Pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Sirombu Nias Barat Tentang Tradisi Pemberian Babi Sebagai Adat dalam Perkawinan
Masyarakat Sirombu Nias Barat
The Opinion of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama West Sirombu Nias on The Tradition of Pig Giving as Custom in West Sirombu Nias Community
Marriage
Nur Habibah Maruao
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan E-Mail: [email protected]
Aripin Marpaung
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan E-Mail: [email protected]
ABSTRACT
In West Nias Sirombu marriage custom, there is a tradition of giving pigs from Muslim families (converts) who are married to non-Muslim families (Christians) because of the traditional marriage tradition, when a family gets married it will give pigs to other family relatives. This is not in line with Islamic principles which forbid pork itself. The purpose of this research is to see how Muhammadiyah and NU leaders in Sirombu West Nias view the giving of pigs in the West Nias marriage custom. This research is field research, namely conducting interviews with Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama figures, Sirombu Nias Barat District, and supported by literature sources. The results of this study indicate that Muhammadiyah Sirombu West Nias figures regarding giving pigs from Muslim families who marry to non-Muslim families are not justified in Islam and are unlawful. Meanwhile, the figure of Nahdlatul Ulama Sirombu, West Nias, believes that Muslim families (converts) who still carry out these customs still get relief (rukhsah) due to an understanding that is still common.
Keywords: Marriage, Local Wisdom, West Nias Sirombu.
ABSTRAK
Adat perkawinan Sirombu Nias Barat ada yang melakukan pemberian hewan babi dari keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada pihak keluarganya yang masih non muslim (Kristiani) dikarenakan tradisi adat perkawinan yang jika sebuah keluarga melangsungkan perkawinan maka akan memberikan hewan babi kepada kerabat keluarga lainnya. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip Islam yang mengharamkan hewan babi itu sendiri.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pandangan tokoh Muhammadiyah dan NU di Sirombu Nias Barat terhadap pemberian hewan babi dalam adat perkawinan Nias Barat tersebut. Adapun penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu melakukan wawancara terhadap tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, serta di dukung sumber-sumber literature. Hasil penelitian ini menunjukan tokoh Muhammadiyah Sirombu Nias Barat berkenaan pemberian hewan babi dari keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim ialah tidak di benarkan dalam Islam dan haram hukumnya. Sedangkan tokoh Nahdlatul Ulama Sirombu Nias Barat
berpandangan bahwa keluarga muslim (muallaf) yang masih melakukan adat istiadat tersebut masih mendapatkan keringanan (rukhsah) dikarenakan pemahaman yang masih awam.
Kata Kunci: Perkawinan, Kearifan Lokal, Sirombu Nias Barat.
PENDAHULUAN
Kebiasaan masyarakat Kecamatan Sirombu Nias Barat pada bidang perkawinan terbilang cukup unik. Ada kasus berkenaan pemberian hewan babi oleh keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarganya yang masih non muslim (Kristiani), yang mana kebiasaan ini biasanya dilakukan pada sebuah perkawinan yang beragama Kristiani dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat.1 Kondisi seperti ini terjadi ketika ada sesesorang ataupun keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan memberikan hewan babi kepada keluarga yang Kristiani yaitu pihak paman dan nenek-kakek jika masih hidup sebagai rangkaian adat-istiadat perkawinan Sirombu Nias Barat.2 Hal ini bukan tanpa alasan, dikarenakan adat istiadat perkawinan yang masih kuat dijalankan. Di sisi lainnya masyakarat muslim di Kepulauan Nias termasuk di Kecamatan Sirombu sangatlah minoritas, penganut agama terbanyak ialah beragama Kristiani Protestan dan Katolik.3
Tentu dalam hal ini pemberian hewan babi dari keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada sebuah keluarga non muslim menjadi persoalan dalam hukum Islam, mengingat bahwasannya hewan babi sendiri merupakan hewan yang dilarang,4 dan termasuk hewan yang najis.5 Di sisi lainnya ada kaidah fikih menyebutkan “al-Ashlu fil a’yani ibahatu wa thaharotu hukum asal setiap benda adalah halal (suci),6 akan tetapi pada hewan babi jelas dilarang dikarenakan ada dalil yang menunjukannya.7
1Wawancara dengan Rosladin Zalukhu selaku tokoh di Desa Sirombu Kecamatan Sirombu pada 26 Februari 2023.
2Wawancara dengan Hena Maulida Maruao yang merupakan masyarakat Desa Lahusa Kecamatan Sirombu, pada 25 Februari 2023; Wawancara dengan Mustika Sarah Harefa yang merupakan masyarakat Desa Sirombu Kecamatan Sirombu pada 26 Februari 2023.
3Lihat: Wikipedia, Sirombu Nias Barat, Diakses pada 03 Maret 2023; Kompas.Com, Kristen Protestan dan Katolik Menjadi Agama Mayoritas Di Kepulauan Nias, Publish: 29 Oktober 2019.
4“Innama Harrama’Alaykumu maytata waddama walahmal ghinziri wama uhilla lighoyrillahi bihi”
sesungguhnya Allah mengharamkan atasmu memakan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah (QS. An-Nahl: 115).
5Lihat: Zakariya al-Anshori, Asnal Mathalib Syarhu Raudhatut Thalib, Juz I(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1422 H), Cet. I, h. 22.
6Muhammad Mustofa, Kaidah-Kaidah Fikih dalam Islam (Yogyakarta: CV Buana, 2016), 26.
7Lihat QS. An-Nahl ayat 115.
Mengenai kasus pemberian hewan babi pada pesta perkawinan yang terjadi di Kecamatan Sirombu Nias Barat hal ini menjadi pembicaraan para tokoh-tokoh agama, tokoh Muhammadiyah di daerah tersebut mengatakan bahwa pemberiaan hewan babi oleh keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim tidak bisa dibenarkan,8 hal ini dikarenakan status dari babi itu sendiri yang termasuk hewan najis bahkan najis besar (najis mughalazhah).9 Sedangkan dari tokoh Nahdlatul Ulama mengatakan bahwasannya pemberian tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat, terlebih lagi keluarga yang beragama Islam (muallaf) dahulu juga beragama non muslim. Oleh karena itu merubah kebiasaan masyarakat sangatlah sulit harus melalui pendekatan dan metode dakwah yang strategis tidak bisa kita langsung terang-terangan mengatakan praktek tersebut dilarang dalam Islam.10 Pandangan tokoh Muhammadiyah dan NU di Sirombu Nias Barat terhadap sebuah keluarga muslim (muallaf) yang masih memberikan hewan babi kepada keluarga yang masih non muslim (Kristiani) dalam adat perkawinan menarik untuk diteliti dikarenakan keberadaan umat Islam yang minoritas di Sirombu Nias Barat, keberadaan organisasi masyarakat dan tokoh-tokoh Islam di sana akan membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah umat Islam minoritas.
