AGENDA : Analisis Gender dan Anak , Vol. 5 (1), 2023, (Juni) ISSN Print: 2615-1502 ISSN Online: 2723-3278 Tersedia online di
http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/agenda
The Movement of Female Journalists in News Coverage in Indonesia
Gerak Jurnalis Perempuan Dalam Peliputan Berita di Indonesia
Oktri Permata Lani
UIN Mahmud Yunus Batusangkar, E-mail:
[email protected] Novia Amirah Azmi
Universitas Negeri Padang
E-mail: [email protected]
The world of media and the journalistic profession tend to be dominated by men, which can be called a macho atmosphere. The list of names of journalists known to the public are mostly filled by men. In contrast, for female workers, they are often placed in a more relaxed role as presenters in the studio or as editors who work behind the scenes. many places and opportunities, women often face injustice in society. The role of women is limited to sectors that are considered in accordance with their biological nature, belief system and certain culture, which causes gender inequality and injustice. This research method uses literature review and looks at existing cases and news.
Keywords: Journalist, Gender, Women, News Coverage
Keywords: Journalist, Gender, Women, News Coverage
PENDAHULUAN
Menurut West&Turne (Stellarosa
& Silaban, 2020) asumsi dasar dari teori kelompok yang dibungkam adalah sebagai berikut: 1) perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena adanya perbedaan pengalaman dan aktivitas yang berakar pada pembagian pekerjaan; 2) dilihat dari dominasi politiknya, pria memiliki sistem persepsi yang dominan, yang dapat menghambat ekspresi bebas dari perempuan mengenai dunia; 3) agar dapat berpartisipasi di dalam
masyarakat, maka perempuan harus dapat mengubah perspektif sesuai dengan sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki. Permasalahan yang timbul bukan karena ketidakmampuan perempuan tetapi tidak responsifnya perempuan untuk mengekspresikan dirinya.
Dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 2016, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyoroti praktik diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual di media. Aliansi Jurnalis
Independen menyerukan pentingnya pemenuhan hakhak pekerja media dan jurnalis perempuan di media. Banyak media yang belum memenuhi hak maternitas pekerja perempuan di media, terutama cuti haid dan ruang laktasi. Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan hak cuti haid dua hari bagi pekerja perempuan.
Di banyak tempat dan kesempatan, perempuan sering kali menghadapi ketidakadilan dalam masyarakat. Peran perempuan terbatas pada sektor-sektor yang dianggap sesuai dengan kodrat biologis, sistem kepercayaan, dan budaya tertentu, yang menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan gender.
Masalah ini juga tercermin dalam dunia media dan profesi jurnalistik.
Perempuan seringkali diabaikan, dan hal ini berdampak negatif pada kesejahteraan dan keadilan sosial.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada tahun 2012, fenomena ini terlihat jelas.
Dari segi jumlah, jurnalis perempuan masih jauh lebih sedikit daripada jurnalis laki-laki. Data menunjukkan bahwa dari 10 jurnalis, hanya ada 2 sampai 3 jurnalis perempuan. Bahkan dari 1000 jurnalis, hanya 200-300 yang merupakan perempuan, sementara sisanya adalah jurnalis laki-laki. Di Jakarta, mungkin terdapat sedikit lebih seimbang, dengan komposisi jurnalis perempuan dan laki- laki mencapai 40 berbanding 60.
Namun, di luar kota Jakarta, terutama di kota-kota madya, ketimpangan jumlah jurnalis perempuan dan laki-
laki sangat mencolok dan memprihatinkan.
Jumlah sumber daya manusia yang tertinggal memiliki dampak signifikan terhadap kedudukan jurnalis perempuan di ruang redaksi atau newsroom. Berdasarkan data survei AJI, hanya 6 persen dari jurnalis perempuan yang menduduki posisi sebagai petinggi redaksi. Ini berarti sebanyak 94 persen, atau mayoritas jurnalis perempuan, bekerja sebagai reporter atau dalam peran lainnya yang bukan sebagai pengambil keputusan redaksional. Keterbatasan jumlah jurnalis perempuan di ruang redaksi menyebabkan banyak kebijakan media kurang memperhatikan kebutuhan mereka, terutama terkait tugas peliputan dan masalah pengupahan.
