• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEL 3. Paradigma Normatif Tekstual dan Historis Kontekstual dalam Memahami Hadits Nabi SAW (3)

N/A
N/A
Fadhil Wathani

Academic year: 2024

Membagikan "KEL 3. Paradigma Normatif Tekstual dan Historis Kontekstual dalam Memahami Hadits Nabi SAW (3)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA NORMATIF TEKSTUAL DAN HISTORIS KONTEKSTUAL DALAM MEMAHAMI HADITS

Adhi Lutfi Ihsani1, Nasif Zain Zaidan2, Sahid Abde Muhammad3, Hamidah Nurul Inayah4

21040260291, 21040261222, 21040261693, 21040261774

Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Abstrak

Kata normatif berasal dari bahasa inggris norm yang memiliki arti norma, acuan tentang permasalahan baik dan buruk, boleh dilakukan ataupun yang tidak boleh dilakukan. Kata norma sendiri juga memiliki kaitan dengan akhlak, yang mana akhlak merupakan intisari agama. Sedangkan secara bahasa kata

“tekstual” terdiri dari dua kata yakni “teks” dan “tual” yang bermakna kalimat, kata, susunan, dan uraian.

Yang dalam bahasa Arab disebut dengan lafzhu atau lafzhul hadits. Pendekatan awal yang digunakan untuk memahami hadits-hadits Nabi SAW yakni pendekatan tekstual. Dalam pemahaman hadis, pendekatan tekstual digunakan untuk memahami makna dan maksud hadis melalui analisis teks hadis.

Memahami hadis Nabi SAW bergantung pada teks karena teks merupakan bagian paling sentral dalam memahami hadis Nabi SAW, sehingga terkadang konteksnya terabaikan. Setidaknya terdapat dua indikator (qarinah) yang dapat dijadikan sebagai alasan suatu hadis diharuskan untuk dipahami secara tekstual, yakni Menghubungkan Sebuah Hadits Dengan Berbagai Aspek dan Indikasi Lafadz.

Kata Kunci:Paradidma, Tekstual, Kontekstual

Pendahuluan

Dalam memahami ajaran Islam, hadis memiliki peran sentral sebagai sumber hukum dan pedoman bagi umat Muslim. Sebagai tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hadis menawarkan wawasan yang mendalam tentang praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Namun, seperti halnya dengan interpretasi sumber- sumber hukum lainnya, pemahaman terhadap hadis juga dipengaruhi oleh berbagai paradigma interpretatif.

Dalam kajian hadis, terdapat dua pendekatan utama yang sering digunakan dalam proses interpretasi: paradigma normatif tekstual dan paradigma historis kontekstual. Kedua paradigma ini menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami teks hadis, dengan menempatkan penekanan yang berbeda pada aspek-aspek tertentu dalam proses interpretasi.

(2)

Dalam makalah ini, kita akan mengeksplorasi kedua paradigma interpretatif tersebut dan melihat bagaimana mereka mempengaruhi cara kita memahami hadis. Kami akan melihat pada pendekatan masing-masing paradigma, menyoroti metodologi yang digunakan, serta kelebihan dan kelemahannya dalam konteks pemahaman hadis. Selain itu, kami akan membahas bagaimana penerapan kedua paradigma ini dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif dalam memahami pesan-pesan yang terkandung dalam hadis, serta relevansinya dengan konteks sosial dan budaya masa kini.

Melalui eksplorasi ini, kita diharapkan dapat mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas interpretasi hadis, serta menghargai peran penting kedua paradigma ini dalam memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Dengan demikian, makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berharga dalam diskusi ilmiah tentang pemahaman hadis dan relevansinya dalam konteks kontemporer.

A. Normatif Tekstual

1. Pengertian Metode Normatif Tekstual

Kata normatif berasal dari bahasa inggris norm yang memiliki arti norma, acuan tentang permasalahan baik dan buruk, boleh dilakukan ataupun yang tidak boleh dilakukan. Kata norma sendiri juga memiliki kaitan dengan akhlak, yang mana akhlak merupakan intisari agama.

Sedangkan secara bahasa kata “tekstual” terdiri dari dua kata yakni “teks” dan “tual” yang bermakna kalimat, kata, susunan, dan uraian. Yang dalam bahasa Arab disebut dengan lafzhu atau lafzhul hadits.1

Pendekatan awal yang digunakan untuk memahami hadits-hadits Nabi SAW yakni pendekatan tekstual. Sebab, untuk dapat memahami sebuah teks langkah awal yang harus dilakukan yakni mencoba menangkap makna aslinya, makna universal yang mudah dipahami.