Sejumlah penelitian seperti yang ditulis oleh Dina mariana, memiliki hasil bahwa perkawinan Nias memiliki sejumlah tahapan adat-istiadat.11 Penelitian lainnya sebagaimana yang ditulis Suciadi, Yaatulo, Yulia, Esrter menunjukan bahwasannya perkawinan Nias memiliki tradisi mahar (bowo) yang cukup tinggi nilainya.12 Dari
8Wawancara dengan Pak Ahmad Rahim Zega selaku Tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 01 Maret 2023.
9Najis Mughalazah adalah najis berat, disebut dengan najis berat dikarenakan tidak bisa suci begitu saja dengan mencuci dan menghilangkan najis secara fisik. Lihat: Ridwan dan Surianti,”Ragam Najasat dalam Perspektif Teologi Menurut al-Quran,” Jurnal al-Wajid, Vol. 1, No. 2, 2020, h. 164.
10Wawancara dengan Pak Maulana Arif Gea selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 24 Februari 2023.
11Dina Mariana, dkk, “Tahapan Fanika Era-Era Mbowo Pada Upacara Falowa Nias Selatan:
Analisis Wacana Kritis”, Jurnal Unimed, Vol. 4. No. 1, 2017, h. 6.
12Suciyadi Ramdhani dan Risladiba,”Famasulo: Tradisi, Solidaritas dan Kemiskinan Keluarga di Nias”, Umbara: Indonesian Journal of Antrhopology, Vol. 7, No. 1, 2020, h. 40. Yaatulo dan Suhermanto,”Tinjauan Yuridis Mahar (Bowo) dalam Tata Cara Melangsungkan Perkawinan dalam Hukum Adat Nias”, Skripsi Universitas Pakuan, 2018; Yulia Setiwati Geurifa, dkk,
“Reproduksi Bowo Oleh Diaspora Nias Di Kota Padang”, Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol. 9 No. 2, 2022. Ester Sriana Wati, dkk, “Tata Cara Penetapan Mahar Pada
penelitian yang sudah ada sebelumnya banyak yang hanya membahas pada mahar (bowo) dalam perkawinan adat Nias dan tidak menjadi perhatian terhadap persoalan pergeseran pemberian hewan babi dalam perkawinan adat Nias itu sendiri khususnya di Sirombu Nias Barat. Penelitian yang membahas adat perkawinan hewan babi merupakan adat istiadat dalam perkawinan Nias ialah sebagaimana yang di tulis oleh Ratna, Agung, Septi dan Hamdan yang hasil penelitiannya menunjukan bahwasannya pemberian hewan babi dalam perkawinan masuk ke dalam adat-istiadat dalam perkawinan Nias.13 Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pendapat tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Kecamatan Sirombu Nias Barat terhadap persoalan pemberian hewan babi oleh keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarganya yang non muslim, bagaimana praktik tersebut terjadi dan apa tujuan dilakukannya pemberian tersebut serta menganalisisnya dalam hukum Islam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan field research (penelitian lapangan). Penelitian lapangan adalah sebuah penelitian secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi sosial, individu, kelompok, lembaga ataupun sebuah masyarakat.14 Penelitian field research (penelitian lapangan) juga bermakna suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang ada di lapangan.15 Jenis penelitian lapangannya adalah sosiologis empiris yaitu bagaimana keadaan yang sebenarnya yang datanya di dapatkan di lapangan berkenaan dengan pemberian hewan babi oleh keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim (Kristiani). Data primer penelitian ini nantinya berupa wawancara terhadap tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
Perkawinan Suku Nias Di Desa Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar”, Vol. 9, No.
2, 2022.
13Ratna Zega, “Adat perkawinan Nias di Kepulauan Nias”, Jurnal Sociologi Agama, Vol. 14, No.
2, 2019, h. 188: Agung Maulana Gea, “Sosial perkawinan masyarakat di Kepulauan Nias: Adat Istiadat Orang Nias”, Jurnal Antrhopology and Sociology, Vol. 9, No. 1, 2018, h. 210: Septi Handayani Zeluma, “Kebiasaan Masyarakat di Kota Gunung Sitoli: Perkawinan dan Muamalah”, Jurnal Telambana, Vol. 7, No. 4, 2018, h. 44; Hamdan Gulo,”Sosial Budaya Perkawinan Nias”, Jurnal Intisholi Aqliyah, Vol. 11, No. 9, 2019, h. 77.
14Husaini Usman, dkk, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h. 5.
15Suharismi Arikunto, Dasar-Dasar Research (Bandung: Tarsoto, 1995), h. 58.
Kecamatan Sirombu Nias Barat serta perkawinan muslim (muallaf) yang memberikan hewan babi kepada keluarganya yang masih non muslim (Kristiani) dan di dukung dengan sumber sekunder berupa buku, jurnal dan literature pendukung lainnya. Serta penelitian ini nantinya akan dianalisis secara hukum Islam Normatif.
PERGESERAN ADAT PERKAWINAN DI SIROMBU NIAS BARAT 1. Sosial Sirombu Nias Barat
Sirombu merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Nias Barat Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 117,28 Km yang terdiri dari 25 Desa dengan mayoritas agama Kristen pada 22 Desa dan 3 Desa mayoritas muslim.16 Hal ini membuat kehidupan di Kecamatan Sirombu harus menjunjung tinggi yang namanya moderasi beragama dan menghargai nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat itu sendiri.17
Sirombu bukanlah sebuah wilayah perkotaan yang besar sebagaimana Kota Gunung Sitoli di Kepulauan Nias, Sirombu merupakan wilayah yang di warnai berbagai faktor sosial-ekonomi yang melatari terjadinya migrasi ke daerah tersebut. Adanya migrasi masyarakat ke Sirombu tidak membuat Sirombu terpengaruh oleh Agama Islam meskipun sejumlah perdagangan sudah terjadi di sana sebelum Belanda ke Pulau Nias pada tahun 1669 dengan sejumlah pedagang dari Aceh, Tionghoa, Melayu dan Bugis. Jalur perdagangan ini pada akhirnya para pedagang menetap di Sirombu.
