OPTIMIZATION OF BIOFUEL PRODUCTION FROM USED COOKING OIL USING NATURAL ZEOLITE
CATALYST
Isalmi Aziz1, Siti Nurbayti2 Reza Falepi3
1 Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat, Tangerang Selatan, Banten
E-mail: *[email protected], **[email protected]
Received: 14 Januari 2022. Accepted: 19 November 2022. Published: 31 Desember 2022 DOI: 10.30870/educhemia.v7i2.13892
Abstract: Petroleum is still the primary energy used in the world. Its diminishing production is the trigger to find alternative energy to replace it. Biofuel is an alternative energy that has the potential to replace petroleum because it is renewable, environmentally friendly, and easy raw material. Waste such as used cooking oil can be used as raw material for making biofuels.
The low price can reduce the cost of biofuel production. The conversion of oil into biofuel can be done using catalytic cracking with natural zeolite as a catalyst. This study aims to determine the optimum conditions for making biofuel from used cooking oil and determine its physical and chemical properties. The catalytic cracking process is carried out using an autoclave reactor. Used cooking oil and natural zeolite were introduced into the reactor, and the reaction was carried out by varying the time (1, 2, 3 hours), temperature (325, 350, 375oC), catalyst concentration (3, 5, 7%), and catalyst size. The product is distilled to produce biofuel (liquid), gas, and residue. The optimization results show that 3 hours, a temperature of 375oC, a catalyst concentration of 7%, and a catalyst size of 180µm are the optimum conditions for catalytic cracking with 44.94% biofuel yield. The resulting biofuel contains 73.48% hydrocarbons and 26.52% fatty acids. The hydrocarbon composition consists of 19.32% gasoline, 12.82%
kerosene, and 35.11% diesel. The density of the biofuel produced is 0.8835g/mL, the flashpoint is 68oC, and the pourpoint is 27oC.
Keywords: Biofuel, hydrocarbon, catalytic cracking, used cooking oil, natural zeolite
Abstrak: Minyak bumi masih merupakan energi primer yang digunakan di dunia. Produksinya yang mulai berkurang menjadi pemicu untuk menemukan energi alternatif penggantinya.
Biofuel merupakan energi alternatif yang sangat berpotensi menggantikan minyak bumi karena sifatnya yang renewable, ramah lingkungan dan bahan baku yang mudah. Limbah seperti minyak jelantah dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofuel. Harganya yang murah dapat menekan biaya produksi biofuel. Konversi minyak menjadi biofuel dapat dilakukan menggunakan catalytic cracking dengan katalis zeolit alam. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimum pembuatan biofuel dari minyak jelantah dan menentukan sifat fisik dan kimianya. Proses catalytic cracking dilakukan menggunakan reaktor autoclave.
Minyak jelantah dan zeolit alam dimasukkan ke dalam reaktor dan reaksi dijalankan dengan memvariasikan waktu (1, 2, 3 jam), suhu (325, 350, 375oC), konsentrasi katalis (3, 5, 7%) dan
194 EduChemia,Vol.7, No.2, 2022 Aziz, Nurbayti, Falepi
ukuran katalis. Produk didistilasi sehingga dihasilkan biofuel (cair), gas dan residu. Hasil optimasi menunjukkan waktu 3 jam, suhu 375 oC, konsentrasi katalis 7% dan ukuran katalis 180 µm merupakan kondisi optimum catalytic cracking dengan rendemen biofuel 44,94%.
Biofuel yang dihasilkan mengandung hidrokarbon 73,48% dan asam lemak 26,52%.
Komposisi hidrokarbon terdiri dari gasolin 19,32%, kerosin 12,82% dan diesel sebesar 35,11%. Densitas biofuel yang dihasilkan sebesar 0,8835g/mL, titik nyala 68oC dan titik tuang 27oC.
Kata kunci: Biofuel, hidrokarbon, catalytic cracking, minyak jelantah, zeolit alam
PENDAHULUAN
Saat ini minyak bumi masih menjadi pilihan utama sebagai energi baik dalam bidang transportasi maupun industri. Hal ini menyebabkan kebutuhannya mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pada tahun 2005 kebutuhan minyak bumi sebanyak 1,299 Barel per Day (BPD) dan terus meningkat hingga mencapai 1,641 ribu BPD tahun 2014 (Febriyanti et al., 2020). Minyak bumi merupakan energi tak terbarukan yang persediaannya semakin lama semakin menipis.
