• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patologi DME perlu dievaluasi baik secara fungsional dan struktural, sehingga diperlukan pemeriksaan Mikroperimetri karena dapat menilai sensitivitas retina

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Patologi DME perlu dievaluasi baik secara fungsional dan struktural, sehingga diperlukan pemeriksaan Mikroperimetri karena dapat menilai sensitivitas retina"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 dikatakan rentang usia terbanyak untuk penderita DME adalah usia 50-59 tahun sebanyak 51,4%.1-7

Patogenesis terjadinya DME juga berhubungan dengan peningkatan VEGF akibat kondisi hiperglikemia, ketika kadar VEGF meningkat dapat menyebabkan terjadinya kebocoran plasma darah serta hipoksia jaringan.

Pemeriksaan OCT merupakan metode yang mudah dalam menilai penebalan pada makula. Mikroperimetri dapat menilai sensitivitas retina pada lokasi yang tepat dikarenakan dapat memilih lokasi yang akan dilakukan pemeriksaan dari gambaran fundus.

Salah satu alat terbaru untuk pemeriksaan mikroperimetri adalah MP3, alat ini dapat melakukan penelusuran gambaran fundus secara otomatis. Patologi DME perlu dievaluasi baik secara fungsional dan struktural, sehingga diperlukan pemeriksaan Mikroperimetri karena dapat menilai sensitivitas retina.

Evaluasi mengenai korelasi perubahan fungsional menggunakan Mikroperimetri MP3 dan perubahan struktural makula menggunakan OCT pada pasien DME menarik untuk dilakukan sehingga penulis tertarik untuk mengevaluasi mengenai korelasi perubahan fungsional menggunakan Mikroperimetri MP3 dan perubahan secara struktural menggunakan OCT pada pasien DME.8-16

SUBJEK DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional, kemudian dilakukan analisis korelasi.

Pengambilan sampel dengan cara

consecutive sampling terhadap pasien yang datang ke unit Vitreoretina yang memenuhi kriteria inklusi yaitu hasil pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dan OCT yang baik pada pasien usia 40-70 tahun dengan diagnosis DR disertai DME dengan keterlibatan fovea. Kriteria eksklusi adalah pencitraan Mikroperimetri MP3 dan OCT dengan hasil realibilitas tidak baik, adanya kekeruhan media refraktif yang bermakna, riwayat operasi ataupun tindakan intraokular selain terapi anti-VEGF, riwayat kelainan okular atau kelainan retina lainnya seperti iskemik makula, disorganization of retina inner layer (DRIL). Pengambilan data dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.

Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, klasifikasi DR, durasi DM, kadar HbA1c, lateralitas mata, hasil mikroperimetri MP3 dan OCT.

Analisis statistik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (z) untuk uji normalitas data dan uji korelasi dengan Spearman (ρ). Interpretasi hasil berdasarkan kekuatan korelasi, arah korelasi dan nilai p. Perhitungan kekuatan korelasi (r), berdasarkan kriteria Guilford (1956). Pengolahan data menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan SPSS versi 25. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah visualisai data.

Mikroperimetri MP3

Pemeriksaan mikroperimetri MP3 mirip dengan tes perimetri, pemeriksaan dilakukan pada ruangan gelap dilakukan 1 mata bergantian, mata lainnya dilakukan oklusi

(3)

kemudian pasien akan diberikan stimulus cahaya dan diminta untuk menekan alat saat melihat stimulus.

Mikroperimetri MP3 bersifat automatic retinal tracking yaitu stimulus yang diterima selalu pada area yang sama pada fundus sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat.

