1 LAPORAN AKHIR
HIBAH BERSAING
Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun
PENERAPAN MODEL EXPERIENTIAL LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BLENDED
TIM PENGUSUL Ketua:
Dr. Robinsan Situmorang, M.Pd.
Anggota:
Kunto Imbar Nursetyo, M.Pd.
Retno widyaningrum, S.Sos., M.M
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2016
LEMBAR PENGESAHAN
RINGKASAN
PENERAPAN MODEL EXPERIENTIAL LEARNING
DALAM PEMBELAJARAN BLENDED UNTUK MATAKULIAH PENGEMBANGAN SISTEM INSTRUKSIONAL
Dr. Robinson Situmorang, M.Pd., Kunto Imbar Nursetyo, M.Pd., Retno widyaningrum, S.Sos., M.M
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan tahun kedua yang bertujuan untuk mengembangkan suatu model bahan kuliah Blended Learning yang dirancang khusus dengan menerapkan Experiential Learning. Matakuliah yang dikembangkan dalam penelitian pengembangan ini adalah Pengembangan Sistem Instruksional dan model yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Model APKL. Model APKL ini, adalah model yang dihasilkan pada penelitian tahap sebelumnya (tahap pertama). Model APKL merupakan model yang diperuntukan untuk mengembangkan blended learning dengan menerapkan experiential learning. APKL itu sendiri merupakan akronim dari Analisis, Pilih, kembangkan dan Lakukan.
Tahapan dalam penelitian ini adalah (1) menganalisis kebutuhan dan menentukan TIU, melakukan analisis instruksional dan analisis peserta didik, (2) Memilih TIK yang akan dikembangkan menggunakan experiential learning, memilih siklus yang akan dikembangkan menggunakan experiential learning, memilih tes acuan patokan dan memilih strategi instruksional, (3) mengembangkan sumber belajar dan butir evaluasi, (4) melakukan pembelajaran dan melakukan evaluasi formatif.
Untuk mengetahui keabsahan matakuliah yang dikembangkan dengan menerapkan experiential learning, maka materi kuliah diujicobakan kepada mahasiswa dengan kemampuan yang beragam sebagai sasaran one on one evaluation. Data dari one on one evaluation dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan masukan untuk merevisi. Hasil revisi kemudian digunakan untuk ujicoba tahap 2, yaitu small group evaluation. Data yang diperoleh dijadikan rujukan untuk revisi matakuliah Pengembangan Sistem Instruksional yang menerapkan experiential learning.
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Model Blended Learning dengan Menerapkan Experiential Learning.
Kami sangat berharap Laporan Kemajuan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Blended Learning dan Experiential Learning. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam Laporan Kemajuan ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan penelitian yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Jakarta, Oktober 2016.
Peneliti
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ...2
Ringkasan ...3
Prakata ...4
Daftar Isi ...5
Daftar Tabel ...6
Daftar Gambar ...7
Daftar Lampiran ...9
Bab I. Pendahuluan ...10
Bab II. Tinjauan Pustaka ...13
Bab III. Metodologi Penelitian ………...28
Bab IV. Hasil Penelitian dan Keterbatasan Penelitian...56
Bab V. Kesimpulan dan Saran ………...63
Daftar pustaka ...64 Lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Aktifitas Belajar Dalam Konteks Blended Learning 25
Tabel 2. Langkah Penelitian yang dilakukan 31
Tabel 3. Hasil one to one pada aspek Ketercapaian Tujuan 37 Tabel 4. Hasil one to one pada aspek Kemutahiran Konten 38 Tabel 5. Hasil one to one pada aspek Kesesuaian Materi dengan Medium 39 Tabel 6. Hasil one to one pada aspek Kecukupan Materi 40 Tabel 7. Hasil one to one pada aspek Kemudahan Akses 41 Tabel 8. Hasil one to one pada aspek Saran : Bagian dalam pembelajaran online yang
memberikan pengalaman kepada peserta didik. 42
Tabel 9. Hasil one to one pada aspek Saran : Intervensi pembelajaran yang
dapat memberikan pengalaman dalam pembelajaran online 42 Tabel 10. Hasil small group pada aspek Ketercapaian Tujuan 45 Tabel 11. Hasil small group pada aspek Kemutahiran Konten 46 Tabel 12. Hasil small group pada aspek Kesesuaian Materi dengan Medium 47 Tabel 13. Hasil small group pada aspek Kecukupan Materi 48 Tabel 14. Hasil small group pada aspek Kemudahan Akses 49 Tabel 15. Hasil small group pada aspek Saran : Bagian dalam pembelajaran
online yang memberikan pengalaman kepada peserta didik. 50 Tabel 16. Hasil small group pada aspek Saran : Intervensi pembelajaran yang
dapat memberikan pengalaman dalam pembelajaran online 51
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kontinum e-Learning diadaptasi dari Rashty (1999) oleh Noirid (2007 21
Gambar 2. Siklus belajar Kolb 26
Gambar 3. Hubungan antara siklus belajar dan gaya belajar 27
Gambar 4. Halaman Muka MK. PSI secara online 34
Gambar 5. Kontrak Kuliah MK. PSI secara online 34
Gambar 6. Daftar Sumber belajar online (Learning Path) yang dikembangkan 35
Gambar 7. Sumber belajar online yang dikembangkan 35
Gambar 8. Sumber belajar online yang dikembangkan 36
Gambar 9. Lembar Kerja Mahasiswa online yang dikembangkan 36 Gambar 10. Hasil one to one pada aspek Ketercapaian Tujuan 37 Gambar 11. Hasil one to one pada aspek Kemutahiran Konten 38 Gambar 12. Hasil one to one pada aspek Kesesuaian Materi dengan Medium 39 Gambar 13. Hasil one to one pada aspek Kecukupan Materi 40 Gambar 14. Hasil one to one pada aspek Kemudahan Akses 41 Gambar 15. Revisi : Menambah jenis medium penyampaian materi melalui format 43 Gambar 16. Revisi : Menambah jenis medium penyampaian materi 44 Gambar 17. Revisi : Petunjuk pada pembelajaran online 44 Gambar 18. Hasil small group pada aspek Ketercapaian Tujuan 45 Gambar 19. Hasil small group pada aspek Kemutahiran Konten 46 Gambar 20. Hasil small group pada aspek Kesesuaian Materi dengan Medium 47 Gambar 21. Hasil small group pada aspek Kecukupan Materi 48 Gambar 22. Hasil small group pada aspek Kemudahan Akses 49 Gambar 23. Survei yang dilakukan dengan menggunakan tool yang ada pada
platform Chamilo 52
Gambar 24. Butir pertanyaan yang diajukan menggunakan tool yang ada pada
platform Chamilo 53
Gambar 25. Butir pertanyaan yang diajukan menggunakan tool yang ada pada
platform Chamilo 53
Gambar 26. Produk Model APKL untuk Pengembangan Blended Learning
yang menerapkan Experiential Learning 56
Gambar 27. Produk: Buku Panduan Model Penerapan Blended Learning
yang menerapkan Experiential Learning 57
Gambar 28. Produk: Sumber Belajar online pada Model
Penerapan Blended Learning yang menerapkan Experiential
Learning untuk matakuliah Pengembangan Sistem Instruksional 58 Gambar 29. Produk:Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Model Penerapan
Blended Learning yang menerapkan Experiential Learning
untuk matakuliah Pengembangan Sistem Instruksional 58 Gambar 30. Produk: Sumber Belajar online pada Model
Penerapan Blended Learning yang menerapkan Experiential
Learning untuk matakuliah Pengembangan Sistem Instruksional 59 Gambar 31. Produk: Sumber Belajar online pada Model Penerapan
Blended Learning yang menerapkan Experiential Learning
untuk matakuliah Pengembangan Sistem Instruksional 59
Gambar 32. Isi Buku Pedoman 60
Gambar 33. Kendala IT yang sering ditemui dalam masa penelitian 62
DAFTAR LAMPIRAN
ETWC Proceeding Volume 1
Follow Up of Papers Presented in ETWC 2016
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah berpengaruh besar terhadap semua aspek kehidupan manusia. Potensi tersebut, sejak 10 – 15 tahun belakangan telah berpengaruh terhadap sektor pendidikan. Sejak saat itu, telah bermunculan istilah-istilah terkait dengan pembelajaran yang menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dengan aneka ragam terminologi seperti stand alone course, virtual classroom, embedded learning, blended learning, mobile learning, networked-learning, computer-assisted learning, web-based instruction, computer-mediated learning, online learning (Littlejohn
& Pegler, 2007, p. 16). Beberapa istilah tersebut mengacu pada konsep pembelajaran berbantuan teknologi elektronik yang dikenal dengan istilah e-learning. Istilah e-learning itu sendiri sendiri baru populer sejak tahun 2002 yang kemudian menjadi istilah generik yang memayungi semua istilah-istilah seperti tersebut di atas yang telah muncul beberapa tahun sebelumnya.
