ASPEK BIOKIMIA SALIVA PADA KARIES GIGI
OLEH :
drg. I Gusti Agung Sri Pradnyani, M.Biomed
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2018
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan berkatNya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini berjudul Aspek Biokimia Saliva Pada Karies Gigi. Berbagai pihak telah banyak membantu penulis dalam keberlangsungan pembuatan karya tulis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan rekomendasi demi kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, kami berharap karya tulis ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.
Om Santih Santih Santih Om
Denpasar, 17 November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... ii
Bab I Pendahuluan ...1
1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Rumusan Masalah ...1
1.3. Tujuan Penulisan ...2
1.4. Manfaat Penulisan ...2
Bab II Tinjauan Pustaka ...3
2.1. Saliva ...3
2.1.1. Definisi Saliva ...3
2.1.2. Fungsi Saliva ...3
2.1.3. Volume dan pH Saliva ...5
2.1.4. Komposisi Saliva...6
2.2. Karies Gigi ...7
2.2.1. Definisi Karies Gigi ...7
2.2.2. Gejala Karies Gigi ...9
2.2.3. Penyebab Karies Gigi ...10
2.2.4. Patogenesa Karies Gigi ...12
2.2.5. Pencegahan Karies Gigi ...12
2.3. Aspek Biokimia Saliva Terhadap Karies Gigi ...15
Bab III Penutup ...16
3.1. Kesimpulan ...16
3.2. Saran ...16
Daftar Pustaka...17
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karies merupakan penyakit gigi yang sering terjadi di masyarakat sekitar.
Karies gigi umumnya terjadi akibat demineralisasi email dan dentin. Karies pada gigi juga dapat terjadi akibat kurangnya memperhatikan asupan makanan yang di konsumsi dan kurangnya menjaga kebersihan gigi dan mulut. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada penelitiannya tahun 2007 menyebutkan bahwa prevalensi karies aktif di Indonesia sebesar 46,5%. Yang dimana, angka tersebut sudah termasuk besar untuk masalah gigi dan mulut. Karies memang kebanyakan dialami oleh anak – anak, namun sangat memungkinkan juga terjadi kepada orang dewasa karena tidak hanya anak-anak, orang tua maupun remaja pun juga suka mengonsumsi makanan karbohidrat kariogenik tertinggi yaitu snack, yang dimana kandungan ini akan terus terdiam didalam gigi dan mulut apa bila tidak menggosok gigi setelahnya. Yang dimana, hal tersebut akan mempengaruhi kandungan pada saliva.
Saliva merupakan kandungan terbanyak yang terdapat dalam mulut, Ph yang terkandung pada saliva normalnya berkisar antara 6-7. Saliva akan mengalami penurunan Ph dari 6-7 menjadi Ph 5 pada saat mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat. Yang dimana, penurunan Ph tersebut berdampak pada penurunan asam pada plak gigi. Hal tersebut yang menghubungkan antara makanan yang di konsumsi, kandungan makanan yang memperngaruhi kandungan saliva serta bagaimana sifat Ph saliva yang tidak normal dan mengakibatkan terjadinya karies pada gigi.
Hal ini penting untuk diketahui agar kita sendiri bisa mencegah datangnya penyakit gigi dan mulut terutama karies. Maka dari itu, Student Project ini membahas mengenai Aspek Biokimia Saliva terhadap Karies Gigi. Agar kita bisa
meminimalisir terjadinya karies di Indonesia, dengan mengetahui bagaimana cara mencegah dan terjauh dari penyakit tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana hubungan saliva dalam aspek biokimia terhadap terjadinya karies gigi?
1.2.2 Bagaimana peran saliva pada terjadinya karies gigi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui hubungan saliva dalam aspek biokimia terhadap terjadinya karies gigi.
1.3.2 Untuk mengetahui peran saliva pada terjadinya karies gigi.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Dapat mengetahui hubungan saliva dalam aspek biokimia terhadap terjadinya karies gigi.
