 m, tembok gedungnya sampai tembus jauh ke dalam tanah. Kantor itu menjadi pusat komando Jendral Mac Arthur di Morotai.17
17 Op.Cit., hal. 39, merujuk pada Arsip pribadi Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 7 Juni 2006.
Kapal-kapal angkut tentara Sekutu mendarat di pesisir pantai Biru Morotai (LSTs, landing supplies at Blue Beach, Morotai).
Pendudukan Morotai oleh Sekutu memiliki arti yang sangat strategis. Sejak saat itu, posisi pasukan-pasukan Jepang di Halmahera Tengah dan Utara hampir setiap saat mengalami serangan udara dan tembakan kapal-kapal perang Sekutu. Hampir semua fasilitas militer Jepang seperti lapangan terbang yang semula selalu bereaksi terhadap serangan musuhnya, kini bungkam dan tidak terdengar lagi karena dihancurkan oleh Sekutu.18 Hal ini diketahui sebagaimana yang dikatakan oleh informan:
“Setelah kejatuhan Morotai ke tangan Sekutu, pulau ini didapati tentara Sekutu dan puluhan ribu pengungsi yang berasal dari berbagai daerah di Halmahera Tengah, Timur, dan Utara. Para pengungsi menyeberang ke Morotai untuk menyelamatkan diri, dan ditampung di pulau-pulau kecil di depan pantai Daruba dan di beberapa kawasan pemukiman, seperti di Sabatai, Daeo, dan sekitarnya. Dua tahun setelah perang usai barulah para pengungsi itu kembali ke kampung halamannya….”.19
4. Pendudukan Jepang dan Kondisi Sosial Ekonomi Rakyat Morotai
Dalam menjalankan kebijaksanaan pemerintah, penguasa militer Jepang berpegang pada tiga prinsip utama yaitu: (1) Mengusahakan agar mendapatkan dukungan rakyat untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya dan mempertahankan ketertiban umum baik di Indonesia maupun di kawasan Pasifik, (2) Memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang telah ada, dan (3) Meletakkan dasar agar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan menjadi pusat persediaan pangan di wilayah Selatan.20
18 M. Adnan Amal dan Irza Arnyta Djafaar. 2003. Op.Cit., hal. 146-147.
19 M. Tanggule, Op.Cit., hal. 40, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan dengan Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 7 Juni 2007.
20 Susilawati M. Tanggule. 2007., Op.Cit., hal. 27, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor
Jepang melakukan campur tangan militer sampai ke tingkat bawah dengan membentuk kelompok-keompok bertetangga sebagai sarana untuk menyalurkan perintah atau peraturan-peraturan dari atas yang sangat mempengaruhi kehidupan rakyat sehari- hari. Memang pada masa awal pendudukan, Jepang tidak begitu sulit untuk mendapatkan dukungan dan simpati rakyat setempat. Rakyat menyambut kedatangan Jepang dengan gembira karena mereka telah dianggap mengacaukan penguasa kolonial Barat (Belanda) yang telah bercokol selama berabad-abad lamanya di Nusantara, dan juga dengan harapan bahwa kedatangan mereka akan segera disusul dengan kemerdekaan Indonesia.21
Untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan, jalan-jalan, jembatan, ataupun juga bangunan misalnya bungker, lapangan udara dan lain-lain, Jepang membutuhkan banyak tenaga kasar, termasuk untuk membangun pabrik dan pelabuhan- pelabuhan. Tenaga romusha pada umumnya direkrut dari kalangan petani di desa-desa, di mana hal itu turut berdampak secara signifikan terhadap kehidupan perekonomian di pedesaan.22 Sehubungan dengan pembangunan prasarana yang dilakukan Jepang di Morotai, beberapa orang informan menyampaikan:
“....bahkan sudah sempat dibangun lapangan terbang guna pendaratan tentara Jepang, tepatnya di desa Pilowo dan desa Darame, namun belum selesai sudah diserang Sekutu. Tentara Jepang yang jumlahnya tidak seberapa banyak akhirnya lari ke hutan-hutan untuk menyelamatkan diri.
Pendaratan tentara Sekutu di Morotai dilakukan oleh pasukan Infanteri ke-31 di bawah komando Mayor Jenderal John Parson, berjumlah 1000 orang pasukan yang diangkut dengan kapal-kapal pendarat amfibi Daniel Barbey VII. Pendaratan ini dilakukan di Pantai Selatan Morotai, dan tugas utama dari tentara ini adalah membangun lapangan terbang guna pendaratan pesawat pembom B- 24. Pembangunan landasan pesawat terbang ini memakan waktu 2 Minggu, dan masih berupa landasan darurat”.23
Selanjutnya seorang informan mengatakan:
“Di Morotai, Jepang tidak mendirikan bangunan untuk pertahanan, seperti gedung dan lain-lain.
Agar tidak diketahui oleh Sekutu, Jepang membuang alat-alat perang dan pesawat-pesawatnya ke pantai atau ditanan di dalam tanah. Kedatangan Jepang di Morotai dengan tujuan karena ingin memperluas wilayah serta ingin menguasai daerah kawasan Pasifik”.24
pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 7 Juli 2006.
21 Op.Cit., hal. 29, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 6 Juli 2006.
22 Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1993. Op.Cit., hal. 38-39. Lihat pula dalam Tanggule. 2007. Ibid., hal. 31.
23 Tanggule, Op.Cit., hal. 21, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Lastory (81) dan teman-teman seperjuangannya, Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 6 Juli 2006.