Di sisi lain, konsep kunci e-Learning itu sendiri masih merupakan istilah yang belum dipahami betul oleh semua pihak, sehingga dalam prakteknya masih dikendalikan oleh para vendor (penjual) teknologi informasi dan komunikasi. E-learning yang memiliki prospek luar biasa dan diprediksi penerapannya akan melambung tinggi ternyata meleset.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dolazelek (2004), Sugrue & Rivera (2005) seperti dikutip oleh Shank menunjukkan bahwa penerapan e-learning di perusahaan yang diprediksi mencapai 53% pada tahun 2003 ternayata hanya diadopsi oleh 10 – 20% saja.
Dengan kata lain, e-learning, dalam kenyataannya masih berbicara tentang potensi (promises) belum berbicara tentang bukti nyata dalam penerapannya di lapangan.
Di samping potensinya yang luar biasa, penerapan e-learning masih memiliki tantangan besar. Salah satu tantangan tersebut adalah bukan terletak pada aneka ragam teknologi informasi dan komunikasi yang dapat digunakan, tapi terletak pada bagaimana merancang (design) kombinasi penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang tepat untuk proses pembelajaran tertentu. Littlejohn menyebutnya dengan istilah design of blended e-learning (Littlejohn & Pegler, 2007, p. 28). Senada dengan Littlejohn, Khan juga mendefinisikan e-Learning dengan mencantumkan secara eksplisit kalimat pembelajaran yang perlu dirancang dengan baik (well-designed learning environment).
Kondisi seperti tersebut menunjukkan pentingnya peran rancangan sistem pembelajaran e-
learning (e-learning system design) yang dapat memberikan panduan bagi pihak terkait dalam mengimplementasikan e-Learning yang efektif. Bidang ini merupakan lahan garapan disiplin ilmu teknologi pendidikan. Sementara ini banyak tokoh yang telah berupaya menekankan peran desain sistem pembelajaran dalam mengembangkan dan mengimplementasikan e-learning, diantaranya adalah Khan (2005) melalui bukunya berjudul “Managing e-Learning Strategies”, Dabbagh & Ritland (2005) melalui bukunya berjudul “Online Learning: Concept, Strategies and Application”, Horton (2006) melalui bukunya berjudul “e-Learning by Design”, Littlejohn & Pegler (2007) melalui bukunya berjudul “Preparing for Blended e-Learning”, Somekh (2007) melalui bukunya berjudul
“Pedagogy and Learning with ICT”, dan lain-lain.
Di sisi lain, dalam kenyataannya di lapangan, perguruan tinggi cenderung menerapkan hybrid/blended learning dibandingkan dengan tatap muka saja atau pembelajaran online saja. Hal ini sangat rasional, karena perguruan tinggi tidak mungkin menerapkan pembelajaran online penuh, beda halnya dengan institusi penyelengara pendidikan jarak jauh dan perusahaan-perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan jarak jauh melalui pembelajaran online penuh.
Dengan demikian, jelas bahwa pembelajaran blended merupakan suatu pilihan.
Program Kurikulum dan Teknologi Pendidikan telah lama menawarkan pembelajaran blended untuk beberapa mata kuliah tertentu. Dalam penerapannya masih bersifat sporadis dan belum didasarkan atas prinsip pembelajaran tertentu secara komprehensif maulai dari tahap perancangan, pelaksanaan maupun evaluasi. Padahal, pembelajaran blended, secara konseptual bukan hanya sekedar mengkombinasikan antara kuliah tatap muka dan kuliah online. Tapi, lebih jauh merupakan seni mengintegrasikan beraneka ragam sumber belajar dan aktivitas belajar yang tepat dimana peserta belajar dapat berinteraksi dan saling membangun ide. Pendapat Littlejohn dan Pegler ini menekankan pada konsep pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa (student-centered learning).
Dengan demikian, tantangan implementasi pembelajaran blended adalah bagaimana menciptakan lingkungan belajar aktif dan konstruktif, dimana teknologi informasi dan komunikasi menjadi sarananya. Pilihan teknologi informasi dan komunikasi baik yang bersifat offline, maupun online itu sendiri beraneka ragam jenisnya. Pemilihan dan penentuan teknologi informasi dan komunikasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi tertentu menjadi titik tolak perancangan blended learning. Di sisi lain, model dan pendekatan pembelajaran begitu beragam. Sehingga pemilihan teknologi informasi dan komunikasi yang tepat untuk mendukung model/pendekatan pembelajaran menjadi
perhatian penting pula. Dalam konteks penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengembangkan suatu model pembelajaran blended dengan menggunakan model experiential learning.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian seperti dijelaskan di atas, maka rumusan penelitian ini adalah, “Model pembelajaran blended seperti apa yang tepat untuk mata kuliah Desain Pembelajaran yang menggunakan model experiential learning?”
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model sistem pembelajaran blended dengan menerapkan model experiential learning.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan strategi pembelajaran blended yang tepat dan relevan untuk setiap tahapan model experiential learning, yaitu pada tahap:
1. pengalaman konkrit (concrete experience/CE);
2. pengamatan reflektif (reflective observation/RO);
3. konseptualisasi abstrak (abstract conceptualization/AC);, dan 4. eksperimentasi aktif (active experimentation/AE).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Model Desain Sistem Pembelajaran 1. Model Desain Sistem Pembelajaran
Secara umum, dalam bahasa awam, model dapat dikatakan sebagai contoh atau suatu patokan yang dapat diikuti. Dalam prakteknya, model diperlukan sebagai contoh, patokan dan panduan dalam melakukan berbagai hal. Sebagai contoh, seorang tukang memerlukan model dalam bentuk gambar rumah yang diwujudkan dengan sketsa rumah yang digambarkan pada selembar kertas khusus. Begitu pula seorang koki yang hendak memasakh menu khusus tertentu, memerlukan model berupa resep masakan yang dituangkan secara deskriptif dalam bentuk langkah-langkah yang terurut dan logis.
Para ahli menitik beratkan pengertian model sebagai suatu bentuk representasi sederhana dari sesuatu yang sifatnya rumit (kompleks). Gustafson dan Branch mendefinisikan model sebagai suatu representasi sederhana dari suatu bentuk, proses, dan fungsi fenomena fisik dan ide yang lebih kompleks.1 Miarso mendefinisikan model sebagai representasi suatu proses dalam bentuk grafis dan/atau naratif, dengan menunjukkan unsur-unsur utama serta strukturnya.2 Prawiradilaga menjelaskan model sebagai tampilan grafis, prosedur kerja yang teratur atau sistematis, serta mengandung pemikiran bersifat uraian atau penjelasan berikut saran.3 Dengan merujuk pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model dapat direpresentasikan dalam bentuk grafis seperti gambar, diagram, bagan dan narasi atau deskripsi dimana didalamnya menunjukkan unsur-unsur utama serta strukturnya. Model juga menggambarkan prosedur kerja yang dapat dijadikan sebagai acuan atau panduan dalam melakukan sesuatu.
Dalam penelitian ini, secara operasional peneliti mendefinisikan model sebagai representasi suatu proses dan/atau ide kompleks yang dapat memberikan gambaran
1 Kent Gustafson & Branch, R., Survey of Instructional Development Models (Fourth Edition). (New York:
Clearninghouse on Infromation and Technology, Syracuse Unoversity, 2002), p. 7.
2 Yusufhadi Miarso, Survey Model Pengembangan Instruksional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1998), p. 8.
3 Dewi S. Prawiradilaga, Prinsip Desain Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, Prenada Media Group, 2007), p. 33.
prosedur kerja yang sistematis dan logis dalam bentuk grafis dan/atau naratif dimana struktur unsur-unsur utama serta hubungan antar unsur tersebut tercantum secara jelas.
Sebelum membahas konsep desain sistem pembelajaran, sebaiknya dibahas terlebih dahulu tentang istilah desain. Pada dasarnya kegiatan merancang atau mendesain merupakan suatu keniscayaan ketika seseorang akan melakukan sesuatu.