Hal ini menciptakan lingkungan yang kurang ramah bagi perempuan dalam dunia jurnalistik.
Hasil survei ini mengungkapkan bahwa banyak jurnalis perempuan memilih untuk tidak menikah agar bisa mencapai tingkat kesejahteraan yang setara dengan jurnalis laki-laki. Selain itu, kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender di kalangan jurnalis perempuan juga masih rendah, hanya 17 persen dari mereka yang pernah mengikuti pelatihan isu gender. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah kesetaraan gender di kalangan jurnalis perempuan agar situasinya dapat diperbaiki.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa dunia media dan profesi jurnalistik cenderung didominasi oleh kaum laki-laki, yang bisa disebut sebagai suasana yang macho. Daftar nama jurnalis yang dikenal publik sebagian besar pasti diisi oleh laki-laki.
Sebaliknya, bagi pekerja perempuan, mereka sering kali ditempatkan dalam
peran sebagai presenter di studio yang terkesan lebih santai atau sebagai redaktur yang bekerja di balik layar dengan menggunakan komputer.
Di industri televisi, perempuan pekerja sering kali lebih terkait dengan peralatan kecantikan, seperti make-up, daripada peralatan untuk melaksanakan tugas peliputan di lapangan. Selain itu, pekerjaan sebagai presenter dianggap lebih prestisius dibandingkan dengan profesi jurnalis perempuan yang harus bekerja di lapangan.
Dengan demikian, kesan yang muncul adalah bahwa industri media dan jurnalistik cenderung memberikan preferensi lebih kepada laki-laki dan stereotip gender ini mempengaruhi penempatan peran dan persepsi tentang prestise dalam profesi jurnalistik bagi perempuan.
Di sinilah relevansi pentingnya jurnalis perempuan untuk berkolaborasi dan membentuk solidaritas profesi guna meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan jurnalis secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dimulai dengan meningkatkan jumlah jurnalis perempuan, memberikan perhatian khusus pada isu-isu perempuan dengan profesionalisme dan etika, membangun kesadaran bersama tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh jurnalis perempuan, dan menguatkan serikat-serikat pekerja media untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis secara keseluruhan. Ada beberapa penelitian relevan yang dilihat peneiliti antara lain:
Yang pertama penelitian Oktri Dkk terkait komunikasi merupakan salah atu aspek kehidupan dan perilku manusia secara keseluruan. Manusia saling berhubungan satu dengan lainnya mlalu komunikasi dan dengan
komunikas pula manusia dapat memenuh seala kebutuhan hidupnya.
Dalm berkomunikasi manusia menggunkan bahasa seagai alat untuk mengekspresika perasaan dan pendapatnya. Pebedaan gaya komunikasi adalah dalam pemahaman bahasa, dimana serinkgkali dijumpai perbedaan pemhaman bahasa, ini tntu saja dapat menimbulkan kesalah pahaman karena perbedaan makna, simbol, maupun istilah. Selin itu gender juga memberikan kontribusinya melalui proses sosialisasi pada masa pertumbuhan seorang anak laki-laki dan perempuan. Peran lainnya juga dapat tergambarkan melalui adanya seksis dalam bahasa pria dan wanita dari beberapa budaya tertentu.