24 Tanggule, Ibid., hal. 27, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 7 Juli 2006.
Kaum romusha diperlakukan sangat buruk. Sejak dari pagi-pagi buta sampai pada petang harinya mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar tanpa makanan, obat- obatan, dan perawatan yang cukup. Karena itu kondisi fisik mereka menjadi sangat lemah, dan sangat rentang dengan penyakit, sehingga mereka hampir tidak memiliki kekuatan lagi. Jika ada di antara mereka yang berani beristirahat, sekalipun hanya sebentar dan hal itu akan mengundang caci maki dan pukulan-pukulan dari pengawas-pengawas mereka yang orang Jepang. Hanya di malam hari saja mereka berkesempatan melepaskan lelah.
Dalam keadaan demikian mereka sudah tidak punya ketahanan lagi terhadap berbagai macam penyakit. Karena air minumnya tidak pernah sempat dimasak, sedangkan mereka juga sering buang-buang air di sembarang tempat, maka berjangkitlah wabah disentri.
Mereka tidak dapat menghindarkan diri dari serangan nyamuk dan banyak di antara mereka yang terserang penyakit malaria hingga meninggal.
Kesehatan yang tidak terjamin, makanan yang tidak cukup, dan pekerjaan yang terlalu berat, menyebabkan para romusha itu banyak yang meninggal dalam jumlah besar di tempat kerjanya. Untuk menghilangkan ketakutan di kalangan penduduk karena sudah menjadi rahasia umum bahwa para romusha ternyata diperlakukan sangat buruk, maka sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye dan propaganda untuk memperlancar usaha pengerahan tenaga romusha yang sudah macet. Di dalam kampanye itu para romusha mendapat julukan sebagai “prajurit-prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”
yang digambarkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pengerahan tenaga kerja paksa romusha tersebut telah berakibat jauh pada struktur sosial di Indonesia.25
Untuk membangun dua buah lapangan terbang di Morotai, Jepang mengerahkan tenaga rakyat secara paksa, tanpa diberi gaji dan makanan yang cukup. Para pekerja paksa juga tidak dapat melarikan diri atau mencoba memberikan alasan untuk tidak bekerja atau berkunjung ke tempat sanak saudara. Mereka yang menolak bekerja tanpa alasan yang dapat diterima akan berhadapan dengan kempeitai (polisi militer) yang kejam. Kadang- kadang mereka harus berpisah dengan keluarganya ke tempat-tempat kerjanya yang beresiko besar. Dalam proses mempelancar proyek pembuatan lapangan terbangnya Jepang menggunakan tenaga-tenaga romusha itu, yang diambil dari penduduk kampung- kampung setempat.
25 Ibid.
Pekerjaan awalnya adalah memotong pohon-pohon kelapa dan pohon-pohon lainnya yang ada di lokasi tersebut, dengan cara manual saja. Lokasi yang digunakan untuk pembangunan lapangan terbang merupakan areal perkebunan kelapa penduduk setempat. Pada awal tahun 1944 rakyat Morotai oleh Jepang telah dikerahkan untuk membangun lapangan terbang dengan panjang 57 km dari sebelah utara, yaitu dari kantor PAM (Perusahaan Daerah Air Minum), menuju ke kantor Markas TNI-AU Desa Darame (sekarang) di Selatan. Sayang sekali lapangan terbang Jepang itu belum siap digunakan sampai Sekutu mendarat di Morotai.
Pada saat tentara Amerika mendarat di Morotai pasukan Jepang hanya tersisa satu batalion saja di bawah pimpinan Kolonel Kawasima yang sebelumnya ada satu batalyon lagi yang dipimpin oleh Mayjen Taisha, akan tetapi lapangan terbang di Desa Darame ini belum sempat terselesaikan dan belum sempat didarati pesawat-pesawat Jepang karena pada saat itu Sekutu dengan pasukan dan pesawat-pesawat tempurnya yang berjumlah jauh lebih banyak lebih dahulu menyerbu lokasi proyek lapangan udara itu. Atas kedatangan tentara Sekutu inilah maka tentara pendudukan Jepang yang tersisa satu batalyon itu hanya berada di Kampung Gotalamo, Kecamatan Morotai Selatan. Mereka sudah lari masuk hutan sebelum Amerika mendarat, dan tentara-tentara Jepang itu sudah tidak punya pertahanan sama sekali. Jepang sebelumnya menjadikan Desa Gotalamo sebagai markas.26 sebagaimana yang dikatakan oleh seorang informan:
“Pada proses pembuatan lapangan terbang tersebut, bahwa dalam pengerjaannya menggunakan tenaga rakyat sebagai romusha untuk dipekerjakan di lokasi pembuatan lapangan terbang . Romusha terdiri dari penduduk kampung setempat dan sekitarnya. Pekerjaan awal adalah memotong pohon kelapa dan pohon-pohon yang ada di lokasi, dengan cara yang tradisional yaitu dengan tenaga manusia. Lokasi lapangan terbang merupakan kebun kelapa milik penduduk. Pada awal tahun 1944 kami masyarakat Morotai yang dipekerjakan oleh Jepang untuk membangun lapangan terbangnya itu panjangnya 57 km arah Selatan Utara yaitu dari PAM sekarang menuju Selatan kantor markas TNI-AU desa Darame. Itulah lapangan terbang Jepang yang belum siap sampai Sekutu mendarat di Morotai pada saat Amerika mendarat, pasukan Jepang hanya 1 batalion, sedangkan pimpinan mereka namanya Mayjen Taisa, akan tetapi lapangan terbang di desa Darame ini belum terselesaikan dan belum didarati pesawat karena pada saat itu Sekutu dengan pasukan dan pesawat- pesawat yang jumlahnya banyak sudah lebih dulu mendarat di tempat itu. Atas kedatangan tentara Sekutu inilah maka tentara Jepang dengan pasukan 1 batalionnya di kampung Gotalamo Morotai Selatan itu sudah lari masuk hutan sebelum Amerika mendarat dan Jepang tidak ada lagi pertahanannya sama sekali. Sebelumnya Jepang menempati Desa Gotalamo sebagai markas”.27