Jika tidak, maka sesuatu yang akan dilakukan tersebut melenceng atau tidak sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Cennamo dan Kalk mendefinisikan desain sebagai upaya merencanakan sesuatu secara hati-hati sebelum melakukan pengembangan (careful planning prior to development).4 Pendek kata dapat dikatakan bahwa pengembangan yang baik berasal dari perencanaan yang matang (desain yang baik). Itulah sebabnya Piskurich mengatakan bahwa suatu pendidikan atau pelatihan tidak berhasil dengan baik disebabkan karena desain pembelajaran yang tidak baik (poor instructional design).5 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain merupakan fondasinya suatu pengembangan, apapun itu. Jika tidak, maka pengembangan yang dilakukan tidak akan berhasil dengan baik, atau bahkan gagal total. Dalam konteks penelitian ini, tentu saja yang dimaksud adalah desain pembelajaran dimana hasil dari desain akan menjadi landasan dalam mengembangkan suatu proses pembelajaran sehingga berhasil dengan baik (optimal). Dalam penelitian ini, secara operasional, desain didefinisikan sebagai suatu rancangan sebagai hasil dari perencanaan yang matang sebagai landasan suatu pengembangan.
Selanjutnya, penting sekali dibahas tentang konsep pembelajaran (instruction).
Aktifitas pendidkan dan/atau pelatihan, apapun itu, terjadi melalui proses yang dinamakan pembelajaran (instruction). Pembelajaran secara sederhana didefinisikan sebagai upaya memfasilitasi belajar secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.6 Hal senada diungkapkan pula oleh Driscoll (2000) seperti dikutip oleh Smith dan Ragan yang mendefinisikan pembelajaran sebagai pengaturan kondisi belajar yang disengaja untuk mendorong tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.7 Dua definisi tersebut menekankan bahwa pembelajaran adalah suatu suatu kondisi untuk memfasilitasi terjadinya belajar sehingga tujuan pembelajaran yang s telah ditentukan dapat dicapai secara optimal.
4 Cennamo, K., & Kalk, D., Real World Instructional Design, ( Canada: Thompson Learning, Inc., 2005), p. 2.
5 George Piskurich, Rapid Instructional Design: Learning ID Fast and Right (Second Edition), (San Fransisco, CA:
Pfeiffer, John Wiley and Sons, Inc., 2006), pp. 2 – 3.
6 Smith, P., & Ragan, T., Instructional Design (Third Edition), (USA: John Wiley & Sons, Inc., 2005), p. 4
7 Ibid. p. 5
Dengan demikian, dalam penelitian ini, secara operasional, pembelajaran didefinisikan sebagai penciptaan suatu kondisi yang dapat memfasilitsi terjadinya belajar sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dapat tercapai secara optimal.
Pembelajaran merupakan suatu sistem, didalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain saling ketergantungan. Banathy (1987) seperti dikutip oleh Reiser mendefinisikan sistem sebagai serangkaian elemen terpadu yang saling berinteraksi satu sama lain. Reiser sendiri menyatakan sistem sebagai suatu postulat dimana dalam suatu sistem setiap elemen atau unsur didalamnya saling ketergantungan (interdependent), sinergistik (synergistic), dinamik (dynamic) dan cybernetic.8 Definisi ini menjelaskan bahwa suatu sistem memiliki beberapa karakteristik, yaitu saling ketergantungan, sinergistik, dinamis dan cybernetic. Sebagai suatu sistem, suatu pembelajaran memiliki elemen-elemen kunci. Elemen kunci suatu sistem pembelajaran menurut Kemp terdiri dari empat unsur yaitu, 1) pemelajar (leaners); 2) tujuan pembelajaran (objectives); 3) metode pembelajaran (methods); dan 4) evaluasi (evaluation).9 Hal senada diungkapkan oleh Cennamo dan Kalk yang menjelaskan lima unsur utama sistem pembelajaran dalam suatu diagram dengan nama “Essential Triangle of Instructional Design”. Lima unsur utama tersebut adalah: 1) pemelajar (learners); 2) hasil belajar (outcomes); 3) aktifitas pembelajaran (activities); 4) assessment; dan 5) evaluasi (evaluation). Pada dasarnya, baik Kemp maupun Cennamo menggambarkan unsur kunci yang sama dari suatu sistem pembelajaran. Hanya saja, Cennamo membedakan antara assessment dengan evaluasi. Sementara, Kemp menganggap assessment sebagai bagian dari evaluasi secara umum. Intinya, sistem pembelajaran teridir dari unsur: 1) siapa yang akan belajar?; 2) hasil belajar apa yang akan dicapai?; 3) metode atau aktifitas apa yang akan dilakukan agar tejadi belajar dan mencapai tujuan yang diinginkan?; dan 4) bagaimana keberhasilan belajar diukur dan dinilai?.
Desain sistem pembelajaran, jika mengacu pada beberapa definisi istilah seperti tersebut di atas, dapat didefinisikan sebagai upaya membuat rancangan (blueprint) untuk memfasilitasi terjadinya belajar sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai secara optimal. Sebagai suatu sistem, maka kompenen desain sistem
8 Reiser, R., & Dempsey, J., Trends and Issues in Instructional Design and Technology (Second Edition). New Jersey, USA: Pearson Education, Inc., 2007), p. 11.
9 Jerold Kemp, Morrison, G., & Ross, S., Designing Effective Instruction, (New York, USA: Macmillan College Publishing Company, 1994), p. 8.
pembelajaran akan meliputi unsur: 1) pemelajar; 2) tujuan yang ingin dicapai; 3) metode pembelajaran; serta 4) cara mengukur dan menilai pencapaian hasil belajar.
Namun demikian, para ahli telah menyederhanakan intisari desain sistem pembelajaran dengan berbagai definisi yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda tapi untuk tujuan yang sama, yaitu mencapai keempat komponen tersebut secara terpadu dan sistemik.
Piskurich mendefinisikan desain sistem pembelajaran sebagai suatu cara untuk merencanakan suatu program pelatihan sejak dari ketika anda memperoleh ide/gagasan (atau ide tersebut diberikan kepada anda) sampai ketika anda menyelesaikan versi revisi dari program pelatihan awal (draft) dan melaksanakan program tersebut.10 Dalam hal ini, Piskurich menggunakan istilah “training” bukan pembelajaran karena sehari-hari profesinya adalah desainer pelatihan.
Sementara Gustafson dan Branch mendefinisikan desain sistem pembelajaran sebagai suatu proses yang sistematis yang digunakan untuk mengembangkan suatu program pendidikan atau pelatihan dengan cara konsisten dan handal (reliable).
Gustafson dan Branch juga menambahkan bahwa desain sistem pembelajaran merupakan suatu proses yang rumit (kompleks) yaitu kreatif, aktif dan iteratif.11 Definisi tersebut menjelaskan bahwa desain pembelajaran merupakan proses yang sistematis, artinya merupakan suatu prosedur yang menuntut tahap demi tahap, selangkah demi selangkah secara terurut. Disamping itu, desain sistem pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks yang menuntut kreatifitas dan peran aktif dari seorang desainer pembelajaran itu sendiri. Bahkan, prosesnya sendiri merupakan suatu siklus yang berulang-ulang (iteratif). Artinya, desain pembelajaran merupakan suatu proses yang berkesinambungan, tidak berakhir sampai ketika suatu sistem pembelajaran berhasil dikembangkan, tapi sampai pelaksanaan, perbaikan kembali, pelaksanaan, perbaikan kembali dan seterusnya.
Seels dan Richey mendefinisikan desain sistem pembelajaran sebagai prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisaan (analysis), perancangan (design), pengembangan (development), penerapan (implementation) dan
10 Piskurich, opcit., p. 4.
11 Gustafson, opcit., p. 11
evaluasi (evaluation) pembelajaran.12 Definisi ini menjelaskan bahwa secara generik, langkah-langkah desain sistem pembelajaran meliputi tahap-tahap yang bersifat iteratif mulai dari tahap analisis (analysis), perancangan (design), pengembangan (development), penerapan (implementation), dan evaluasi (evaluation). Langkah generic ini lebih dikenal dengan istilah ADDIE yang merupakan kependekan dari analysis, design, development, implementation dan evaluation.