Oleh karena itu kata orang Nias keturunan Bugis bahwa “Sirombu” sendiri memiliki makna “Tanjung Pengharapan”, di mana pada saat itu penduduknya membuka lahan pemukiman baru, karena belum ada penduduk yang menetap.18
Dahulu Sirombu merupakan arena perdagangan yang luar biasa dengan sistem barter, bukti jalur perdagangan yang dahulu luar biasa dibuktikan adanya warga keturunan Cina beserta kompleks makam Cina (Sentiong) di Pesisir Sirombu dan tanah ulayat warga keturunan Bugis yang diakui sudah generasi ke-13 yang tinggal di Sirombu. Dengan begitu orang Nias di Sirombu lahir dari bibit pluralisme yang sudah lama berlangsung dan merupakan kelompok etnik yang lahir dari beragam suku. Pada
16Desa yang mayoritas muslim yaitu: Kafo-Kafo, Sinene Eto, Sirombu.
17Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias, Kecamatan Sirombu Dalam Angka 2021 (CV. E. Karya, 2021), h. 3 dan h. 51.
18Suharmiati, dkk, Tradisi Bowo dan Malnutrisi Pada Etnik Nias (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2016), h. 46.
akhirnya hal ini membuat praktik sosial budaya di Sirombu lebih berwarna, hal ini bisa diketahui dari tradisi perkawinan orang Nias beragama Kristen dengan yang beragama Islam. Di antara kedua penganutnya di Sirombu, adat perkawinan mereka memiliki kesamaan, meskipun dibeberapa sisi terdapat perbedaan.19
2. Upacara Adat Perkawinan Nias Barat
Adat perkawinan Nias di awali dengan acara pemilihan jodoh (famaigi niha) yang setelah ditemukan jodohnya baru dilakukan acara berikutnya, acara sebelum perkawinan terdiri dari 6 tahapan, upacara pesta perkawinan terdiri dari 5 tahapan dan upacara setelah perkawinan terdiri dari 2 tahapan. Adapun pemilihan jodoh (famaigi niha) merupakan kebiasaan yang sering terjadi di masyarakat Nias, namun pada akhirya semakin berkembangnya zaman pergerseran kebiasaan masyarakat pada akhirnya berubah. Pemilihan jodoh udah semakin terbuka dan pria ataupun wanita diberikan keleluasan untuk memilih pasangannya.20
Adapun sejumlah tahapan dalam adat perkawinan di Nias barat hal ini akan dijelaskan di bawah ini:
a) Upacara Sebelum Perkawinan
Sebelum melangsungkan sebuah perkawinan masyarakat Nias Barat melakukan (1) mamee li (lamaran), pada acara lamaran ini pihak laki-laki (keluarga laki-laki) tidak boleh langsung melamar kepada orang tua perempuan, dalam hal ini nantinya pihak laki-laki (keluarga laki-laki) kepada pihak keluarga perempuan harus melalui perantara (telangkai). Setelah melakukan mamee li (lamaran) maka selanjutnya adalah: (2) fame’e laeduru (memberikan cincin) atau juga biasa disebut dengan fame’e kola (memberikan kuningan) karena dahulu cincin tersebut terbuat dari kuningan. Tujuan dari fame’e laeduru (memberikan cincin) ialah supaya orang lain tidak mendekati laki- laki ataupun perempuan tersebut, sebagai alat pengikat untuk memperjelas hubungan, serta memperkuat hubungan keluarga laki-laki dan perempuan. (3) famaigi bawi, yaitu pihak perempuan melihat hewan babi perkawinan ke tempat pihak pria, jika pihak perempuan tidak setuju maka babi tersebut harus diganti. Melihat babi ini ialah dengan melihat besar babi, warna rambut babi serta bentuk babinya. (4) jujuran, yaitu
19Suharmiati, dkk, Tradisi Bowo dan Malnutrisi Pada Etnik Nias...h. 46-47.
20Lemsi Suryani Sitorus, dkk, “Procedures For Traditional Wedding Village Community Nias Onowaembo Lahomi West District,” Jurnal Online Mahasiswa (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), Vol. 2, No. 2, 2015, h. 5.
penentuan jumlah maskawin yang nantinya akan digunakan di hari perkawinan (fame bowo). (5) falawu bawi (mengantarkan babi perkawinan) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, (6) famotu ono nihalo,21 yaitu mengajak nangis pengantin perempuan yang merupakan sebuah pemberian nasehat berupa pesan kepada mempelai perempuan. hal ini nantinya memiliki tujuan agar si perempuan menjadi seorang istri dan menantu yang baik. Famotu ono nihalo dilakukan dengan syair-syair dalam bahasa Nias yang memiliki makna yang dalam dan kesastraan yang tinggi.