26 Tanggule. 2007. Op.Cit., hal. 35 , dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 7 Juni 2007.
27 Ibid.
Rakyat dipaksa oleh Jepang bekerja berat dengan jam kerja sepuluh jam perhari tanpa makanan yang cukup, yang mengakibatkan rakyat menderita berbagai jenis penyakit terutama busung lapar serta tertimpa berbagai kecelakaan lantaran perlindungan kerja yang sangat minim. Wabah kolera berjangkit dan banyak memakan korban di kalangan pekerja paksa, banyak pula yang meninggal karena tidak sempat melarikan diri ketika terjadi serangan udara Sekutu. Rakyat yang sebelumnya dipekerjakan secara paksa, kini diperintah untuk mengungsi ke hutan dan gunung-gunung bersama bala tentara Jepang yang lainnya. Sesampainya di hutan dan gunung-gunung rakyat diperintah secara paksa untuk menggali parit-parit perlindungan demi menyelamatkan diri dari serangan udara Sekutu. Bahaya kelaparan dan wabah penyakit mulai menyebar. Seperti yang dapat diprediksikan, korban mulai berjatuhan. Ketika perang usai, rakyat Morotai hanya tersisa separuh dari jumlah sebelum prang berkecamuk.28
Pemerasan tenaga manusia pada jaman pendudukan Jepang dilakukan terhadap semua golongan masyarakat Indonesia, mulai dari yang terpelajar sampai yang buta huruf.
Semuanya dikerahkan untuk upaya pemenangan perang. Golongan yang paling sengsara pada jaman pendudukan Jepang adalah golongan romusha. Karena orang-orang romusha ini sebagian besar berasal dari kalangan petani, maka pertumbuhan ekonomi desa semakin menurun disertai dengan kemiskinan yang semakin meningkat. Terjadi krisis ekonomi di pedesaan yang mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan, dan kemelaratan rakyat. Semua kegiatan ekonomi ditujukan untuk membantu Angkatan Perang Jepang dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya atau Pasifik selama Perang Dunia II berlangsung.
Seorang informan mengatakan:
“Akibat pemerasan yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang dalam bidang ekonomi, penghidupan rakyat setempat menjadi parah. Semua penghasilan digunakan untuk kepentingan perang. Kekayaan rakyat dikuras habis. Akhirnya kemelaratan meluas dan kelaparan berjangkit di masyarakat Morotai”.29
Para petani dan buruh memikul beban ekonomi yang berat di mana rakyat dipaksa bekerja keras dan tidak diberi upah sedikitpun, kadang-kadang diberi makan yang tidak cukup dan kesehatannya sama sekali tidak dijamin. Banyak yang meninggal dunia karena sakit, kelaparan, dan disiksa oleh tentara-tentara Jepang. Para petani tidak luput dari pemerasan, Sebagian besar hasil panen mereka harus diserahkan kepada Jepang, bahkan
28 M. Adnan Amal dan Irza Arnyta Djafaar. 2003. Op.Cit., hal. 144-145.
29 M. Tanggule. 2007. Ibid., hal. 42, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Safi Kurung (75), di Jalan Desa Muhajirin, Belakang Masjid, mantan pekerja paksa masa pendudukan Jepang. Tanggal 8 Juli 2006.
sering dipaksa untuk menyerahkan seluruhnya. Kalaupun ada yang dibayar, maka itupun dengan harga yang sangat rendah. Akibat pemerasan-pemerasan yang dilakukan oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang, dari segi ekonomi dapat dikatakan bahwa kesengsaraan kehidupan rakyat setempat menjadi semakin parah dan memprihatinkan.
Semua penghasilan digunakan untuk kepentingan perang. Kekayaan rakyat dikuras habis, yang mengakibatkan timbulnya kelaparan pada masyarakat Morotai.30 Kehidupan intelektual juga dibatasi kebebasan dan ruang geraknya. Para cendekiawan hanya diperalat untuk memutar roda pemerintahan sehari-hari dalam rangka membantu orang-orang Jepang. Kebanyakan dari golongan ini mati terbunuh oleh Jepang karena dianggap sebagai mata-mata yang pro Pemerintah Belanda.
Ketika konsentrasi pasukan-pasukan Jepang belum banyak, produksi pangan seperti beras, sagu, dan jagung cukup melimpah. Rakyat tidak banyak mengalami kesulitan dalam hal pengadaan pangan. Tetapi dengan terhentinya perdagangan dengan Pulau Jawa, kesulitan pangan dan sandang mulai terasa. Sehubungan dengan sandang, berbagai jenis bahan pakaian lenyap dari pasaran dan tidak ada yang bisa dipasarkan lagi. Di berbagai tempat di Halmahera rakyat sudah tidak menemukan lagi pakaian yang layak pakai.
Banyak rakyat Morotai khususnya kaum wanita hanya bisa mengenakan karun goni dan pelepah kayu yang disamak sebagai pengganti sarung, sementara kaum lelaki menyamak kulit pohon melinjo untuk dijadikan celana dan pakaian lainnya.