Dalam penelitian ini, peneliti secara operasional mendefinisikan desain sistem pembelajaran sebagai prosedur sistematis dan iteratif yang meliputi tahap analisis, perancangan, pengembangan, implementasi dan evaluasi untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan model desain sistem pembelajaran adalah panduan yang menggambarkan prosedur sistematis dan iteratif untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran tertentu tersebut. Output dari desain sistem pembelajaran dengan menggunakan suatu model desain pembelajaran tertentu adalah berupa rancangan (blueprint) sistem pembelajaran yang meliputi unsur: 1) siapa yang akan belajar (pemelajar); 2) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai (objectives);
3) aktifitas yang memungkinkan terjadinya pengalaman belajar (strategies); 4) sumber belajar yang dibutuhkan (learning resources); dan 5) cara untuk mengukur dan menilai hasil belajar (evaluasi).
2. Pendekatan Pengembangan Model Desain Sistem Pembelajaran
Pendekatan penelitian untuk mengembangkan suatu produk pembelajaran, dimana salah satunya adalah pengembangan suatu sistem pembelajaran dengan istilah penelitian pengembangan. Richey dan Klein menjelaskannya dalam sebuah buku berjudul “Design and Development Research” atau dalam Bahasa Indonesia secara harfiah diterjemahkan sebagai “Penelitian Perancangan dan Pengembangan”. Richey dan Klein mendefinisikan penelitian perancangan dan pengembangan sebagai suatu studi sistematis untuk merancang, mengembangkan dan mengevaluasi proses dengan tujuan menghasilkan landasan empirik untuk menciptakan suatu produk instruksional maupun non-instruksional termasuk didalamnya cara-cara atau alat dan model baru atau
12 Seels, B., & Richey, R.. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya (Terjemahan). (Jakarta: Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia bekerjsama dengan Lembaga Pengembang Teknologi Kinerja, 1994), p. 33.
diperbaharui yang dapat membantu proses pengembangan tersebut.13 Jadi, pendekatan penelitian ini bertujuan untuk merancang, mengembangkan dan/atau mengevaluasi proses penciptaan suatu produk instruksional maupun non instruksional. Sebagai contoh, ketika seorang desainer pembelajaran akan merancang suatu sistem pembelajaran dalam konteks tertentu, maka pendekatan penelitian ini dapat digunakan untuk mendapatkan landasan empirik dari suatu sistem pembelajaran yang dirancangnya tersebut.
Selain pendekatan penelitian perancangan dan pengembangan, dalam konteks teknologi pendidikan, khususnya pengembangan teori pembelajaran, terdapat beberapa pendekatan penelitian lain, diantaranya adalah penelitain berbasis desain (design-based research) dan penelitian formatif (formative research).14 Wang dan Hannafin (2005) seperti dikutip oleh Reigeluth dan An (2009) mendefinisikan penelitian berbasis desain sebagai suatu metodologi yang sistematis tapi fleksibel yang bertujuan untuk meningkatkan praktek pendidikan melalui analisis, desain, pengembangan dan implementasi iterative berdasarkan kolaborasi antara peneliti dan praktisi dalam seting dunia nyata dan mengarah pada prinsip-prinsip desain dan teori yang peka terhadap konteks.15 Pendekatan penelitian ini, menganut tahapan iteratif yang sama dengan penelitian perancangan dan pengembangan seperti diungkapkan oleh Seels dan Klein seperti tersebut di atas, yaitu tahap analisis, desain, pengembangan, dan implementasi.
Namun demikian, penelitian ini lebih menekankan adanya kolaborasi antara peneliti dan praktisi dalam pelaksanaannya dalam seting yang senyatanya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki baik teori maupun praktek. Dalam hal ini adalah teori dan praktek pembelajaran.
Pendekatan penelitian selanjutnya adalah penelitian formatif. Tokoh penelitian formatif adalah Reigeluth itu sendiri. Penelitian formatif adalah sejenis penelitian pengembangan dan penelitian berbasis desain yang bertujuan untuk meningkatkan tiga hal: suatu kasus tertentu (produk, peristiwa, atau keduanya), suatu teori pembelajaran terkait dengan kasus tertentu, dan teori deskriptif terkait dengan teori pembelajaran.16 Jadi, penelitian formatif cocok digunakan untuk mengembangkan atau memperbaiki
13 Rita Richey & Klein, J., Design and Development Research. (New Jersey, USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2007), p. 1
14 Reigeluth, C., & An, Y.-J., Theory Building dalam Instructional Design Theory and Models (Vol. III), (New York, USA: Routledge, (2009), p. 376.
15 Ibid. p. 378.
16 Ibid. p. 381.
suatu teori pembelajaran. Dengan kata lain, penelitian formatif tepat digunakan untuk mengembangkan suatu model desain pembelajaran. Karena model desain sistem pembelajaran merupakan teori preskriptif (design theory) yang dapat menjadi panduan dalam mengembangkan suatu sistem pembelajaran tertentu. Penelitian formatif itu sendiri terdiri dari empat ragam atau bentuk, yaitu: 1) kasus yang dirancang untuk meningkatkan teori yang telah ada (designed case to improve existing theory); 2) kasus yang dirancang untuk mengembangkan suatu teori baru (desgned case to develop a new theory); 3) kasus alami untuk meningkatkan suatu teori yang telah ada (naturalistic case to improve an existing theory); dan 4) kasus alami untuk mengembangkan suatu teori baru (naturalistic case to develop a new theory.17
Pada dasarnya, baik penelitian pengembangan (Richey dan Klein), penelitian berbasis design (Wang and Hannafin) dan penelitian formatif (Reigeluth) menekankan pada upaya untuk meningkatkan sesuatu, bukan untuk membuktikan sesuatu seperti pendekatan penelitian positipistik. Oleh karenanya, jika kita perhatikan dengan baik, maka dalam implementasinya, ketiga pendekatan penelitian tersebut menggunakan satu atau lebih bentuk evaluasi formatif.
B. Blended Learning 1. Hakikat e-Learning
Ada banyak istilah atau terminologi yang mengacu pada kata e-Learning, seperti virtual learning, online learning, virtual class, e-training, dan lain-lain. Di samping itu, sulit juga mencari definisi yang jelas tentang e-Learning. Tapi, satu hal yang jelas, e-learning merupakan istilah generik dari pendayagunaan teknologi elektronik untuk pembelajaran. Stockley mendefinisikan e-learning sebagai penyampaian program pembelajaran, pelatihan atau pendidikan dengan menggunakan sarana elektronik seperti komputer atau alat elektronik lain seperti telepon genggam dengan berbagai cara untuk memberikan pelatihan, pendidikan atau bahan ajar.18 Stockley menegaskan e-learning sebagai penyampaian program pembelajaran atau pelatihan dengan memanfaatkan sarana elektronik. Jadi, huruf “e” pada kata e-learning merujuk pada penggunaan sarana elektronik untuk pembelajaran.
17 Ibid. pp. 381-384.
18 Derek Stockley, e-Learning Definition and Explanation . diunduh dari http://www.derekstock ley.com.aud, diunduh pada tanggal 19 Pebruari 2010.
Sementara itu, Naidu menyatakan bahwa e-learning, secara fundamental adalah proses pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjembatani kegiatan belajar dan pembelajaran baik secara asinkronous maupun sinkronous.19 Jadi, e-Learning diartikan sebagai penggunaan jaringan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran. Definisi ini menegaskan bahwa seting pembelajaran dalam konteks e-learning terjadi baik secara sinkronous dan asinkronous yang dijembatani oleh penggunaan jaringan teknologi informasi dan komunikasi.
Horton (2006), lebih tegas lagi mendefinisikan e-learning yang lebih menekankan pada pentingnya peristiwa belajar terjadi dengan bantuan teknologi elektronik tersebut.20 Ia mendefinisikan e-learning sebagai penggunaan teknologi informasi dan komputer untuk menciptakan pengalaman belajar. Jadi, menurut Horton, terjadinya pengalaman belajar melalui teknologi informasi dan computer tersebut hendaknya menjadi fokus utama.