1.4.2 Dapat mengetahui peran saliva pada terjadinya karies gigi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Saliva
2.1.1 Definisi Saliva
Saliva adalah kelenjar eksokrin yang ada di dalam rongga mulut yang berhubungan langsung dengan mucosa dan gigi. Saliva sangat berperan dalam pencernaan makanan di dalam rongga mulut, mempertahankan keutuhan gigi, dan melakukan antibacterial untuk menjaga kesehatan rongga mulut (Tecky Indriana, 2011). Tempat untuk menghasilkannya saliva terdapat pda tiga kelenjar saliva major dan kelenjar saliva minor. Kelejar saliva major terdiri dari parotid (kelenjar tebesar), submadibular, sublingual (kelenjar terkecil). Kelenjar saliva minor yang disekresi dengan spontan dan lambat pada siang hari dan saat istirahat.
Saliva yang berdasarkan subernya terbagi menjadi dua, whola saliva dan saliva glandular. Saliva glandular berasal dari kelenjar saliva, sedangkan whola saliva adalah cairan dari pencampuran kelenjar saliva, mucus hidung dan faring, sulkus gingival, sel darah, bakteri yang bersarang di rongga mulut dari sisa makanan, dan sebagian kecil dari obat-obatan dan zat kimia yang masih tertinggal di dalam rongga mulut.
Saliva terbagi menjadi dua juga berdasarkan stimulasinya yaitu unstimulated saliva dan stimulated saliva. Stimulated saliva adalah saliva yang didapatkan karena stimulus dari farmakologi, mekanin, gustatori, olfaktori (Nila Kusuma, 2015).
2.1.2 Fungsi Saliva
Saliva tentunya memiliki peranan yang penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut. Berikut merupakan fungsi saliva:
a. Melindungi jaringan di dalam rongga mulut dengan cara pembersihan secara mekanis untuk mengurangi akumulasi plak pada gigi.
b. Lubrikasi elemen gigi, komponen saliva yang berperan dalam fungsi saliva untuk lubrikasi ialah mucin, glikoprotein, dan air.
c. Saliva mengandung ion-ion terutama ion bikarbonat dan ion fosfat berperan dalam aksi buffer yang mencegah demineralisasi gigi yang disebabkan oleh asam yang diproduksi oleh bakteri sewaktu metabolisme glukosa.
d. Agregasi bakteri yang dapat menghambat kolonisasi mikroorganisme. Komponen saliva yang berperan sebagai penghambat bakteri ialah amilase, defensin, lisozim, lactoferrin, lactoperoksida, mucin, cystatin, histatin, proline-rich glikoprotein, sekretori IgA, sekretori leukosit, protease inhibitor, statherin, dan thrombospondin.
e. Membantu dalam pengecapan rasa, fungsi pengecapan rasa dilakukan dengan cara melarutkan substansi makanan sehingga dapat dirasa oleh reseptor pengecapan yang terletak pada taste buds. Saliva yang diproduksi oleh kelenjar saliva minor yang berada didekat papilla circumvallata mengandung protein yang dapat mengikat substansi rasa dan mempresentasikannya pada reseptor pengecapan.
f. Membantu fungsi pencernaan. Saliva bertanggung jawab pada pencernaan awal zat tepung, mendukung pembentukan bolus makanan. Pencernaan tersebut terjadi dengan bantuan enzim pencernaan yang terdapat pada saliva, yaitu enzim α-amilase (ptialin). Komponen dalam saliva yang membantu dalam pencernaan makanan selain ptialin, ialah lipase, ribonuklease, protease, air dan mucin (Linardi, 2014).
2.1.3 Volume dan pH Saliva
Pada orang normal, jumlah rerata sekresi saliva dalam satu hari sekitar 1000 sampai dengan 1500 ml. Jumlah saliva yang disekresikan dalam keadaan tidak terstimulasi sekitar 0,32 ml/menit, sedangkan dalam keadaan terstimulasi mencapai 3-4 ml/menit. Stimulasi kelenjar saliva dapat berupa rangsangan olfaktorius, melihat dan memikirkan makanan, rangsangan mekanis, rangsangan kimiawi, neuronal, dan juga rasa sakit. Rangsangan mekanis terjadi pada saat mengunyah makanan yang keras atau permen karet. Rangsangan kimiawi terjadi ketika kita merasakan rasa manis, asam, asin, pahit, dan pedas. Rangsangan neural merupakan rangsangan yang melalui saraf simpatis dan parasimpatis. Rasa sakit karena radang seperti gingivitis maupun protesa yang tidak pas juga menstimulasi saliva. Selain itu stress dan kondisi psikis juga merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi sekresi saliva. Pada saat sekresi saliva meningkat, konsentrasi total protein, sodium, kalsium, klorida, dan bikarbonat juga pH saliva ikut meningkat, sedangkan konsentrasi inorganik fosfat, dan magnesium berkurang. Volume dan komponen saliva sangat menentukan kesehatan mulut. Kepentingan saliva bagi kesehatan mulut itu sendiri dapat terlihat ketika terjadi gangguan sekresi saliva berupa penurunan atau peningkatan sekresi saliva. Pada sekresi kurang dari 0,06 ml/menit (3 ml/jam) akan timbul keluhan mulut kering (xerostomia) (Linardi, 2014).