Berdasarkan data BPS tahun 2019 produksi minyak mentah turun sekitar 7%
dari tahun sebelumnya menjadi
273.494,80 ribu barrel
(https://www.bps.go.id,). Untuk itu perlu dikembangkan sumber energi lain yang dapat mensubstitusi minyak bumi sehingga pasokan energi tetap terjamin.
Salah satu sumber energi yang sangat menjanjikan adalah biofuel. Bahan bakunya yang berasal dari tumbuhan dan hewan menjadikannya mudah diproduksi setiap saat. Selain itu biofuel
menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah (Aziz et al., 2020). Salah satu bahan baku biofuel yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah minyak jelantah. Minyak ini merupakan limbah dari industri makanan atau rumah tangga yang sudah tidak digunakan lagi.
Jika dibuang ke lingkungan dapat mencemari ekosistem yang ada. Oleh sebab itu pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biofuel dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan harganya lebih murah.
Pembuatan biofuel dari minyak jelantah dapat dilakukan dengan metode catalytic cracking. Proses ini tidak memerlukan suhu yang tinggi, hanya membutuhkan katalis dan tidak menggunakan hidrogen seperti hydrocracking sehingga biaya lebih murah. Beberapa bahan baku yang sudah digunakan dalam produksi biofuel menggunakan catalytic cracking diantaranya : minyak sawit (Kadarwati and Wahyuni, 2015), minyak jarak (Aziz et al., 2020), palm fatty acid distillate (De
Oliveira et al., 2021), dan bio-oil (Jaroenkhasemmeesuk et al., 2018).
Proses catalytic cracking membutuhkan katalis untuk mempercepat tercapainya kesetimbangan reaksi. Banyak jenis katalis yang sudah digunakan dalam proses catalytic cracking, salah satunya zeolit (Jaroenkhasemmeesuk et al., 2017).
Zeolit alam maupun sintesis merupakan mineral berpori dengan ukuran 2-4 nm (Fitriyah, 2016). Selain itu memiliki situs asam Bronsted dan Lewis yang berfungsi dalam proses perengkahan. Zeolit alam di Indonesia jumlahnya sangat melimpah dan harganya murah. Pada tahun 2020 sumber daya alam zeolit yang tersedia sekitar 29,5 juta ton (Anonim, 2020). Hal ini dapat menjamin keberlangsungan proses dan dapat menekan biaya produksi.
Zeolit alam selain sebagai katalis juga sudah digunakan sebagai adsorben (Alfanaar et al., 2017).
Produksi biofuel dipengaruhi oleh kondisi proses seperti waktu, suhu, konsentrasi katalis dan ukuran partikel katalis. Aziz et al., (2019) mendapatkan kondisi optimum proses pembuatan biofuel dari minyak jarak pada waktu 2 jam, temperatur 375oC, konsentrasi katalis 5% dan ukuran partikel 180 mm dengan rendemen biofuel 47,20%. Tambun et al., (2016) mendapatkan kondisi optimum
pada waktu 2 jam dan temperatur 400oC dengan yield produk liquid 84.82% pada catalytic cracking palm oil menggunakan katalis ZSM-5. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bahan baku dapat mempengaruhi kondisi optimum proses produksi biofuel. Sejauh study literatur yang dilakukan belum ada penelitian yang melakukan optimasi proses produksi biofuel dari minyak goreng bekas dengan proses catalytic cracking menggunakan katalis zeolit alam Lampung teraktivasi dengan sistem semi batch. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan optimasi kondisi proses pembuatan biofuel dari minyak goreng bekas. Biofuel yang dihasilkan di uji sifat fisiknya meliputi densitas, titik nyala, titik tuang dan komposisi senyawa penyusunnya.
METODE
Peralatan dan Bahan
Alat yang digunakan terdiri dari alat gelas (pyrex), grinding mill, satu set reactor batch (stainless steel), Gas Chromatography-Mass Spectrometer (GC-MS) Shimadzu QP 2010, piknometer, Mini Flash Point dan Lauda Pour Point. Bahan-bahan yang digunakan adalah zeolit alam aktif (PLT UIN Jakarta), minyak jelantah (Rumah makan Hoesen Ciputat) dan etanol.