Mengenai perbandingan gaya komunikasi antara dua budaya yang berbeda yakni budaya maskulin (pria) dan budaya feminim (wanita),tidak menunjukkan bahwa cara berkomunikasi pria lebih baik daripada cara berkomunikasi wanita atau sebaliknya. Namun perbedaan gaya komunikasi tersebut dapat diamati melalui beberapa kategori-kategori tertentu, seperti perbedaan saat berbicara, pemilihan topik pembicaraan, cara interupsi, penggunaan kata atau kalimat tanya, menggunakan cerita dan guyonan, dan kategori- kategori lainnya. Konsep komunikasi pria dan wanita layaknya seperti komunikasi lintas budaya yang terkadang membingungkan seperti saat membayangkan dua orang berbicara namun berasal dari dua negara bahkan dua planet yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai gambaran konsep gender dalam gaya komunikasi yang berbeda jenih antara wanita dan pria (Permata Lani, 2022).
Penelitian kedua oleh Refika Dkk terkait Profesi jurnalis sejak zaman perang sangat melekat pada kaum laki- laki di mana cara kerja jurnalis membutuhkan kemampuan fisik, berpikir logika, cepat dan kuat dalam menghadapi situasi kondisi apa pun.
Karena itu, hanya laki-laki yang mampu melakukan tugas-tugas jurnalis, bukan kaum perempuan. Di Era Digital ini justru perempuan lebih termotivasi untuk bergabung di dunia jurnalis. Dukungan dari keluarga sangat perlu karena tugas sebagai jurnalis perempuan tidak hanya didasari oleh faktor kemampuan secara teknis dan teoritis, melainkan karena adanya peluang dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang jurnalis perempuan di era digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menjadi jurnalis perempuan tidak mudah, karena tidak hanya kompetensi yang dituntut, melainkan keamanan diri diperlukan karena perempuan rentan menjadi korban kekerasan dilapangan, baik secara psikis maupun kekerasan seksual. Disamping itu jurnalis perempuan memiliki peluang kerja dalam berkontribusi sebagai reporter, news anchor, editor berita, dan lain sebagainya (Mastanora & Maimori, 2022).
Penelitian ketiga oleh Adrian Dkk terkait Menjadi seorang jurnalis dirasa tidak mudahapalagi untuk jurnalis perempuan, jika jurnalis tersebut dikirim liputan ke daerah konflik seperti peliputandemonstrasi, peperangan, bahkan tindakan kasus kriminal. Secara tidak langsung, psikologis perempuan dikala berhadapan dengan hal-hal yang beramukan massa lebihbanyak maka
perlu adanya kekuatan mental dan fisik yangcukup tinggi. Dengan begitu, bekerja menjadi seorangjurnalis sangat beresiko tinggi karena harus berani mengorbankan antara hidup dan mati demi mendapatkansebuah kebenaran.
Di sisi lain, seorang wartawan pun dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugasnya dengan baikdan benar serta komitmen untuk meningkatkan kemampuandari seorang wartawan. Jenis penelitian yang digunakanadalah kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat dalam teks yang diteliti. Profesionalisme wartawan ialah suatu pekerjaan yang bertujuan untuk mencari informasi yang kemudian disebarluaskan atas dasar peraturandan normanorma yang berlaku bagi seorang wartawan ketika melaksanakan tugas. Permasalahan antara ranah domestik danprofesinya sebagai jurnalis tidak ada habisnya dan tentunya menjadi suatu tantangan tersendiri. Ditambah dengan masihadanya diskriminasi dari perusahaan kepada jurnalis perempuan, seperti pemberian upah kerja yang tidak sesuai. Dengan adanya liputan terjun kelapangan harus mengambil resiko yang sangat harus dijaga, seperti informasi dari narasumber yang harus akurat, apalagi disaat liputan banyaksekali yang tidak mematuhi protokol. Berprofesi sebagai jurnalis sangatlah berat, selain untuk mendapatkan berita, jurnalis juga mempertaruhkan nyawa demi suatu kabar dari manapun. Jurnalis dituntun untuk kerja secara profesional, bagaimana tidak, rintangan yang dilewati seorang jurnalis sangatlah terjal, disisi lain jurnalis juga harus menyembunyikan identitasnya sebagai
jurnalis, maka dari itu, tidak semua orang yang dijumpai akan mengetahui identitas seorang jurnalis tersebut (N Putra, Adrian & Permata Lani, 2022).