5. Rakyat Morotai Menjelang Kemerdekaan dan Kekalahan Jepang
Segera setelah Jepang menyerah, markas besar Sekutu di Morotai mengeluarkan perintah pelucutan senjata tentara Jepang. Mereka harus memusnahkan sendiri seluruh peralatan militernya, dan dengan tidak bersenjata semua pasukan Jepang di Maluku Utara termasuk para Heihonya berkumpul di Kao, menunggu kapal yang akan memulangkan mereka ke negeri asalnya. Morotai yang sebelumnya hanya merupakan distrik, ketika itu ditingkatkan statusnya menjadi HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur=pemerintahan tertinggi wilayah setempat), selama Sekutu masih berada di sana. Status keswaprajaan ini kemudian ditingkatkan menjadi afdeeling (wilayah bagian) dan merupakan salah satu wilayah di bawah Keresidenan Maluku Utara.31
30 Op.Cit., hal. 42, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Safi Kurung (75), Jalan Desa Muhajirin, belakang Mesjid, pekerja paksa, masa pendudukan Jepang.
Tanggal 8 Juli 2006.
31 Op.Cit., hal. 45, dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Safi Kurung (75), Jalan Desa Muhajirin, belakang Mesjid, pekerja paksa, masa pendudukan Jepang. Tanggal
Selama masa pendudukan Jepang yang relatif singkat, bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno dan Muhammad Hatta berhasil menyakinkan pemerintah pendudukan Jepang tentang cita-cita kemerdekaan Indonesia. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut, maka bangsa ini bersedia bekerja sama (kooperatif) selama Jepang dapat memahami dan menghargainya. Karena seluruh konsentrasi dan pemikiran Jepang terfokus pada upaya memenangkan peperangan, maka pendekatan para pemimpin Indonesia terkait cita-cita kemerdekaan itu disambut sepintas lalu oleh Jepang. Tetapi ketika Jepang mulai mengalami kemunduran militer di hampir semua front pertempuran, maka pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri (PM) Jepang, Koiso, mengobral janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kapan janji ini akan dipenuhi, tidak pernah ditentukan olehnya.32 Dengan semakin terpuruknya posisi militer Jepang, maka pemerintahan militernya di Indonesia harus memberikan makna atas janji kemerdekaan yang diberikan PM Koiso itu. Jepang sadar bahwa pada satu masa kelak mereka akan kehilangan kekuasaannya di Nusantara. Karena itu pada satu Maret 1945, pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atau dokuritzu tsyumbi cyosakai.33
Dengan dua bom yang dijatuhkan Amerika Serikat pada tanggal 8 dan 9 Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki, pemerintah militer Jepang pun bertekuk lutut. Beberapa hari kemudian dunia mendengarkan pengumuman Presiden Truman (AS) dan PM Attle (Inggeris), bahwa Jepang menyerah tanpa syarat. Hal ini kemudian diperkuat dengan siaran radio Tokyo dan pidato Kaisar Hirohito, bahwa Jepang mengakhiri perlawanan.
Keputusan ini pun dikawatkan kepada para panglima tentara Jepang di wilayah selatan termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia berhasil mempergunakan peristiwa kekalahan Jepang itu. Berita proklamasi dikumandangkan dan lambat-laun berita ini menyebar ke berbagai pelosok tanah air.34
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai pula kepada penduduk daerah lainnya di luar Jawa termasuk misalnya Maluku Utara, termasuk Morotai. Mereka mengetahui proklamasi kemerdekaan Indonesia selang beberapa hari setelah diumumkan, karena adanya fasilitas komunikasi dan radio militer Sekutu. Di Galela, berita proklamasi
8 Juli 2006.
32 M.C.Ricklefs. 2004. Op.Cit., hal. 310.
33 Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1993. Op.Cit., hal. 67. Lihat pula dalam Tanggule. 2007. Ibid., hal. 47.
34A.B. Lapian dan J.R. Chaniago. 1988. Op.Cit., hal.127.
diketahui rakyat karena informasi dari pihak militer Jepang, juga oleh karena adanya para pengungsi yang kembali dari Morotai ke daerah asalnya. Siaran Radio Republik Indonesia (RRI) mulai terdengar dan rakyat dengan tekun mengikutinya. Bahkan siaran radio yang memuat isi pidato Bung Tomo juga sudah dapat ditangkap oleh orang-orang Ternate dan Morotai, setelah dilakukan beberapa rekayasa teknis untuk mengelabui pihak militer Jepang.35
Pada saat-saat terdengarnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, salah seorang pejuang kemerdekaan di Morotai yaitu Haji Ahmad Syukur yang paling sering mengajak rakyat untuk senantiasa mengucapkan pekik kemerdekaan “sekali merdeka tetap merdeka”. Kapan dan di mana saja pertemuan diadakan, maka di ditempat dan di saat itu pula rakyat ramai-ramai meneriakkan “yel-yel” pekik kemerdekaan, hingga Haji Ahmad Syukur ditangkap dan ditawan hingga meninggal dunia di dalam tahanannya. Beberapa orang pemuda yang menyertai perjuangan beliau di dalam tahanan, di antaranya terdapat pemuda-pemuda Daeo, seperti Ibrahim Ismail, Jafar Pawane, Anwar Gorahe, dan Taher Rowo. Dengan segala keberaniannya dia selalu melawan kekajaman tentara-tentara NICA- Belanda yang membonceng pada Sekutu waktu itu.
Pada saat diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia, H. Ahmad Syukur sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan menguasai bahasa Inggeris terbukti dengan kemampuannya membuat pengumuman-pengumuman dan pamflet-pamflet yang berbahasa Inggeris sambil menempelkan simbol-simbol dan bendera-bendera merah putih pada mobil-mobil yang berjalan maupun pada badan-badan pesawat yang sedang singgah di lapangan terbang. H. Ahmad Syukur meminta kepada para pilot pesawat terbang agar berita proklamasi kemerdekaan ini disampaikan ke seluruh negeri, supaya semua orang tahu bahwa Indonesia sudah merdeka.
