• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad Hifdil Islam - INZAH Genggong Journals

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Muhammad Hifdil Islam - INZAH Genggong Journals"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

Kelompok teologi Mu'tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak dianggap Mu'min atau Kafir (Al-Manzilah baina Al-Manzilatain). Di sisi lain, hadits ini sering dijadikan landasan normatif bagi para ulama, ustadz dan mufti untuk mengutuk pelaku dosa besar tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas hadits-hadits tersebut. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian adalah 1) bagaimana kualitas dan kuantitas hadis pelaku dosa besar.

Hasil penelusuran hadits pelaku dosa besar ini melalui kritik sanad menyatakan bahwa hadits tersebut tergolong hadits shohih yang sanadnya muttasil, riwayatnya da bit, tidak shadh, juga tidak it'illah. Pembahasan tentang pelaku dosa besar tidak bisa dihindarkan pada masa-masa awal sejarah Islam, terutama pada awal kebangkitan kelompok teologi Mu'tazilah. Kemunculannya yang mewarnai pemikiran teologis dalam Islam dilatarbelakangi oleh pemikiran keagamaan tentang keesaan Allah dari segala sisi, baik substansi, fitrah dan 'af'al, perbuatan manusia, status pelaku dosa besar, status dua kelompok yang berkonflik antara Ali dan Mu'awiyah. 1.

Dalam konteks pelaku dosa besar, menurut Asy-Syahrastan, terjadi dialog antara Wasil bin Atha' dengan Hasan Al-Bashri di Basrah dalam majelis yang disebut Hasan Al-Bashri. Saya berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah mukmin atau kafir, tetapi berada dalam posisi di antara keduanya, bukan mukmin atau kafir". 2. Karena Kemangi menempatkan para pelaku dosa besar pada posisi antara dua kutub yang berseberangan.

Pandangan pelaku dosa besar yang ditempatkan di antara dua kutub (Mu'min dan Kafir) ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal. Melihat kenyataan bahwa pernyataan Wasil dan hadits para pelaku dosa besar nampaknya bertentangan dengan hadits tersebut. Di sisi lain, hadis ini digunakan oleh para ulama, ulama dan ahli fikih untuk menentukan keputusan hukum bagi pelaku dosa besar tanpa memperhatikan kualitas dan kuantitas hadis baik dari segi sanad maupun matan.

Sejauh yang bisa ditelusuri para ulama, hadits para pelaku dosa besar memang belum pernah diteliti. Namun dibawah ini akan kami uraikan beberapa kajian yang langsung membahas tentang dosa besar; Berlawanan dengan hasil 3 pasal di atas, penelitian ini berusaha mencari kualitas dan kuantitas hadits tentang pelaku dosa besar, padahal saat ini belum ada satu hadits pun yang diketahui status haditsnya baik kualitas maupun jumlahnya.

Dalam artikel tersebut, penulis mencoba mengkaji hadits-hadits tentang sebab-sebab dosa besar yang menjadi perdebatan di kalangan pemikir Islam, khususnya dalam bidang teologi. Dalam pembahasan kali ini, penulis akan mencoba mengulas hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal tentang agama orang yang melakukan dosa besar. Di antara nama-nama gurunya adalah: Sa'i d ibn Abi 'Aru bah, Sufya n al-Thawri, Sufya n ibn 'Uyaynah, Shu'bah ibn al-Hajjaj dan lain-lain.

Muhammad bin Abdillah bin 'Amma r al-Mawsili, mengulas bahawa tidak ada seorang pun di kalangan ahli hadis yang lebih athbat daripada al-A'mash.

Analisa Matan

Dari penjelasan di atas mengenai kesinambungan sanad antara yang rendah dan yang tinggi, dapat disimpulkan bersifat ittisal (kelanjutan) dengan mempertimbangkan adanya hubungan guru-murid. Selain itu, dilihat dari tahun kematian mereka, masih mungkin bagi pendongeng yang masih pelajar untuk bertemu dengan gurunya. Al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsir surat al-Nur ayat 22 bahwa pendapat asha b al-Syafi'i (pengikut madhab al-Syafi'i) mengenai hal ini membandingkannya dengan dosa menyinggung (sabb) Aisyah.

