• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDUAN ANESTESI FIX AKRE 2023[1]

N/A
N/A
ignatius

Academic year: 2023

Membagikan "PANDUAN ANESTESI FIX AKRE 2023[1]"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I LATAR BELAKANG A. Definisi

Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik untuk menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup yang menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal. Pemberian sedasi sering dilakukan untuk memberikan kenyamanan kepada pasien sekaligus membantu kelancaran prosedur yang dilakukan, terutama pada pasien bayi, anak yang kurang kooperatif atau dengan retardasi mental.

Sedasi berbeda dengan tidur, namun secara klinis dapat digambarkan sebagai tidur ringan. Dalam beberapa kepustakaan dibedakan antara istilah tidur, hipnosis, dan tidak sadar.

Perbedaan tersebut berimplikasi nanti pada praktiknya sehingga timbul istilah “sedasi prosedural”, “monitored anesthesia care”, dan “sedasi & analgesia”.

Tabel 1. Perbedaan tidur dan sedasi

Tidur Sedasi

Ditimbulkan secara endogen Diinduksi oleh obat/ agen anestesi

Ada kontrol homeostatik dan sikardian Tidak ada kontrol homeostatik dan sikardian Onset dan durasi bergantung pada stress,

obat-obatan, lingkungan, nyeri dan patologi

Onset dan durasi bergantung pada dosis obat anestesi yang di berikan

Batas kedalaman tidur bervariasi (NREM vs REM)

Batas kesadaran ditentukan Berperan dalam proses belajar dan

konsolidasi memori

Amnesia dan penurunan kognitif Tidak ada efek samping PONV cukup sering ditemukan Laju metabolisme menurun selama tidur

NREM dan meningkat selama tidur REM

Laju metabolisme menurun

Sedasi minimal/ ringan adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.

Sedasi sedang/ moderat adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah di ikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.

Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu dan pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.

Tabel 2. Tingkatan anestesi - sedasi

Sedasi ringan/ Sedasi sedang Sedasi dalam Anestesi umum

(2)

minimal

Respon Respon normal

terhadap stimulus verbal

Respon terhadap sentuhan

Respon terhadap stimulus berulang/ nyeri

Tidak ada,

meskipun dengan stimulus nyeri

Jalan napas Tidak terpengaruh Tidak perlu intervensi

Mungkin perlu intervensi

Memerlukan intervensi Ventilasi spontan Tidak terpengaruh Adekuat Dapat tidak

adekuat

Sering tidak adekuat

Fungsi

kardiovaskular

Tidak terpengaruh Adekuat Biasanya dapat di pertahankan dengan baik

Dapat terganggu

B. KEUNTUNGAN DAN RISIKO

1. Keuntungan yang didapat dari pemberian sedasi/ analgesik :

a. Pasien dapat menoleransi prosedur yang tidak menyenangkan dengan mengurangi kecemasan, ketidaknyamanan atau nyeri yang mereka rasakan.

b. Pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif : sedasi/ anagesik dapat mempercepat dan memperlancar pelaksanaan prosedur yang memerlukan pasien untuk

diam/ tidak bergerak.

2. Resiko pemberian sedasi: berpotensi menimbulkan depresi kardiorespirasi, sehingga petugas yang memberikan sedasi harus dapat segera mengenali dan menanganinya untuk mencegah kejadian kerusakan otak akibat hipoksia, henti jantung atau kematian.

3. Pemberian sedasi/ analgesik yang tidak adekuat:

a. Menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.

b. Meningkatkan risiko cedera karena pasien menjadi kurang/ tidak kooperatif.

c. Timbulnya efek fisiologis atau psikologis akibat respons terhadap stress yang dialami pasien.

BAB II

RUANG LINGKUP PELAYANAN A. GAMBARAN UMUM PEMBERIAN SEDASI

(3)

1. Kebijakan dan prosedur Pemberian sedasi moderat dan dalam pada pasien harus dilakukan seragam dan sama di semua tempat di rumah sakit, termasuk unit di luar kamar operasi,yang meliputi :

a. Area pelayanan tindakan sedasi antara lain: ruang operasi, rawat sehari (ODC), poliklinik gigi, radiologi, IGD, HCU.

b. Kualifikasi atau ketrampilan khusus para staf yang terlibat dalam proses sedasi.

c. Persetujuan medis (informed consent) untuk prosedur maupun sedasinya.

d. Penyusunan rencana termasuk identifikasi perbedaan antara populasi anak, dewasa dan geriatri atau pertimbangan khusus lainnya;

e. Peralatan medis dan bahan yang digunakan sesuai dengan populasi yang diberikan sedasi moderat dan dalam.

f. Peralatan dan perbekalan gawat darurat tersedia ditempat dilakukan sedasi moderat dan dalam serta dipergunakan sesuai jenis sedasi, usia, dan kondisi pasien.

g. Kebutuhan monitoring pasien.

h. Dokumentasi yang diperlukan tim untuk dapat bekerja dan berkomunikasi secara efektif.

2. Layanan sedasi diberikan pada pasien padiatrik dan pasien dewasa pada kasus-kasus : endoskopi, kurretage, radiodiagnostik, radioterapi, colonoskopi, bronkhoskopi jika diperlukan dan tindakan kedokteran lain yang memerlukan tindakan sedasi.

3. Pelaksana pemberi layanan sedasi moderat dan dalam, yaitu :Dokter spesialis anestesi, penata anestesi.

4. Dokter spesialis anestesiologi yang bertanggung jawab memberikan sedasi harus kompeten dan berwenang dalam hal :

a. Teknik dan berbagai macam cara sedasi;

b. Farmakologi obat sedasi dan penggunaaan zat reversal (antidot);

c. Persyaratan pemantauan pasien; dan d. Bertindak jika ada komplikasi.

5. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang bertanggung jawab melakukan monitoring harus kompeten dan berwenang dalam hal :

a. Pemantauan yang diperlukan;

b. Bertindak jika ada komplikasi;

c. Penggunaan zat reversal (antidot); dan d. Kriteria pemulihan.