196 EduChemia,Vol.7, No.2, 2022 Aziz, Nurbayti, Falepi
Optimasi Proses Pembuatan Biofuel (Aziz et al., 2019)
Minyak jelantah sebanyak 50 gram dan zeolit alam aktif 2,5 gram dimasukkan ke dalam reaktor autoclave. Pemanas dan pengaduk dinyalakan. Reaksi dilakukan dengan memvariasikan waktu (1, 2, 3 jam), temperatur (325, 350 dan 375oC), konsentrasi katalis (3, 5 dan 7%) dan ukuran partikel katalis (180, 250, 630 µm). Selanjutnya produk di distilasi dan ditentukan rendemen biofuel menggunakan persamaan (1). Biofuel yang dihasilkan pada kondisi optimum proses, selanjutnya di uji sifat fisik dan kimianya, meliputi densitas, titik nyala, titik tuang dan komposisi senyawa dengan Gas Chromatography-Mass Spectrometer (GCMS).
𝑹𝒆𝒏𝒅𝒆𝒎𝒆𝒏 = 𝑴𝒂𝒔𝒔𝒂 𝒃𝒊𝒐𝒇𝒖𝒆𝒍
𝑴𝒂𝒔𝒔𝒂 𝒎𝒊𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒋𝒆𝒍𝒂𝒏𝒕𝒂𝒉 × 𝟏𝟎𝟎%
(1)
Uji Titik Nyala (ASTM D93-80, 1980) Pengukuran titik nyala menggunakan Ametek miniflash berdasarkan metode ASTM D 97. Standar Anisol (42-44 oC) dan dodekana (±79oC) dianalisis.
Kemudian metode analisis D6450 dipilih untuk analisis sesuai dengan sampel.
Sampel dimasukkan ke dalam test cup kemudian dimasukkan dalam alat bersama dengan magnetic stirrer kemudian
ditutup. Nilai titik nyala akan muncul pada display alat dalam oC.
Uji Titik Tuang (ASTM D97-98, 1987) Pengukuran nilai titik tuang dilakukan dengan menggunakan alat Lauda Pour Point berdasarkan ASTM D 97. Sampel dimasukkan ke dalam botol sampai batas yang telah ditandai. Botol berisi sampel dimasukkan ke dalam water bath untuk dipanaskan hingga mencapai suhu sampel 9 oC di atas titik tuang perkiraan dan suhu air dalam water bath sekitar 12 oC di atas nilai titik tuang perkiraan. Setelah kondisi yang diinginkan dicapai, sampel dalam botol pada jaket disimpan pada bak pendingin. Pembacaan dilakukan setiap penurunan 3 oC sampai sampel berhenti mengalir, kemudian suhu tersebut ditambahkan 3 oC sebagai titik tuang.
Nilai titik tuang sampel dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Nilai titik tuang = suhu akhir saat sampel berhenti mengalir + 3 oC…………(2)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Waktu Reaksi
Pembuatan biofuel dari minyak goreng bekas melalui proses catalytic cracking dilakukan dengan memvariasikan waktu reaksi 1, 2 dan 3 jam dengan parameter konstan temperatur 350oC, konsentrasi katalis 5% dan ukuran
partikel katalis 180 µm. Produk yang dihasilkan terdiri dari 4 fasa yaitu biofuel, air, residu dan gas. Pada Gambar 1 dapat dilihat rendemen produk yang dihasilkan dari catalytic cracking minyak jelantah.
Rendemen biofuel yang dihasilkan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu reaksi, begitu juga dengan rendemen gas. Gas yang dihasilkan ini berupa sebagai senyawa hirokarbon rantai pendek (C1-C4), CO dan CO2. Peningkatan rendemen ini disebabkan karena semakin lama waktu reaksi, interaksi antara minyak jelantah dengan katalis semakin besar, sehingga semakin banyak reaktan yang tercracking dan produk yang dihasilkan semakin meningkat. Li et al., (2014) menyatakan bahwa produk cair meningkat dengan meningkatnya suhu dan waktu reaksi.
Residu yang ada merupakan reaktan yang tidak terkonversi menjadi produk.
