• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Wabah dalam Sejarah Kesehatan Indonesia: Dari Kolonial ke Poskolonial

N/A
N/A
yulia rohmawati

Academic year: 2023

Membagikan "Paradigma Wabah dalam Sejarah Kesehatan Indonesia: Dari Kolonial ke Poskolonial"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Yulia Rohmawati NIM : 122011433041

Paradigma Wabah dalam Sejarah Kesehatan Indonesia: Dari Kolonial ke Poskolonial Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wabah adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas, seperti wabah cacar, disentri, kolera. Selain itu, wabah juga dikenal dengan epidemi. Keberadaan wabah dalam sejarah kesehatan Indonesia telah teridentifikasi sejak lama sesuai dengan perkembangan peradaban di Indonesia. Diduga, wabah untuk pertama kalinya teridentifikasi pada naskah lontar yang beraksara Bali, yakni naskah Calon Arang. Dalam naskah terebut, kemunculan wabah dikaitkan dengan adanya permintaan serta ritual khusus. Selain pada naskah Calon Arang, keberadaan wabah di Nusantara juga teridentifikasi pada relief candi dan prasasti era Hindu-Budha.

Dalam perkembangannya, keberadaan wabah di Indonesia juga mengalami perubahan. Wabah—masa Hindu Budha dan kerajaan tradisional—seringkali diasosiasikan dengan kutukan, ritual, dan tindakan dzalim manusia. Sehingga, penanganan yang dilakukan pun masih dilandaskan pada tradisionalitas dan kepercayaan, misalnya penanganan wabah dengan membasmi dan membakar penderita beserta lingkungannya.

Seiring dengan kedatangan bangsa Eropa di Nusantara, maka perlahan-lahan terjadilah perubahan paradigma terkait dengan keberadaan wabah. Hal ini juga sejalan dengan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh bangsa Eropa ke Nusantara, sehingga sedikit banyak mengubah paradigma yang semula berbasis tradisionalitas menjadi berbasis medis.

Akan tetapi, hal tersebut tidaklah mudah. Pasalnya, tidak sedikit golongan pribumi yang menolak paradigma baru tentang wabah itu, termasuk pengobatan dan penanganan secara medis yang ditawarkan oleh bangsa Eropa kolonial. Dari segi pengobatan mialnya, tidak sedikit pribumi yang enggan kepercayaan pada pengobatan 'Barat'. Bahkan, dalam tulisan Peter Boomgaard yang berjudul The Development of Colonial Health Care in Java, disebutkan bahwa sebagian penduduk desa terkadang melarikan diri ke pegunungan dan hutan ketika pemberi vaksin sedang dalam perjalanan.1 Maka, tidak heran jika penduduk pribumi Jawa sama rata ragu-ragu untuk memanfaatkan layanan dari dokter Eropa.

1 Peter Boomgaard, ‘The Development of Colonial Health Care in Java; An Exploratory Introduction’, Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 149, no. 1 (2013): 77–93.

(2)

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi sikap pribumi terhadap paradigma yang dibentuk sejak masa kolonial. Pertama, sekitar tahun 1900, pengobatan Eropa tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan, semisal saja hanya berkutat pada vaksinas cacar, kina, dan minyak. Kedua, faktor ekonomi yang harus dipertimbangkan, mengingat dokter dan rumah sakit Eropa seringkali berlokasi jauh yang menyebabkan biaya berkunjung menjadi mahal.

Terakhir, penduduk pribumi, khususnya Jawa sebagian besar masih memiliki kepercayaan khusus terhadap roh-roh tertentu, sehingga apabila mereka mengalami sakit tertentu yang dianggap disebabkan oleh roh jahat, maka mereka lebih memilih melibatkan dukun dibanding dokter Eropa.2

Dalam penerapannya, pihak kolonial sebenarnya ingin meningkatkan bantuan medis bagi penduduk dengan menggantikan peran dari orang-orang “pintar” atau dukun pribumi untuk menangani penyakit atau wabah yang melanda. Pemerintah kolonial ingin mengenalkan suatu kelas baru, yakni orang pribumi dengan pengetahuan medis dari Barat.

Sehingga, pada Januari 1849, dikeluarkan Gouvernementsbesluit No. 22 yang menetapkan bahwa “Sejumlah 30 pemuda suku Jawa akan dididik secara cuma-cuma menjadi tenaga dalam bidang kesehatan dan vaksinatur di beberapa Rumah Sakit Militer”.3 Hal tersebut menjadi salah satu cikal bakal perkembangan dan modernisasi medis di Indonesia.

Wabah dalam Kacamata Poskolonial

Mengutip buku Science, Public Health and Nation Building in Soekarno Era Indonesia, karya Vivek Neelakantan, dunia kesehatan memikul tantangan yang sangat berat utamanya di era poskolonial Indonesia. Pasalnya, Indonesia harus mewarisi hancurnya sistem kesehatan pada masa pendudukan Jepang hingga revolusi awal kemerdekaan. Dengan kata lain, euforia kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno tidak serta merta diikuti oleh kemerdekaan kesehatan nasional. Justru, Indonesia masih harus membangkitkan infrastruktur kesehatannya yang hancur akibat peperangan.4

Tantangan itu semakin besar ketika kemunculan wabah tidak berhenti begitu saja.