Dalam situasai mempersiapkan kemerdekaan pada saat itu, maka kedua pemimpin besar bangsa Indonesia, yaitu Soekarno (Bung Karno) dan Muhammad Hatta (Bung Hatta) oleh panglima besar tentara Jepang yang ada di Saigon Vietnam mengundang kedua tokoh itu, sehingga kemudia muncul jalur Jakarta-Morotai, Hawai, Vietnam, dan Honolulu.
Seorang saksi sejarah asal Morotai mengatakan bahwa Bung Karno sendiri pernah berkata
“mata dunia senantiasa diarahkan kepadamu wahai bangsaku dan inilah Morotai di bibir Pasifik batas negeri ini dan batas luar negeri”.36
35 M. Adnan Amal dan Irza Arnyta Djafaar. 2003. Op.Cit., hal. 164-165.
6. Situasi Sesudah Pertempuran dan Respon Jepang
Jepang menyadari posisi dan kekuataannya yang semakin terancam di Filipina di mana Sekutu telah berhasil membangun dan menggunakan pangkalan udara yang dibuatnya di Morotai. Dalam upaya untuk mengganggu program pembangunan bandara militer Sekutu, para komandan angkatan darat Jepang di Halmahera mengirim sejumlah besar bantuan ke Morotai selambat-lambatnya antara September dan Nopember). Pasukan-pasukan yang dikirim terdiri dari tiga bagian yaitu detasemen serbu, batalion ketiga Resimen Infantri ke- 210 dan Induk Resimen Infantri ke-21137. Komando Resimen Infantri ke-211 Kolonel Kisou Ouchi, berasumsi bahwa komando bantuan kekuatan Jepang itu diperkirakan akan tiba di Morotai pada 12 Oktober.38 Upaya-upaya blokade segera dilakukan Jepang, namun dapat dideteksi oleh pemecah kode-kode radar Sekutu39 dan kapal-kapal Sekutu berhasil menghancurkan sejumlah besar tongkang-tongkang pengangkut pasukan dan logistik dari Halmahera ke Morotai yang biasa digunakan Jepang, tetapi Sekutu tidak mampu untuk sementara menghentikan secara total kekuatan Jepang itu40
Bandara Militer Morotai Air Strip, “Pitu Strips” (7 landasan pacu), buatan Sekutu di desa Pitoe, dalam periode Perang Pasifik 1944-1945 di Morotai.
Pada kesempatan berikutnya Jepang gagal melakukan serangan balasan. Sementara itu pasukan-pasukan serbu Jepang unit ke-2 dalam beberapa kesempatan diserang oleh pasukan-pasukan dari garis pertahanan AS, pengerahan bantuan pasukan Jepang tidak mampu menghalau serangan-serangan yang lebih besar lagi apalagi untuk sampai menggagalkan program-program pengembangan bandara militer Sekutu. Hal ini
36 M. Tanggule, Op.Cit., hal. 49 , dan berdasarkan hasil rekonstruksi ulang peneliti terhadap hasil wawancara dengan Bapak Lastory (81), Jalan Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, mantan mandor pembangunan lapangan udara, di masa pendudukan Bala Tentara Jepang di Morotai dan Galela. Tanggal 7 Juni 2007 dan merujuk pada arsip-arsip pribadi informan bersangkutan pada Maret 2006.
37Willoughby (editor in chief). 1966. Op.cit., hlm. 350.
38 33rd Infantry Division Historical Committee. 1948. Lot.Cit., hlm. 68.
39 Drea. 1992. Op.Cit., hlm. 153.
40 33rd Infantry Division Historical Committee (1948), Op.Cit., p. 68.
disebabkan oleh wabah penyakit yang melanda dan kurangnya suplay makanan, obat- obatan, dan bantuan pasukan yang tidak dapat diselamatkan dari blokade angkatan laut Amerika Serikat. Pasukan-pasukan Jepang ditarik ke wilayah Morotai Tengah di mana di sana banyak yang mati karena penyakit dan kelaparan.41 Suplay kapal-kapal tongkang bantuan logistik Jepang dari Halmahera baru tiba di Morotai pada 12 Mei 1945.42
Pada akhir Desember 1944, Divisi Infantri AS dari Resimen Infantri ke-136 telah berangkat ke Morotai dari Papua Nugini untuk menyerang pasukan-pasukan Resimen Infantri Jepang ke-211 di bagian barat pulau itu. Resimen Amerika bergerak kedalam wilayah teritorial yang dikuasai Jepang pada 26 Desember dan dengan sasaran utama adalah posisi Jepang di sebelah barat daya dan utara, setelah melakukan pendaratan di pesisir pantai barat pulau itu. Resimen Infantri AS yang ke-36 didukung oleh batalion Resimen Infantri ke-130 dengan gerakan dipercepat lewat darat dari daratan Daruba, sedangkan unit-unit artileri ditempatkan pada pulau-pulau di wilayah lepas pantai Morotai dengan seribu orang pribumi pengangkut barang.43 Batalion ke-3 dari Resimen Infantri ke- 167 juga dikerahkan dalam operasi ini dan mereka melakukan suatu perjalanan massal/long mars yang sulit dari pantai selatan Morotai menuju ke wilayah-wilayah pedalaman untuk mencegah pasukan-pasukan Jepang menyebarkan diri kedalam bentuk kelompok-kelompok kecil ke daerah-daerah pegunungan pulau itu.44
Menjelang Januari 1945 angkatan perang AS menentukan bahwa ada dua batalion dari Resimen ke-211 Jepang di kawasan Bukit 40, sekitar 40 mil ke utara dari garis pertahanan Sekutu. Serangan terhadap posisi ini dimulai pada 3 Januari ketika Resimen Infantri ke-136 batalion pertama dan kedua ditambah dari wilayah barat-daya dan menghadapi perlawanan yang hebat. Resimen tersebut menggunakan sejumlah besar amunisi dalam serangan ini, dan menggunakan antena resuplay/arus balik yang dibutuhkan untuk persediaan isi ulangnya. (kedua battalion AS itu melanjutkan serangan mereka pada hari berikutnya dengan didukung oleh artileri pembom berkualitas tinggi, dan berhasil menjangkau posisi utama Jepang pada sore harinya. Selama dalam periode ini Batalion ke- 3 dari pengembangan Resimen ke-136 untuk daerah Bukit 40 dari sebelah utara, berhasil