Semakin lama waktu maka rendemen residu yang dihasilkan juga semakin menurun karena terkonversi menjadi produk. Waktu terbaik yang didapatkan pada catalytic cracking minyak jelantah adalah 3 jam dengan rendemen biofuel 23,48%. Aziz et al., (2019) mendapatkan waktu reaksi terbaik 3 jam pada catalytic cracking crude biodiesel dengan rendemen biofuel 36.46%. Rendemen yang dihasilkan lebih besar dibandingkan
dengan penelitian ini. Hal ini disebabkan bahan baku yang digunakan berbeda. Aziz et al., (2019) menggunakan bahan baku crude biodiesel sehingga lebih mudah terjadinya proses cracking dibandingkan dengan bahan baku minyak jelantah yang masih berbentuk senyawa trigliserida.
Gambar 1. Pengaruh waktu reaksi terhadap rendemen produk catalytic cracking
Pengaruh Suhu
Setelah didapatkan waktu terbaik, maka digunakan sebagai parameter tetap pada optimasi suhu. Pada Gambar 2 dapat dilihat korelasi antara suhu dan rendemen produk catalytic cracking. Semakin tinggi suhu, maka rendemen biofuel dan gas yang dihasilkan semakin besar. Hal ini disebabkan dengan naiknya suhu maka energi kinetik yang dimiliki reaktan semakin besar, sehingga tumbukan semakin maksimal dan produk yang dihasilkan semakin besar. Untuk rendemen residu berbanding terbalik dengan rendemen biofuel. Dimana semakin tinggi suhu maka rendemen residu semakin berkurang karena semakin
0 20 40 60 80
1 2 3
Rendemen (%)
Waktu (jam)
Biofuel Air Residu Gas
198 EduChemia,Vol.7, No.2, 2022 Aziz, Nurbayti, Falepi
banyak produk yang dihasilkan. Suhu terbaik pada catalytic cracking ini didapatkan pada 375oC dengan rendemen biofuel 41,46%.
Riyadhi et al., (2020) mendapatkan rendemen produk cair sebesar 41,52%
pada catalytic cracking beef tallow menggunakan katalis MgO sebesar 4%
dan suhu 300oC. Hazzamy et al., (2014) yang melakukan catalytic cracking minyak jelantah dengan katalis fly ash pada suhu 420oC menghasilkan rendemen sebesar 31,72%.
Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap rendemen produk catalytic cracking
Pengaruh Konsentrasi Katalis
Optimasi variasi konsentrasi katalis dilakukan pada waktu 3 jam, suhu 375oC dan ukuran katalis 180 mm. Pengaruh konsentrasi katalis terhadap rendemen produk catalytic cracking dapat dilihat pada Gambar 3. Konsentrasi katalis berbanding lurus dengan rendemen biofuel yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi katalis maka semakin besar
juga rendemen biofuel yang dihasilkan.
Hal ini disebabkan dengan semakin besar konsentrasi katalis maka situs aktif katalis juga semakin banyak sehingga reaktan yang bereaksi juga semakin banyak dan produk yang dihasilkan semakin besar.
Riyadhi et al., (2020) juga mendapatkan korelasi yang sama ketika memvariasikan jumlah katalis MgO pada catalytic cracking beef tallow.
Konsentrasi MgO 2% menghasilkan rendemen produk cair sebesar 32,24% dan ketika dinaikkan menjadi 4%, rendemen 41,52%. Wibowo et al., (2020) mendapatkan konsentrasi katalis Ni/NZA 6% dengan rendemen 26,42% pada catalytic cracking crude bio oil.
Rendemen gas yang dihasilkan berbanding terbalik dengan rendemen biofuel begitu juga dengan rendemen residu. Semakin banyak biofuel maka semakin berkurang produk gas dan residunya.
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi katalis terhadap rendemen produk catalytic
cracking 0
20 40 60 80
325 350 375
Rendemen (%)
Suhu (°C)
Biofuel Air Residu Gas
0 10 20 30 40 50
3 5 7
Rendemen (%)
Konsentrasi katalis (%)
Biofuel Air Residu Gas
Pengaruh ukuran katalis
Pengaruh ukuran katalis dipelajari pada kondisi waktu 3 jam, suhu 375oC dan konsentrasi katalis 7%. Pada Gambar 4 dapat dilihat semakin kecil ukuran katalis, semakin besar rendemen biofuel yang dihasilkan. Pada ukuran katalis 180 µm, rendemen biofuel yang dihasilkan sebesar 44,94%, sedangkan pada ukuran 250 dan 630 µm hanya 35,24 dan 30,60%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan semain kecilnya ukuran katalis maka luas permukaannya akan semakin besar sehingga kontak reaktan dengan katalis semakin besar dan maksimal. Savitri et al., (2016) menyatakan bahwa luas permukaan katalis dapat mempengaruhi aktivitasnya, semakin luas katalis maka aktivitasnya akan semakin besar.