6. PPA yang kompeten dan bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi meliputi:

a. Mengidentifikasi masalah saluran pernafasan yang dapat mempengaruhi jenis sedasi yang digunakan.

b. Mengevaluasi pasien terhadap risiko tindakan sedasi.

c. Merencanakan jenis sedasi dan tingkat kedalaman sedasi yang diperlukan pasien berdasarkan prosedur / tindakan yang akan dilakukan.

d. Pemberian sedasi secara aman

e. Menyimpulkan temuan hasil pemantauan pasien selama prosedur sedasi dan pemulihan.

7. Setiap layanan sedasi moderat dan dalam harus melalui proses penerimaan, penilaian, perencanaan, dan persiapan.

8. Setiap layanan sedasi moderat dan dalam yang dilakukan oleh spesialis anestesi dan pemberian informasi serta mendapat persetujuan sedasi dari pasien atau keluarga pasien.

(4)

9. Layanan sedasi harus dilakukan pemantauan selama pra sedasi, durante sedasi dan pasca sedasi.

a. Pada saat prasedasi dilakukan pemantauan terhadap tensi, nadi, RR, saturasi dan dilakukan penilaian nyeri

b. Pada durante sedasi dilakukan pemantauan terhadap tensi, nadi, RR dan saturasi setiap 5 menit, dilakukan penilaian nyeri serta dilakukan penilaian kedalaman sedasi (dicatat dalam catatan sedasi / rekam medis).

c. Pasca sedasi dilakukan pemantauan terhadap tensi, nadi, RR dan saturasi setiap 5 menit sampai stabil dan kembali ke kondisi awal, dilakukan penilaian nyeri,(dicatat dalam catatan pemulihan sedasi / rekam medis).

10. Setiap memberikan pelayanan sedasi harus dipastikan terdapat bed set monitor, oksimetri, tabung oksigen dan perlengkapannya, suction dan perlengkapannya, troley emergensi, ada obat nalokson.

11. Penatalaksanaan jika pasien mengalami syok karena pemberian sedasi dilakukan penatalaksanaan sesuai dengan langkah-langkah pengelolaan pasien syok.

12. Setiap layanan sedasi harus didokumentasikan didalam rekam medis, dicatat dalam catatan sedasi.

B. INDIKASI PENGGUNAAN OBAT-OBAT SEDATIF 1. Premedikasi

Obat-obat sedatif dapat diberikan pada masa preoperatif untuk mengurangi kecemasan sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Sedasi dapat digunakan pada anak-anak kecil, pasien dengan kesulitan belajar, dan orang yang sangat cemas. Obatobat sedatif diberikan untuk menambah aksi agen-agen anestetik. Pemilihan obat tergantung pada pasien, pembedahan yang akan dilakukan, dan keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan pasien dengan pembedahan darurat berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan terencana atau pembedahan mayor.

Penggunaan oral lebih dipilih dan benzodiazepin adalah obat yang paling banyak digunakan untuk premedikasi.

2. Pseudo-analgesia

Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesi lokal, misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang menggunakan blok regional.

Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini membuat teknik ini lebih luas digunakan.

3. Prosedur Radiologik

Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan penggunaan radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan sedasi dalam bidang radiologi.

4. Terapi intensif

Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi Intensif (ICU/HCU). Dengan meningkatnya penggunaan ventilator mekanik, pendekatan modern yaitu dengan kombinasi analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk mempertahankan pasien pada keadaan tenang tapi dapat dibangunkan. Farmakokinetik dari tiap-tiap obat harus dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus untuk waktu yang lama pada pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan metabolisme dan ekskresi obat yang terganggu.

(5)

Beberapa obat yang berbeda digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek dan jangka panjang di ICU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid, dan agonis α2- adrenergik.

Nilai skor sedasi selama perawatan masa kritis telah dibuat sejak bertahun-tahun, tapi perhatian lebih terfokus akhir-akhir ini pada pentingnya sedasi harian ‘holds’. Strategi interupsi harian dengan obat-obat sedasi menyebabkan lebih sensitifnya kebutuhan untuk sedasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi terkait penggunaan ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama perawatan.

5. Suplementasi terhadap anestesi umum

Penggunaan yang sinergi antara obat-obat sedasi dan agen induksi intravena dengan teknik ko-induksi. Penggunaan sedatif dalam dosis rendah dapat menghasilkan reduksi signifikan dari dosis agen induksi yang dibutuhkan, dan dengan demikian mengurangi frekuensi dan beratnya efek samping.

C. TEKNIK PENGGUNAAN

Penggunaan obat sedasi memerlukan keterampilan dan kehati-hatian, karena bisa terjadinya progresi dari sedasi ringan menjadi anestesi umum. Dahulu obat sedasi digunakan melalui bolus intravena intermiten. Terdapat variasi yang cukup besar dari respon individual terhadap dosis yang diberikan dan terdapat banyak keadaan di mana praktisi medis tanpa pelatihan anestetik menggunakan sedatif. Teknologi terbaru dalam pompa infus dengan kontrol mikroprosesor telah meningkatkan keamanan penggunaan sedatif. Sistem patientcontrolled analgesia telah diprogram untuk patient-controlled sedation, biasanya untuk mempertahankan sedasi setelah dosis bolus awal digunakan oleh dokter. Setelah sistem tersebut sepenuhnya terkontrol oleh pasien, dosis rata-rata obat sedasi menurun sementara jarak pemberian meningkat.

Pada target-controlled infusion, pompa spuit telah diprogram dengan model farmakokinetik obat dan didesain untuk mencapai konsentrasi plasma target yang diinginkan secepat mungkin, sesuai dengan berat badan pasien. Usia pasien juga seharusnya diperhatikan di mana semakin tua usia pasien, semakin tinggi sensitivitas efek obat sedasi terhadap SSP. Karena terdapat variabilitas efek farmakodinamik obat, operator dapat mengubah-ubah level target.Pemakaian sedasi yang aman bertujuan untuk membuat prosedur lebih aman dan meminimalkan resiko terhadap pasien. Ketika sedasi digunakan di luar lingkungan operasi, perlu dipastikan tersedianya fasilitas yang adekuat, peralatan, dan orang yang berkompeten.

Beberapa panduan pemakaian telah diperkenalkan untuk mengatasi hal ini. Fasilitas harus tersedia untuk memonitor kondisi fisiologis seperti saturasi oksigen arterial, dan individu yang melakukan prosedur tidak bertanggungjawab memonitor kondisi pasien pada saat bersamaan.