Penelitian selanjutnya terkait
“From the point of view of communication, there are many things that can be seen and studied. Especially in daily life, the point of view of communication is examined more deeply by using critical theory regarding the continuity of communication activities themselves.
This theory relates to various related indicators, including language, organizational structure, interpersonal relations, and media. The organizational structure in the study involves the form of organizational communication, organizational culture and even the form of leadership communication in accordance with the structure formed. Communication itself according to a critical perspective is a result of the pressure (tension) between individual creativity in providing a framework for messages and social constraints. In both governmental and non-governmental organizations, they can build equal partnerships in each unit. It means every male and female worker or person should have the same opportunity to become top leaders in the unit where he or she works. Of course, if this is realized, it will build gender equality in the world of work.
However, this cannot go smoothly as it is. The reality is there is still an imbalance of leaders in the unit sectors, both in government and non- government. Besides, violence against women is still happening today. Of course, this shows inequality and the low quality of life and the role of women. The research method used is
qualitative in a literature review approach” (Lani et al., 2021)
METODE:
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode riset kepustakaan
Penelitian kajian pustaka adalah hasil analisa berbagai informasi konseptual serta datadata kualitatif maupun kuantitatif dari berbagai artikel ilmiah yang terpublikasi sebelumnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka yang berfungsi sebagai tuntunan dalam mengkaji suatu masalah penelitian (review of research) (Mulyadi, 2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN:
Adapun hasil dari penelitian melalui observasi media didapatkan data berikut:
.
1. Potret Jurnalis di Indonesia
Berapa jumlah jurnalis perempuan di Indonesia? Apakah mereka menduduki posisi sebagai pengambil keputusan? Apakah yang mereka alami sehari-hari dalam bekerja? Apakah sudah mendapatkan kenyamanan dalam bekerja? Apa saja kebutuhan mereka? Apakah mereka memiliki cara untuk menyelesaikan persoalan?
Saat ini, perkembangan industri media di Indonesia terjadi dengan pesat. Menurut catatan Dewan Pers tahun 2011, jumlah media cetak mencapai 1.076, jumlah radio 1.248, dan jumlah stasiun televisi mencapai 76, dengan tambahan 176 stasiun televisi yang mengajukan izin baru.
Dengan data tersebut, diperkirakan industri media di Indonesia menyerap
40 ribu jurnalis. Namun, dari semua data ini, belum diketahui secara pasti berapa jumlah jurnalis perempuan.
Apakah jurnalis perempuan menduduki posisi sebagai pengambil keputusan? Apakah mereka mengalami tantangan tertentu dalam pekerjaan sehari-hari? Apakah mereka merasa nyaman dalam lingkungan kerja? Apa saja kebutuhan mereka dalam profesi ini? Dan adakah cara yang mereka lakukan untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi?.
Pada tahun 2009, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melakukan pengamatan dan menyelenggarakan workshop dengan para jurnalis di beberapa kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Pekanbaru, dan Bali. Tujuan dari workshop ini adalah untuk mengetahui bagaimana media memperlakukan jurnalis perempuan.
Selain itu, mereka juga mengumpulkan data tentang jumlah jurnalis perempuan.
Hasil temuan dari workshop ini terdapat dalam "Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia." Pada tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan yang menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berjumlah 347 orang.
Sementara itu, jumlah jurnalis laki-laki anggota AJI sebanyak 1521 orang. Dari total 1868 anggota AJI di seluruh Indonesia, hanya sekitar 18,6% yang merupakan jurnalis perempuan.