Senda dengan Horton, Khan menjelaskan bahwa e-learning dapat dipandang sebagai pendekatan inovatif dalam menyampaikan pembelajaran yang telah dirancang dengan baik, berpusat pada pemelajar, interaktif dan dapat memfasilitasi pembelajaran untuk siapa saja, dimana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan atribut-atribut dan sumber dari beragam teknologi digital bersama dengan bahan ajar lain yang tepat untuk lingkungan belajar yang bersifat terbuka, terdistribusi dan fleksibel.21 Dalam hal ini, Khan menekankan bahwa dengan e-learning memungkinkan pembelajaran terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Mengacu pada beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa e-Learning merupakan istilah yang generik dan luas yang menjelaskan tentang penggunaan berbagai teknologi elektronik untuk menyampaikan pembelajaran. Lebih tepatnya, bukan hanya sekedar untuk menyampaikan pembelajaran, tapi lebih jauh untuk menciptakan pengalaman belajar yang optimal.
Teknologi elektronik tersebut dapat berupa komputer, internet maupun intranet serta teknologi elektronik lain seperti audio/radio, dan video/televisi.
19 Som Naidu, e-Learning: a Guidebook of Principles, Procedures, and Practices (Revision Editioni, 2006), (New delhi: Commonwealth Educational Media Center, 2006). p. 5.
20 William Horton, e-Learning by Design, (San Fransisco, CA: Pfeiffer: John Wiley & Sons, Inc., 2006), p. 1
21 Badrul Khan, Managing e-Learning Strategies: Design, Delivery, Implementation and Evaluation, (USA: Idea Group Inc., 2005) p. 3
e-Learning sebagai penerapan teknologi elektronik untuk menciptakan pengalaman belajar (pembelajaran), tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit.
Tapi, dalam prakteknya, e-learning merupakan suatu kontinum. Rashty (1999) seperti yang dikutip oleh Noirid mengklasifikasikan kontinum e-learning kedalam tiga kategori seperti digambarkan sebagai beirkut:22
Gambar 1: Kontinum e-Learning diadaptasi dari Rashty (1999) oleh Noirid (2007).
Diagram tersebut di atas menggambarkan kontinum e-learning mulai dari
“adjunct”, “blended/mixed”, dan “fully online”. Kategori adjunct adalah proses pembelajaran tradisional plus. Artinya pembelajaran tradisional yang ditunjang dengan sistem penyampaian secara online sebagai pengayaan. Keberadaan sistem penyampaian secara online merupakan suatu tambahan. Contoh untuk menunjang pembelajaran di kelas, seorang guru/dosen menugaskan siswa/mahasiswanya untuk mencari informasi dari internet.
Sementara, kategori mixed/blended menempatkan sistem penyampaian secara online sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Artinya baik proses tatap muka maupun pembelajaran secara online merupakan satu kesatuan utuh. Berbeda dengan model adjunct yang hanya menempatkan sistem penyampaian online sebagai tambahan. Dalam model blended,
22 Noirid, S. “E-learning Models: A Review of Literature”. The 1st International Conference on Educational Reform November 9-11, 2007, (Bangkok, Thailand: Mahasarakham University, 2007), p. 3.
Adjunct Mixed/Blendedd Fully Online
Continuing tradisional learning procceses, but
enhancing them or extending them beyond classroom hour with online resources particularly using
computer mediated communication (CMC).
Becoming as integral part of curricula. Mixing delivery of
content, CMC, or online collaboration with face to face session. Determining the appropriateness of online or face to face to deliver different aspects of
curricula.
All elarning interactiosn takes place online and all learning
materials delivered online, e.g. CMS, streaming video, audio hyperlinked course
materials, text and images.online collaboration is the key features of this model
tentu saja masalah relevansi topik pelajaran mana yang dapat dilakukan secara online dan mana yang dilakukan secara tatap muka (tradisional) menjadi faktor pertimbangan penting dalam penyesuaian dengan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa maupun kondisi yang ada.
Lain halnya dengan kategori fully online, semua interaksi pembelajaran dan penyampaian bahan belajar terjadi secara online. Contoh, bahan belajar berupa video diunggah dan diterima via internet, atau pembelajaran ditautkan (linked) melalui hyperlink ke sumber lain yang berupa teks atau gambar. Ciri utama model ini adalah terjadinya pembelajaran kolaboratif secara online. Tidak ada tatap muka sama sekali.
Pada dasarnya, baik online penuh maupun pembelajaran tatap muka memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelemahan pada online learning bisa diatasi oleh kelebihan pada pembelajaran tatap muka. Begitu pula sebaliknya, kelemahan pada tatap muka dapat diatasi oleh kelebihan online learning. Oleh karena itu, khususnya di perguruan tinggi, penerapan blended learning lebih tepat, mengingat kuliah tatap muka masih merupakan kewajiban.
2. Hakikat Blended Learning
Blended learning, secara umum dipahami sebagai proses pembelajaran yang mengkombinasikan antara pembelajaran tatap muka dan online. Menurut Thorne, ada dasarnya keberadaan blended learning merupakan suatu respon terhadap keberadaan kemajuan teknologi online dengan praktek terbaik pembelajaran tradisional. Ia menyatakan bahwa blended learning adalah suatu peluang upaya mengintegrasikan kemajuan inovasi dan teknologi yang ditawarkan secara online dengan interaksi dan partisipasi yang ditawarkan dalam pembelajaran tradisional.23
Watson menjelaskan blended learning sebagai konvergensi antara pembelajaran online dengan pembelajaran tatap muka. Secara tegas Ia menyatakan bahwa blended learning adalah pembelajaran yang mengkombinasikan komponen terbaik pembelajaran online dan pembelajaran tatap muka.24 Hal senada juga diungkapkan oleh Graham yang mendefinisikan blended learning sebagai kombinasi pembelajaran dari dua model proses belajar-mengajar yang secara historis berbeda, yaitu antara sistem
23 Thorne, K., Blended learning : How to Integrate Online and Traditional Learning. London, UK and USA: Kogan Page Limited, 2003), p. 16.
24 Watson, J., Blended Learning: Convergence between Online and Face-to-Face Education, (USA: North American Council for Online Learning, 2008), p. 4.
pembelajaran tradisional (tatap muka) dan sistem pembelajaran terdistribusi (distributed learing system).25 Sistem pembelajaran terdistribusi terjadi karena adanya pemanfaatan potensi yang luar biasa dari teknologi elektronik, khususnya komputer dan internet sehingga memungkinkan siapa saja dapat belajar kapan saja dan dimana saja.
Lebih jauh Bonk dan Graham menyatakan bahwa blended learning pada dasarnya mengkombinasikan aspek positif dari dua jenis lingkungan belajar yaitu pembelajaran di kelas dan e-learning (Bonk & Graham, 2006).26 Jadi, sama seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa dengan blended learning kelemahan pada pembelajaran tatap muka dapat diatasi dengan kelebihan pembelajaran online. Begitu pula sebaliknya, kelemahan online learning dapat diatasi dengan kelebihan pembelajaran tatap muka.
Antara keduanya, pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online, pada dasarnya merupakan suatu kesinambungan historis antara cara tradisional dengan cara modern.
Khan, menjelaskan blended learning dari perspektif yang lebih luas. Ia menyatakan bahwa blended learning merupakan kombinasi strategi penyampaian materi yang tepat dalam format yang tepat untuk orang yang tepat pada saat yang tepat.
Blended learning mengkombinasikan beragam media penyampaian yang dirancang untuk saling melengkapi satu sama lain dan mendorong terjadinya proses belajar yang optimal.27 Dengan demikian, dalam mendesain blended learning, ketepatan pemilihan kombinasi media penyampaian baik dalam seting pembelajaran tradisional maupun online menjadi penting. Dimana, fokus utamanya adalh terjadinya belajar secara optimal. Disamping itu, Khan menyatakan bahwa dalam blended learning meliputi kombinasi beragam aktifitas meliputi tatap muka dalam kelas, live e-learning, dan belajar mandiri. Semuanya merupakan kombinasi antara pembelajaran tradisional (dipandu oleh guru/dosen), pembelajaran online sinkronous, belajar mandiri secara asinkronous dan pembelajaran terstruktur yang didasarkan pada pengalaman pemelajar dan mentor (Khan, 2005, p. 202).28
Howard menjelaskan bahwa blended learning adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh komunitas belajar jarak jauh sebagai upaya memanfaatkan aktifitas
25 Charles R. Graham, Blended Learnin System: Definition, Current Trends and Future Direction dalam Bonk, Curtis, J. and Graham, Charles, R., "The Handbook of Blended Learning: Global Perspective, Local Design".
(San Fransisco, CA, USA: John Wiley and Sons, Inc., 2006), p. 5.
26 Bonk, C., & Graham, C., the Handbook of Blended Learning: Global Perspective, Local Design. (San Fransisco, California, USA: John Wiley and Sons, Inc., 2006), p. 16.