Prosesi ini dilakukan dengan alasan bahwa keluarga perempuan sudah melakukan yang terbaik kepada si perempuan dihadapan calon pengantin pria, agar si perempuan menjadi istri dan menantu yang baik. Prosesi ini menandakan bahwasannya perpisahan begitu menyakitkan berbeda halnya jika sudah menjadi seorang istri.22
Setelah proses famotu ono nihalo, maka acara selanjutnya mempelai perempuan dibuat menangis, yang mana maksud dari tujuan ini adalah untuk menghayati lebih dalam pesan-pesan ibu yang dituakan tersebut. Rangkaian kegiatan setelah itu adalah fanike era mbowo yang berarti “penyingkapan inti budi atau penyingkapan inti kewajiban” hal ini nantinya disampaikan oleh orang-orang tua yang laki-laki.23
b) Upacara Pelaksanaan Perkawinan
Pada upacara pelaksaan perkawinan ini dilakukan (1) Sakramen perkawinan, yaitu merupakan acara pemberkatan dan keduanya mengatakan janji suci dan bertukar cincin perkawinan. Biasanya pemberkatan perkawinan ini dilaksanakan di Greja. (2) menyambut pihak paman, pihak paman dalam upacara pelaksanaan perkawinan mendapatkan dua ekor babi hidup berukuran 8 alisi (alisi merupakan ukuran berat suatu babi dalam masyarakat Nias), jika nenek dan kakek masih hidup maka masing- masing akan diberikan 2 babi berukuran 4 alisi. Istri paman mendapatkan 1 babi. (3) menyambut pihak laki-laki, keluarga perempuan akan menyambut keluarga pihak laki- laki dengan mengucapkan salam dan menyuguhkan siri. Setelah itu pengantin pria
21Lemsi Suryani Sitorus, dkk, “Procedures For Traditional Wedding Village Community Nias Onowaembo Lahomi West District,” ...h. 6-7. Adib Asa Telaumbanua,Komunikasi Budaya Pernikahan Adat Nias (Studi Etnografi Pernikahan Adat Nias Di Pekanbaru), Skripsi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau Pekanbaru, 2020, h. 60.
22Lantasana Harefa, Nasihat Perkawinan Adat Nias (Medan: CV Mutiara, 2009), Cet. I, h. 36.
23Surya Telaumbanua, Sosial Budaya Masyarakat Nias Kepulauan (Jakarta: CV Anugerah, 2014), Cet. II, h. 65.
bersimpuh memberikan bola nafo (tempat sirih yang berisi sirih, gambir, kapur, pinang, tembakau dan rokok), kepada mertua, paman perempuan dan orang-orang yang dihormati lainnya. (4) mengingatkan mas kawin, dalam hal ini nantinya akan dihitung maskawin yang sudah dilunasi dan maskawin yang belum dilunasi.
Perhitungan maskawin menggunakan pucuk daun kelapa muda, jika sudah terhitung nantinya pucuk daun kelapa muda diletakkan oleh ayah perempuan ke pundak pengantin laki-laki sambil menasehati menantunya. (5) famasao, ialah mengantar pengantin perempuan yang dilakukan 1 atau 2 hari setelah acara resepsi perkawinan.
Nantinya jika pengantin perempuan sudah mendapatkan izin orang tuanya, pamannya atau keluarga besarnya maka pengantin perempuanduduk dikursi dan ditandu oleh 4 orang pria kerabat mempelai wanita dua barisan dan dan di juga dibarisan belakang.24
c) Upacara Setelah Perkawinan
Setelah perkawinan maka tahapan yang dilalui25 (1) memberi makan pengantin, nantinya setelah perkawinan. Pihak keluarga perempuan mendatangi tempat pengantin laki-laki dan perempuan tinggal untuk menyuapi kedua pengantin tersebut. (2) famuli mukha, yaitu adalah pengembalian baju pengantin upacara mengembalikan barang atau pakaian yang dipakai pada waktu acara pernikahan Pihak laki-laki juga membawa tiga buah sou-sou atau tampi yang sudah diisi daging satu ekor babi yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu 1 potongan besar dan 2 potongan kecil yang besar akan diberikan kepada so ono atau orang tua perempuan yang kecil untuk istri saudara laki- laki bapak pihak perempuan dan yang satu lagi untuk masyarakat setempat atau banua juga tiga buah tempat sirih atau bola nafo yang akan diberi kepada kepada so ono atau orang tua perempuan, istri saudara laki-laki bapak pihak pengantin perempuan dan yang satu lagi untuk masyarakat setempat atau banua.26
3. Pergeseran Adat Perkawinan Nias di Sirombu
Adat perkawinan Nias di Sirombu sangat menghormati keberadaan paman, hal ini bisa diketahui dari posisi paman yang dalam upacara pelaksanaan perkawinan Nias
24Lemsi Suryani Sitorus, dkk, “Procedures For Traditional Wedding Village Community Nias Onowaembo Lahomi West District.” ...h. 7-8. Adib Asa Telaumbanua,Komunikasi Budaya Pernikahan Adat Nias (Studi Etnografi Pernikahan Adat Nias Di Pekanbaru),...h. 71.
25Adib Asa Telaumbanua,Komunikasi Budaya Pernikahan Adat Nias (Studi Etnografi Pernikahan Adat Nias Di Pekanbaru),...h. 85.
26Lemsi Suryani Sitorus, dkk, “Procedures For Traditional Wedding Village Community Nias Onowaembo Lahomi West District.”...h. 9.
sangat begitu dihormati. Paman (sibaya: saudara laki-laki si ibu gadis) nantinya sebelum perkawinan dilangsungkan maka pihak perempuan melaksanakan fogauni uwu (mohon doa restu paman untuk melaksanakan pernikahan mendatang).27 Selain daripada itu juga keberadaan paman harus diberitahukan dalam perkawinan adat nias yang biasa disebut dengan famaola ba nuwu. Keberadaan paman harus siap menghadiri perkawinan keponakannya.28 Posisi paman juga bisa sebagai perantara (telangkai) di mana sebuah keluarga laki-laki yang hendak menikah dengan keluarga perempuan nias, maka keluarga laki-laki tidak perlu menjumpai orang tua pihak perempuan, hal ini bisa dijumpai paman si perempuan.29 Oleh karenanya jika ada sebuah keluarga Nias yang melakukan sebuah perkawinan, adat istiadat masyarakat Nias selalu memberikan hewan babi sebagai bentuk penghormatan kepada saudara- saudara pria (paman) dan juga istri paman serta nenek dan kakek jika masih hidup.
Hal ini menjadi masalah ketika salah satu pihak keluarga yang beragama Kristen ada yang masuk dalam agama Islam (muallaf), nantinya sebuah keluarga yang muallaf (masuk Islam) jika melangsungkan perkawinan maka keluarga muslim (muallaf) tetap memberikan hewan babi kepada keluarga yang non muslim (Krsitiani).
Sejumlah kasus ditemukan mengenai perkawinan keluarga muslim (muallaf) memberi hewan babi kepada keluarga yang masih non muslim (Kristiani). Kasus pertama, bahwasannya ada sebuah perkawinan keluarga muslim di mana ibunya merupakan seorang muallaf yang sebelum beragama Islam ialah beragama Kristiani.