Jurnalis perempuan masih sering mengalami kekerasan yang berkaitan dengan gender. Meskipun media meningkatkan jumlah jurnalis perempuan, namun terkadang ini hanya dianggap sebagai strategi untuk
mendekati narasumber pria. Rekrutmen jurnalis perempuan sering kali berfokus pada penampilan fisik, seperti kecantikan atau standar industri yang dianggap menarik. Fenomena penilaian berdasarkan penampilan ini terutama banyak terjadi dalam industri televisi.
Setelah membangun karir dan memiliki keluarga, jurnalis perempuan sering menghadapi hambatan dalam menjalankan karirnya. Selain bekerja, mereka juga memiliki kewajiban untuk mengasuh anak. Sistem kerja yang tidak mengenal waktu sering menjadi kendala bagi para jurnalis perempuan.
Kondisi ini seringkali menyebabkan perusahaan memberikan penilaian yang kurang baik terhadap para jurnalis perempuan dibandingkan dengan rekannya jurnalis pria.
Beberapa jurnalis perempuan juga mengakui bahwa upah yang mereka terima cenderung lebih rendah dibandingkan jurnalis pria. Hal ini disebabkan karena perusahaan media masih menganggap bahwa jurnalis perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga. Akibatnya, jurnalis perempuan kadang tidak mendapatkan fasilitas asuransi yang sama dengan jurnalis pria.
Hak untuk menyusui sebagai pekerja jurnalis perempuan seringkali tidak terpenuhi. Banyak dari mereka kesulitan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan di tempat kerjanya karena kurangnya ruang khusus untuk menyusui (nursery room). Selain itu, hak untuk cuti haid dan cuti melahirkan selama tiga bulan juga belum sepenuhnya diberikan.
Jurnalis perempuan sering mengalami pelecehan seksual saat
melakukan peliputan. Bentuk pelecehan tersebut seringkali dilakukan oleh narasumber pria, seperti tindakan meraba atau merayu. Bahkan ada jurnalis perempuan yang mengaku mendapat ajakan kencan dari narasumbernya.
Benar, kondisi yang dijelaskan menunjukkan adanya ketimpangan dan diskriminasi dalam perlakuan terhadap jurnalis perempuan oleh media dan lingkungannya. Padahal, seharusnya posisi jurnalis perempuan dihargai dan diakui setara dengan jurnalis laki-laki.
Mereka seharusnya mendapatkan penghargaan atas kualitas kerjanya dengan mendapatkan gaji yang setara dengan jurnalis laki-laki, serta perhatian terhadap kualitas hidupnya seperti hak untuk mendapatkan cuti haid dan cuti melahirkan selama tiga bulan, sebagaimana layaknya hak-hak lainnya yang diberikan pada jurnalis laki-laki. Perlakuan yang adil dan setara bagi jurnalis perempuan merupakan langkah penting menuju kesetaraan gender dan profesionalisme dalam dunia jurnalistik.
Data tentang jumlah jurnalis perempuan merupakan hal yang sangat penting, setidaknya menurut apa yang dituliskan oleh International Federation of Journalist (IFJ). Data ini memungkinkan kita untuk melihat bagaimana representasi dan partisipasi para jurnalis perempuan dalam media.
IFJ menyebutkan ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui representasi perempuan di media.
Pertama, dengan membentuk struktur khusus seperti Komite perempuan atau Dewan Kesetaraan (Equality Council) yang memberikan suara bagi perempuan. Kedua, dengan memperkenalkan sistem kuota untuk
memastikan adanya representasi yang setara antara jurnalis perempuan dan laki-laki di media. Jika langkah ini terlaksana, maka tidak hanya akan memberikan data tentang jumlah jurnalis perempuan, tetapi juga memberikan gambaran tentang sejauh mana representasi jurnalis perempuan dalam dunia media.