41 Saburo Hayashi. 1959. Kogun: The Japanese Army in the Pacific War. Marine Corps Association., hlm..
120–121 dan Willoughby. 1966. Op.Cit. hlm. 350–352.
42 Robert J. Bulkley. 2003. At Close Quarters. PT Boats in the United States Navy. Anapolis: Naval Institute Press, hlm. 442.
43 33rd Infantry Division Historical Committee. 1948. Lot.Cit., hlm. 68–77.
44 31st Infantry Division. 1993. (reprint). Lot.Cit., hlm. 101.
menghancurkan Resimen ke-211 Batalion ke-3 dalam sebuah rangkaian pertempuran.
Batalion Jepang ini telah menempatkan dirinya di pantai untuk menerima suplai bantuan dari Halmahera dan dari beberapa daerah pegunungan Morotai tetapi tidak sukses menyerang Batalion-batalion penjaga pantai AS setelah pendaratannya di bulan Desember.45
Resimen Infantri ke-36 menuntaskan serangannya atas Bukit 40 pada tanggal 5 Januari. Resimen pertama dan yang kedua dari Batalion yang diperluas untuk wilayah barat dan barat daya dan Batalion Sekutu dari utara, sedikit menemui perlawanan kecil.
Batalion pertama dan yang kedua melanjutkan penyerbuan ke wilayah utara untuk menyergap sisa-sisa pasukan Jepang hingga 14 Januari, di mana pada waktu itu Resimen tersebut mengklaim diri telah membunuh sebanyak 870 orang tentara Jepang dan menangkap paling tidak sepuluh orang dari 46 yang terbunuh dan 127 lainnya terluka dan cedera.46 Batalion ke-3, Resimen Infantri ke 167 dihubungkan dengan Resimen Infantri ke-136 pada 7 Januari setelah mengambil alih stasiun radio utama Jepang atas pulau itu pada 4 Januari.47 Dalam pertengahan Januari Resimen ke-136 telah menarik mundur pasukan-pasukannya untuk selanjutnya bekerjasama dengan Divisi ke-33 sambil kembali menggabungkan diri ke dalam garis pertahanan Sekutu, yang selanjutnya melakukan parade militer di sepanjang pesisir pantai pulau Morotai sebagai rute pendaratan pasukan- pasukan Sekutu, yang untuk selanjutnya melakukan perjalanan lanjutan ke pulau Luzon di Filipina.48
7. Pertempuran Sesudahnya, Serangan udara, dan Tugas Akhir Sekutu
Divisi angkatan udara Jepang ke-7 melanjutkan serangan ke Morotai pada bulan-bulan setelah sekutu mendarat. Divisi pasukan-pasukan udara itu melakukan 82 kali serangan atas Morotai ditambah dengan serangan mendadak sebanyak 179 kali. Angkatan udara dikerahkan dalam serangan udara dari Seram dan Sulawesi dan melakukan pendaratan di lapangan udara militer Halmahera sebelum menyerbu Morotai. Sementara itu dari sebanyak 54 kali serangan yang dilakukan Jepang, tidak satupun dari pesawat tempurnya yang mengalami kerusakan, Jepang menghancurkan sebanyak 42 buah pesawat tempur dan merusakkan 33 yang lainnya dan selain itu terdapat sejumlah kecelakaan yang
45 33rd Infantry Division Historical Committee. 1948. Lot.Cit., hlm. 74–81
46 33rd Infantry Division Historical Committee. 1948. Ibid., hlm. 80–83.
47 31st Infantry Division. 1993 (reprint). Lot.Cit., hlm. 102.
48 33rd Infantry Division Historical Committee. 1948. Lot.Cit., hlm. 85–87.
menyebabkan 19 orang terbunuh dan 99 orang terluka dari pihak Sekutu. Umumnya serangan yang dilakukan pada malam hari sukses dilakukan Jepang sejak tanggal 22 November ketika 15 buah pesawat Sekutu berhasil dihancurkan dan delapan lainnya dirusakkan. Serangan-serangan udara reguler Jepang berakhir pada bulan Januari 1945, walaupun ada rencana untuk melakukan serangan akhir di malam hari pada 22 Maret.