Stimulus cahaya yang diberikan dimulai dari 0-20 desibel pada setiap pola dari 56 lokasi pada area makula yang berbeda dan titik sentral berada pada fovea berupa lingkaran merah 1 derajat, untuk studi ini dilakukan stimulus cahaya 17 dB. Parameter yang dapat dinilai dari pemeriksaan mikroperimetri berupa rata-rata sensitivitas dalam decibel dan kualitas fiksasi pasien. Hasil dengan 18 dB dapat dinilai sebagai sensitivitas retina yang normal dan dibawah itu merupakan sensitivitas yang menurun. Fiksasi pasien dikatakan stabil jika 75% dari total fiksasi jatuh pada area lingkaran 4 derajat, dan tidak stabil jika kurang dari 75%.

Pemeriksaan OCT

Teknologi OCT memiliki prinsip interferometri koherensi rendah, dimana cahaya dengan koherensi rendah dipancarkan kepada jaringan target, kemudian cahaya yang direfleksikan kembali oleh jaringan akan dikombinasikan dengan pancaran cahaya kedua atau reference beam. Hasil dari pola interferensi yang dihasilkan akan digunakan untuk merekonstruksi suatu A-scan aksial, yang menggambarkan kemampuan scattering pada setiap jaringan yang terdapat di jalur pancaran cahaya tersebut.

Menggerakan cahaya dalam suatu garis pada jaringan akan

menghasilkan kompilasi A-scan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi suatu B-scan.

Mengulangi beberapa B-scan pada beberapa lokasi yang berdekatan dapat menhasilkan infromasi mengenai kondisi volume struktur secara 3 dimensi.

Pemeriksaan dilakukan satu persatu pada masing-masing mata pasien dan diminta untuk memfokuskan pandangan pada target fiksasi di mesin. Pemeriksaan OCT didapatkan dengan memilih jenis makula cube scan 512x128. Nilai yang tertera pada masing-masing mata dicatat sebagai nilai ketebalan makula.

HASIL

Penelitian ini telah dilakukan di unit Vitreoretina dan Diagnostik PMN Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung pada bulan September – Oktober 2021.

Berdasarkan data yang dikumpulkan, didapatkan total 57 pasien dan 61 mata yang masuk kriteria inklusi pada pasien DME yang dilakukan pemeriksaan OCT makula dan Mikroperimetri MP3.

Tabel 4.1 menjelaskan gambaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, durasi DM, kadar HbA1c, lateralitas, klasifikasi DR dan riwayat terapi anti VEGF sebelumnya. Jumlah keseluruhan pasien sebanyak 57 orang dengan total jumlah mata sebanyak 61 mata. Untuk pasien dengan usia kategori dewasa muda sebanyak 16 orang (28.1%), dewasa sebanyak 29 orang (50.9%) dan usia lanjut sebanyak 12 orang (21.1%).

Pasien laki-laki sebanyak 28 orang (49.1%) dan perempuan sebanyak 29 orang (50.9%). Untuk pasien dengan lateralitas kategori unilateral

(4)

sebanyak 53 orang (93.0%) dan bilateral sebanyak 4 orang (7.0%).

Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel N=57

(pasien) Jumlah Pasien 57(100.0%) Jumlah Mata* 61(100.0%) Usia (tahun)

Dewasa Muda (40-50) 16(28.1%) Dewasa (51-60) 29(50.9%) Usia Lanjut (>60) 12(21.1%) Jenis Kelamin

Laki-laki 28(49.1%)

Perempuan 29(50.9%)

Durasi DM (tahun)

Median 10.00

Range (min-max) 3.00-20.00 Kadar HbA1c

<6.4% 4(7.0%)

>6.5% 53(93.0%)

Lateralitas

Unilateral 53(93.0%)

Bilateral 4(7.0%)

Diagnosis DR

Moderate NPDR 2(3.5%)

Severe NPDR 41(71.9%)

PDR 14(24.6%)

Terapi Anti VEGF

Belum Terapi 30(52.6%)

Sudah Terapi 27(47.4%)

Keterangan: Untuk data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase sedangkan data numerik disajikan dengan rerata, median, standar deviasi dan range. * N jumlah mata

Pasien dengan durasi DM median 10 tahun dengan kadar HbA1c kategori <6.4% sebanyak 4 orang

(7.0%) dan >6.5% sebanyak 53 orang (93.0%). Diagnosis DR pada setiap pasien dengan DME dengan moderate NPDR sebanyak 2 orang (3.5%), severe NPDR sebanyak 41 orang (71.9%) dan PDR sebanyak 14 orang (24.6%). Sebanyak 30 orang (52.6%) belum mendapatkan terapi anti VEGF sebelumnya dan 27 orang (47.4%) sudah mendapatkan terapi.