Harus diakui bahwa hingga saat ini, belum ada data resmi yang menyajikan jumlah jurnalis secara lengkap di Indonesia. Namun, dari berbagai sumber yang sering dikutip oleh media massa, diperkirakan jumlah total jurnalis di tanah air mencapai 14.000 orang yang bekerja di berbagai jenis media dan provinsi. Namun, dari angka tersebut, hanya sekitar 10% atau sekitar 1.400 orang yang merupakan jurnalis perempuan. Jumlah ini masih jauh dari harapan dan mencerminkan kenyataan yang belum sesuai dengan ekspektasi. Penelitian ini memberikan data angka yang menegaskan kenyataan tersebut.
Hal ini menjadi perhatian penting untuk melihat bagaimana media telah memposisikan jurnalis perempuan selama ini. Apakah jurnalis perempuan telah diberi kesempatan untuk menjadi pengambil kebijakan?
Dan jika ada, berapa jumlah mereka di media? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Azzam Karam dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Azzam Karam menekankan bahwa meningkatkan partisipasi dan jumlah perempuan dalam media sangat penting untuk melihat bagaimana perempuan dapat berpengaruh secara nyata dalam proses dan partisipasi, serta bagaimana perempuan mengidentifikasi diri dan berkontribusi pada lingkungannya.
Sebagai pengambil kebijakan di media, posisi ini menjadi hal yang krusial bagi jurnalis perempuan, karena di sinilah mereka dapat berperan dalam perjuangan hak-hak jurnalis perempuan. Sayangnya, nyatanya jumlah jurnalis perempuan yang menduduki posisi pengambil kebijakan di media masih sangat sedikit.
2. Posisi Jurnalis Perempuan
Jika jurnalis perempuan menjadi anggota dalam organisasi jurnalis, mereka dapat membangun organisasi yang memiliki perspektif perempuan.
Dengan langkah ini, jurnalis perempuan mulai mengorganisir diri dan mengidentifikasi kebutuhan- kebutuhan mereka. Dalam perspektif perempuan, organisasi semacam ini menjadi sangat penting karena memungkinkan perempuan untuk bersama-sama mengidentifikasi masalah yang mereka alami dan menempatkan posisi mereka sebagai pihak yang perlu diperhatikan.
Ada beberapa kasus kesenjangan jurnalis perempuan diambil dari beberap sumber, antara lain:
1. https://www.antaranews.com/be rita/3520842/komnas-jurnalis- perempuan-rentan-jadi-korban- kekerasan-basis-gender
2. https://dialeksis.com/polkum/te muan-komnas-perempuan- masih-marak-kekerasan- terhadap-jurnalis-perempuan/
3. https://kabarpapua.co/alami- kekerasan-seksual-verbal-jurnalis- perempuan-saya-ingin-laporkan- sampai-proses-hukum/
Dua pendekatan dalam jurnalisme menurut Subono: 1. Netral atau objektif 2. Perspektif gender Pendekatan jurnalisme netral dan perspektif gender dilihat dari posisi media dan posisi jurnalis (Stellarosa &
Silaban, 2020).
a. Posisi Media dalam Jurnalisme Netral dan Jurnalisme Berperspektif Gender:
1) Media berfungsi sebagai wadah di mana seluruh anggota
masyarakat dapat
berkomunikasi dan berdiskusi secara bebas, netral, dan setara.
2) Media berperan dalam menyajikan berbagai pembicaraan dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan kenyataan.
Jurnalisme Netral:
1) Dikarenakan media sering kali dikuasai oleh kepentingan dominan (patriarki), maka media harus berfungsi sebagai alat untuk membebaskan dan memberdayakan kelompok- kelompok marjinal, terutama perempuan.
2) Media harus digunakan oleh kelompok-kelompok marjinal, khususnya perempuan, sebagai sarana untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
b. Posisi Jurnalis dalam Jurnalisme Netral dan Jurnalisme Berperspektif Gender:
1) Dalam jurnalisme netral, nilai atau ideologi jurnalis
seharusnya tidak mempengaruhi proses peliputan atau pelaporan berita, dan mereka berperan sebagai pelapor yang netral.