Derajat keasaman (pH) saliva yang normal berkisar antara 6.7-7.3. Derajat keasaman dan kapasitas penyangga saliva dapat dipengaruhi oleh irama siang dan malam (circadian sickle), diet, dan perangsangan kecepatan sekresi. Pengaruh irama siang dan malam menunjukkan bahwa derajat asam dan kapasitas penyangga saliva akan tinggi ketika bangun pagi, tetapi kemudian menurun dengan cepat. Pada saat 15 menit setelah makan derajat asam dan kapasitas penyangga saliva akan meninggi karena adanya rangsangan mekanis, namun setelah 30-60 menit menjadi rendah. Pada malam hari, derajat keasaman dan kapasitas penyangga saliva akan meningkat, tetapi menjelang tengah malam akan
turun kembali. Pada keadaan tidur, volume saliva akan berkurang, perbandingan bikarbonat dan ion hidrogen menurun sampai pH 4, dan konsentrasi bikarbonat rendah. Hal lain yang mempengaruhi pH saliva adalah kebiasaan merokok.
Merokok dalam jangka waktu yang lama tidak berpengaruh terhadap jumlah sekresi atau volume saliva, tetapi berpengaruh terhadap penurunan pH saliva normal dan kapasitas penyangganya. Diet kaya karbohidrat juga dapat menurunkan kapasitas penyangga saliva karena dengan adanya karbohidrat dapat terjadi peningkatan produksi asam oleh bakteri. Kapasitas penyangga saliva dapat meningkat ketika banyak mengkonsumsi diet kaya protein dan sayuran. Bakteri memanfaatkan protein sebagai sumber makanannya sehingga menghasilkan zat- zat yang bersifat basa seperti amoniak (Linardi, 2014).
Kecepatan sekresi saliva dapat langsung mempengaruhi derajat keasaman di dalam rongga mulut. Ketika terjadi peningkatan kecepatan sekresi saliva akan meningkatkan pH saliva, sebaliknya menurunnya kecepatan sekresi saliva akan menurunkan pH saliva. Keadaan tersebut akan mempengaruhi proses demineralisasi (pH 4.3) dan remineralisasi (pH 7.0) pada gigi. Penurunan pH secara berulang-ulang akan mengakibatkan terjadinya proses demineralisasi dan menjadi awal terjadinya proses karies (Linardi, 2014).
2.1.4 Komposisi Saliva
Komposisi saliva yang disekresi oleh kelenjar salivarius dapat dibedakan menjadi komponen anorganik dan komponen organik. Akan tetapi nilai komponen sangat bervariasi tergantung dari faktor-faktor berikut antara lain:
Irama siang dan malam, sifat dan besar stimulus, keadaan psikis, diet, kadar hormon, gerak badan dan obat yang dikonsumsi (Amerongen AVN, et all,2012).
Komponen anorganik saliva terutama adalah elektrolit dalam bentuk ion, antara lain: Na+, K+ , Ca2+, Mg2+, Cl- , HCO3 - , dan fosfat. Na+ dan K+
mempunyai konsentrasi tertinggi di dalam saliva. Ion Cl- merupakan komponen penting untuk aktivitas enzim amilase. Kalsium dan fosfat dalam saliva penting untuk remineralisasi email dan berperan pada pembentukan plak bakteri dan
karang gigi. Rodanida atau thiocynate (CNS-) sebagai antibakteri dalam kerjasama dengan sistem laktoperoksidase. Bikarbonat adalah ion bufer terpenting di dalam ludah (Apriyono DK, 2011).