Angkatan Udara AS untuk pertempuran malam hari mencapai kesuksesan hanya saja terbatas pada serangan-serangan yang secara normal dapat terdeteksi dalam jangka waktu yang singkat sebelum mereka memasuki zone pertahanan dan persenjataan anti serangan udara.49 Dalam catatan sejarah resmi Angkatan Udara AS (USAAF) mengatakan bahwa Morotai “mungkin merupakan medan pertempuran tersulit yang pernah dialami oleh pasukan-pasukan AS yang bertugas di malam hari selama berlangsungnya Perang Dunia II”.50
Jumlah kekuatan perahu-perahu patroli (PT=Patrouille Boat) tentara Sekutu di Morotai dikurangi menjadi hanya sebuah squadron pada Februari 1945 tetapi masih tetap aktif sampai akhir Perang Dunia II. Seperti halnya tugas-tugas patroli di seputar Morotai, perahu-perahu bot patroli (PT) tentara Sekutu dioperasikan di wilayah timur NEI (Nederland East India=Hindia Timur Belanda) untuk menyerang posisi Jepang di sana sekaligus mendukung pasukan-pasukan Australia dan satuan-satuan pasukan penjelajah Belanda. Pada Mei 1945 mereka juga dikerahkan untuk mengamankan Sultan Ternate, anak istri dan keluarganya, dan segenap anggota dewan adat kerajaannya51. Pada akhir perang perahu-perahu bot patroli pasukan pemburu milik sekutu telah menyelenggarakan paling tidak sebanyak 1300 patroli dan menghancurkan 50 kapal tongkang dan 150 kapal- kapal perang milik Jepang berkekuatan kecil yang sudah tidak berfungsi dan pernah beroperasi baik di Morotai maupun Halmahera.52
Pasukan-pasukan Divisi ke-31 yang tersisa masih berada di Morotai hingga 12 April 194553. Divisi ke-93 adalah sebuah divisi dengan unit terpisah yang terdiri dari pasukan-pasukan berkebangsaan Afrika-Amerika (Negro) yang terutama digunakan untuk
49 Wesley Craven dan James Cate (editors). 1953. The Pacific: Matterhorn to Nagasaki. The Army Air Forces in World War II. Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 315–316.
50Stephen L. McFarland. 1998. Conquering the Night. Army Air Forces Night Fighters at War. The U. S.
Army Air Forces in World War II. Air Force History and Museums Program, hlm. 37
51 Samuel Eliot Morison. 2002. [1958]. Leyte. History of United States Naval Operations in World War II Vol. 12. Champaign: University of Illinois Press, hlm. 28–29.
52 Bulkley. 2003. Op.Cit., hlm. 373.
53 Shelby L. Stanton. 1984. Order of Battle, U.S. Army, World War II. Novato: Presidio.
pengamanan dan tugas-tugas jaga di pelabuhan selama perang54. Untuk Morotai ditetapkan adanya satu divisi tersendiri dengan patroli-patroli yang bergerak secara intensif dengan tujuan untuk menghancurkan kekuatan Jepang yang masih tersisa di pulau itu. Pada waktu itu pasukan-pasukan Jepang yang masih tersisa di Morotai bertempat di sepanjang pantai barat pulau itu, dan secara umum mereka tetap tinggal di sana berdekatan dengan areal perkebunan penduduk pribumi setempat. Patroli-patroli pasukan Sekutu dari Divisi ke-93, melakukan pendaratan di sepanjang pantai barat dan utara pulau Morotai dari April dan seterusnya, dan pertempuran-pertempuran kecil masih terjadi di mana-mana melawan tentara-tentara Jepang yang kekuatannya semakin lemah. Salah satu tujuan dari divisi utama Sekutu adalah menangkap Kolonel Ouchi, dan ini tentu saja merupakan prestasi istimewa bagi suatu patroli dari divisi Resimen Infantri ke-25 yang dikerahkan pada 2 Agustus. Ouchi adalah merupakan panglima tertinggi tentara pendudukan Jepang di Morotai yang telah berhasil ditangkap Sekutu sebelum perang berakhir.55
8. Akibat Pertempuran: Menyerahnya Panglima Tentara Pendudukan Jepang di Pulau Halmahera dan Morotai kepada Angkatan Perang Sekutu Divisi Ke- 93.
Morotai tetap menjadi sebuah basis penting pertahanan militer Sekutu setelah Leyte berhasil diamankan. Pesawat-pesawat tempur Sekutu dari Angkatan Udara Ke-13 dan Angkatan Udara Pertama Taktis Australia (yang terkenal adalah dari grup oprasional RAAF (Royal Australian Air Force), nomor 10) berbasis di Morotai, bertugas menyerang target-target yang berada di bawah NEI dan Filipina bagian selatan hingga berakhirnya perang. Australia sejak April 1945, menjadikan pula pulau itu sebagai basis Korps I Australia untuk menyerang dan melakukan kampanye perang untuk wilayah pegunungan Kalimantan.56 Pengembangan basis pengadaan fasilitas teknologi mesin perang Australia diadakan pula di Morotai untuk mendukung operasi itu. Setibanya mereka ke Morotai menyebabkan padatnya kamp-kamp pasukan Sekutu di sini, akibatnya beberapa kamp tentara Australia harus mengambil lokasi di luar garis pertahanan pasukan-pasukan Amerika.57
54 Alexander M. Bielakowski. 2007. African American Troops in World War II. Botley: Osprey Publishing, hlm. 19.
55 Ulysses Lee. 1966. The Employment of Negro Troops. United States Army in World War II. Washington CD: Center of Military History, hlm. 525–527.