Gambar 4. Pengaruh ukuran katalis terhadap rendemen produk catalytic cracking
Karakterisasi Biofuel
Minyak jelantah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofuel dianalisis komposisinya menggunakan
GCMS. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1. Asam palmitat dan asam oleat merupakan dua senyawa asam lemak terbesar penyusun minyak jelantah.
Setelah dilakukan catalytic cracking pada kondisi optimum proses, didapatkan dua jenis golongan senyawa penyusun biofuel yaitu hidrokarbon (73,48%) dan asam lemak (26,52%). Hal ini menunjukkan bahwa proses catalytic cracking sudah berjalan dengan baik dan mampu menghilangkan unsur oksigen yang terdapat dalam minyak jelantah sehingga menghasilkan senyawa hidrokarbon yang cukup tinggi. Distribusi produk hidrokarbon dalam biofuel dapat dilihat pada Gambar 5.
Tabel 1. Komposisi asam lemak pada minyak jelantah
Asam lemak Komposisi (%) Asam palmitat 34,94
Asam laurat 5,14
Asam oleat 45,68
Asam stearat 15,24
Berdasarkan Gambar 5 terlihat senyawa yang paling tinggi adalah C15
dengan komposisi 12,24%. Produk ini berasal dari reaksi dekarboksilasi dan dekarbonilasi asam palmitat dimana asam ini dihasilkan dari dekomposisi trigliserida dalam minyak jelantah.
Begitu juga dengan senyawa dengan jumlah C17 berasal dari asam oleat dan asam stearat. Munculnya senyawa fraksi
0 10 20 30 40 50
180 250 630
Rendemen (%)
Ukuran katalis (µm)
Biofuel Air Residu Gas
200 EduChemia,Vol.7, No.2, 2022 Aziz, Nurbayti, Falepi
ringan (C8-C11) disebabkan reaksi cracking dari produk yang dihasilkan.
Senyawa hidrokarbon yang dihasilkan dapat dikelompokkan menjadi tiga fraksi, yaitu gasolin (C5-C12), kerosin (C3-C14) dan diesel (C15-C20) (Istadi et al., 2021).
Hasilnya data dilihat pada Tabel 2.
Gambar 5. Distribusi produk hidrokarbon dalam biofuel
Tabel 2. Komposisi senyawa penyusun biofuel golongan hidrokarbon
Senyawa Komposisi (%)
Gasolin 19,32
Kerosin 12,82
Diesel 35,11
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat senyawa terbesar adalah fraksi diesel sebesar 35.11%, sedangkan gasolin 19,32% dan kerosin 35,11%. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi yang dominan adalah karboksilasi dan karbonilasi dari asam lemak penyusun minyak jelantah.
Sundaryano and Budiyanto, (2010) memperoleh kerosin 31,35% dan diesel 10,16% dari perengkahan katalitik limbah
pengolahan kelapa sawit menggunakan katalis Cr/Mo/HZA. Untuk katalis Ni/Mo/HZA menghasilkan bensin 10,63% dan 11,02% dan kerosin 11,02%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa katalis zeolit alam yang diaktifkan mampu memberikan aktivitas katalitik yang baik dalam menghasilkan fraksi diesel.
Sifat fisik produk biofuel juga dilakukan analisis densitas, titik nyala dan titik tuang. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Proses catalytic cracking mampu menurunkan densitas dari 0,9087g/mL (minyak jelantah) menjadi 0,8835g/mL (biofuel). Hal ini memperkuat bahwa reaksi catalytic cracking berjalan dengan baik dengan dihasilkannya fraksi yang lebih ringan sehingga densitas menjadi turun. Densitas yang dihasilkan ini masih belum memenuhi standar dari bensin yaitu sebesar 0,71-0,78 g/mL. Tingginya nilai densitas tersebut disebabkan masih terdapat senyawa asam lemak sebesar 26,52% dalam produk biofuel. Aziz et al., (2019) mendapatkan densitas biofuel sebesar 0,9631 g/mL dari catalytic cracking crude biodiesel menggunakan katalis zeolit alam. Wibowo et al., (2020) mendapatkan specific gravity biofuel 0,995 hasil catalytic cracking crude bio oil.