Komponen organik saliva terutama tersusun oleh protein, musin, ureum, asam lemak, glukosa, asam amino, dan sejumlah kecil lipida. Produk-produk ini tersusun tidak hanya dari kelenjar ludah, akan tetapi juga berasal dari sisa makanan dan hasil pertukaran zat bakterial. Musin merupakan protein yang mempunyai molekul tinggi yang terikat oleh rantai hidrat arang pendek, oleh karena strukturnya yang memanjang dan sifatnya yang dapat menarik air sehingga membuat saliva menjadi pekat (Apriyono DK, 2011).
Susunan kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva menentukan pH dan kapasitas bufer. Dalam keadaan normal, pH saliva berkisar antara 6,8-7,2 12 bergantung pada perbandingan antara asam dan basa konjugat yang bersangkutan (Apriyono DK, 2011).
2.2 Karies Gigi
2.2.1 Definisi Karies Gigi
Karies gigi merupakan suatu penyakit yang menyerang jaringan keras gigi, yaitu enamel, dentin dan sementum. Karies gigi menyebabkan pembusukan di beberapa daerah akibat adanya proses melarutkan mineral permukaan gigi yang terus berkembang kebagian dalam gigi. Hal ini terjadi karena aktivitas jasad renik dalam karbohidrat yang dapat diragikan. Biasanya ditandai dengan dimineralisasi jaringan keras yang diikut kerusakan zat organiknya, sehingga bakteri masuk lebih jauh ke bagian dalam gigi. Dampaknya, gigi menjadi keropos, berlubang, bahkan patah. Karies gigi membuat seseorang mengalami kehilangan daya kunyah dan terganggunya pencernaan, yang mengakibatkan pertumbuhan kurang maksimal (Sinaga, 2013). Apabila karies gigi dibiarkan tanpa diatasi, maka akan timbul peradangan dan nanah pada gusi, peradangan tulang rahang, pembengkakan dan peradangan di kerongkongan sehingga
menyebabkan kesulitan menelan, abses pada jaringan gusi dan otot, bahkan menyebabkan selullitis atau infeksi kulit. Ketidaktahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan gigi dan mulut yang mengakibatkan penurunan produktivitas karena pengaruh sakit yang dirasakan. Hal ini karena menurunnya jaringan pendukung gigi. Karies gigi ini nantinya menjadi sumber infeksi yang dapat mengakibatkan beberapa penyakit sistemik (Nurhidayat dkk., 2012).
Berdasarkan tempat terjadinya, karies dibedakan menjadi beberapa jenis, sebagai berikut:
a. Karies Insisipen
Merupakan karies yang terjadi pada bagian terluar dan terkeras pada gigi, yaitu enamel gigi. Ciri-cirinya adalan timbulnya warna hitam atau coklat pada enamel dan belum sakit.
b. Karies Superfisialis
Merupakan karies yang sudah mencapai bagian dalam enamel. Biasanya ditandai dengan terbentuknya rongga pada permukaan gigi yang mencapai dentin dan gigi berwarna hitam. Karies Superfasialis menyebabkan rasa sakit ketika minum air dingin.
c. Karies Media
Merupakan karies yang sudah mencapai tulang gigi atau pertengahan antara permukaan gigi dan pulpa. Ciri- cirinya ditandai dengan adanya rongga yang besar dan dalam hingga mencapai pulpa dan rongga berwarna hitam. Biasanya timbul rasa sakit ketika terkena rangsangan dingin, makanan masam dan manis.
d. Karies Profunda
Merupakan karies yang terlah mencapai pulpa yang menimbulkan preadangan pada pulpa. Karies Profunda
menyebabkan gigi terasa sakit tiba-tiba, terbentuk abses/nanah di sekitar ujung gigi, dan biasanya gigi sampai pecah atau hilang karena mengalami pengeroposan.
Karies gigi secara historis telah dianggap komponen paling penting dari beban penyakit mulut global (Widayati, 2014). Rendahnya pengetahuan dan sedikitnya fasilitas kesehatan masih menjadi faktor utama penyebab terjadinya karies gigi di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia (World Health Organization) tercatat bahwa 60%-90% masyarakat mengalami karies gigi, khususnya pada anak-anak. Menurut hasil penelitian, Eropa, Amerika dan Asia termasuk Indonesia, merupakan negara dengan penderita karies terbesar. Menurut Riskesda 2017, prevalensi terjadinya karies aktif pada penduduk Indonesia dibandingkan tahun 2010 lalu di Indonesia adalah 43,4% (2007) meningkat menjadi 53,2% atau sekitar 93 juta jiwa (2013).