Ketika dirinya (mempelai wanita) melangsungkan sebuah perkawinan di Desa Lahusa Kecamatan Sirombu Nias Barat pada tahun 2020 pihak paman (adik atau abang) ibunya yang masih beragama non muslim (Kristiani) di beri 2 ekor babi sebagai bagian dari adat perkawinan adat Nias sebagaimana biasanya. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian adat perkawinan Nias dan juga sebagai bentuk persaudaraan kekerabatan yang masih kuat di Sirombu Nias Barat.30
27Zeyni Gulo, Sosial Perkawinan Di Kepulauan Nias (Teori dan Praktek) (Bandung: Melvi Press, 2014),Cet. II, h. 45.
28Ester Sriana, “Tata Cara Penetapan Mahar Pada Perkawinan Suku Nias Di Desa Petapahan Kecamatan Tapung, Jom Fisip, Vol. 9, 2022, h. 6.
29Zaraan Zaluchu, Masyarakat NiasKepulauan (Adat, Sosial, Budaya dan Hukum) (Medan:
Mestika Press, 2014), Cet. II, h. 37.
30Wawancara dengan Kak Hena Maulida Maruao yang merupakan masyarakat Desa Lahusa Kecamatan Sirombu, pada 25 Februari 2023.
Kasus kedua, ialah sebagaimana yang terjadi di Desa Sirombu Kecamatan Sirombu Nias Barat. Ada sebuah keluarga yang melangsungkan sebuah perkawinan di mana keluarga tersebut sudah beragama Islam pada tahun 2021. Ketika dia melangsungkan perkawinan keluarganya memberikan hewan babi kepada keluarga ayahnya yang masih beragama non muslim. hal ini dilakukan oleh keluarga muslim (muallaf) tersebut di karenakan ayahnya berposisi sebagai adik yang memiliki abangan yang masih beragama non muslim. Hal ini dilakukan oleh ayahnya untuk menghormati saudara-saudara kandungnya dan menjalin kekerabatan.31
Kasus ketiga, ialah pada sebuah perkawinan keluarga muslim di Desa Tetehosi Kecamatan Sirombu Nias Barat pada tahun 2018. Bahwasannya dahulu ketika sebuah keluarga muslim (muallaf) melangsungkan perkawinan maka pihaknya memberikan hadiah hewan babi kepada keluarga yang masih non muslim (Kristiani). Pemberian hewan babi oleh keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan ialah sebagai bentuk adat istiadat perkawinan Nias, selain daripada itu bahwasannya pemberian hewan babi melambangkan persaudaraan dan penghormatan kepada sistem kekerabatan Nias yang masih kuat di Desa Tetehosi Kecamatan Sirombu Nias Barat.
Pihak keluarga yang muslim (muallaf) dengan memberikan hewan babi kepada keluarga non muslim hal ini tidak menjadi permasalahan yang berarti bagi mereka, mereka hanya memberi dikarenakan adat. Selepas pemberian tersebut, hewan babinya mau dipergunakan untuk apa itu terserah keluarga non muslimnya.32
PANDANGAN TOKOH MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ADAT PERKAWINAN DI KECAMATAN SIROMBU NIAS BARAT
Persoalan pemberian hewan babi oleh keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga mereka yang masih non muslim (Kristiani), hal ini memiliki sejumlah repons (pandangan) oleh tokoh-tokoh agama Sirombu Nias Barat. Oleh karenanya di bawah ini akan dijelaskan pandangan tokoh- tokoh Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama:
31Wawancara dengan Mustika Sarah Harefa yang merupakan masyarakat Desa Sirombu Kecamatan Sirombu pada 26 Februari 2023.
32Wawancara dengan Zainal Abidin Mendrofa yang merupakan masyarakat Desa Tetehosi Kecamatan Sirombu, pada 03 Maret 2023.
Pandangan Tokoh Muhammadiyah Sirombu Nias Barat
Pemberiaan hewan babi oleh keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga yang masih non muslim (Kristiani) tidak bisa dibenarkan. Hal ini dikarenakan keluarga muslim sudah tidak beragama non muslim (Kristen) dan sudah muallaf (masuk Islam). Oleh karenanya hewan babi dalam Islam itu dilarang mempergunakannya dan juga termasuk ke dalam najis berat (mughallazah).
Pelarangan pemberian hewan babi perkawinan dari keluarga muslim (muallaf) kepada pihak keluarga yang masih Kristiani ialah untuk menjaga akidah Islamiyah. Hal ini dikarenakan sebuah dalil “al-halalu bayyin wal haramu bayyin” halal itu jelas dan haram itu jelas. “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Aallah mengharamkan baginya surga.” (QS. Al-Maidah: 72), Ayat al-Quran juga sudah menjelaskan berkenaan dengan haramnya babi. “Sesungguhnya dia mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173).33
Hal yang senada juga disebutkan bahwasannya pemberian hewan babi oleh keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga Kristiani sebaiknya haruslah ditolak secara nyata. Hal ini dikarenakan praktek tersebut jangan sampai terus-menerus dilakukan dan pada akhirnya itu seolah-olah menjadi kebiasaan (adat) yang memang dibenarkan. Di sisi lainnya pemberian hewan babi tersebut di dalam Islam sebagai suatu kegiatan sosial budaya ataupun adat menjadi permasalahan. Karena ada kaidah “al Ashlu fi al muamalah al ibahah, illa yadulla dalilun ‘ala tahrim” pada asalnya dalam muamalah itu boleh hukumnya kecuali ada dalil yang melarang. Pada konteks ini keharaman hewan babi jelas hukumnya dijelaskan di dalam al-Quran.34
Pendapat lainnya mengemukakan bahwasanya sosial masyarakat Sirombu Nias Barat yang mayoritas beragama Kristen (non muslim) hal ini membuat kebiasaan (adat) perkawinan yang memberikan hewan babi kepada pihak keluarga paman, ayah dan kakek. Oleh karenanya meskipun ada keluarga yang sudah muallaf (masuk Islam) maka dalam hal ini tetap dilakukan sebagai bentuk melestarikan adat istiadat, akan
33Wawancara dengan Pak Ahmad Rahim Zega selaku Tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 01 Maret 2023.