Baru apabila sebuah teks sulit untuk dapat dipahami dengan berbagai alasan, barulah digunakan pendekatan lain.

Kata teks memiliki makna “kata-kata asli dari pengarang (penulisnya)” atau bisa diartikan sebagai “sesuatu yang tertulis”. Dalam pemahaman hadis, pendekatan tekstual digunakan untuk memahami makna dan maksud hadis melalui analisis teks hadis. Karena itulah

1 Wais al Qurni, Metodologi Dalam Memahami Hadis (Tekstual, Kontekstual, Liberal), Vol: 3 (Innovative: 2023), hal: 7

(3)

secara istilah "teksual" mengacu pada kata sifat dari kata teks, yang berarti bermakna bersifat teks atau bertumpu pada teks.2

Definisi di atas menunjukkan bahwa metode ini berpusat pada makna kata dan struktur gramatikal teks. Oleh karenanya, pendekatan ini memiliki dominasi teks yang kuat. Memahami hadis Nabi SAW bergantung pada teks karena teks merupakan bagian paling sentral dalam memahami hadis Nabi SAW, sehingga terkadang konteksnya terabaikan. Sebaliknya, pendekatan tekstual memiliki kecenderungan untuk membuat kesimpulan yang bias. Hal ini dikarenakan teks tersebut tidak termasuk dalam konstelasi hadis Nabi yang lebih luas, sehingga dalam analisisnya tidak membutuhkan banyak hadis lain. Kalaupun ada, kaitan dengan hadis lain hanya terbatas pada pentingnya menganalisis nas-nas tertentu, seperti 'am dan khash, mutlaq dan muqayyad.3

Jika hadis dipahami secara tekstual, pesannya berlaku universal, umum, dan berlaku untuk semua orang, tidak tergantung pada waktu, zaman, atau situasi. Namun sebaliknya, jika sebuah hadis dipahami secara kontekstual, ajaran yang terkandung dalamnya berlaku khusus, temporal, lokal, dan terkait dengan situasi dan kondisi saat diucapkan.

Memahami hadis secara teks bukanlah sesuatu yang buruk, tua, atau konvensional. Menurut M.

Syuhudi Ismail, ada hadis yang lebih baik dipahami secara kontekstual daripada secara tekstual, begitupula sebaliknya.

Sesuatu yang dianggap salah yakni apabila hadis yang seharusnya dipahami secara tekstual harus dipahami secara kontekstual. Sebaliknya, hadis yang seharusnya dipahami secara kontekstual harus dipahami secara tekstual. Hal demikian yang mengakibatkan kesalahan dalam memahami hadis. Perlu untuk digaris bawahi mengenai kapan suatu hadis harus dipahami secara tekstual ataupun kontekstual. Jawabannya adalah ketika adanya indikasi atau petunjuk yang kuat yang disebut sebagai "ma'a al-qarinah", yang memerlukan pemahaman kontekstual atau tekstual.4

Sebagai pendekatan yang bertumpu pada teks, ilmu bahasa dan ushul fiqh merupakan bagian yang paling penting sebagai alat analisis. Para ulama, khususnya Imam al-Syafi'i dianggap memiliki kontribusi terbesar dalam merumuskan metodologi untuk memahami dalil-

2 Muhammad Kudhori, Perlunya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual Untuk Mendapatkan Pemahaman Yang Moderat ‘Ala Madhhab Ahlisunnah Wal Jama’ah, (Surabaya: 2027), hal: 2

3 Ibid

4 Rozin Karnedi, Metode Pemahaman Hadis (Aplikasi Pemahaman Tekstual & Kontekstual), (Bengkulu: IAIN Bengkulu Press: 2015), hal. 2

(4)

dalil syara' menggunakan pendekatan tekstual. Oleh karena itu, pendekatan tekstual dapat dilihat dalam tiga pendekatan, yakni; pendekatan kebahasaan, di mana makna kata adalah fokus utama penelitian; pendekatan ushul fiqh, yang menekankan persoalan dilalah; dan pendekatan ta'wîl, yang mencoba memberi makna tambahan pada kata.5