Seorang petugas harus dilatih untuk dapat mengenali, dan berkompetensi untuk menangani komplikasi kardiorespirasi, dan peralatan resusitasi harus lengkap dan tersedia secepatnya.

D. OBAT-OBAT SEDASI

Kebanyakan obat sedasi dikategorikan dalam satu dari tiga kelompok utama, yaitu:

Benzodiazepin, neuroleptik dan agonis a2- adrenoseptor. Obat-obatan ini lebih sering di klasifikasikan sebagai jenis anestesi intravena, terutama propofol dan ketamin, juga digunakan sebagai obat sedasi dengan dosis subanestetik.

1. BENZODIAZEPIN

(6)

Obat-obat ini awalnya dikembangkan untuk keperluan obat ansiolitik dan hipnotik dan pada tahun 1960-an menggantikan obat barbiturat oral. Agar sediaan parenteral tersedia, mereka terus mengembangkan di anestesi dan perawatan intensif. Semua benzodiazepin mempunyai efek farmakologi yang sama, efek terapi ini ditentukan oleh potensi dan ketersediaan obat-obatan.

Benzodiazepin diklasifikasi berdasarkan lama kerja obat, yaitu sebagai lama kerja panjang (diazepam), lama kerja sedang (temazepam), lama kerja pendek (midazolam).

a. Farmakologi

Mekanisme Aksi

Benzodiazepin bekerja oleh daya ikatan yang spesifik pada reseptor benzodiazepin, yang mana merupakan bagian dari kompleks reseptor asam-g-aminobutirik (GABA). GABA merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP), melalui neuron-neuron modulasi GABA-nergik. Reseptor Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABA.

Berikatan dengan reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabkan hiperpolarisasi dari membran postsinaptik, dimana dapat membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada medula spinalis. Tidak adanya reseptor GABA selain di SSP, hal ini aman bagi sistem kardiovaskuler pada saat penggunaan obat ini. Efek Benzodiazepin pada SSP ditunjukan pada hubungan dengan kemampuan reseptor.

b. Contoh Preparat Benzodiazepin 1) Midazolam

Midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air dengan struktur cincin imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu afinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat dibanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam. Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.

a) Farmakokinetik

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.

Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.

Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.

b) Metabolisme

(7)

Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1-hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat dikonjugasi dengan asamglukoronat menjadi 1- hidroksimidazolam glukoronat yang dieskresikan melalui ginjal.

Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat dalam plasma pada pemberian IV.

Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokromP-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur. Kecepatan klirenshepatik midazolam lima kali lebih besar daripada lorazepam dan sepuluh kali lebih besar daripada diazepam.

c) Efek pada Sistem Organ

Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek yang kuat sebagai anti konvulsan untuk menangani status epileptikus.- Pernapasan Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam 0,3 mg/kg IV.

Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali.

Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepin juga menekan refleks menelan dan penurunan aktivitas saluran napas bagian atas.

Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesia akan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepin.

d) Penggunaan Klinik

Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek anti konvulsan sehingga dapat digunakan untuk mengatasi kejang grand-mal.

1. Premedikasi

Dari penelitian yang dilakukan oleh Wilton et al mengenai sedasi praanestesia pada anak usia prasekolah dengan midazolam intranasal 0,2 mg/kgbb menghasilkan 93% anak dapat dipisahkan dengan memuaskan dari orangtua dalam waktu 30 menit. Penelitian oleh Davis PJ et al dan Goldman RD menyatakan bahwa midazolam intranasal 0,2 dan 0,3mg/kgbb menimbulkan efek sedasi dan antiansietas yang sama baiknya dan relatif aman. Bhakta P et al tahun 2007 menyatakan tidak ada manfaat tambahan yang didapatkan dengan meningkatkan dosis sampai 0,3 mg/kgbb. Dosis yang lebih tinggi membutuhkan volume yang lebih banyak sehingga menimbulkan kemungkinan mengalirnya sejumlah volume ke rongga mulut melalui bagian posterior hidung dan terbuangnya sejumlah dosis karena bersin atau menetes dari lubang hidung.

Sashikiran et al menyatakan dosis yang relatif kecil (0,2 mg/kgbb)menunjukkan stabilitas kardio-respirasi. Tidak terjadinya mual, muntah dan depresi respirasi pada anak-anak yang mendapatkan makanan ringan, jus atau roti sebelum pemberian sedasi, nampaknya merupakan indikator yang cukup baik untuk memberi kesan bahwa tidak mutlak anak untuk puasa 4-6 jam sebelum sedasi dilakukan. Midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml) kepada anak untuk memberikan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek depresi

(8)

pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.

2. Sedasi intravena

Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15- 80menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesia. Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.

3. Sedasi pasca operasi

Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati berat.

2) Diazepam

Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-6,9.

Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.

a) Farmakokinetik

Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15- 30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus. Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada sirosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.

b) Metabolisme

Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat.

c) Waktu Paruh

Waktu paruh diazepam antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada pasien tua, obese, gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim sitokrom P-450.

Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABA lebih cepat terpisah. Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.

(9)

d) Efek pada Sistem Organ

Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas. Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesia tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga dengan pemberian anestesia volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi plasmanya >1000ng/ml.

2. PROPOFOL

Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain cepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikkan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.

Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut untuk larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larutan kacang kedelai sebagai pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai panjang trigliserida. Komposisi seperti ini mendukung perkembangan bakteri dan meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama.

Diprivan menggunakan disodium edenate (0,005%) dan sodium hydroxide dan meningkatkan pH 7-8,5. Kandungan generik propofol sodium metabisulfite (0,25mg/mnl) mengubah menjadi pH 4,5-6,4. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen chiral.

Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan propofol dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga meningkatkan risiko embolisasi pulmonal. Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol) mengandung 5%

minyak kedelai dan 0,6%egg lechitin dan tidak memerlukan bahan pengawet atau zat yang meretardasi pertumbuhan mikroba. Suatu alternatif dalam memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah efek samping obat (nyeri pada tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli paru) adalah dengan menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga meningkatkan kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates).

Propofol dibebaskan setelah dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel. Dibandingkan dengan propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten. Bentuk propofol yang tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat pelarut.

(10)

Cyclodextrins adalah molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah disuntikan, cyclodextrins dipisahkan dengan propofol di dalam darah.

a) Mekanisme Kerja

Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat.

Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.

b) Farmakokinetik

Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh Cytochrome P- 450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.

Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4- hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronidemenjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik.

Kurang dari0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.

Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui intravena. Total body clearancedari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan ekstrahepatik (pulmonary uptake dan eliminasi awal). Pulmonary uptake dari propofol dipengaruhi avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-diisoprpyl- 1,4 quiniol dan kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama dari propofol dan UDP glukoronidase sehingga ginjal juga memegang peranan penting dalam mengekresikan propofol. Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.

Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi secara ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi klirens propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan bersihan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat dibersihkan dari sikulasi fetus.

c) Penggunaan Klinis

Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesia

(11)

total intra vena. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus sering digunakan di ruang ICU.

1. Sedasi Intravena

Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus

menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100 μg/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman menurun.

Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf) dan pasien yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia, dan kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.

2. Efek Pada Organ

a) Sistem Saraf Pusat

Propofol menurunkan Cerebral Metabolisme Rate terhadap oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhioleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam.

Propofol menyebabkan perubahan gambaran electro encephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan sebagai alat monitoring fungsi sumsum tulang belakang menunjukan tidak terdapat perbedaan hasil (penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang mendapat propofol, N2O, atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thiopental memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.

b) Sistem Kardiovaskular

Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah.

Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi.

Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediatedsympathetic nervous system activation masih belum jelas. Suatu laporan menunjukan propofol sebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan konsentrasi epinefrin diikuti peningkatan mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi tidak menyebabkan peningkatan respon

(12)

jantung. Berbeda dengan laporan lainnya, bahwa propofol dan zat penginduksi lainnya (selain etomidate) menyebabkan peningkatan aktifitas saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan konsentrasi inhalasi desfluran.Efek ini mungkin berlebihan bagi pasien hipovolemia, lansia, dan pasien dengan gangguan ventrikel kiri yang terkompensasi yang disebabkan gangguan pada pembuluh darah arteri koroner (PJK).

Hidrasi yang cukup disarankan untuk meminimalisir gangguan tekanan darah. Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang diberikan propofol.

Suatu penekan respon misalnya efedrin dapat

dimanfaatkan pada pasien ini. Bradikardi dan asistol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis. Terdapat bukti yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial dan ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolf Parkinson White sehingga penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu laporan yang menyatakan bahwa timbulnya gelombang delta pada pasien dengan sindrom WPW pada EKG selama pemberian infus propofol. Tidak seperti sevofluran, propofol tidak menimbulkan gelombang QT yang memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada pasien yang mendapat propofol.

c) Bradycardia Related Death

Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol pada pasien dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia related death selama anestesia propofol sebesar 1,4/100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesia propofol dibandingkan anestesia lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian antikolinergik. Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah dengan pemberian beta agonis contohnya isoproterenol.

d) Paru

Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.

e) Fungsi Hepar dan Ginjal

Propofol tidak mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosislaktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propofol yang lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat propofol yang ditandai dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menandai gangguan ginjal akibat propofol.

f) Tekanan Intraokular

(13)

Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatan TIO dan posisi pasien saat laparoskopi meningkatkan risiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini meningkat pada pasien yang juga mendapat isofluran.

g) Koagulasi

Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada laporan yang menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah dan menghambat agregasi trombosit melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk tromboksanA2 dan platelet-activating factor (PAF).

3. KETAMIN

Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia” yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat.

Berbagai derajat hipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan sering terjadi pada proses pembedahan. Namun pasien tetap dalam keadaan amnesia dan analgesia. Ketamin memiliki keuntungan dimana tidak seperti propofol dan

etomidate, ketamin larut di dalam air dan dapat menyebabkan analgesik pada dosis subanestetik.

Namun ketamin sering menyebabkan delirium dan sering disalahgunakan.

a) Struktur kimia

Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbonasimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+) ketamine dan R(-) ketamin).

Kebanyakan ketamin yang beredar dalam bentuk S(+) Ketamine. Ketamine S(+) memiliki efek analgesia yang lebih, lebih cepat dimetabolisme, dan waktu recovery lebih singkat, salivasi lebih sedikit, dan menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer ketamin menimbulkan rasa lelah dan gangguan kognitif daripada ketamin. Baik isomer ketamin maupun ketamin menghambat ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah zethoniumchloride.

b) Mekanisme kerja

Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, ketamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang menimbulkan efek analgesia. Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin sebagai koagonis obligatnya.

Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gamaaminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar. Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa. Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma, walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya

(14)

masih lemah. Aksi antinosiseptif ketamin dihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik (delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek agonisnya. Mirip seperti anestesia lokal, ketamin berinteraksi dengan kanal sodium.

c) Farmakokinetik

Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, dan kelarutan lemak yang tinggi. pKa ketamin adalah 7,5 pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi di dalam lemak (5-10kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati sawar darah di otak.

Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang memfasilitasi distribusi obat ini keotak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi (1 liter/menit), dan Vd yang besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2- 3 jam. Rasio ekstraksi yang tinggi di hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati.

d) Metabolisme

Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin. Metabolit aktif inilah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang diulang atau administrasilewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah.

Ekskresi lewat feses ditemukan <5%. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan toleransi ketamin terjadi pula efek ketergantungan ketamin.

e) Penggunaan Secara Klinis

Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar.

Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasme yang disebabkan ketamine induced salivary secretions. Glycopyrolat lebih disukai daripada atropin dan scopolamin karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi.

1. Analgesia

Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara intravena.

Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat metabolisme awal di hati yang terjadi pada

pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang

(15)

bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga digunakan sebagai tambahan analgesia opioid. Sumsum tulang belakang bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan sentuhan dan perpindahan posisi saat proses operasi.

Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam amino eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan reeptor NMDA oleh obat seperti obat ketamin, dextromethorpan, magnesium berguna untuk tatalaksana nyeri termasuk penurunan konsumsi analgesia. S(+) memiliki afinitas 4 kali dari pada isomer R(-), efek analgesi 2 kali lebih tinggi daripada racemik ketamin. Aktifasi reseptor NMDA di sumsum tulang belakang terjadi pada kornu dorsal.

Pada proses persalinan, ketamin memiliki efek analgesi tanpa mendepresi janin.