34Wawancara dengan Bapak Sidik Zafran yang merupakan tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 15 Maret 2023.
tetapi jika ini diberlakukan juga kepada keluarga yang sudah masuk Islam maka ini adalah adat yang tidak dibenarkan secara Islam. Agama Islam mempunyai prinsip, bahwa “al-adatu muhakkamah” adat itu bisa jadi hukum, akan tetapi adat budaya yang memberikan hewan babi dari keluarga muslim ketika melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim (Kristiani) maka dalam hal ini tidak bisa dibenarkan.35 Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama Sirombu Nias Barat
Pemberian hewan babi dari keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim (Kristiani) hal tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat, terlebih lagi sebelumnya keluarga yang beragama Islam (muallaf) yang dahulu juga beragama non muslim (Kristiani). Oleh karena itu merubah kebiasaan masyarakat sangatlah sulit harus melalui pendekatan dan metode dakwah yang strategis tidak bisa kita langsung terang-terangan mengatakan praktek tersebut dilarang dalam Islam. Harus ada upaya pendekatan yang dilakukan untuk bisa sampai kepada penjabaran hukum Islam melihat fenomena tersebut. Ada pendekatan hukum mengenai tindakan dalam merubah sosial masyarakat, yaitu “man ra’a minkum munkaran falyughyyirhu biyadihi, failam yastathi’ falisanihi, fa’illam yastathi’ fabiqolbihi, wa dzalika ad’aful iman” (barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya itulah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim).36
Dari pendekatan tersebut ada 3 tingkatan dalam melakukan perubahan hukum dalam sosial masyarakat, yaitu adalah merubah dengan tangan, merubah dengan lisan, dan merubah dengan hati. Maka melihat fenomena masyarakat yang ada di Sirombu Nias Barat terhadap pemberian hewan babi dari keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim sebagaimana sudah menjadi tradisi tersebut maka dalam hal ini jangan langsung menghukumi secara mutlak, harus melalui 3 pendekatan tersebut. Harus ada merubah dengan tangan, yaitu maksudnya ialah kalau kita memiliki kekuasaan coba perubahan tersebut dirubah melalui pemerintahan setempat ataupun ketua adat setempat ataupun pendekatan kekuasaan, jika hal tersebut tidak bisa maka lakukanlah dengan perkataan yang ma’ruf (baik)
35Wawanacara dengan Bapak Asrin Zalukhu yang merupakan tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 12 Maret 2023.
36Wawancara dengan Maulana Arif Gea selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 24 Februari 2023.
sampaikan baik-baik bagaimana hal tersebut tidak boleh di lakukan, sebaiknya ada pergantian hewan lain seperti merubah dari hewan babi kepada hewan yang lebih halal seperti kambing; sapi, dan lain sebagainya. Jika hal tersebut tidak bisa juga maka diamlah merupakan hal yang baik. Karena sudah melakukan pendekatan dalam melakukan upaya pencegahan amar ma’ruf nahi munkar. Sejumlah dalil ada yang memang memerintahkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu: “dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali-Imran:
104). Tetapi di sisi lain ada ayat yang memberikan keringanan, yaitu “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatannya.” (QS. Al- Baqarah: 286).37
Pendapat lainnya menyatakan bahwasannya pemberian hewan babi dari keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim, maka harus ada perubahan sosial budaya yang dilakukan, yaitu adalah tetap memberikan hadiah kepada keluarga non muslim (Kristiani), akan tetapi pemberiannya dirubah sesuai kesepakatan seperti merubah dari pemberian hewan babi, dirubah menjadi hewan sapi, kambing ataupun kerbau yang merupakan hewan halal dalam agama Islam.38 Oleh karenanya harus ada pendekatan yang dilakukan, serta tidak merta bisa merubah secara totalitas.
Senada dengan hal tersebut, tokoh Nahdlatul Ulama Sirombu Nias Barat yang lainnya mengatakan bahwasannya diperlukan yang namanya kemoderatan dalam menyelesaikan masalah pemberian hewan babi dari keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarganya yang non muslim. Berkenaan dengan hukumnya bahwasannya pemberian hewan babi kepada keluarga non muslim (Kristiani) hal ini ada yang namanya “rukhsah” (keringanan), dimana keringanan hukum dalam Islam yaitu dikarenakan adanya uzur (halangan) dan masyaqqah (kesulitan) yang dihadapi. Bahwasannya konteks pemberian hewan babi dari keluarga muslim (muallaf) kepada keluarga non muslim maka hal ini berlaku yang namanya
37Wawancara dengan Maulana Arif Gea selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 24 Februari 2023.
38Wawancara dengan Bapak Kaloko Hasan selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 02 Maret 2023.
“rukhsah” (keringanan), alasannya yaitu adalah: (1) pemahaman keluarga muslim yang muallaf (masuk Islam) termasuk kategori pemahaman yang rendah dan belum memiliki keluasan pemahaman agama yang mendalam, (2) kebiasaan masyarakat yang tidak mudah dirubah dan perlu adanya pendekatan yang dilakukan, (3) adanya kesulitan (masyaqqah) yaitu dimana keberadaan pemahaman hukum Islam yang tidak begitu baik di daerah Sirombu Nias Barat dan lain sebagainya.39
Analisis Terkait Pandangan Tokoh Muhammadiyah dan NU Nias Barat
Pandangan tokoh-tokoh Muhammadiyah Nias Barat terhadap masih adanya praktik pemberian hewan babi oleh keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarganya yang masih non muslim (Kristiani) mereka memiliki corak pandangan yang normatif. Hal ini dikembalikan kepada keharaman babi yang statusnya najis berat (mughallazah). Di dalam al-Quran dijelaskan pada surah al- Baqarah ayat 173 terdapat kalimat “wad dama wa lahmal khinzir,” yang berarti Allah mengharamkan darah dan daging babi.
Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan Allah mengharamkan darah dan seluruh bagian babi (bukan hanya daging saja), dan pada akhir ayat “innallaha ghafurur rhahim” bahwasannya Allah mengampuni orang-orang yang memakan makanan yang haram dalam keadaan terpaksa dan ia maha pengasih karena memperbolehkan hal tersebut untuk sekedar kebutuhan.40 Sedangkan Imam al-Mawardi menjelaskan ada dua pendapat dalam memahami “wa lahmal khinzir” (dan daging babi), yaitu: (1) keharamannya hanya sebatas daging babi, bukan yang lainnya sesuai bunyi nash. Hal ini ialah pendapat Dawud az-Zahiri dan Ali. (2) keharaman babi mencakup semua organ babi. Sedangkan nash yang hanya menyebutkan sebatas dagingnya itu untuk mengingatkan keseluruhan organ bagiannya, karena sebagian besar organ tubuh babi adalah dagingnya.41
Ibn Hazm menjelaskan tidak halal memakan sesuatu apapun dari babi, baik daging, lemak, urat, tulang rawan, usus, otak, tulang, kepala, organ tubuh lainnya, susu dan rambutnya baik jantan dan betina, kecil maupun besar. Begitu juga tidak
39Wawancara dengan Bapak Muhammad Habibi Gulo selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 05 Maret 2023.
40Muhammad Nawawi al-Jawi, at-Tafsirul Munir Li Ma’limt Tanzil, Juz I (AL-Haramaian), h. 39.
41Al-Mawardi. An-Nukat wal ‘Uyun, Juz I(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), h. 222.
halal mengambil manfaat rambut babi baik untuk manik-manik ataupun lainnya.42 Serta Muhammad Ali Ash-Shabuni memberikan penjelasan terhadap hikmah diharamkannya daging babi. Pada hal ini hewan babi asupan makanannya diperoleh dari kotoran dan najis, serta ilmu kedokteran telah mengungkapkan bahwasannya daging babi mengandung zat-zat yang sulit terurai.43
Hewan babi sendiri masuk dalam kategori najis mughallazah (najis berat), hal ini sama seperti najisnya anjing. Sedangkan posisi najis dalam fikih yaitu adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikannya tidak sah sholat.44 Cara membersihkan najis mughallazah (najis berat) ini dalam Islam ialah membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali di mana salah satu campurannya dengan tanah (debu).45 Oleh karenanya hewan babi sendiri statusnya sudah masuk ke dalam hewan yang dilarang di dalam agama Islam.
Adapun pemberian hewan babi dari keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim merupakan adat-istiadat (kebiasaan) Sirombu Nias Barat hal ini tidak bisa dibenarkan, karena ada sebuah kaidah “al ashlu fil muamalah al-ibahah, illa yadulla dalilun ‘ala tahrim” pada asalnya dalam bermuamalah itu hukumnya boleh kecuali ada dalil yang melarang. Sedangkan pemberian dalam Islam hukumnya boleh asalkan tidak bertentangan, akan tetapi pemberian hewan babi hal ini termasuk hewan yang dilarang sebagaimana yang sudah dijelaskan di dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 173.46
Sebaiknya adat-istiadat tersebut dalam pemberian hewan babi dari keluarga muslim (muallaf) yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga non muslim dihentikan, kecuali sesama keluarga non muslim. Hal ini dikarenakan ada prinsip- prinsip dalam hukum Islam itu sendiri yang sudah menjelaskannya tentang pengharaman hewan babi. Harus ada berbagai upaya pendekatan yang dilakukan agar adat istiadat tersebut sesuai dengan konteks dan teksnya. Sedangkan pandangan tokoh-tokoh NU Sirombu Nias Barat sangat moderat. Hal ini dikarenakan dilihat dari
42Muhammad Ibn Hazm, al-Muhalla, Juz VII(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 388.
43Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min al-Quran, Juz I (Beirut:
Muassasah Manahilul Irfan, 1400 H),h. 166.
44Muhammad Nawawi Jawi, Kasyifatus Saja (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), h.72.
45Aefan Maulana, Najis-Najis dalam Islam dan Cara Membersihkannya (Jakarta: Prenada Press, 2015), h. 77.
46Lihat: QS. Al-Baqarah: 173.
berbagai aspek sosial masyarakat. Di mana masyarakat yang memberikan hewan babi merupakan sebuah keluarga yang muallaf (baru memeluk Islam), itu artinya pemahaman dan ilmu pengetahuan mereka berkenaan dengan Islam masih terbatas.
Oleh karenanya praktik yang mereka masih diberikan rukhsah (keringanan). Di dalam Islam sendiri ada yang namanya rukhsah (keringanan), hal ini sebagaimana dijelaskan
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
(QS. Al-Baqarah: 185).
Selain daripada itu juga terhadap praktik pemberian hewan babi dari keluarga muslim (muallaf) kepada keluarga non muslim (Kristiani) yang terjadi di Sirombu Nias Barat harus dirubah secara perlahan. Tidak bisa terus terangan memvonis sesuatu, harus ada metode dakwah. Hal inilah yang termasuk ke dalam pandangan tokoh NU Sirombu Nias Barat yang moderat di mana ketika melihat kemungkaran maka dirubah dengan perbuatan (kekuasaan) jika tidak bisa maka di rubah dengan lisan, dan jika tidak bisa juga maka diam adalah selemah-lemahnya iman. Pandangan moderat NU inilah yang sampai hari ini NU banyak diterima oleh masyarakat di Indonesia, dikarenakan dalam dakwahnya sangat mengedepankan moderat (tawassuth), toleran (tasamuhi) dan keseimbangan (tawazzun).
KESIMPULAN
Pandangan tokoh Muhammadiyah Sirombu berkenaan pemberian hewan babi dari keluarga muslim yang melangsungkan perkawinan kepada keluarga mereka yang non muslim (Kristiani) tidak di benarkan dalam Islam dan seharusnya ada penolakan secara nyata serta merupakan adat yang diharamkan. Sedangkan tokoh Nahdlatul Ulama Sirombu Nias Barat berpandangan bahwa harus ada upaya pendekatan dalam melakukan perubahan itu yaitu ialah merubah dengan tangan, merubah dengan lisan dan merubah dengan hati (berdiam diri), serta pemberian hewan babi oleh keluarga muslim mendapatkan keringanan (rukshah) karena belum memiliki pemahaman agama Islam yang mendalam, di sisi lain adanya masyaqqah (kesulitan) yang tidak bisa dilakukan perubahan dengan mudah dan cepat. Serta status hewan babi itu sendiri yang termasuk ke dalam najis mughallazhah (najis berat) dan termasuk hewan yang dilarang dalam agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshori, Zakaria. T.t. Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj at-Thalab, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Anshori, Zakariya al-Anshori. 1422 H. Asnal Mathalib Syarhu Raudhatut Thalib, Juz I. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah. Cet. I.