2.2.2. Gejala Karies Gigi
Karies gigi biasanya diawali dengan sakit gigi dan gigi menjadi sensitif setelah makan atau minum sesuatu berasa manis, asam, panas, dan dingin. Gejala lainnya juga terlihat adanya lubang pada gigi dan biasanya mulut menjadi bau tidak sedap. Tanda awal munculnya karies gigi yaitu adanya spot putih seperti kapur pada permukaan gigi yang menunjukan area dimineralisasi asam, Proses selanjutnya akan mengakibatkan perubahan warna menjadi coklat dan terbentuknya lubang pada gigi. Spot kecoklatan ini akan tampak mengkilap jika proses dimineralisasi telah berhenti atau jika kebersihan mulut sudah membaik.
Sebaliknya, jika spot kecoklatan masih terlihat buram menunjukan proses dimineralisasi masih berlangsung.
Pasien akan mulai mengeluh sakit dan timbul ngilu ketika kerusakan sudah mencapai dentin. Kerusakan pulpa yang akut akan terjadi apabila sakit gigi terjadi secara terus-menerus, bahkan sakit berdenyut-denyit di gigi sampai kepala, dan
sangat menganggu aktivitas. Jika karies sudah parah, maka akan terjadi peradangan dan timbul nanah pada gigi.
2.2.3. Penyebab Karies Gigi
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2008) menunjukkan bahwa hampir separuh penduduk Indonesia mengalami karies gigi. Makanan kariogenik merupakan faktor penyebab utama terjadinya karies gigi bersamasama dengan faktor mikroorganisme, gigi (host) dan waktu. Karbohidrat adalah bahan yang sangat kariogenik. Gula yang terolah seperti glukosa dan terutama sekali sukrosa sangat efektif menimbulkan karies karena akan menyebabkan turunnya pH saliva dibawah 5.5 secara drastis dan akan memudahkan terjadinya demineralisasi. Gula sukrosa mempunyai kemampuan yang lebih efisien terhadap pertumbuhan mikroorganisme asidogenik dibanding jenis karbohidrat lain. Selain itu, defisiensi beberapa vitamin dan mineraljuga mendorong terjadinya karies pada gigi seperti defisiensi vitamin A, B, C, dan D, kalsium, fosfor fluor dan zinc. Faktor Penyebab Karies Gigi Proses terjadinya karies pada gigi melibatkan beberapa faktor yang tidak berdiri sendiri tetapi saling bekerja sama. Ada 4 faktor penting yang saling berinteraksi dalam pernbentukan karies gigi, yaitu:
a. Mikroorganisme
Mikroorganisme sangat berperan menyebabkan karies. Streptococcus mutcins dan Lactobacillus merupakan 2 dari 500 bakteri yang terdapat pada plak gigi dan merupakan bakteri utama penyebab terjadinya karies. Plak adalah suatu massa padat yang merupakan kumpulan bakteri yang tidak terkalsifikasi, melekat erat pada permukaan gigi, tahan terhadap pelepasan dengan berkumur atau gerakan fisiologis jaringan lunak. Plak akan terbentuk pada semua permukaan gigi dan tambalan, perkembangannya paling baik pada daerah yang sulit untuk dibersihkan, seperti daerah tepi gingival, pada permukaan proksimal, dan di dalam fisur. Bakteri yang kariogenik tersebut
akan memfermentasi sukrosa menjadi asam laktat yang sangat kuat sehingga mampu menyebabkan demineralisasi.
b. Gigi (Host)
Morfologi setiap gigi manusia berbeda-beda, permukaan oklusal gigi memiliki lekuk dan fisur yang bermacam-macam dengan kedalaman yang berbeda pula. Gigi dengan lekukan yang dalam merupakan daerah yang sulit dibersihkan dari sisasisa makanan yang melekat sehingga plak akan mudah berkembang dan dapat menyebabkan terjadinya karies gigi. Karies gigi sering terjadi pada permukaan gigi yang spesifik baik pada gigi susu maupungigi permanen. Gigi susu akan mudah mengalami karies pada permukaan yang halus sedangkan karies pada gigi permanen ditemukan di permukaan pit dan fisur.