2) Jurnalis harus bertindak berdasarkan landasan moral (etika) dan profesionalisme sebagai keuntungan dalam menjalankan tugas mereka.
3) Tujuan peliputan dan penulisan adalah untuk menyampaikan informasi dengan seobjektif mungkin.
Jurnalisme Berperspektif Gender:
1) Dalam jurnalisme berperspektif gender, nilai atau ideologi jurnalis harus diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari proses peliputan atau pelaporan peristiwa, dan mereka berperan sebagai pegiat atau peserta kelompok-kelompok marjinal, terutama perempuan, yang ada dalam masyarakat.
2) Jurnalis harus berpihak pada dan memberdayakan kelompok- kelompok marjinal, terutama perempuan, dalam peliputan dan penulisan mereka.
3) Dalam perspektif ini, profesionalisme menjadi kontrol dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
4) Tujuan peliputan dan penulisan adalah untuk memberikan pemihakan dan pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok marjinal, terutama perempuan.
5) Jurnalis dianggap sebagai pekerja yang memiliki posisi yang berbeda dalam kelompok- kelompok sosial.
Secara kuantitatif jurnalis perempuan masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan jurnalis laki-laki walau pun sejak tahun 1904, sudah mulai bermunculan media khusus perempuan. Pada saat itu, jurnalis perempuan menggunakan media massa sebagai wahana untuk menggugah kesadaran bangsanya. Seiring dengan kemajuan teknologi, media massa mengalami pergeseran yang pada awalnya lebih menyuarakan kepada pembebasan perempuan mulai bergeser ke arah hedonisme dan komersialisme.
Akibatnya, perempuan lebih banyak menjadi bahan berita bagi sebuah media dan dianggap sebagai suatu komoditi yang menjanjikan keuntungan. Dalam situasi seperti ini diperlukan jurnalis-jurnalis perempuan yang berani dan mau menjunjung idealisme bukan hanya mengikuti kemauan pasar saja dan peran media yang mendidik benarbenar sangat diperlukan untuk mendongkrak dan mengangkat martabat kaum perempuan, bukan menjadikan perempuan hanya sebagai barang eksploitasi bagi media. Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi, menimbulkan wadah baru untuk menuangkan gagasan lewat internet dunia tanpa batas. Meski tidak berprofesi sebagai jurnalis, perempuan bisa memanfaatkan media internet untuk menyuarakan aspirasi dengan melakukan citizen journalism. Dengan demikian, keberadaan media dapat menjadi sarana bagi perempuan untuk menuangkan ekspresi dan kreasinya dalam kehidupan bermasyarakat
dengan kemampuan intelektual yang dimiliki perempuan. Untuk sampai kearah tersebut, pelaku citizen journalism harus mematuhi prinsip- prinsip yang telah ditetapkan dalam kaidah-kaidah jurnalistik seperti memiliki kemampuan menulis yang baik, mempertahankan akurasi, harus mempertahankan kelengkapan data dari informasi atau berita yang ingin disajikan, kepastian akan kebenaran berita harus ditinjau kembali, menghindari subyektivitas dalam penyajian berita, harus mempunyai kepekaan dan kekritisan dalam menanggapi suatu isu , dasar-dasar jurnalisme seperti struktur atau anatomi berita, elemen berita, nilai berita sebaiknya harus dikuasai dengan baik (Qomariah, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Zahratil Dkk melalui wawancara dan pembahasan yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, telah diperoleh kesimpulan yakni Masyarakat Banda Aceh berpersespi bahwa jurnalis perempuan piawai, mampu membuat berita dengan mengangkat isu-isu menarik dengan kejadian atau peristiwa yang unik, dan lengkap. Berdasarkan pengalamannya, dari segi bahasa teratur, tutur kata dan penguasaan konten berita bagus sehingga mudah dipahami oleh khalayak pengkonsumsi berita. Hadirnya jurnalis perempuan dinilai dapat mencerdaskan masyarakat
karena pekerjaannya
menginformasikan sesuatu kepada khalayak ramai terutama dalam hal edukasi. Selain itu, masyarakat menilai jumaIis perempuan lebih peka akan lingkungan sosial. Karena para jurnalis perempuan tidak hanya mengejar sisi berita melainkan memperhatikan aspek-aspek sosial, perempuan dan
anak, selain berperan sebagai seorang jumalis juga mengetahui bagaimana cara memposisikan dirinya sebagai seorang perempuan, sadar akan kodrat perempuan serta mematuhi norma yang ada dan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Oleh karena itu, perempuan yang berprofesi sebagai seorang jurnalis dianggap lumrah terutama dalam hal menajamkan skill seseorang di bidang jurnalistik. Penilaian masyarakat terhadap jurnalis perempuan ini berbeda satu sama lain berdasarkan sudut pandang masing- masing individu. Hal tersebut berdasarkan tingkat pengetahuan, pengalaman, disiplin ilmu yang dimiliki masyarakat serta pola pikir yang berbeda dapat memberi penilaian yang berbeda pula saat memberikan persepsi (Zahratil Ainah & Deni Yanuar, 2017).