Perubahan neurobehavioral lebih rendah pada bayi yang dilahirkan secara per vaginam dibandingkan bayi yang lahir dengan anestesia epidural, namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan anestesia thiopental-N2O. Dosis sedasi post operasi pada pasien jantung lansia adalah 2-4 mg/kgBB/jam. Penggunaannya sebagai tatalaksana nyeri kronik tergolong moderate- lemah sehingga tidak direkomendasikan.

2. Induksi anestesia

Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena dan 4-8mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemberian intravena dan 2-4 menit pemberian intramuskular.

Penurunan kesadaran sebanding atau berbeda sedikit terhadap penurunan refleks faring dan laring. Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit setelah dosis induksi ketamin, namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit. Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak menimbulkan amnesia retrograde.Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara intramuskular pada anak dan pada pasien yang mengalami gangguan retardasi mental.

Ketamin digunakan sebagai obat pada pasien luka bakar, debridemen, skin-grafting.

Keuntungan penggunaan ketamin adalah mampu memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan ventilasi spontan. Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan dosis ketamin, anestesia interval cepat. Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan depresi miokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan

respon saraf simpatis berubah. Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang berhubungan dengan efek

simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif yang hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang memiliki riwayat PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5 mg/kgBB diikuti infus ketamin 15-30 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang memiliki riwayat PJK. Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik yaang lebih stabil daripada kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek emergensi yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih. Keuntungan ketamin pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada pasien dengan peningkatan TIK.

(16)

3. Pengembali toleransi opioid

Dosis subanestesia menghambat dan mengembalikan toleransi morfin. Walau mekanismenya belum jelas, namun interaksi dengan reseptor NMDA, dan jalur N2O, dan reseptor μ opioid. Penggunaan ketamin pada dosis subanestesia (0,3 mg/kgBB/jam) menurunkan toleransi opioid dan meningkatkan efek analgesia.

4. Meningkatkan depresi mental

Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap

mekanisme antidepresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah meningkatkan depresi pasien pasca operasi pada pasien depresi mental.

5. Restless leg syndrome

Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless legsyndrome. Hal ini mungkin karena ketamin menghambat neuro inflamasi pada sumsum tulang dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.

4. DEXMEDETOMIDINE

Alpha 2-agonis adrenoceptor semakin sering digunakan dalam perawatan anestesia karena tidak hanya menurunkan respon simpatik dan melemahkan respon stres terhadap anestesia dan pembedahan, tetapi juga menyebabkan sedasi dan analgesia. Dexmedetomidine adalah agen paling baru dalam kelompok ini disetujui oleh FDA pada tahun 1999 untuk digunakan pada manusia sebagai analgesia dan sedasi.

a) Mekanisme Aksi

Alpha 2 reseptor ditemukan dalam sistem saraf perifer dan pusat, trombosit, dan organ lainnya, termasuk hati, pankreas, ginjal, dan mata. Stimulasi dari reseptor di otak dan sumsum tulang belakang menghambat eksitasi neuron, menyebabkan hipotensi, bradikardia, sedasi, dan analgesia. Tanggapan dari organ-organ lain termasuk air liur menurun, sekresi menurun, dan penurunan motilitas usus, penghambatan pelepasan renin, peningkatan filtrasi glomerulus, dan peningkatan sekresi natrium dan air di ginjal menurun intraokular tekanan dan penurunan pelepasan insulin dari pankreas.

b) Farmakodinamik

Mayoritas pasien yang menerima dexmedetomidine secara efektif tersedasi tetapi mereka dengan mudah dibangunkan, sebuah fitur unik ini tidak dimiliki obat penenang lain.

Dexmedetomidine tampaknya tidak memiliki efek langsung pada jantung. Sebuah respon bifasik kardiovaskular terlihat setelah pemberian dexmedetomidine. Pada bolus 1 mcg/ kg dexmedetomidine awalnya menghasilkan peningkatan transien tekanan darah dan penurunan refleks dalam denyut jantung. Stimulasi alpha B-2-adrenoceptor pada otot polos vaskular tampaknya bertanggung jawab untuk peningkatan awal tekanan darah. Namun, bahkan pada tingkat titrasi lambat, peningkatan tekanan arteri rata-rata selama 10 menit pertama terbukti di kisaran 7%, dengan penurunan denyut jantung antara 16% dan 18%.Tanggapan awal berlangsung selama 5 sampai 10 menit dan diikuti oleh sedikit penurunan tekanan darah akibat penghambatan pusat simpatik. Alfa presynaptic 2-adrenoseptor juga dirangsang mengurangi rilis norepinefrin mengakibatkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Efek ini juga dapat diamati pada periode pasca operasi, dan dapat dengan mudah diatasi dengan atropin, efedrin dan loading volume. Namun, efek ini

dapat merusak pada pasien hipovolemik atau pasien dengan stroke volume tetap. Depresi pernafasan yang disebabkan oleh dexmedetomidine telah dilaporkan jauh lebih sedikit.

c) Farrmakokinetik

(17)

Dexmedetomidine mengalami hidroksilasi hampir lengkap melalui glukuronidasi langsung dan sitokrom P450 metabolisme di hati. Metabolit diekskresikan dalam urin (sekitar 95%) dan dalam tinja (4%). Hal ini tidak diketahui apakah mereka memiliki aktivitas intrinsik.

Waktu paruh sekitar 2 jam.

d) Indikasi

Dexmedetomidine memiliki ansiolitik, sifat penenang, analgesik, dan simpatolitik, mungkin menjadi digunakan untuk premedikasi. Dexmedetomidine juga telah ditemukan menjadi obat yang efektif untuk premedikasi sebelum anestesia karena mengurangi kecemasan pasien, respon simpatoadrenal, dan persyaratan analgesik opioid. Untuk periode intraoperatif, digunakan dalam dosis 0,2 sampai 0,7 mcg/kg/jam. Dexmedetomidine, seperti clonidine melemahkan stres dan tanggapan simpato adrenal terhadap laringoskopi, intubasi dan operasi serta memberikan stabilitas hemodinamik. Ini mempotensiasi efek anestesia dari semua agen anestesia intraoperatif, terlepas dari metode administrasi (intravena, gas, atau bahkan blok regional). Dexmedetomidine telah digunakan dalam perawatan intensif untuk sedatif, ansiolitik, dan analgesik dan tidak menghasilkan depresi pernafasan karena non-opioid mekanisme analgesia tapi tidak memiliki efek amnesia. Dosis harus dititrasi dengan efek klinis yang diinginkan. Untuk pasien dewasa, umumnya dimulai dexmedetomidine dengan loading infus 1 mcg/kg lebih dari 10 menit, diikuti dengan infus pemeliharaan antara 0,2 sampai 0,7 mcg/kg/jam. Dexmedetomidine harus diencerkan dalam NaCL 0,9% untuk infus. Dosis bolus tidak digunakan karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah paradoks.