Justru, paradigma mengenai wabah menjadi terus berkembang dan mengikuti perkembangan zaman, termasuk perkembangan politik, sosial, dan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi pada masa Pemerintahan Soekarno. Saat itu, muncul cacar yang mewabah di berbagai

2 Ibid.

3 Aditia Muara Padiatra, ‘Melawan Wabah : Sejarah Sekolah Dokter Djawa 1851 – 1899’, Seminar Nasional Sejarah II 18, no. 3 (2016).

4 Vivek Neelakantan, ‘Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era Indonesia’, Cambridge Scholars Publishing (2017).

(3)

wilayah di Indonesia. Dengan berbekal pengalaman dan pelajaran saat terjadinya wabah di era kolonial, maka pemerintah akhirnya melakukan vaksinasi massal pada tahun 1951 untuk mengatasi penyebaran cacar akibat berkecamuknya wabah di tahun 1948. Pencacaran (vaksinasi) itu dilakukan di rumah sakit, BKIA (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak), poliklinik hingga balai desa.5

Pada masa pemerintahan Soekarno pula, yang berlangsung pada tahun 1945–1965, dibentuk Djawatan Kesehatan Kota (DKK) di setiap kota-kota besar. Tugas Djawatan Kesehatan Kota di sini adalah menjaga kesehatan penduduk agar tidak terjangkit penyakit endemik. Seperti halnya Pemerintah Surabaya, saat itu juga dengan segera mengambil tindakan untuk membentuk Djawatan Kesehatan Kota yang bertugas menjaga kesehatan penduduk kota Surabaya.6

Pada masa Orde Baru, khususnya dala hal ini adalah tahun 1980-an, di Indoneia muncul suatu penyakit menular berupa HIV-AIDS. Sejak kasus HIV-AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, jumlah kasus terus bertambah dan menyebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Data tentang jumlah sebenarnya orang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA) di Indonesia sulit untuk didapatkan, sehingga untuk memprediksi perkembangan epidemi itu di Indonesia, dibuatlah beberapa proyeksi. Hasil proyeksi tersebut menunjukkan bahwa jumlah kasus HIV-AIDS selalu meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu hasil proyeksi tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV diperkirakan mencapai 50.000 orang.7

Mengingat adanya eskalasi penularan HIV-AIDS yang begitu cepat, pemerintah Indonesia kemudian membentuk suatu badan penanggulangan HIV-AIDS yang dinamai Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang didasarkan Keppres No. 36 Tahun 1994. Badan ini bertanggung jawab dalam menyusun berbagai program dan kebijakan dalam penanggulangan HIVAIDS di Indonesia. Selain itu, pada tahun yang sama disusun pula Strategi Nasiona1 (Stranas) Penanggulangan HIV-AIDS.

5 Zanuar Rivaldi, Shelin Puspa Arum, and Royya Zahrotul Mala, ‘Cacar Di Jawa: Dua Orde Dalam Penaklukan Pagebluk’, Journal of Indonesian History and Education 1, no. 3 (2021): 322–332,

http://journal2.um.ac.id/index.php/JDS/article/view/24318.

6 Ibid.

7 Sri Sunarti Purwaningsih and NFN Widayatun, ‘Perkembangan HIV Dan AIDS Di Indonesia: Tinjauan Sosio Demografis’, Jurnal Kependudukan Indonesia 3, no. 2 (2008): 75–95,

http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/170.

(4)

Kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap perkembangan kasus HIV-AIDS juga ditunjukkan dengan dilaksanakannya Sidang Kabinet Khusus seri HIV-AIDS pada tahun 2002. Sidang tersebut diharapkan merupakan forum yang sangat penting untuk meningkatkan komitmen, memberikan review, menyempurnakan dan menetapkan kebijakan strategis baru dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Sebagai tindak Ianjut dari sidang kabinet tersebut, dilakukan pula penyempurnaan terhadap Stranas Penanggulangan HIV-AIDS.

Penyempurnaan itu dilakukan seiring dengan adanya beberapa isu penting seperti peningkatan jumlah penasun (pengguna narkoba suntik), tingginya mobilitas penduduk, peningkatan penasun di kalangan narapidana, serta peningkatan masalah hubungan seks berisiko.8

Fakta sejarah menunjukkan bahwa wabah penyakit selain menyebkan kematian juga menyebabkan adanya dinamika politik.9 Senada dengan hal terebut, politisasi wabah juga masih terjadi di era poskonolial. Dalam hal ini, mengutip tulisan Vivek yang mengkritisi pendapat Steve Ferzacca yang mengatakan bahwa kesehatan menjadi bagian dari pembangunan bangsa di Indonesia pascakolonial. Menurut Vivek, Ferzacca mengabaikan signifikansi politik tahun 1950-an dalam hal bagaimana dokter Indonesia secara kritis terlibat dengan pengobatan sosial dan menafsirkannya kembali dalam konteks ideologi pembangunan. Hal ini—campur tangan politik—nampaknya hampir tidak pernah dilepaskan dari dinamika kesehatan mengingat politik adalah bagian sentral dalam kehidupan manusia.