27 Khan, opcit. P. 202.
28 Ibid. p. 202
belajar sinkronous, seperti interaksi tatap muka dengan instruktur dan kerja kolaboratif dengan teman sejawat sebagai komplemen aktifitas belajar asinkronous yang dilakukan secara individu oleh peserta belajar.29 Hal senada disampaikan pula oleh Psikurich yang menjelaskan bahwa blended learning merupakan kombinasi komponen dari aspek pembelajaran sinkronous dan asinkronous dengan tujuan tercapainya efektifitas belajar yang maksimum (Piskurich, 2006, p. 306).30 Jadi, baik Khan, Howard dan Psikurich mendefinisikan blended learning dari perspektif seting pembelajaran sinkronous dan asinkronous. Intinya, blended learning dapat dikatakan sebagai kombinasi antara pembelajaran sinkronous yang terjadi pada saat dan bersamaan dan pembelajaran asinkronous yang terjadi pada waktu dan tempat yang berbeda.
Mengacu pada beberapa definisi di atas, pada dasarnya blended learning memfokuskan pada kombinasi aktifitas pembelajaran sinkronous dan pembelajaran asinkronous. Dalam penelitian ini secara operasional blended learning didefinisikan sebagai suatu bentuk sistem pembelajaran yang mengkombinasikan secara tepat antara aktifitas pembelajaran sinkronous dan aktifitas pembelajaran asinkronous untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
3. Seting Pembelajaran dalam Konteks Blended Learning
Seperti definisi operasional blended learning yang telah diungkapkan di atas, maka pada dasarnya terdapat dua seting pembelajaran yaitu pembelajaran asinkronous dan pembelajaran sinkronous.31 Pembelajaran sinkronous adalah proses belajar yang terjadi secara simultan pada saat yang sama antara pemelajar dengan tutor/guru/dosen, walaupun tidak harus terjadi di tempat yang sama.32 Pembelajaran sinkronous terdiri dari dua tipe. Tipe pertama adalah pembelajaran tatap muka dalam kelas.33 Oleh Khan dinamakan sebagai pembelajaran sinkronous secara fisik (synchronous physical format).34 Tipe sinkronous tatap muka langsung atau sinkronous secara fisik terjadi secara simultan pada saat yang sama di tempat yang sama. Contohnya adalah
29 Howard, L., Remenyi, Z., & Pap, G., "Adaptive Blended Learning Environment". 9th International Conference on Engineering Education, July 23 - 28, 2006, (Nashville, TN 37235: Vanderblit University, Institute for Software Integrated Systems, 2006), p. 1.
30 Piskurich, opcit. P. 306
31 Smaldino, S., Lowther, D., & Russel, J., Instructional Technology and Media for Learning (Ninth Edition), ( Upper Saddle River, New Jersey, USA: Perason Prentice Hall, Pearson Education, Inc., 2008), p. 16.
32 Littlejohn, A., & Pegler, C., Preparing for Blended e-Learning. (New York, USA: Routledge, 2007), p. 51.
33 Smaldino, lokcit.
34 Khan, opcit. P. 204
pembelajaran tatap muka di kelas, penelitian di laboratorium, karyawisata, presentasi dan diskusi kelompok dalam kelas, dan segala metode pembelajaran tradisional lainnya.
Tipe kedua adalah sinkornous online)35, atau disebut juga sinkronous kolaborasi virtual (Staley, 2007, p. 3)36 seperti konferensi audio/video, chatting, pembelajaran online langsung (live), instant messenging dan lain-lain.
Pembelajaran asinkronous adalah aktifitas pembelajaran yang memungkinkan pemelajar berbeda untuk mengalami materi ajar yang sama pada waktu dan tempat yang berbeda.37 Staley mengklasifikasikan aktifitas pembelajara asinkronous kedalam dua kategori, yaitu kolaborasi virtual asinkronous (seperti forum diskusi online. Mailinglist, e-mail, dll) dan asinkronous mandiri (seperti simulasi, tes online, searching materi, materi dalam bentuk pdf, doc, html, video, animasi, dll.).38
Jika diilusttrasikan kedalam suatu tabel maka seting dan aktifitas belajar dalam konteks blended learning dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.
Aktifitas Belajar Dalam Konteks Blended Learning Pembelajaran Sinkronous Pembelajaran Asinkronous Tatap Muka
Langsung
Sinkronous Maya
Asinkronous Kolaboratif
Asinkronous Mandiri
Ceramah dosen
Penelitian di lab
Diskusi kelompok
Karyawisata (semua metode pembelajaran tradisional)
Konferensi audio
Konferensi video
Chatting
Forum diskusi
mailinglist (list serv)
blog
wiki
Tes/asesmen online
Mengerjakan tugas
Searching materi
Mempelajari materi ajar dalam berbagai format (teks, grafis, audio, video, animasi, dll)
(diadaptasi dari Khan (2005) dan Staley (2007))
35 Ibid., p. 204.
36 Staley, L., Where Mind Meet, diunduh dari : http://wiki.carr.org/db/share/onlinesupervisor
wiki/Project/Archive/Examples/How/to/Blend/12475/Blended/Learning/Guidefrom/WJ.pdf . tanggal 14 Februari 2007, p. 3.
37 Smaldino, opct. p. 17.
38 Staley, opcit., p. 4.
C. Model Experiential Learning
Pada dasarnya, belajar terjadi ketika “mengalami”. Mengalami tidak hanya mengandalkan indera penglihatan dan pendengaran saja tapi semua indera secara simultan.
Istilah experiential learning diperkenalkan oleh tokohnya, yaitu David Kolb sejak tahun 1975. Asusmi yang mendasari pentingnya peristiwa mengalami dalam belajar adalah bahwa:
1. Peserta didik, belajar akan lebih baik ketika mereka terlibat secara langsung dalam pengalaman belajar,
2. adanya perbedaan-perbedaan secara individu dalam hal gaya yang disukai,
3. ide-ide dan prinsip-prinsip yang dialami dan ditemukan peserta didik lebih efektif dalam pemerolehan bahan ajar,
4. komitmen peserta didik dalam belajar akan lebih baik ketika mereka mengambil tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri, dan
5. belajar pada hakekatnya melalui suatu proses.
Mengacu pada asusmi tersebut, Kolb menciptakan 4 siklus belajar secara berurut walau tidak harus mulai dari urutan pertama, kedua atau seterusnya, sebagai berikut:39 1. pengalaman konkrit (concrete experience/CE);
2. pengamatan reflektif (reflective observation/RO);
3. konseptualisasi abstrak (abstract conceptualization/AC);, dan 4. eksperimentasi aktif (active experimentation/AE).
Gambar 2.Siklus belajar Kolb
39 Healey, M. & Jenkins, A. (2000) Kolb's Experiential Learning Theory and Its Application in Geographyin Higher Education, Journal of Geography, 99, pp.185-195
Dalam teorinya, Kolb mengaitkan pengalaman belajar tersebut dengan empat gaya belajar yaitu:
1. gaya belajar divergers; memandang sesuatu dari berbagai perspektif dan mempercayakan sepenuhnya pada curah pendapat dan ide;
2. gaya belajar asimilators; menggunakan reasoning induktif dan memiliki kemampuan untuk menciptakan model teoretis;
3. gaya belajar convergers; percaya sepenuhnya pada reasoning deduktif-hipotetik; dan 4. gaya belajar accomodators; melakukan perencanaan dan eksperimen dan
mengadaptasikannya terhadap situasi dan kondisi segera atau saat itu.
Hubungan antara siklus belajar dan gaya belajar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3
Hubungan antara siklus belajar dan gaya belajar
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model sistem pembelajaran blended dengan menerapkan model experiential learning.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan strategi pembelajaran blended yang tepat dan relevan untuk setiap tahapan model experiential learning, yaitu:
1. pengalaman konkrit (concrete experience/CE);
2. pengamatan reflektif (reflective observation/RO);
3. konseptualisasi abstrak (abstract conceptualization/AC);, dan 4. eksperimentasi aktif (active experimentation/AE).