e) Efek Samping

Dexmedetomidine melintasi plasenta dan keamanannya tidak dijamin pada kehamilan dan pada anak-anak. Efek samping umum dari dexmedetomidine termasuk hipotensi, hipertensi, mual, bradikardia, atrium fibrilasi, hipoksia dan blok atrioventrikular. Sebagian besar efek samping terjadi selama atau sesaat setelah dibolus. Titrasi dosis dapat mengurangi efek samping.

(18)

BAB III KEBIJAKAN

1. Undang - undang Kesehatan Nomor : 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

2. Undang - undang Nomor: 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

3. Undang – undang Nomor : 29 Tahun 2004 Tentang Kedokteran.

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1851/Menkes/SK/XI/ 2008 Tentang Pelayanan Rumah Sakit.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit.

6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

7. American Society of Anesthesiologist (ASA). Position on Monitored anaesthesia care, 2008.

8. American Society of Anesthesiologist (ASA). Practice guidelines for sedation and analgesia by non-Anesthesiologist. Anesthesiology, 2002; 96: 1004-17.

9. American Society of Anesthesiologist. Ambulatory Surgical Care: Guidelines for ambulatory anesthesia and Surgery, 2008.

10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 519/Menkes/PER/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit.

11. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, 2008.

12. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In: Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006.

p.461-69.

13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pharmacology and physiology. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.

14. Paediatric and Neonatal Anaesthesia : Anaesthesia in a Nutshell, capther 15.

(19)

BAB IV TATA LAKSANA A. PROSEDUR UMUM

1. Anestesiologi mempunyai keahlian spesifik dalam hal farmakologi, fisiologi dan manajemen klinis terhadap pasien-pasien yang mendapat sedasi dan analgesik. Oleh karena itu semua prosedur terapi atau diagnostik yang membutuhkan sedasi moderat dan dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Tamiang Layang, maka yang melakukan sedasi adalah tim anestesi.

2. Tindakan pelayanan sedasi moderat dan dalam harus dikerjakan dalam kerjasama tim yang terdiri dari dokter anestesi serta didampingi penata anestesi.

3. Seluruh pasien yang akan mendapatkan sedasi moderat dan dalam harus mendapatkan penilaian prasedasi untuk menilai risiko dan kesesuaian sedasi, dan dilakukan informed consent yang didokumentasikan dalam rekam medik pasien.

4. Dokter anestesi dapat meminta dilakukan konsultasi terhadap dokter spesialis lain atau penundaan rencana prosedur untuk optimalisasi kondisi pasien bila dibutuhkan.

5. Perencanaan sedasi dan analgesi yang akan diberikan kepada pasien bergantung pada usia, kondisi pasien, serta pengetahuan, pelatihan, penilaian, dan pengalaman yang dimiliki oleh dokter anestesi yang bersangkutan.

6. Pasien yang diberikan sedasi dan analgesi moderat dan dalam harus dilakukan pemantauan terhadap kondisi yang diatur dalam standar prosedur operasional pelayanan sedasi moderat dan dalam.

7. Perlengkapan resusitasi untuk berbagai usia dan ukuran, monitor tanda vital, oksigen, dan suction harus tersedia di tempat pemberian sedasi dan analgesi.

8. Status dan catatan pemantauan selama prosedur sedasi dan analgesi moderat dan dalam harus dilengkapi dan didokumentasikan dalam file rekam medis pasien.

9. Pengawasan dan peningkatan kualitas harus dilakukan sesuai kebutuhan.

10. Panduan ini akan ditinjau secara berkala oleh SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif.

B. SEDASI PADA PEDIATRIK

(20)

Kebanyakan prosedur, yang dilakukan pada orang dewasa dalam keadaan sadar, tetapi pada anak memerlukan anestesi umum terutama jika prosedur dengan waktu yang lama atau menyakitkan. Namun, sekarang ada peningkatan minat dalam penggunaan regimen sedatif pada bidang pediatri. Hal ini disebabkan karena kurang invasif dibandingkan dengan anestesi umum serta lebih murah.

Sedasi adalah penggunaan obat untuk menghasilkan keadaan depresi dari sistem saraf pusat sehingga memungkinkan untuk dilakukan tindakan. Selama tindakan kontak verbal dengan pasien harus tetap terjaga. Berdasarkan definisi ini, maka setiap kehilangan kesadaran yang berhubungan dengan teknik yang dilakukan dapat didefinisikan sebagai anestesi umum. Selama sedasi diharapkan pasien dapat dipertahankan jalan napas dan refleks protektif. Telah disarankan suatu konsep sedasi dalam, akan tetapi definisi terhadap hal ini belum jelas. Mungkin lebih sulit untuk menentukan tingkat sedasi pada anak serta kemungkinan bahaya teranestesi dapat terjadi.

Pedoman terbaru dari Department of Health on General Anesthesia and dentistry telah merekomendasikan untuk lebih banyak menggunakan sedasi moderat dan lokal anestesi, sisanya untuk keadaan yang sangat mutlak baru menggunakan anestesi umum. Jika pemilihan pasien dilakukan secara cermat dan dengan prosedur yang sesuai, penggunaan sedasi bisa sangat berhasil.

Tabel 3. Prosedur yang dapat dilakukan dengan sedasi Prosedur yang dapat dilakukan dengan sedasi

Ekstraksi gigi, konservasi Radiologi : CT Scan, MRI

Insersi kateter vaskular Angiografi

Kateterisasi jantung Penggantian/ Pengangkatan plester Penjahitan, minor, pengangkatan jahitan Injeksi sendi

Dressing, seperti luka bakar Biopsi otot Kontraindikasi untuk sedasi

- Pasien menolak

- Bayi kecil dengan prosedur tidak menyakitkan, misalnya komputer tomografi, biasanya dapat dengan pemberian makanan dan menjaga tetap hangat sehingga bayinya bisa tidur selama prosedur. Mereka tidak perlu dibius.