Tabel 4.2 menjelaskan korelasi antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina. Kelompok sensitivitas retina menurun, untuk ketebalan makula memiliki median sebesar 426 µm (rentang 307-612) dan kelompok sensitivitas retina normal 362.5 µm (rentang 325-379).

Analisis data numerik ini diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney karena data tidak berdistribusi normal yaitu variabel ketebalan makula.

Hasil uji statistik pada kelompok penelitian diatas diperoleh informasi nilai P pada variable ketebalan makula lebih kecil dari 0.05 (nilai P>0.05) yang berarti signifikan atau bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara variable ketebalan makula pada kelompok menurun dan normal.

Tabel 4.2 Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina Variabel

Sensitivitas retina

Nilai P

Menurun Normal

N=55 (mata) N=6 (mata)

Ketebalan Makula 0.006*

Median 426.00 362.500

Range(min-max) 307.00-612.00 325.00-379.00

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

(5)

Tabel 4.3 Tabel Analisis Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina

Variabel Korelasi R P Value

Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina Spearman -0.823 0.0001**

Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas Makula

pada pasien yang belum terapi Spearman -0.820 0.0001**

Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas Makula

pada pasien yang sudah terapi Spearman

-0.857 0.0001**

Keterangan: nilai kemaknaan p < 0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna secara statistika.

r :koefisien korelasi

Sesuai dengan tabel 4.3 diatas dari hasil analisis statistik uji korelasi Spearman antara variabel ketebalan makula dengan sensitivitas retina diperoleh P value untuk korelasi antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina mempunyai nilai kemaknaan atau P value sebesar 0.0001 dimana nilai p tersebut lebih kecil dari 0,05 (P value< 0,05). Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan atau bermakna secara statistik, maka dapat disimpulkan terdapat korelasi antara setiap variabel ketebalan makula dengan sensitivitas retina . Nilai koefisien korelasi (R) diperoleh informasi bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat dengan menggunakan analisis statistik Spearman, maka didapatkan nilai R untuk nilai korelasi ketebalan makula dengan sensitivitas retina sebesar - 0.823 ; nilai p= 0.0001 , pada pasien yang belum terapi sebesar -0.857 ; nilai p= 0.0001, pada pasien yang telah melakukan terapi sebesar - 0.820 ; nilai p= 0.0001 ; hal ini menunjukan bahwa adanya korelasi yang signifikan dengan arah korelasi

negatif dan yang kuat antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina. Setelah melalui pengujian dan hasilnya signifikan, maka untuk menentukan keeratan hubungan bisa digunakan kriteria Guilford, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi atau hubungan yang kuat dan signifikan antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina baik pada pasien yang belum melakukan terapi dan telah melakukan terapi.

DISKUSI

Karakteristik subjek pada penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, durasi menderita DM, kadar HbA1c. Data tersebut didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis. Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan proporsi pasien dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan data Riskesdas 2018 yang melaporkan pasien DM perempuan 1,8% di Indonesia lebih banyak dibandingkan laki-laki 1,2%.