B. Manfaat Penelitian
Penelitian pengembangan ini memiliki urgensi terhadap pentinngnya pengembangan suatu sistem pembelajaran, khususnya pembelajaran blended yang mempertimbangkan tidak hanya aspek teknologi tapi juga aspek pedagogi, dalam hal ini adalah prinsip pembelajaran yang mengacu pada salah satu model pembelajaran tertentu. Seperti dijelaskan pada latar belakang di atas, bahwa begitu banyak kasus e-learning yang cenderung dikembangkan berdasarkan kemauan vendor (vendor driven), sehingga lemah dari aspek desain pembelajaran. Sebagai program studi yang mendedikasikan diri dalam teknologi pendidikan, permasalahan ini menjadi sangat penting. Dengan demikian, melalui penelitian ini, beberapa manfaat sebagai berikut dapat dicapai, yaitu:
1. penelitian ini akan menghasilkan suatu sistem pembelajaran blended yang mendasarkan pada suatu model pembelajaran tertentu, dalam hal ini adalah model experiental learning. Sehingga kualitas pembelajaran untuk mata kuliah tersebut lebih terjamin.
2. penelitian ini akan menunjukkan gambaran secara utuh proses perancangan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran blended dengan menggunakan suatu model pembelajaran tertentu, dalam hal ini adalah model experiential learning. Sehingga dapat dijadikan sebagai contoh/model bagi dosen dalam mengembangkan suatu pembelajaran dengan model yang sama.
3. penelitian ini akan menghasilkan gambaran secara utuh pemilihan dan penentuan teknologi dan tool yang tepat untuk semua tahap model experiential learning.
Sehingga prosedur dan dasar pertimbangan pemilihan teknologi dan tool yang tepat tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan bagi para pengembang pembelajaran blended lainnya.
4. Penelitian ini, secara keseluruhan akan menghasilkan suatu prosedur pengembangan pembelajaran blended skala mikro yang juga dapat dijadikan sebagai rujukan bagi para pengembang pembelajaran lain.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Negeri Jakarta, khususnya Program Studi Pascasarjana Teknologi Pendidikan Strata 2. Pertimbangan memilih tempat penelitian ini karena Program Studi Pascasarjana Teknologi Pendidikan Strata 2 sedang mencoba mengembangkan perkuliahan dengan sistem blended learning, sehingga proses penelitian ini akan berjalan dengan baik dan memiliki nilai guna langsung terhadap program studi tersebut.
D. Obyek dan Subyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah pengembangan model desain sistem blended learning.
Subyek penelitian ini adalah para dosen yang sedang mengembangkan perkuliahan dengan sistem blended learning.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model. Oleh karena itu, secara umum pendekatan penelitian yang cocok untuk penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Richey dan Klein mendefinisikan penelitian pengembangan sebagai suatu studi sistematis untuk merancang, mengembangkan dan mengevaluasi proses dengan tujuan menghasilkan landasan empirik untuk menciptakan suatu produk instruksional maupun non-instruksional termasuk didalamnya cara-cara atau alat dan model baru atau diperbaharui yang dapat membantu proses pengembangan tersebut.40
40 Rita Richey & Klein, J., Design and Development Research. (New Jersey, USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2007), p. 1
Namun, karena penelitian ini secara lebih khusus bertujuan untuk menghasilkan suatu model desain pembelajaran atau dikenal dengan pengembangan model, maka penelitian ini lebih tepat menggunakan pendekatan penelitian formatif (formative research).
Penelitian formatif adalah sejenis penelitian pengembangan dan penelitian berbasis desain yang bertujuan untuk meningkatkan tiga hal, yaitu 1) suatu kasus tertentu (produk, peristiwa, atau keduanya); 2) suatu teori pembelajaran terkait dengan kasus tertentu; dan 3) teori deskriptif terkait dengan teori pembelajaran.41 Jadi, penelitian formatif cocok digunakan untuk mengembangkan atau memperbaiki suatu teori pembelajaran. Dengan kata lain, penelitian formatif tepat digunakan untuk mengembangkan suatu model desain pembelajaran. Dalam hal ini, model yang akan dikembangkan adalah model desain sistem blended learning, dimana model ini merupakan teori preskriptif (design theory) yang dapat menjadi panduan dalam mengembangkan suatu sistem blended learning tertentu.
2. Langkah-Langkah Penelitian Formatif
Penelitian formatif itu sendiri terdiri dari empat ragam atau bentuk, yaitu: 1) kasus yang dirancang untuk meningkatkan teori yang telah ada (designed case to improve existing theory); 2) kasus yang dirancang untuk mengembangkan suatu teori baru (desgned case to develop a new theory); 3) kasus alami untuk meningkatkan suatu teori yang telah ada (naturalistic case to improve an existing theory); dan 4) kasus alami untuk mengembangkan suatu teori baru (naturalistic case to develop a new theory).42 Dalam penelitian ini, bentuk penelitian formatif yang akan digunakan adalah bentuk kedua, yaitu kasus yang dirancang untuk mengembangkan suatu teori baru (desgned case to develop a new theory). Prosedur atau langkah-langkah penelitian untuk kategori ini seperti yang disarankan oleh Reigeluth (2009) adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan suatu kasus yang dapat membantu menghasilkan model tentatif (create a case that helps generate the tentative model). Reigeluth menyarankan untuk menciptakan model desain sistem pembelajaran berdasarkan kerangka teori, pengalaman, dan intuisi peneliti.
b. Mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif dan formatif terhadap model tentatif tersebut (collect and analyze descriptive and formative data on the instance).
41 Reigeluth, C., & An, Y.-J., Theory Building dalam Instructional Design Theory and Models (Vol. III), (New York, USA: Routledge, (2009), p. 381.
42 Ibid. p. 381-384.
c. Melakukan revisi terhadap model tentatif (revise the instance).
d. Ulangi siklus pengumpulan data dan revisi (repeate the data collection and revision cycle).
e. Memfinalkan teori tentatif (fully develop your tentative theory).
F. Langkah Penelitian
Berdasarkan prosedur yang disarankan oleh Reigeluth tersebut, maka langkah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pada tahap pertama, pengembang melakukan pengembangan pembelajaran menggunakan model yang sudah dikembangkan, yaitu
Tabel 2.
Langkah Penelitian yang dilakukan TAHAPAN KEGIATAN RINCIAN
KEGIATAN
HASIL ANALISIS
Menganalisis kebutuhan
dan menentukan TIU Mencari kesenjangan antara kondisi saat ini pada MK. PSI dengan kondisi ideal yang seharusnya tercapai.
Mahasiswa memiliki keterbatasan wawasan dan pengalaman dalam merancang sebuah prototype sistem instruksional.
Penentuan solusi atas kesenjangan ditemui
Dari proses analisis, diperoleh beberapa TIU yang dapat
dikembangkan secara online sebagai Learning Object pada
www.fip.web-bali.net.
Hal ini bertujuan agar mahasiswa memiliki akses lebih luas untuk mendapatkan informasi lain dan memiliki forum dalam berdiskusi menggunakan tools yang disediakan jika diperlukan.
Melakukan analisis instruksional
a. Menjabarkan kompetensi khusus yang akan
MK. PSI ini telah memiliki TIU (lihat
dikembangkan dalam
pembelajaran blended. lampiran kontrak kuliah).
b. Menentukan bentuk keterkaitan antar kompetensi yang ada.
Bentuk keterkaitan antar kompetesi adalah sebagai berikut:
o Hierarkis o Prosedural o Kluster o Kombinasi
Jenis keterkaitan dalam MK. PSI ini adalah kombinasi.
Analisis peserta didik Mempelajari
kecenderungan gaya belajar mahasiswa PSI menurut Kolb.
Berdasarkan analisis, mahasiswa MK. PSI ini termasuk dalam
Accomodators, yaitu mahasiswa belajar melalui menerapkan teori yang dihasilkan guna memecahkan masalah praktis PILIH
Memilih TIK yang akan dikembangkan
menggunakan experiential learning
Memilih kriteria TIK yang harus
dikembangkan dengan Experiential Learning dengan TIK non Experiential Learning.
Berdasarkan keseluruhan TIU tersebut, terdapat beberapa yang akan dikembangkan dalam pembelajaran Blended, yaitu:
1. Pengembangan Sistem
Pembelajaran . 2. Identifikasi
Kebutuhan Pembelajaran.
3. Analisis Pembelajaran.
4. Menyusun GBPP Memilih siklus yang akan
dikembangkan
menggunakan experiential learning
Mempelajari siklus Experiential Learning yang akan diterapkan.
Siklus yang diputuskan akan digunakan adalah, Eksperimentasi Aktif, yaitu Menerapkan solusi yang dihasilkan
untuk memecahkan masalah.