- Bayi eks prematur < 56 minggu dari usia konsepsional, karena berisiko terjadinya depresi pernapasan serta sedasi berlebihan.

- Gangguan perilaku berat.

- Diketahuinya ada masalah pada jalan napas, misalnya obstructive sleep apnoea, abnormalitas kraniofasial.

- Adanya penyakit pernapasan yang secara signifikan memerlukan oksigen.

- Adanya ketidakstabilan jantung yang signifikan.

- Adanya penyakit ginjal atau hati yang diprediksi akan menghambat klirens/bersihan obat sedasi.

- Berisiko secara signifikan untuk terjadinya refluks gastro-esofagus.

- Peningkatan tekanan intrakranial.

- Epilepsi berat atau tidak terkontrol.

- Alergi atau kontraindikasi spesifik untuk obat-obatan sedasi atau gas (misalnya nitrogen oksida harus dihindari jika dijumpai adanya pneumothoraks).

(21)

- Prosedur lama atau menyakitkan.

Beberapa institusi telah berhasil merancang dengan cermat regimen obat sedasi yang efektif supaya anak mendapat keadaan mengantuk, bebas nyeri, dengan ketakutan atau kecemasan yang minimal. Kebanyakan obat sedasi yang diberikan dalam jumlah tertentu juga dapat berisiko menghasilkan ketidaksadaran pada anak, namun beresiko terjadi hipoksia, hiperkapnia dan berpotensi terjadi aspirasi. Untuk itu pada penggunaan teknik sedasi yang dilakukan oleh non anestesi, harus mempunyai margin of safety yang luas. Personel non anestesi yang memberikan obat sedasi termasuk dokter (terutama ahli radiologi, gastronterologis dan kardiologis), perawat spesialis dan dokter gigi, semuanya harus benar-benar terlatih untuk memberikan pelayanan yang aman dan efektif.

Pasien yang akan disedasi dipersiapkan seolah-olah mereka akan mengalami anestesi umum. Persiapan yang harus dilakukan adalah:

- Diberitahu tentang prosedur yang akan dilakukan dan telah memberikan persetujuan tindakan.

- Dipuasakan.

- Dilakukan pemeriksaan kesehatan umum terakhir, dan diidentifikasi faktor-faktor risiko potensial seperti alergi atau kondisi medis lainnya.

Obat oral

Penilaian dosis obat oral dalam bentuk kombinasi mungkin agak sulit, dimana kemungkinan akan meningkatkan sedasi yang efektif tetapi juga berpotensi meningkatkan kejadian efek samping. Hal ini terutama terjadi pada bayi kecil dan pada anak dengan kelainan ginjal, hati atau fungsi neurologis dimana kerja obat sukar untuk diprediksi.

Tabel 4. Agen sedasi oral

Nama obat Dosis Detail

Choral hydrate 50 mg/kgBB Metabolit aktif = trichloretanol

Dapat diberikan melalui rectal, kadang-kadang menimbulkan rasa malu

Midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB

Umum digunakan

Dosis berhubungan dengan efek samping (ataksia, pandangan ganda, sedasi)

Dapat juga diberikan melalui nasal Dosis rektal dapat bervariasi Diazepam 200-500 mcg/

kgBB

Dapat diberikan melalui rectal

Ketamin 5-10 Dapat diberikan melalui nasal juga rektal Halusinasi mungkin terjadi

Pada umumnya terjadi mual dan muntah Resiko apnea dapat terjadi

Catatan: Pada anak yang lebih besar dosis tidak boleh melebihi dosis dewasa normal.

Pemulihan dan reversal

Pemulihan dari sedasi haruslah cepat. Fasilitas pemulihan harus tersedia. Gunakan regimen obat dengan waktu kerja yang paling pendek. Sekali-kali nalokson diperlukan untuk antagonis efek opioid persisten, Nalokson 4 mcg/kg i.v dapat diberikan.

(22)

C. SEDASI PADA PASIEN DEWASA

Agen ideal untuk prosedur sedasi dan analgesia haruslah memiliki sifat sedatif, analgesik, amnestik, serta awitan yang cepat dengan durasi kerja yang singkat untuk memungkinkan pemulihan dan pelepasan efek samping obat yang aman dan cepat. Obat yang dapat digunakan di antaranya adalah etomidate, midazolam, fentanil, dan propofol.

Obat-obatan dapat dikombinasi untuk mencapai efek yang diinginkan. Umumnya prosedural sedasi dan analgesia menggunakan kombinasi dari benzodiazepin dengan aksi cepat seperti midazolam (sedatif, amnestik, dan ansiolitik namun tidak memiliki efek analgesik) dengan opioid seperti fentanil. Kombinasi lain seperti propofol dan fentanil, atau propofol dan ketamine juga dapat digunakan.

1) Midazolam

Midazolam dapat diberikan dalam dosis awal 0,01-0,1 mg/kgBB intravena untuk sedasi sedang, atau 0,1-0,4 mg/kgBB untuk sedasi dalam. Dosis ulangan 25% dari dosis awal dapat diberikan bila sedasi diperlukan lebih lanjut. Dosis ulangan diberikan setelah 3-5 menit dan tidak melebihi 2,5 mg/dosis. Dosis kumulatif tidak boleh melebihi 5 mg. Perlu diingat bahwa depresi pernapasan, atau hipotensi dapat terjadi, terutama bila obat ini masuk dengan cepat, atau dikombinasikan dengan fentanil. Dalam hal tersebut, dosis midazolam perlu diawasi secara ketat.

Obat ini memberikan efek sedasi, namun tidak memiliki efek analgesia.

Pemberian obat dapat menginduksi reaksi disinhibisi termasuk agresivitas yang tidak terkendali, agitasi, atau halusinasi. Reaksi disinhibisi dimanifestasikan dalam waktu 5 menit setelah pemberian midazolam dan didahului oleh sedasi sementara sebelum agitasi mendadak.

Reaksi disinhibisi terkait dengan faktor genetik, penyalahgunaan alkohol, atau gangguan psikologis.