0 5 10 15
C8 C10 C12 C14 C16 C20 C28
Konsentrasi (%)
Jumlah rantai karbon (hidrokarbon)
Tabel 3. Sifat fisik biofuel No Parameter Nilai
1 Densitas, g/mL 0,9087 2 Titik nyala, oC 68 3 Titik tuang, oC 27
Titik nyala biofuel yang dihasilkan sebesar 68 oC lebih tinggi dari titik nyala bensin (-43oC) dan lebih rendah dari diesel (100oC). Hal ini disebabkan karena biofuel yang dihasilkan masih berupa campuran senyawa, sehingga titik nyalanya merupakan gabungan dari semua senyawa yang ada. Titik nyala berkaitan dengan sistem pembakaran bahan bakar. Tingginya titik nyala akan menyebabkan lamanya proses pembakaran sehingga mempengaruhi kinerja mesin. Titik nyala juga berperan penting dalam keamanan dalam penanganan dan penyimpanan bahan bakar. Titik tuang yang dihasilkan sebesar 27 oC. Nilai ini juga masih belum memenuhi standar bensin (-7oC). Titik tuang merupakan indikator memampuan
suatu bahan bakar untuk dapat mengalir.
Berdasarkan nilai titik tuang, biofuel ini hanya dapat digunakan diatas 27oC.
KESIMPULAN
Proses catalytic cracking minyak jelantah menggunakan katalis zeolit alam aktif mampu menghasilkan biofuel. Hal ini dapat menjadi solusi energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang cadangannya sudah mulai berkurang.
Kondisi optimum proses didapatkan pada waktu 3 jam, suhu 375 oC, konsentrasi katalis 7% dan ukuran katalis 180 µm dengan rendemen biofuel 44,94; gas 34,66, dan residu 16,98%. Biofuel yang dihasilkan mengandung senyawa hidrokarbon sebesar 73,48% dan asam lemak 26,52%. Komposisi hidrokarbon dalam biofuel terdiri dari gasolin 19,32%, kerosin 12,82% dan diesel sebesar 35,11%. Densitas biofuel yang dihasilkan sebesar 0,8835g/mL, titik nyala 68oC dan titik tuang 27 oC.
DAFTAR RUJUKAN
Alfanaar, R., Yuniati, Y. & Rismiarti, Z.
(2017). Studi Kinetika Dan Isoterm Adsorpsi Besi(III) Pada Zeolit Alam Dengan Bantuan Gelombang Sonikasi. EduChemia (Jurnal Kimia dan Pendidikan), 2(1), 63–72.
Anonim. (2020). Executive summary
mineral kementerian ESDM.
ASTM D93-80. 1980.
ASTM D97-98. 1987
Aziz, I., Yolanda, T., Adhani L., &
Saridewi, N. (2019). Catalytic cracking of Jatropa curcas oil using natural zeolite of Lampung as a
202 EduChemia,Vol.7, No.2, 2022 Aziz, Nurbayti, Falepi
catalyst. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 299(1), 6–13. doi: 10.1088/1755- 1315/299/1/012065.
Aziz, I., Tafdila, M.A., Nurbayti. S., Adhani. L., & Permata. W. (2019).
Upgrading Crude Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas menggunakan Katalis H-Zeolit. Jurnal Kimia Valensi, 5(1), 79–86. doi:
10.15408/jkv.v5i1.10493.
Aziz, I., Kurnianti., Saridewi, L., Adhani, L., & Permata, W., (2020).
‘Utilization of Coconut Shell as Cr2O3 Catalyst Support for Catalytic Cracking of Jatropha Oil into Biofuel.
Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi,
23(2), 39–45. doi:
10.14710/jksa.23.2.39-45.
Febriyanti, E., Roesyadi, A. & Prajitno, D.
H. (2020). Konversi Minyak Biji Nyamplung (Callophyllum Inophyllum Linn ) Menjadi Biofuel dengan Katalis Berbasis NiMo / γ-Al2
O3. Berkala Saintek, 8(3), 89–95.