Memilih tes acuan patokan Memilih jenis Penilaian (TAP) yang dilakukan peserta didik untuk menilai mencapai tujuan pembelajaran.
TAP yang akan digunakan adalah menggunakan lembar kerja mahasiswa.
Memilih strategi instruksional
Fiksasi Rencana Pembelajaran experiential learning dalam blended learning
Dalam Lembar Kerja Mahasiswa, metode pembelajaran yang digunakan adalah memecahkan masalah KEMBANGKAN
Mengembangkan sumber
belajar Mengembangkan
sumber belajar
dilakukan berdasarkan strategi dan tes yang telah disusun.
Sumber belajar yang dikembangkan dapat dilihat pada tools Learning Path.
Mengembangkan butir
evaluasi Mengembangkan
evaluasi formatif untuk melihat pencapaian pembelajaran online yang menerapkan experiential Learning,
Evaluasi yang dikembangkan dapat dilihat pada tools assignment.
LAKUKAN
Melakukan pembelajaran Mengamati proses pembelajaran yang berlangsung secara online tahap awal
Melihat pencapaian prosentase dari masing- masing mahasiswa pada setiap materi yang dikembangkan.
Melakukan evaluasi Melakukan evaluasi Meminta mahasiswa mengerjakan tugas yang terdapat pada
assignment sebelum masa tenggat berakhir.
Berikut adalah hasil pengembangan Blended Learning yang menerapkan Experiential Learning yang telah dilakukan dan dikembangkan pada www.fip.web-bali.net .
Gambar 4.
Halaman Muka MK. PSI secara online
Gambar 5.
Kontrak Kuliah MK. PSI secara online
Gambar 6.
Daftar Sumber belajar online (Learning Path) yang dikembangkan
Gambar 7
Sumber belajar online yang dikembangkan
Gambar 8
Sumber belajar online yang dikembangkan
Gambar 9.
Lembar Kerja Mahasiswa online yang dikembangkan
2. Tahap Kedua adalah mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif dan formatif terhadap model tentatif yang telah dikembangkan dan diimplementasikan pada tahap pertama. Pada tahap ini model yang telah dikembangkan selanjutnya diujicobakan secara one to one kepada 3 mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Pendidikan Strata 2. Terdapat beberapa pertanyaan yang diajukan pada tahap ini, yang bertujuan untuk menerima masukan dalam proses pengembangan.
Adapun hasil dari tahap one to one ini sebagai berikut:
Aspek Ketercapaian Tujuan
Tabel 3
Hasil one to one pada aspek Ketercapaian Tujuan Ketercapaian Tujuan
Sangat
baik Baik Cukup Kurang Sangat
Kurang Lily
Colins V
Wita Puspitasari
V
Ubaidah V
Gambar 10.
Hasil one to one pada aspek Ketercapaian Tujuan
Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Ketercapaian Tujuan
Lily Colins Wita Puspitasari Ubaidah
Berdasarkan hasil yang dipaparkan melalui tabel dan gambar di atas, diketahui bahwa ketiga mahasiswa menyatakan materi online yang dikembangkan memiliki nilai yang sangat baik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sehingga berdasarkan hal ini, tidak dilakukan perbaikan atau revisi pada aspek ini oleh pengembang.
Aspek Kemutakhiran Konten
Tabel 4
Hasil one to one pada aspek Kemutahiran Konten Kemutakhiran Konten
Sangat baik
Baik Cukup Kurang Sangat
Kurang Lily
Colins
V Wita
Puspitasari V
Ubaidah V
Gambar 11
Hasil one to one pada aspek Kemutahiran Konten
Serupa dengan hasil Ketercapaian Tujuan, maka pada aspek Kemutahiran Konten yang dipaparkan melalui tabel dan gambar di atas, diketahui bahwa ketiga mahasiswa menyatakan materi online yang dikembangkan memiliki nilai yang baik
Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Kemutakhiran Konten
Lily Colins Wita Puspitasari Ubaidah
dalam kemutahiran konten. Sehingga berdasarkan hal ini, tidak dilakukan perbaikan atau revisi pada aspek ini oleh pengembang.
Aspek Kesesuaian Materi dengan Medium Tabel 5
Hasil one to one pada aspek Kesesuaian Materi dengan Medium Kesesuaian Materi dengan Medium
Sangat
baik Baik Cukup Kurang Sangat
Kurang Lily
Colins
V Wita
Puspitasari
V
Ubaidah V
Gambar 12
Hasil one to one pada aspek Kesesuaian Materi dengan Medium
Berbeda dengan dua aspek sebelumnya, pada aspek kesesuaian materi dengan medium memiliki penilaian yang bervariasi. Masing-masing mahasiswa memberikan penilaian yang berbeda, Lily Colins pada aspek ini memberikan penilaian Sangat Baik, Wita Puspitasari memberikan penilaian Baik, sedangkan Ubaidah menyatakan Cukup.
Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Kesesuaian Materi dengan Medium Lily Colins Wita Puspitasari Ubaidah
Perbedaan dari penilaian ini, selanjutnya akan dijadikan acuan dalam merevisi model atau pembelajaran online pada tahap selanjutnya.
Aspek Kecukupan Materi
Tabel 6
Hasil one to one pada aspek Kecukupan Materi Kecukupan Materi
Sangat
baik Baik Cukup Kurang Sangat
Kurang Lily
Colins
V Wita
Puspitasari
V
Ubaidah V
Gambar 13
Hasil one to one pada aspek Kecukupan Materi
Berdasarkan tabel dan gambar di atas, diketahui bahwa menurut para mahasiswa materi yang disajikan secara online ini sudah baik, oleh karena itu tidak diperlukan revisi atau perbaikan lagi pada aspek ini.
Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Kecukupan Materi
Lily Colins Wita Puspitasari Ubaidah
Aspek Kemudahan Akses
Tabel 7
Hasil one to one pada aspek Kemudahan Akses Kemudahan Akses
Sangat baik
Baik Cukup Kurang Sangat
Kurang Lily
Colins V
Wita
Puspitasari V
Ubaidah V
Gambar 14
Hasil one to one pada aspek Kemudahan Akses
Pada aspek kemudahan akses, kembali penilaian sangat variasi. Lily Colins menilai sangat baik untuk akses yang diberikan, Ubaidah menilai Baik sedangkan Wita Puspitasari menilai cukup untuk akses yang diberikan. Berdasarkan keberagaman ini, maka pengembang berencana akan melakukan revisi pada aspek kemudahan akses.
Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Kemudahan Akses
Lily Colins Wita Puspitasari Ubaidah
Aspek Bagian Pembelajaran Online yang Memberikan Pengalaman kepada Peserta Didik
Tabel 8
Hasil one to one pada aspek Saran : Bagian dalam pembelajaran online yang memberikan pengalaman kepada peserta didik.
Bagian apa saja dalam pembelajaran online ini yang memberikan pengalaman kepada Anda untuk mengembangkan
sistem instruksional?jelaskan pada kolom dibawah ini.
Lily
Colins Menyusun GBPP, karena pada bagian ini dibahasa bagaimana menyusun sebuah tujuan pembelajaran dan bagaimana
mengkaitkannya dengan materi pembelajaran.
Wita Puspitasari
materi jelas dan pada bagian assignment disertakan contoh dan format yang mamudahkan mahasiswa
Ubaidah bagian materi dan latihan penugasannya.
Jika sebelumnya para mahasiswa pada kesempatan one to one diberikan pertanyaan tertutup, maka pada bagian ini mahasiswa harus menjawab pertanyaan terbuka.
Aspek pertama pada pertanyaan terbuka yang ditanyakan adalah mengenai pengalaman belajar online. Menurut para mahasiswa pengalaman online dirasakan oleh para mahasiswa ini terdapat pada bagian latihan (assisgment) dan pada saat pemaparan materi.
Aspek Intervensi pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman dalam pembelajaran online
Tabel 9.
Hasil one to one pada aspek Saran : Intervensi pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman dalam pembelajaran online
Menurut Anda intervensi pembelajaran seperti apakah yang dapat memberikan pengalaman dalam pembelajaran
online?jelaskan pada kolom dibawah ini Lily
Colins
Yang melibatkan peserta secara langsung di dalam materi tersebut.
Wita Puspitasari
diskusi dalam forum chat yang melibatkan mahasiswa dan dosen
Ubaidah forum diskusi dan pembimbingan pengembangan desain instruksional