Meski era poskolonial mengusung paradigma baru mengenai wabah dan penanganannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian nilai-nilai lama masih bertahan.

Hal ini berkaitan dengan pandangan dan kepercayaan mayarakat terhadap kearifan lokal yang masih terus dipegang. Bahkan, ketika kita berbicara persoalan wabah yang terjadi sekira tiga tahun terakhir, beragam kearifan lokal masih terus dipertahankan oleh masyarakat., khususnya masyarakat adat tertentu. Seperti halnya sebuah laporan mengenai Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19 yang diterbitkan oleh Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Laporan tersebut menunjukkan bahwa bagi masyarakat adat yang tinggal menetap dan wilayah ulayat, seperti Baduy di Banten, mereka memberikan repons khusus dalam menghadai wabah Covid- 19 dengan cara menutup atau memperketat pintu masuk ke wilayah mereka. Mereka juga

8 Ibid.

9 Rusdi, ‘Pandemi Penyakit Dalam Lintasan Sejarah dan Dampaknya Terhadap Gejolak Sosial Politik’, Diakronika 20, no. 1 (2020): 2620–9446, http://diakronika@ppj.unp.ac.id.

(5)

sangat membatasi kedatangan orang luar, sehingga mereka mampu menjaga kampung sehingga terbebas dari wabah Covid-19.10

Penutup

Wabah menjadi salah satu masalah kesehatan yang selalu ada dalam sejarah peradaban manusia. Namun, dalam perkembangannya, paradigma wabah juga terus mengalami perubahan, meski di sisi lain, ada warisan-warisan lama–seperti penanganan dan pengobatan—yang seolah kembali hadir dalam pola yang sama. Demikian halnya yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

Diskursus wabah di Indonesia, khususnya pada era poskolonial, setidaknya mencakup tiga hal utama, yakni respons pemerintah, politisasi, dan warisan lama. Wabah menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Soekarno mengingat sistem kesehatan nasional saat itu yang masih belum stabil. Di sisi lain, munculnya wabah juga disertai dengan gejolak politik, yang mengasosiasikan perbaikan sistem kesehatan sebagai propaganda pembangunan nasional. Sementara itu, salah satu yang paling kentara pada masa Orde Baru adalah ditemukannya kasus HIV/AIDS. Menyikapi hal tersebut, pemerintah di bawah Soeharto membentuk berbagai kebijakan diikuti badan-badan khusus untuk menanggulanginya.

Sebagai penutup, meski era poskolonial salah satunya ditandai dengan modernisasi dan perbaikan infrastruktur kesehatan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan- kebiasaan tradisional lama, kearifan lokal, dan kepercayaan adat dalam menyikapi wabah atau pagebluk sebagian masih terpelihata oleh masyarakat. Hal ini menjadi warna tersendiri bagi sistem kesehatan nasional yang berjalan dari waktu ke waktu.

REFERENSI

Boomgaard, Peter. ‘The Development of Colonial Health Care in Java; An Exploratory Introduction’. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 149, no. 1 (2013): 77–93.

Kemendikbud. ‘Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dalam Upaya Mitigasi Terhadap Pandemi Covid-19’. Last modified 2022. Accessed April 9, 2023.

10 Kemendikbud, ‘Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dalam Upaya Mitigasi Terhadap Pandemi Covid-19’, last modified 2022, accessed April 9, 2023, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/02/kearifan-lokal- masyarakat-adat-dalam-upaya-mitigasi-terhadap-pandemi-covid19.

(6)

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/02/kearifan-lokal-masyarakat-adat- dalam-upaya-mitigasi-terhadap-pandemi-covid19.

Neelakantan, Vivek. ‘Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era Indonesia’. Cambridge Scholars Publishing (2017).

Padiatra, Aditia Muara. ‘Melawan Wabah : Sejarah Sekolah Dokter Djawa 1851 – 1899’.

Seminar Nasional Sejarah II 18, no. 3 (2016).

Purwaningsih, Sri Sunarti, and NFN Widayatun. ‘Perkembangan HIV Dan AIDS Di Indonesia: Tinjauan Sosio Demografis’. Jurnal Kependudukan Indonesia 3, no. 2 (2008): 75–95. http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/170.

Rivaldi, Zanuar, Shelin Puspa Arum, and Royya Zahrotul Mala. ‘Cacar Di Jawa: Dua Orde Dalam Penaklukan Pagebluk’. Journal of Indonesian History and Education 1, no. 3 (2021): 322–332. http://journal2.um.ac.id/index.php/JDS/article/view/24318.

Rusdi. ‘Pandemi Penyakit Dalam Lintasan Sejarah Dan Dampaknya Terhadap Gejolak Sosial Politik’. Diakronika 20, no. 1 (2020): 2620–9446. http://diakronika@ppj.unp.ac.id.

Referensi

Dokumen terkait