KESIMPULAN
Meningkatnya jumlah jurnalis perempuan merupakan sebuah fenomena yang luar biasa dan membutuhkan dukungan penuh.
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan menjadi hal yang penting bagi perempuan, sehingga saat ini banyak perempuan yang melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Perkembangan zaman juga telah memberikan pemahaman bahwa profesi jurnalis tidak hanya ditujukan untuk laki-laki, tetapi saat ini juga banyak perempuan yang tertarik dan berminat menjadi jurnalis.
Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat juga sangat membantu aktivitas kehidupan manusia, termasuk dalam pekerjaan profesi jurnalis.
Namun tidak dipungkiri permasalahan gender ini masih saja terjadi dalam profesi jurnalis ini. Ada
baiknya para jurnalis perempuan membuat organisasi yang terlegalitas atau bergabung dengan organisasi formal agar dapat mempertahankan dirinya sebagai jurnalis perempuan, sehingga nantinya tidak ada perbedaan alur pekerjaan sengan jurnalis laki-laki.
REFERENSI
Lani, O. P., Shidqi, M. H., Havifi, I., &
Fitri, M. (2021). Organizational Communications on the Meaning of a Critical Approach To Feministic Theory. AGENDA:
Jurnal Analisis Gender Dan
Agama, 3(2), 91.
https://doi.org/10.31958/agenda.v 3i2.4625
Mastanora, R., & Maimori, R. (2022).
Challenges And Opportunites Of Female Journalists In Digital Industry Era. 22 Agenda, 4(1), 2022.
http://ecampus.iainbatusangkar.ac.
id/ojs/index.php/agenda
N Putra, Adrian & Permata Lani, O.
(2022). The Role of Women Journalists in Media. 4(2), 157–
168.
https://ssrn.com/abstract=4319132
Permata Lani, O. (2022).
Communication Style in the Perspective of Masculine and Feminine Culture. Agenda, 4(1), 2022.
http://ecampus.iainbatusangkar.ac.
id/ojs/index.php/agenda
Qomariah, N. (2011). Jurnalis Perempuan Dan Citizen Jurnalism. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender,
10(2), 109.
https://doi.org/10.24014/marwah.v 10i2.489
Stellarosa, Y., & Silaban, M. W.
(2020). Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis. Jurnal Ilmu Komunikasi, 16(3), 283.
https://doi.org/10.31315/jik.v16i3.
3209
Zahratil Ainah, & Deni Yanuar.
(2017). Exsistensi Jurnalis Perempuan Dalam Pandangan Masyarakat Aceh (Studi Analisis Pada Masyarakat Kota Banda Aceh). Jurnal Ilmu Komunikasi (JKMS), 6(2), 143–153.
https://jkms.ejournal.unri.ac.id/ind ex.php/JKMS/index