Hasil tersebut berkaitan oleh laki-laki lebih banyak yang bekerja dan melakukan aktifitas sehingga paparan

(6)

DM lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Usia dewasa (51- 60) tahun memiliki paparan DM lebih banyak dibandingkan dewasa muda dan usia lanjut. Hal ini sesuai dengan data Riskesdas 2018 menunjukkan proporsi DM terbesar berada pada rentang 55-64 tahun (6,3%). Secara keseluruhan median durasi pasien DM adalah 10 tahun (rentang 3.00- 20.00). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh El-magid dkk, dikatakan kondisi subklinis retinopati diabetik terjadi pada rentang 4-8 tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan kepatuhan dalam pengobatan dan kontrol gula darah yang dilakukan kurang lebih baik pada pasien penelitian ini sebanyak 93% memiliki kadar HbA1c >6,5%.

Sebagian besar subjek pada penelitian ini terlambat untuk dilakukan pemeriksaan mata secara dini dan dilakukan pemeriksaan mata setelah terdapat gejala penglihatan buram.

Sebanyak 71.9% pasien terdiagnosis DME pada klasifikasi severe NPDR.

Edema makula diabetik dapat terjadi pada setiap klasifikasi DR sehingga untuk klasifikasi DME dibedakan dari klasifikasi DR.2,3,17-25

Palkovits, dkk menilai sensitivitas retina menggunakan mikroperimetri MP3 pada pasien dengan kondisi makula sehat dan pasien dengan gangguan makula. Penelitian tersebut mengatakan bahwa pemeriksaan sensitivitas retina menggunakan mikroperimetri MP3 memiliki hasil yang adekuat terhadap pasien-pasien dengan kelainan makula. Penggunaan mikroperimetri MP3 juga dapat menilai progresitivitas pada gangguan makula dan keberhasilan terapi dengan menilai sensitivitas retina secara rutin. Penelitian serupa juga

dilakukan oleh Nagpal, dkk dengan menggunakan mikroperimetri MP3 yang dibandingkan dengan OCTA untuk menilai degenerasi makula.

Penelitian tersebut mengatakan bahwa mikroperimetri MP3 dapat digunakan untuk menilai keberhasilan terapi yang diberikan pada pasien- pasien dengan degenerasi makula dengan secara rutin melakukan pemeriksaan mikroperimetri MP3.22,23

Hubungan ketebalan makula menggunakan pemeriksaan OCT dengan sensitivitas retina menggunakan pemeriksaan mikroperimetri MP3 pada kelompok sensitivitas retina normal dan menurun menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik. Pada penelitian ini didapatkan median ketebalan makula pada kelompok sensitivitas retina yang menurun sebesar 426 µm (rentang 307-612).

Vujosevic dkk membandingkan perubahan sensitivitas retina menggunakan pemeriksaan mikroperimetri MP1 terhadap ketebalan makula pada beberapa klasifikasi DME. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rerata ketebalan makula pada kelompok clinically significant macular edema (CSME) adalah 390.4±93.8µm dengan menggunakan OCT dan rerata sensitivitas retina 4.7±3.5 dB.

Penelitian tersebut juga melaporkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara rerata ketebalan makula dan sensitivitas retina pada kelompok no macular edema (NE) dan non clinically significant macular edema (NCSME) akan tetapi terdapat korelasi yang signifikan pada kelompok CSME. Perubahan neovaskular retina pada DME dapat

(7)

menyebabkan kerusakan sawar darah retina sehingga terjadi penebalan lapisan retina, hal tersebut juga dapat menyebabkan disfungsi sel ganglion retina sehingga sensitivitas retina akan terjadi penurunan. Penelitian Vujosevic dkk sesuai dengan penelitian ini pada tabel 4.2 dan tabel 4.3, yaitu terdapat korelasi yang bermakna antara ketebalan makula menggunakan pemeriksaan OCT dan sensitivitas retina menggunakan Mikroperimetri MP3 baik pada pasien yang belum dilakukan terapi dan telah dilakukan terapi anti VEGF. Faktor yang menyebabkan edema makula dan penurunan sensitivitas retina juga berhubungan dengan peningkatan anti VEGF yang meningkat karena dapat menyebabkan terjadinya kebocoran plasma darah dan hipoksia jaringan.