c. Makanan
Peran makanan dalam menyebabkan karies bersifat lokal, derajat kariogenik makanan tergantung dari komponennya. Sisa-sisa makanan dalam mulut (karbohidrat) merupakan substrat yag difermentasikan oleh bakteri untuk mendapatkan energi. Sukrosa dan gluosa di metabolismekan sedemikian rupa sehingga terbentuk polisakarida intrasel danekstrasel sehingga bakteri melekat pada permukaan gigi. Selain itu sukrosa juga menyediakan cadangan energi bagi metabolisme kariogenik. Sukrosa oleh bakteri kariogenik dipecah menjadi glukosa dan fruktosa, lebih lanjut glukosa ini dimetabolismekan menjadi asam laktat, asam format, asam sitrat dandekstran.
d. Waktu
Karies merupakan penyakit yang berkembangnya lambat dan keaktifannya berjalan bertahap serta merupakan proses dinamis yang ditandai oleh periode demineralisasi dan remineralisasi. Kecepatan karies anak-anak lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan kerusakan gigi orang dewasa (Brown and Dodds, 2008).
2.2.4. Patogenesa Karies Gigi
Karies gigi merupakan penyakit yang terdapat pada jaringan keras gigi seperti email, dentin dan sementum yang mengalami proses kronis regresif. Karies gigi terjadi karena adanya interaksi antara bakteri di permukaan gigi, plak atau biofilm dan diet, terutama komponen karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh bakteri plak menjadi asam, terutama asam laktat dan asetat. Yang ditandai dengan adanya demineralisasi jaringan keras gigi dan rusaknya bahan organik akibat terganggunya keseimbangan email dan sekelilingnya, menyebabkan terjadinya invasi bakteri serta kematian pulpa bakteri dapat berkembang ke jaringan periapeks sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri pada gigi.
Karies gigi merupakan penyakit periodontal yang dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat. Etiologi karies bersifat multifaktorial, sehingga memerlukan faktor-faktor penting seperti host, agent, mikroorganisme, substrat dan waktu.
Adapun yang membedakan faktor etiologi atas faktor penyebab primer yang langsung mempengaruhi biofilm atau lapisan tipis normal pada permukaan gigi 9 yang berasal dari saliva dan faktor modifikasi yang tidak langsung mempengaruhi biofilm (Purwaningsih et all, 2015).
2.2.5. Pencegahan Karies Gigi
Untuk mengurangi risiko karies gigi, diharapkan lebih memperhatikan konsumsi makanan anak, terutama makanan jajanan yang mengandung gula.
Selain itu, membiasakan anak mengkonsumsi makanan yang mengandung serat seperti buah dan sayur juga sangat diperlukan. Perlunya kunjungan berkala 6 bulan sekali ke dokter atau puskesmas untuk memperoleh berbagai nasihat prevent.
Pencegahan karies gigi dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer bertujuan untuk rnencegah terjadinya penyakit dan mempertahankan keseimbangan fisiologis.
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mendeteksi karies secara dim dan
intervensi untuk rnencegah berlanjutnyapenyakit. Pencegahan tersier ditujukan untuk rnencegah meiuasnya penyakit yang akan menyebabkan hilangnya fungsi pengunyahan dan gigi.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Modifikasidiet. Untuk mencegah terjadinya karies gigi maka perlu dilakukan modifikasi diet melalui berbagai cara, yaitu :
a. Memperbanyak memakan makanan kariostatik seperti lemak, proteindan fluor.
Lemak dapat meningkatkan pH saliva setelah mengkonsumsi karbohidrat. Lemak harus dikonsumsi sebelum memakan makanan yang manis. Proteinmeningkatkanurea saliva yang dapat menetralisir asam. Mengkonsumsi makanan tinggi protein setelah makan karbohidrat dapat mengembalikan pH menjadi 7 dengan cepat. Fiuor dapat rnencegah terjadinya karies. Fluor secara alami terdapat dalam jumlah yang kecil pada teh dan makanan laut. Fluor dari makanan, air atau minumanmelindungi gigi dari serangan asam. Fluor mempunyai efek antibakteri dan antiplak.