Dengan penjelasan tersebut, muncul kecenderungan untuk meyakini bahwa orang yang melakukan dosa besar dapat menghilangkan iman dari dirinya sendiri. Ibnu Fawza n menjelaskan dalam Syarah al-Aqi dah al-Wa sitah bahwa keimanan bisa bertambah dan berkurang sehingga seorang fasiq tidak bisa mutlak dengan kehilangan keimanan dari dirinya sendiri. arti . Al-Ghazali memahami hadits yang mirip dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di atas sebagai keyakinan taqlid, yang sama dengan keyakinan orang-orang Arab yang tasdi q (membenarkan) Nabi.

Maka dengan ini al-Ghazali mengklasifikasikan iman orang yang melakukan dosa besar dalam iman yang hanya beriman, bukan pada taraf yaqin. Seperti ulama yang menyokong naik turunnya iman, mereka bersandar kepada beberapa ayat al-Quran. Maksudnya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hati mereka dan apabila disebut.

Artinya: Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka ada orang (orang-orang munafik) yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang akan menambah imannya dengan (diturunkannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, surat ini menambah iman mereka dan mereka merasa bahagia. Adapun matan hadith-hadith yang lain, ternyata al-Bukhari juga meriwayatkan hadith yang serupa daripada Ibn Abbas, tetapi dengan matan yang sedikit berbeza. Diterjemahkan daripada hadis yang direkodkan oleh al-Bukhari di atas adalah lebih kurang sama seperti yang direkodkan oleh Ahmad ibn Hanbal, cuma di sini subjeknya ialah perkataan al-'abd yang bermaksud "hamba".

Sedangkan penambahan seri wa la yaktul wa huwa mu'min, menunjukkan bahwa dosa membunuh sama derajatnya dengan dosa zina, membunuh dan meminum khamr, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur, yang kesemuanya dikelompokkan menjadi dosa besar. Sedangkan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Ikrima memberikan pemahaman tentang lepasnya iman pelaku dosa besar ketika ia melakukannya; ketika dia bertobat, imannya dipulihkan. Dalam hadits ini, makna yang dimaksud sama dengan hadits yang telah kita bahas sebelumnya; kecuali di sini dia hanya menyebutkan dosa pezinah dan mabuk.

Validitas Hadith

Dari analisis sanad hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits ini adalah hadits shahih. Karena syarat sahihnya hadits dapat terpenuhi, yaitu sanadnya mu'tesil, perawinya dabit, tidak ada shadh, tidak ada illah juga. Hadis-hadis tentang pezina, pencuri dan pemabuk, yang kemudian digeneralisasikan dengan istilah pelaku dosa besar, ternyata menyentuh wilayah fundamental keimanan para pelakunya.

Golongan yang beranggapan bahawa iman pelaku dosa besar tercabut apabila melakukan dosa, maka boleh dikatakan orang kafir adalah lawan mukmin, apabila mati dalam keadaan melakukan dosa adalah banyak. bahaya. Golongan yang mengatakan iman seseorang itu boleh luntur dan luntur, sehingga orang yang melakukan dosa besar tetap dikategorikan sebagai orang yang berdosa, tidak mencapai kekafiran yang mutlak. Al-Bukhari, Abi 'Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi, Sahih al-Bukhari.

دستربتر, جمال الدين أبي الحجاج يوسف تهذيب الكامل في أسمى’ الرجال.

Referensi

Dokumen terkait

Với các nghiên cứu trên có nhược điểm là thiếu tính linh động về khoảng thời gian theo dõi lũ lụt; tập trung phạm vi vào khu vực nhất định tại Việt Nam; tính ứng dụng của nghiên cứu