2. Indikasi (Qarinah) Yang Menjadi Acuan dalam Penentuan Suatu Hadits Dipahami Secara Tekstual

Menurut Muhammad Syuhudi Ismail menghubungkan sebuah hadis dengan berbagai aspek, seperti Asbab al-wurud adalah indikasi dari pemahaman hadis secara tekstual. Selain itu, dalam buku yang bejudul “Metode Pemahaman Hadis (Aplikasi Pemahaman Tekstual &

Kontekstual) beliau H. Rozian Karnedi, M. Ag, menyebutkan bahwa adanya indikasi lafazh dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pemahaman hadis secara tekstual. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat dua indikator (qarinah) yang dapat dijadikan sebagai alasan suatu hadis dipahami secara tekstual, yakni:6

1. Menghubungkan Sebuah Hadits Dengan Berbagai Aspek

Walaupun lafazh suatu hadis dianggap shorih, akan tetapi tidak selalu perlu dipahami secara tekstual karena hadis tersebut mungkin mengalami ke-musykilan atau ikhtilaf yang bertentangan dengan berbagai aspek. Oleh karena itu, suatu hadis meskipun lafazhnya sharih, tetap harus dikaitkan dengan situasi atau keadaan pada saat Nabi menyampaikan hadis tersebut (Asbabul Wurud, Kondisi Historis, Sosiologis, Antropologis, dll). Akan tetapi, apabila hadis yang lafadznya sharih dan telah dikaitkan dengan berbagai aspek, seperti asbab al-wurud masih tetap ingin dipahami secara tekstual, maka hadisnya harus tetap dipahami secara tekstual, bukan kontekstual.

Hadis-hadis yang harus dipahami secara tekstual biasanya memiliki ciri yakni lebih ringkas dan padat makna (jawami' al-kalim), seperti contoh:

اونُغْتَسْتَ اورُفِاسَو ،اوحُّصِتَ اومُوصُو ،اومُنُغْتَ اوزُغْا Artinya: “Berperanglah niscaya kalian akan mendapatkan harta rampasan, berpuasalah maka kalian akan sehat, dan bersafarlah maka kalian akan kaya.7

5 Henri Ramdini, Tipologi Pemahaman Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual, (UIN Sunan Gunung Djati: 2023), hal. 55

6 Rozin Karnedi, Metode Pemahaman Hadis (Aplikasi Pemahaman Tekstual & Kontekstual), (Bengkulu: IAIN Bengkulu Press: 2015), hal. 2-4

(5)

2. Indikasi Lafazh

Ditinjau dari segi kejelasannya terdapat dua jenis lafazh hadis: yang shorih (jelas) dan yang muhtamalah (tidak jelas). Apabila lafazhnya shorih, maka secara otomatis harus dipahami secara tekstual karena lafazhnya mengandung wudhuh al-ma'na (walaupun tidak mutlak).

Sebaliknya, apabila lafazhnya bersifat muhtamalah (tidak jelas) maka harus dipahami secara kontekstual.

Amir Syarifuddin membagi lafazh yang shorih (jelas) menjadi beberapa bagian yaitu:

a. Al-Zhahir (jelas)

لمُأَتَ رُيْغْ نْمُ عِامُ سْلا سِفْنُبِ هُنُمُ دُارُمُلا مُهَفْيُ امُ :رُهاظلا Artinya:Suatu lafazh yang dapat dipahami secara langsung dengan lafazh itu sendiri tanpa membutuhkan pemahaman yang mendalam.

Contoh:

لاأَ« :لاق هُنأَ مُلسَو هُيْلع هُللا ىلصُ يبنُلا نْع - هُنُع هُللا يضر -ةَرُكْبِ يبِأَ نْع هُللابِ كُارُشْلإِا« :لاق ،هُللا لوسَر ايُ ىلبِ :انُلق -اثلاث -»؟رُئِابكْلا رُبكْأَبِ مُكْئُGبنأَ

،»روزُلا ةَدُاهَشْو ،روزُلا لوقو لاأَ :لاقو ،سِلجَفِ Iائُكْ تَمُ ناكْو ،نْيُدلاولا قُوقُعو ]هُيْلع قفْتَمُ[ - ]حيْحُّصُ[تكْسَ هُتَيْل :انُلق ىتَح اهر Gرُكْيُ لاز امُفِ8 Artinya: “Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar, yaitu tiga perkara? Kami menjawab, Ya, Rasulullah. Rasulullah berkata: Menye kutukan Allah, dan mendurhakai dua orang tua. Rasulullah sedang bersandar lalu duduk, maka berkata Rasulullah: Tidak mengatakan kebohongan dan kesaksian palsu. Beliau terus mengulainya sampai kami berkata semoga beliau berhenti.”