b. Mengganti gula
Gula sintetik seperti saccharine dan aspartam serta gula alkohol banyak digunakan pada makanan untuk mengurangi karies. Gula sintetik dan gula alkohol bersifat noncariogenic. Contoh dari gula alkohol adalah xylitol, sorbitol dan maltitol. Xylitol merupakanbentuk alkohol darixylose dan merupakan pengganti gula yang paling baik karena bakteri plakt idak bisa memetabolisme xylitol dan dapat mengurangi Streptococcus mutans pada rriuiut. Peneliti dari Universitas Michigan meneinukan bahwa anak sekolah yang mengunyah permen karet xylitol selama 5 menit, 3-5 kali sehari dapat mengurangi karies dan remineralisasi lesi awalkaries. 5 Sorbitol merupakan bentuk alkohol dari sukrosa yang dibuat dengan menambahkan hidrogen pada glukosa.
Penelitian menyimpulkan bahwa mengunyah permen karet sorbitol setelah makan dapat mengurangi terjadinya karies gigi secara signifikan. Sorbitol secara alami terdapat pada buah buahan dan sayur- sayuran. Maltitol merupakan bentuk alkohol dari mannose. Secara alami terdapat pada nenas, asparagus, kentang dan wortel.
c. Mengurangi mengkonsumsi makanan yang manis dan asam.
d. Mengurangi konsurnsi snack yang mengandung karbohidrat sebelurn tidur.
e. Mengkombinasikan makanan, seperti memakan makanan manis setelah makanprotein dan lemak atau setelah konsurnsi keju setelah memakan makanan yang manis.
f. Kombinasikan makanan mentah dan renyah yang dapat menstimulasi saliva dengan makanan yang dimasak.
g. Buah-buahan yang asam dapat menstimulasi produksi saliva.
h. Membatasi meminum minuman yang manis.
2. Pemakaian fluor
Fluor berfungsi menghambat enzim pembentukan asam oleh bakteri, menghambat kerusakan email lebih lanjut, serta membantu remineralisasi pada lesi awal karies. Fluor dapat diberikan dalam bentuk fluoridasi air minum, pasta gigi, obat kumur, dan tablet fluor.
3. Pit dan fissure sealant
Pit dan fissure sealant yaitu penutupan pit dan fissure yang dalam yang beresiko terhadap karies.
4. Pengendalian plak.
Pengendalian plak dapat dilakukan dengan tindakan secara mekanis yaitu dengan penyikatan gigi dan penggunaan alat-alat bantu lain seperti benang gigi, tusuk gigi dan sikat interdental serta tindakan secara kimiawi yaitu dengan menggunakan antibiotik dan senyawa-senyawa anti bakteri lain selain antibiotik.
Tahap pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pengobatan dan perawatan gigi dan mulut serta penambalan pada gigi berlubang.
Tahap pencegahan tersier dilakukan dengan cara perawatan pulpa (akar gigi) atau melakukan pencabutan gigi.
2.3 Aspek Biokimia Saliva Terhadap Karies Gigi
Karies gigi merupakan masalah utama di Indonesia, dimana hampir 90% dari jumlah penduduk bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulutnya. Karies gigi merupakan proses multifaktor yang terjadi melalui interaksi antara gigi dan saliva sebagai host, bakteri di dalam rongga mulut, serta makanan yang mudah difermentasikan. Diantara faktor tersebut saliva menjadi salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap keparahan karies gigi. Saliva mempengaruhi proses terjadinya karies karena saliva selalu membasahi gigi geligi sehingga mempengaruhi lingkungan dalam rongga mulut. Derajat keasaman (pH) saliva merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam karies gigi, kelainan periodontal, dan penyakit lain di rongga mulut. Kadar derajat keasaman (pH) saliva yang normal di dalam mulut berada di angka 7 dan bila nilai pH saliva jatuh < 5,5 berarti keadaannya sudah sangat kritis. Nilai pH saliva berbanding terbalik, dimana makin rendah nilai pH makin banyak asam dalam larutan, sebaliknya makin meningkatnya nilai pH berarti bertambahnya basa dalam larutan. Pada pH 7, tidak ada keasaman atau kebasaan larutan, dan ini disebut netral. Pertumbuhan bakteri terjadi pada pH saliva yang optimum berkisar (6,5- 7,5) dan bila rongga mulut pH salivanya rendah (4,5- 5,5) akan memudahkan pertumbuhan kuman asidogenik seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus. Derajat keasaman (pH) saliva merupakan bagian yang penting dalam meningkatkan integritas gigi karena dapat meningkatkan terjadinya remineralisasi, dimana penurunan pH saliva dapat menyebabkan
demineralisasi gigi. Adanya proses remineralisasi yang akan menurunkan kemungkinan terjadinya karies. Remineralisasi adalah suatu proses dimana permukaan gigi akan memperoleh mineral kembali (Tomasz, 2013).