56 Morison. 2002. [1958]. Op.Cit. hlm. 25.
57 Peter Stanley. 1997. Tarakan. An Australian Tragedy. Sydney: Allen & Unwin, hlm. 48.
Morotai adalah latar dari sejumlah upacara penyerahan Jepang tanpa sayarat kepada Sekutu. Sekitar 660 orang tentara Jepang di Morotai dikapitulasikan oleh Angkatan Perang Sekutu sesudah 15 Agustus.58 Divisi tentara ke-93 Sekutu juga menerima penyerahan diri 40.000 pasukan Jepang tanpa syarat di Halmahera pada 26 Agustus setelah panglima tentara pendudukan Jepang dibawa ke Morotai dengan menumpangi sebuah perahu bot patroli (PT) milik Angkatan laut AS.59 Pada 9 September 1945 Jenderal Thomas Blamey dari Australia menerima penyerahan diri tentara-tentara pendudukan Jepang yang ke-2 pada sebuah upacara militer yang diadakan di lapangan olah raga Korps I Pasukan Sekutu di Morotai.60 Seorang prajurit sukarela Jepang yaitu Teruo Nakamura, telah dikonfirmasikan oleh Jepang bahwa dia telah melarikan diri dari kesatuan-kesatuan pasukan Jepang yang menyerahkan diri di Morotai itu tanpa jejak keberadaannya. Akan tetapi di akhir tahun 1974, Nakamura berhasil di tangkap dan diamankan oleh AURI (Angkatan Udara Repblik Indonesia).61
Morotai kini tinggal pula sebagai bekas sebuah basis penting Sekutu dalam bulan- bulan setelah perang. Markas besar angkatan perang Australia merasa bertanggung jawab atas pendudukan pulau itu. Pulau itu juga merupakan satu dari sekian banyak lokasi di mana militer Australia melakukan penangkapan terhadap personil-personil Jepang yang mencoba melakukan serangkaian kejahatan perang di pulau ini.62 Morotai juga dijadikan oleh Belanda sebagai markas besar sekaligus sebagai pusat administrasi militer NICA di wilayah timur Hindia Belanda (NEI) hingga Januari 1946, ketika pemerintahan kolonial Belanda dicoba untuk dibentuk kembali.63
III. PENUTUP
Melalui penjelajahan samudra dan penemuan daerah-daerah baru bangsa Eropa sejak akhir era abad pertengahan yang gelap-gulita (the darkness atau the enlightenment era) abad ke- 17, berbagai bangsa asingpun telah menginjakkan kakinya di kawasan laut dan kepulauan Maluku bagian utara yang dikenal sebagai the spices islands (kepulauan rempah-rempah).
58 Ulysses Lee. 1966. The Employment of Negro Troops. United States Army in World War II. Washington CD: Center of Military History, hlm. 528.
59 Bulkley. 2003. Op.Cit. hlm., 442.
60 Gavin Long. 1963. The Final Campaigns. Australia in the War of 1939–1945. Series 1 – Army. Canberra:
Australian War Memorial, hlm. 553.
61 "The Last Last Soldier?". Time. 13 January 1975.
62 "Fact sheet 61 – World War II war crimes". National Archives of Australia. 2003.
63 Paul Hasluck. 1970. The Government and the People 1942–1945. Australia in the War of 1939–1945 Series 4 – Civil. Canberra: Australian War Memorial, hlm. 602–607.
Bangsa-bangsa asing terutama Eropa Barat membawa visi-misi: gold (kekayaan), glory (kehormatan), dan gospel (agama/kristenisasi) itu, kemudian membangun koloni dan imperalisme penjajahan yang sesungguhnya berawal dari kepentingan ekonomi (gold) hingga kepentingan politik (glory). Dalam perkembangannya bangsa-banga Eropa kemudian ikut campur tangan dalam setiap suksesi kepemimpinan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara (raja atau sultan dan aparat kerajaan lainnya), serta mengklain setiap daerah di luar Eropa yang ditemukannya adalah sebagai bagian dari kekuasaan negerinya dan penemu/penjelajahnya kemudian diberi kehormatan baik berupa pangkat, posisi, atau jabatan (glory) hingga harta kekayaan, karena dianggap berjasa kepada raja, kaisar, atau ratu di negeri asalnya lewat penemuan tanah atau negeri-negeri baru. Selain itu mereka juga membawa misi agama atau kristenisasi (gospel) sebagai pembenaran aktivitasnya di tanah jajahan yang mereka kuasai, yang sekaligus mereka anggap sebagai tugas suci dan beban sejarah dari Tuhan.
Bangsa-bangsa asing tersebut baik dari Eropa maupun dari Asia: Portugis (1512- 1575), Spanyol (1521-1663), Belanda (1599-1949), Inggeris (1810-1817) hingga Jepang (1942-1945). Fase sejarah Perang Pasifik (1944-1945) adalah bagian dari Perang Dunia II (1939-1945). Perang Pasifik adalah fase terakhir dari sejarah Perang Dunia II. Pulau Morotai sebagai lokasi strategis yang pernah menjadi ajang rebutan dalam Perang Pasifik itu rupanya terlupakan baik oleh masyarakat Maluku Utara khususnya maupun oleh masyarakat Indonesia umumnya.
Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang enam jilid itu yang salah satu terbitannya bertahun 1993 oleh penerbit BP (Balai Pustaka), ternyata belum mencantumkan sama sekali Morotai sebagai bagian penting dari fase pembahasannya. Padahal Morotai adalah pulau Pertempuran yang penting selama perang Pasifik berlangsung di Asia Tenggara, yang tidak disebut-sebut sama sekali sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia.
Morotai bukan hanya sejarah lokal atau nasional, tetapi juga adalah sejarah internasional (global) yang mendunia dalam pertengahan abad ke-20. Andaikan Perang Pasifik di Morotai-Indonesia, dimasukkan sebagai bagian dari buku induk (babon) SNI itu, maka Pertempuran Morotai berada pada fase sejarah Jaman Jepang dan Masa Awal Republik Indonesia (1942-1945)-sekarang.
Pulau Morotai adalah basis pertahanan dua kekuatan militer dunia yang pernah saling bertemu dan berlawanan (Jepang melawan Sekutu: Amerika Serikat, Inggeris, Belanda, dan Australia). Kedua pihak terlibat dalam pertempuran hebat setidaknya selama