Al-Jawi, Muhammad Nawawi. 2008. Kasyifatus Saja. Jakarta: Darul Kutub Islamiyah.
__________.at-Tafsirul Munir Li Ma’limt Tanzil, Juz I. Al-Haramaian.
Al-Mawardi. An-Nukat wal ‘Uyun, Juz I. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah.
Arikunto, Suharismi. 1995. Dasar-Dasar Research. Bandung: Tarsoto.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1400 H. Rawa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Min al- Quran, Juz I. Beirut: Muassasah Manahilul Irfan.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias. 2021. Kecamatan Sirombu Dalam Angka 2021.
CV. E. Karya.
Gea, Agung Maulana. 2018. “Sosial perkawinan masyarakat di Kepulauan Nias: Adat Istiadat Orang Nias”, Jurnal Antrhopology and Sociology, 9 (1), 210.
Geurifa, Yulia Setiwati, dkk. 2022. “Reproduksi Bowo Oleh Diaspora Nias Di Kota Padang”, Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 9 (2).
Gulo, Hamdan. 2019. ”Sosial Budaya Perkawinan Nias”, Jurnal Intisholi Aqliyah, 11 (9), 77.
Gulo, Zeyni. 2014. Sosial Perkawinan Di Kepulauan Nias (Teori dan Praktek). Bandung:
Melvi Press. Cet. II.
Harefa, Lantasana. 2009. Nasihat Perkawinan Adat Nias. Medan: CV Mutiara, 2009), Cet. I.
Ibn Hazm, Muhammad Ibn. T.t. al-Muhalla, Juz VII. Beirut: Dar al-Fikr.
Maulana, Aefan. 2015. Najis-Najis dalam Islam dan Cara Membersihkannya. Jakarta:
Prenada Press.
Mustofa, Muhammad. 2016. Kaidah-Kaidah Fikih dalam Islam. Yogyakarta: CV Buana.
Cet. II.
Ridwan dan Surianti. 2020. ”Ragam Najasat dalam Perspektif Teologi Menurut al- Quran,” Jurnal al-Wajid, 1 (2), 164.
Risladiba, Suciyadi Ramdhani. 2020. ”Famasulo: Tradisi, Solidaritas dan Kemiskinan Keluarga di Nias”, Umbara: Indonesian Journal of Antrhopology, 7 (1), 40.
Sitorus, Lemsi Suryani, dkk. 2015. “Procedures For Traditional Wedding Village Community Nias Onowaembo Lahomi West District,” Jurnal Online Mahasiswa (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), 2 (2), 5.
Sriana, Ester. 2022. “Tata Cara Penetapan Mahar Pada Perkawinan Suku Nias Di Desa Petapahan Kecamatan Tapung, Jom Fisip, 9, 6.
Suharmiati, dkk. 2016. Tradisi Bowo dan Malnutrisi Pada Etnik Nias. Yogyakarta: PT.
Kanisius.
Suhermanto, Yaatulo. 2018. ,”Tinjauan Yuridis Mahar (Bowo) dalam Tata Cara Melangsungkan Perkawinan dalam Hukum Adat Nias”, Skripsi Universitas Pakuan.
Syuja, Abu. 2003. Matan al-Ghayah wa Taqrib. Surabaya: al-Hidayah.
Telaumbanua, Adib Asa. 2020. Komunikasi Budaya Pernikahan Adat Nias (Studi Etnografi Pernikahan Adat Nias Di Pekanbaru), Skripsi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau Pekanbaru.
Telaumbanua, Surya. 2014. Sosial Budaya Masyarakat Nias Kepulauan. Jakarta: CV Anugerah. Cet. II.
Usman, Husaini, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wati, Ester Sriana, dkk, “Tata Cara Penetapan Mahar Pada Perkawinan Suku Nias Di Desa Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar”, 9 (2) 2022.
Wawanacara dengan Bapak Asrin Zalukhu yang merupakan tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 12 Maret 2023.
Wawancara dengan Bapak Kaloko Hasan selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 02 Maret 2023.
Wawancara dengan Bapak Muhammad Habibi Gulo selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 05 Maret 2023.
Wawancara dengan Bapak Sidik Zafran yang merupakan tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 15 Maret 2023.
Wawancara dengan Hena Maulida Maruao yang merupakan masyarakat Desa Lahusa Kecamatan Sirombu, pada 25 Februari 2023.
Wawancara dengan Kak Hena Maulida Maruao yang merupakan masyarakat Desa Lahusa Kecamatan Sirombu, pada 25 Februari 2023.
Wawancara dengan Maulana Arif Gea selaku tokoh Nahdlatul Ulama Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 24 Februari 2023.
Wawancara dengan Mustika Sarah Harefa yang merupakan masyarakat Desa Sirombu Kecamatan Sirombu pada 26 Februari 2023.
Wawancara dengan Pak Ahmad Rahim Zega selaku Tokoh Muhammadiyah Kecamatan Sirombu Nias Barat, pada 01 Maret 2023.
Wawancara dengan Rosladin Zalukhu selaku tokoh di Desa Sirombu Kecamatan Sirombu pada 26 Februari 2023.
Wawancara dengan Zainal Abidin Mendrofa yang merupakan masyarakat Desa Tetehosi Kecamatan Sirombu, pada 03 Maret 2023.
Wikipedia, Sirombu Nias Barat, Diakses pada 03 Maret 2023; Kompas.Com, Kristen Protestan dan Katolik Menjadi Agama Mayoritas Di Kepulauan Nias, Publish:
29 Oktober 2019.
Zaluchu, Zaraan. 2014. Masyarakat NiasKepulauan (Adat, Sosial, Budaya dan Hukum).
Medan: Mestika Press. Cet. II.
Zega, Ratna. 2019. “Adat perkawinan Nias di Kepulauan Nias”, Jurnal Sociologi Agama, 14 (2), 188.
Zeluma, Septi Handayani. 2018. “Kebiasaan Masyarakat di Kota Gunung Sitoli:
Perkawinan dan Muamalah”, Jurnal Telambana, 7 (4), 44.