Fitriyah. (2016). Interkalasi Xilenol Orange Pada Zeolit Alam Lampung sebagai Elektroda Zeolit Termodifikasi. Jurnal Kimia dan Pendidikan, 1(2), 162–175.
Anonim. 2019. Produksi Minyak Bumi
dan Gas Alam.
https://www.bps.go.id.
Istadi, I., Riyanto, T., Buchori, L., Anggoro, D.D., Pakpahan, A.W.S., &
Pakpahan, A.J. (2021). Biofuels production from catalytic cracking of palm oil using modified hy zeolite catalysts over a continuous fixed bed catalytic reactor. International Journal of Renewable Energy Development, 10(1), 149–156. doi:
10.14710/ijred.2021.33281.
Jaroenkhasemmeesuk, C., Prasertpong, P., Thanmongkhon, Y., &
Tippayawon, N. (2017). Simplex Lattice Approach to Optimize Yields of Light Oil Products from Catalytic Cracking of Bio-Oil with Mixed Catalysts. Chemical Engineering Communications, 204(6), 677–688.
doi:
10.1080/00986445.2017.1302942.
Jaroenkhasemmeesuk, C., Diego, M. E., | Tippayawong, N., Ingham, D. B., Pourkashanian, M. (2018).
Simulation analysis of the catalytic cracking process of biomass pyrolysis oil with mixed catalysts: Optimization using the simplex lattice design.
International Journal of Energy Research, 42(9), 2983–2996. doi:
10.1002/er.4023.
Kadarwati, S. & Wahyuni, S. (2015).
Characterization and performance test of palm oil based bio-fuel produced
via ni/zeolite-catalyzed cracking process. International Journal of Renewable Energy Development,
4(1), 32–38. doi:
10.14710/ijred.4.1.32-38.
Li, L., Quan, K., Xu, J., Liu, F., Liu, S., Yu, S., Xie, C., Zhang, B., & Ge, X.
(2014). Liquid hydrocarbon fuels from catalytic cracking of rubber seed oil using USY as catalyst. Fuel, 123, 189–193.
Hazzamy, M.A., & Zahrina, I. (2014).
Pembuatan Biofuel Dari Minyak Goreng Bekas Melalui Proses Catalytic Cracking Dengan Katalis Fly Ash. Jurnal Online Mahasiswa, 1(1).
De Oliveira, B. F. H. de França, D. F., Corrêa, N. C. F., Ribeiro, N. F. D., &
Mauricio Velasquez, M. (2021).
Renewable diesel production from palm fatty acids distillate (Pfad) via deoxygenation reactions. Catalysts,
11(9), 1–16. doi:
10.3390/catal11091088.
Riyadhi, A., Yulizar, Y. & Susanto, B. H.
(2020). Catalytic conversion of beef tallow with MgO derived from MgCO3for biofuels production. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 902(1). doi:
10.1088/1757-899X/902/1/012049.
Savitri, S., Nugraha, A. S. & Aziz, I.
(2016). Pembuatan Katalis Asam (Ni/γ-Al2O3) dan Katalis Basa (Mg/γ-Al2O3) untuk Aplikasi Pembuatan Biodiesel dari Bahan Baku Minyak Jelantah. Jurnal Kimia Valensi, 2(1), 1–10. doi:
10.15408/jkv.v2i1.3104.
Sundaryano, A. & Budiyanto. (2010).
Pembuatan bahan bakar hidrokarbon cair melalui reaksi cracking minyak pada limbah cair pengolahan kelapa sawit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 20(1).
Tambun, R., Saptawaldi, R. P., Nasution, M. A. & Gusti, O. N. (2016).
Pembuatan Biofuel dari Palm Stearin dengan Proses Perengkahan Katalitik Menggunakan Katalis ZSM-5’, Jurnal Rekayasa Kimia &
Lingkungan. 11(1), 46. doi:
10.23955/rkl.v11i1.4902.
Wibowo, S., Efiyanti, L. & Pari, G.
(2020). Catalytic and thermal cracking of bio-oil from oil-palm empty fruit bunches, in batch reactor.
Indonesian Journal of Chemistry, 20(5), 1000–1009. doi:
10.22146/ijc.44076.
|