Hal tersebut menyebabkan saat terjadi DME akan menyebabkan juga terjadinya penurunan sensitivitas retina yang dinilai menggunakan OCT dan mikroperimetri MP3.25-27

Ketebalan makula setelah dilakukan terapi anti VEGF dapat saja terjadi penurunan, akibat anti VEGF yang menurun sehingga kerusakan sawar darah retina dan peningkatan permeabilitas kapiler tidak akan terjadi. Hal tersebut menyebabkan akumulasi cairan di dalam retina akan berkurang. Ketebalan makula yang menurun secara langsung akan memberikan hasil sensitivitas retina yang baik juga selama tidak terjadi DRIL. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini pada tabel 4.3, didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina pada pasien yang telah dilakukan terapi anti VEGF. 25-30

Keterbatasan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel hanya dilakukan pada satu waktu kunjungan, sehingga dalam menilai progresifitas penurunan ketebalan makula dengan sensitivitas retina belum dapat memberikan gambaran secara maksimal. Faktor-faktor lain yang memiliki hubungan terhadap sensitivitas retina juga memungkinkan untuk mempengaruhi hasil penelitian yang didapatkan seperti beberapa subjek sudah dilakukan terapi anti VEGF.

SIMPULAN

Terdapat korelasi hasil pemeriksaan OCT berupa ketebalan makula dan pemeriksaan Mikroperimetri MP3 berupa sensitivitas retina pada pasien DME.

Hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat cohort dalam menilai keberhasilan terapi pada pasien DME menggunakan korelasi OCT dan Mikroperimetri MP3.

DAFTAR PUSTAKA

1. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas, 9th ed. Brussels, Belgium: 2019.

2. IAPB. Diabetic Retinopathy – silently binding millions of people world-wide. IAPB vision atlas.

Diakses dari

http://atlas.iapb.org/vision-

trends/diabetic- retinopathy/ IMF.

3. Persatuan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni;2019

4. Sabanayagam C, Banu R, Chee ML, Lee R, Wang YX, Tan G, et al. Incidence and progression of

(8)

diabetic retinopathy: a systematic review. LANCET Diabetes Endrocrinol. 2018;8587(5):Hal.1-10.

5. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous.

Dalam : Basic and Clinical Science Course. USA: American Academy of Ophthalmology; 2018.

6. Grant MB, Lutty GA. Retinal and Choroidal Vasculature: Retinal Oxygenation. Dalam: Schachat AP, editor. Ryan’s Retina. Edisi ke-6.

China: Elsevier; 2018.

7. Skalicky SE. Ocular and Visual Physiology. Sydney: Springer;

2016. Hal. 285-98.

8. Kolb H. Morphology and Circuitry of Ganglion Cells. Dalam:

Kolb H, Fernandez E, Nelson R, editor. Webvision: The Organization of the Retina and Visual System. Salt Lake City (UT): University of Utah Health Science Center; 1995.

9. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study research group.

Photocoagulation for diabetic makula edema. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study report number 1.

Arch Ophthalmol. 1985;103. Hal.

1796-806.

10. Hodgson NM, Zhu J, Wu F, Ferreyra HA, Zhang K. Diabetic Retinopathy: Genetics and Etiologic Mechanisms. Dalam: Schachat AP, editor. Ryan’s Retina. Edisi ke-6.

China: Elsevier; 2018.

11. Henry E. Wiley, Emily Y, Chew, Frederick L. Ferris III.

Nonproliferative Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema. Dalam: Schachat AP, editor.

Ryan’s Retina. Edisi ke-6. China:

Elsevier; 2018.

12. Wu L, Fernandez-Loaiza P, Sauma J, et al. Classification of diabetic retinopathy and diabetic

makula edema. World Journal of Diabetes. 2013;4(6):290-4.