Seperti yang telah dijelaskan dalam hadis di atas, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa dosa besar yang diharamkan, seperti syirik, durhaka terhadap kedua orang tua, dan bersumpah palsu, tanpa ada alasan lain.

b. Al-Nash (lebih jelas)

7 Ternyata Hadits ''Berpuasalah, Kamu Akan Sehat'' Dhaif, Voa Islam,

https://voa-islam.com/read/tsaqofah/2021/04/10/76277/ternyata-hadits- berpuasalah-kamu-akan-sehat-dhaif/ diakses pada tanggal 11 Maret 2024

8 https://hadeethenc.com/id/home

(6)

: هِرُيْغْ ىفِ Iلامُتَحُّمُ ظُفْ للا ناكْ نإِو ماكْحلأَا نْمُ Zمُكْح ىفِ Iاخيُرُصُ ناكْامُ

صنُلا Artinya: Lafazh yang jelas dalam hukumnya, tetapi dimungkinkan dapat ditafsirkan atau dipahami dengan maksud lain

Contoh:

لكْ :لاق مُ لسَو هُيْلع هُ للا ى لصُ هُللا لوسَر نأَ هُنُع هُ للا يضر ةَرُيُرُه يبِأَ نْع اولاق ،ىبِأَ نْمُ لاإِ ةَ نُجَلا نولخُديُ يتَ مُأَ: دقُفِ يناصِع نْمُو ،ةَ نُجَلا لخُدُ ينُعاطَأَ نْمُ :لاق ؟ىبِأَيُ نْمُو هُللا لوسَر ايُ

ىبِأَ9. Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.”

Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barangsiapa yang mentaatiku pasti masuk Surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.”

Secara nash, ayat ini menunjukkan perbedaan nyata antara taat kepada Rasul dan durhaka kepada Rasul sebagai sanggahan terhadap mereka yang menganggap keduanya sama.

Namun, makna lain dari hadis di atas dapat dipahami, yaitu bahwa mentaati Rasul adalah wajib dan durhaka kepada Rasul adalah haram.

c. Al-Mufassar (sangat jelas)

: رِسِفْ مُلاهِرِيْسِفْتَ ةنَيَرِقِ ىَلإِ رِقتفْيَ لاَوَ هِظِفْل نْمِ هِاَنَعْمِ فُرِعْ يَاَمِ

Artinya: “Suatu lafazh yang dapat dipahami maknanya dari lafazhnya sendiri tanpa memerlukan qarinah untuk menjelaskan.”

Contoh:

يبِأَ نْع ،ةَبعْشْ انُث دح ،aدلاخُ انُث دح لاق ،يناعْنُ صِلا ىلعلأَا دبع نْبِ د مُحُّمُ انرُبخُأَ

هُللا ىلصُ هُ للا لوسَر نأَ ،ل فْغْمُلا نْبِ هُ للا دبع نْع ،اIفِ Gرُطَمُ تعْمُسَ لاق ،حِا يْ تَلا

9 Hadits yang Memerintahkan Untuk Mengikuti Nabi, almanhaj, https://almanhaj.or.id/1985-hadits-yang- memerintahkan-untuk-mengikuti-nabi.html, diakses pada 11 Maret 2024

(7)

لاقو مُنُغْلاو ديْ صِلا بِلكْ يفِ ص خُرو بِلاكْلا لتَقُبِ رُمُأَ مُلسَو هُيْلع  

غَلو اذَإِ "

هِورُGفْعو Zتٍا رُمُ عَبسَ هِولسْغْافِ ءِانلإِا يفِ بِلكْلا

" بِارُتَلابِ ةَنُمُا ثَّلا

10

Artinya: “Apabila Anjing menjilati bejana maka cucilah bejana tersebut tujuh kali dan taburilah yang kedelapan dengan debu.”

Pada kalimat &تٍ(ارِمِ عَبْسَ (tujuh kali) memiliki makna yang sudah jelas, maka tidak tidak perlu di-takwil lagi.

B. Historis Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari kata “konteks”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua arti: pertama, menunjuk pada bagian uraian atau ungkapan yang dapat mendukung atau memperjelas makna; Kedua, mengacu pada situasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa.11 Kedua makna tersebut dapat diterapkan karena relevan dalam kajian pemahaman hadis.