2) Fentanil

Fentanil termasuk dalam golongan opioid yang dapat memberikan analgesia dan sedasi selama prosedur yang menyakitkan. Fentanil disukai karena awitan yang cepat dengan durasi kerja yang singkat. Dibandingkan morfin, fentanil memiliki efek depresi kardiovaskular minimal dan jarang menyebabkan hipotensi. Fentanil berikatan dengan reseptor stereospesifik di banyak tempat dalam sistem saraf pusat dan meningkatkan ambang nyeri, mengubah persepsi nyeri, dan menghambat jalur nyeri. Agonis opioid juga dapat menekan refleks batuk dan menyebabkan depresi pernapasan, kantuk, dan sedasi.

Fentanil merupakan opioid sintetis yang dimetabolisme oleh hepar. Fentanil memiliki sifat redistribusi obat yang cepat dari sistem saraf pusat. Dosis awal yang dapat digunakan 12 mcg/kgBB, perlahan secara bolus sekitar 1-2 menit. Dosis ulangan dapat diberikan setelah 30 menit kemudian. Awitan kerja obat sekitar 1-2 menit, lama kerja obat sekitar 30-60 menit.

Ketamine

3) Ketamine

dapat menimbulkan efek disosiatif dan amnestik yang dalam. Dosis yang digunakan untuk prosedural sedasi dan analgesia tidak mempengaruhi refleks faring-laring, dan memungkinkan jalan napas tetap paten serta respirasi spontan. Karakteristik obat ini sangat membantu jika prosedur darurat harus segera dilakukan sementara pasien belum sempat untuk puasa.[3] Depresi pernapasan sementara dapat terjadi jika diberikan terlalu cepat atau dalam dosis tinggi. Peningkatan sekresi orofaringeal sering terpicu oleh pemberian ketamine, namun dapat dicegah dengan premedikasi berupa glikopirolat. Dosis ketamine adalah 1-3 mg/kgBB intravena, dan 5-10 mg/kgBB intramuskular.

(23)

4) Etomidate

Etomidate merupakan hipnotik nonbarbiturat awitan sangat cepat yang digunakan untuk anestesi. Etomidate menghasilkan induksi cepat tanpa pelepasan histamin dan dengan efek kardiovaskular serta pernapasan minimal. Seperti ketamine atau barbiturat, etomidate secara sementara dapat menurunkan aliran darah otak sebesar 20-30% dan sedikit mengurangi tekanan intrakranial dan intraokular. Dosis awal yang dapat diberikan adalah 0,1-0,2 mg/kgBB, perlahan secara bolus sekitar 30-60 detik. Awitan obat kurang dari 1 menit. Lama kerja obat sekitar 3-5 menit. Perlu diingat bahwa obat ini digunakan sebagai obat untuk sedasi dan hipnosis, serta dapat digunakan sebagai obat induksi untuk anestesi umum. Obat ini tidak memiliki efek analgesik. Umumnya dapat menyebabkan mioklonus, dan nyeri setelah injeksi.

5) Propofol

Propofol merupakan obat dengan formulasi berwarna putih susu dengan manfaat anestesi yang cepat dan waktu pemulihan yang singkat. Propofol tidak memiliki efek analgesik sehingga dapat dikombinasikan dengan opioid. Dengan awitannya yang cepat dan tingkat pemulihan yang baik, propofol sering digunakan untuk sedasi pada pasien anak yang akan menjalani prosedur MRI atau CT Scan. Dosis awal yang dapat diberikan adalah 0,5-1 mg/kgBB, intravena sebagai loading dose. Dosis dapat diulangi dengan kenaikan 0,5 mg/kgBB, tiap 3-5 menit. Awitan kerja obat sekitar < 1 menit, lama kerja obat sekitar 3-10 menit.

D. SEDASI PADA SITUASI KHUSUS

Literatur dan hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada beberapa jenis pasien terjadi peningkatan komplikasi terkait sedasi/ analgesi kecuali diambil tindakan pencegahan khusus.

Pada pasien dengan premorbid yang signifikan (misalnya usia lanjut yang ekstrim, penyakit jantung yang parah, penyakit paru, hati, atau ginjal, kehamilan, penggunaan obat dan alkohol), disepakati untuk melakukan konsultasi pre prosedur dengan spesialis yang sesuai (misalnya spesialis jantung, paru, dsb) karena akan mengurangi risiko terkait sedasi moderat dan dalam.

Pada pasien-pasien dengan faktor-faktor risiko terkait sedasi (misalnya tidak kooperatif, morbid obese, potentially difficult airway, sleep apnea) sebaiknya dikonsulkan kepada dokter anestesi sebelum prosedur dilakukan. Pada kondisi emergensi, keputusan menunggu hasil konsultasi pre prosedur sebaiknya dipertimbangkan dengan risiko menunda prosedur.

E. PEMBERIAN SEDASI OLEH NON-ANESTESIOLOGIS

1. Layanan sedasi dapat dilakukan oleh dokter non anestesi yang memenuhi persyaratan dan skill yang telah ditentukan.

2. Pelaku sedasi adalah seseorang yang memberikan dan memantau proses sedasi. Pelaku sedasi adalah dokter yang sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan:

a. Mampu memilih obat sedasi yang tepat, melakukan pemantauan, mampu menilai tingkat kesadaran dan resusitasi segera.

b. Menguasai proses sedasi, beberapa jenis tingkat sedasi dan aspek keselamatan pasien.

c. Mampu menilai kebutuhan, risiko dan kesesuaian pasien dalam menjalani proses sedasi.

d. Mampu memantau tingkat kesadaran, sistem kardiorespirasi dan parameter fisiologik lainnya.

e. Mampu mengenal dan mengelola efek samping dari obat-obatan yang digunakan dalam proses sedasi termasuk pengaruh atau dampak terhadap kesadaran, patensi

Referensi

Dokumen terkait

Meanwhile, at the LDGPP 4 level, teachers are able to meet digital literacy competencies in learning during the Covid-19 pandemic to participate because they

Selulitis diterapi dengan kloksasilin intravena 100- 200 mg/kgbb/hari atau seftriakson 50-100 mg/kgbb/ hari yang dapat dilanjutkan dengan pemberian oral kloksasilin 100 mg/kgbb/hari