13. American Academy of Ophthalmology. Diabetic Retinopathy PPP - Updated 2016.

www.aao.org/preferred-practice- pattern/diabetic-retinopathy-ppp- updated-2016.

14. Wong TY, Aiello LP, Ferris F, Gupta N, Kawasaki R, Lansingh V, et al. Updated 2017 ICO Guidelines for Diabetic Eye Care. Int Counc Ophthalmol. 2017.

15. May JM. Ascorbic acid repletion: A possible therapy for diabetic makula edema. Free Radical Biology & Medicine. 2016;94. Hal.

47-54.

16. Bhagat N, Grigorian RA, Tutela A, Zarbin MA. Diabetic makula edema: pathogenesis and treatment. Survey of Ophthalmology.

2009;54(1). Hal. 1-32.

17. Wilkinson CP, Ferris FL 3rd, Klein RE, et al. Proposed international clinical diabetic retinopathy and diabetic makula edema disease severity scales.

Ophthalmology. 2003;110(9). Hal.

1677-8.

18. Tan CS, Chew MC, Lim LW, Sadda SR. Advances in retinal imaging for diabetic retinopathy and diabetic makula edema. Indian Journal of Ophthalmology.

2016;64(1). Hal. 76-83.

19. Mookiah MR, Acharya UR, Fujita H. Application of different imaging modalities for diagnosis of diabetic makula edema: A review.

Computers in Biology and Medicine.

2015;66. Hal. 295-315.

20. de Carlo TE, Chin AT, Joseph T. Distinguishing diabetic makula edema from capillary nonperfusion using optical coherence tomography

(9)

angiography. Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging Retina. 2016;47(2).

Hal. 108-14.

21. Novais EA, Louzada RN, Waheed NK. Contemporary retinal imaging techniques in diabetic retinopathy: a review. Clin Exp Ophthalmol. 2016;44(4). Hal. 289- 99.

22. Palkovits S, Hirnschall N, Georgiev S. Test-Retest reproducibility of the microperimeter MP3 with fundus image tracking in healthy subjects and patients with makula disease. Translational Vision Science and Technology. 2018;17(7).

Hal. 1-7.

23. Nagpal M, Khandelwal J, Juneja R. Correlation of optical coherence tomography angiography and microperimetry (MP3) features in wet age-related makula degeneration.

Indian Journal of Ophthalmology.

2018;66(12). Hal. 1790-5.

24. Riskesdas 2018 [Internet].

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018. Tersedia pada:

https://www.kemkes.go.id/resources/

download/info-terkini/hasil riskesdas-2018.pdf

25. Tag El-Din AE-M.

Comparative study between patients with subclinical diabetic retinopathy and healthy individuals in the retinal microvascular changes using optical

coherence tomography angiography.

Delta J Ophthalmol. 2019;20(3):132.

26. Vujosevic S, Midena E, Pilotto E, Radin PP, dkk. Diabetic macular edema: Correlation between microperimetry and optical coherence tomography findings. Investigate Ophthalmology & Visual Science.

2006;47(7). Hal 3044-51.

27. Etheridge T, Liu Z, Nalbandyan M, Cleland S, dkk.

Association of Macular Thickness with age and age-related macular degeneration in the carotenoids in age-related eye disease study 2 (CAREDS2), an ancillary study of the women’s health initiative. ARVO journal. 2021;10(2). Hal 39.

28. Wang Q, Wei WB, Wang YX, dkk. Thickness of individual layers at the macula and associated factors: the Beijing eye study. BMC Ophthalmol.

2020;20. Hal 49.

29. Kaur S, Siti-Aishah I, Haliza AM, Nor FN. HbA1c and retinal sensitivity in diabetics using microperimetry. Journal of Optometry. 2018;3(7).

30. Kahveci B, Ekinci YD.

Evaluation of the relationship between HbA1c level and retina choroidal thickness in patients with gestational diabetes mellitus.

Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021.

Referensi

Dokumen terkait