Qamaruddin Hidayat menjelaskan pendekatan kontekstual sebagai tindakan menempatkan teks dalam jaringan wacana, membandingkannya dengan gunung es dimana teks hanya bagian yang terlihat di permukaan. Oleh karena itu, tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya di mana sebuah teks muncul, sulit untuk memahami makna pesan yang disampaikannya.

Pendekatan historis dalam memahami hadis di sini mengacu pada proses pemahaman hadis dengan mempertimbangkan dan mengkaji situasi atau kondisi peristiwa yang terkait dengan latar belakang munculnya hadis tersebut. Dengan kata lain, pendekatan historis melibatkan menghubungkan ide dan gagasan yang terdapat dalam hadis dengan faktor-faktor sosial dan situasi historis-kultural yang mengelilinginya, sehingga dapat diperoleh konsep moral yang dapat disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Sebagai contoh, hadis tentang melalaikan shalat karena menganggap remeh shalat muncul saat para sahabat sedang duduk di masjid Rasulullah. Ketika Rasulullah datang, beliau bertanya kepada mereka mengapa mereka berduduk di masjid tersebut, dan mereka menjawab bahwa mereka sedang menunggu waktu shalat zuhur. Dengan konteks ini, Rasulullah mengeluarkan hadis tentang

10 Sunan an-Nasa’i: 67 ةراَهطلا باَتك

11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, hlm 458.

(8)

pahala bagi mereka yang menjaga shalat tepat pada waktunya serta ancaman bagi mereka yang melalaikan shalat.12

Hadis ini diteruskan oleh 'Ubadah ibn al-Shamit karena al-Mukhdajiy menyampaikan hadis yang diajukan oleh Abu Muhammad kepadanya tentang kewajiban melaksanakan shalat witir. Hal ini menyebabkan al-Mukhdajiy mengajukan pertanyaan tentang keabsahan hadis tersebut kepada 'Ubadah ibn al-Shamit. 'Ubadah ibn al-Shamit menolak pernyataan Abu Muhammad sebagai hadis palsu dan mengonfirmasi isi ucapan Rasulullah, yaitu hadis tentang mengabaikan shalat karena menganggap remeh shalat.

Kesimpulan

Kesimpulannya, dalam memahami hadis, terdapat dua pendekatan utama: pendekatan yang menekankan pada analisis teks (paradigma normatif tekstual) dan pendekatan yang mengaitkan hadis dengan konteks sosial dan historis (paradigma historis kontekstual).

Pendekatan tekstual cenderung menghasilkan kesimpulan yang universal, sementara pendekatan kontekstual menekankan pada kekhususan dan keterkaitan dengan situasi saat hadis diucapkan. Menghubungkan hadis dengan aspek-aspek tertentu dan memperhatikan kejelasan lafazh hadis membantu dalam menentukan pendekatan yang tepat. Meskipun kedua pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan, penerapannya secara seimbang dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pesan-pesan dalam hadis yang relevan dengan konteks sosial dan budaya saat ini.

Daftar Pustaka

Al Qurni, W. (2023). Metodologi Dalam Memahami Hadis (Tekstual, Kontekstual, Liberal). Innovative: Journal Of Social Science Research3(4), 1885-1898.

Kudhori, M. (2017). “Perlunya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual untuk Mendapatkan Pemahaman yang Moderat'Alaa Madhab Ahlusunnah wal Jamaah.” STAI Al-Fithrah. Surabaya.

Henri, H. R. (2023). Tipologi Pemahaman Hadis secara Tekstual dan Kontekstual:

Tipologi Pemahaman hadis. TAMMAT (Journal Of Critical Hadith Studies)1(2), 52-62.

Karnedi, H. R. (2015). METODE PEMAHAMAN HADIS (Aplikasi Pemahaman Tekstual & Kontekstual).

12 M. Alfatih Suryadilaga, Metode Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer… h.66

(9)

Suryadilaga, M. A. (2012). Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer Yogyakarta.

Hadits yang Memerintahkan Untuk Mengikuti Nabi, almanhaj,

https://almanhaj.or.id/1985-hadits-yang-memerintahkan-untuk-mengikuti-nabi.html Ternyata Hadits ''Berpuasalah, Kamu Akan Sehat'' Dhaif, Voa Islam, https://voa- islam.com/read/tsaqofah/2021/04/10/76277/ternyata-hadits-berpuasalah-kamu-akan-sehat- dhaif/

https://hadeethenc.com/id/home

Referensi

Dokumen terkait