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Karies gigi merupakan proses multifaktor utama yang terjadi melalui interaksi antara gigi dan saliva serta bakteri di dalam rongga mulut sehingga makanan mudah difermentasikan. Faktor tersebut menjelaskan bahwa saliva merupakan salah satu yang mempunyai pengaruh besar terhadap keparahan karies gigi. Dikarenakan, karies gigi bisa terjadi akibat perubahan Ph dalam saliva.
3.2 Saran
Untuk menjaga pH dalam saliva, kami menyarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang manis dan asam terlalu berlebihan. Gosoklah gigi setelah makan dan sebelum tidur, karena seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa fluor yang terkandung dalam pasta gigi dapat menghambat pembentukan enzim pembentuk asam oleh bakteri. serta melakukan pemeriksaan gigi selama 6 bulan sekali ke dokter gigi.
DAFTAR PUSTAKA
Amerongen AVN, Michels LFE, Roukema PA, Veerman ECL. Ludah dan kelenjar ludah arti bagi kesehatan gigi. Abyono R, editor. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press; 2012
Apriyono DK, Fatimatuzzahro N. Pengaruh kumur-kumur dengan larutan triclosan 3% terhadap pH saliva. CDK187. 2011
BrownJP and Dodds MWJ. Prevention Strategies for dental Caries. In: Cappelli DP and Mobley CC. Preventionand Clinical Oral Health Care. Missuori : Mosby Elsevier; 2008.
Juniarti, D., 2015. HUBUNGAN PERILAKU PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DENGAN STATUS KARIES. pp. 1-84.
Linardi, A. N., 2014. PERBEDAAN PH SALIVA ANTARA PENGGUNA PASTA GIGI YANG MENGANDUNG BAKING SODA DAN PENGGUNA PASTA GIGI YANG MENGANDUNG FLUOR. pp. 1-41.
Litbangkes Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2008.Jakarta:DepkesRI;2008.
Nurhidayat dkk., 2012. Perbandingan Media Power Point Dengan Flip Chart Dalam Meningkatkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index. php/ujph/article/viewFile/179/187.
Pudyasari, R, Susanto, H, Hestiningsih, R & Udiyono, A 2017, ‘GAMBARAN PRAKTIK ANAK DALAM PENCEGAHAN KARIES GIGI DENGAN KEJADIAN EARLY CHILDHOOD CARIES (ECC) PADA ANAK PRASEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANDARHARJO, SEMARANG UTARA, KOTA SEMARANG’, JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal), vol. 5, no. 4.
Ramayanti, S & Purnakarya, I 2013, ‘PERAN MAKANAN TERHADAP KEJADIAN KARIES GIGI’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 7, no. 2.
Riskesda. 2017. 93 Juta Lebih Penduduk Indonesia Menderita Karies Aktif.
Diakses dari http://www.kompasiana.com tanggal 12 November 2017.
Sinaga A. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan perilaku Ibu dalam Mencegah Karies Gigi Anak Usia 1–5 Tahun di Puskesmas Babakan Sari Bandung. Jurnal Darma Agung. XXI: 1–10.
Solikin, 2013. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI PADA ANAK PRASEKOLAH DI TK 01 PERTIWI KARANGBANGUN KARANGANYAR. NASKAH PUBLIKASI.
Tomasz M, Karpinski, Anna K, Szkanadkiewics, “ Mikrobiology of Dental Caries
“. J. Biol. Earth Sci. 2013;(1): M21-M24
WHO. 2016. Kasus Karies pada Anak Balita. (diakses dari http://health.kompas.com 15 Oktober 2017
Widayanti, N., 2014. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KARIES GIGI PADA ANAK USIA 4–6 TAHUN. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2 May, 2(2), pp. 196-205.
Ami Angela, 2008. Pencegahan primer pada anak yang berisiko karies tinggi.
Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.).
Indry Worotitjan , Christy N. Mintjelungan , Paulina Gunawan, 2013.
PENGALAMAN KARIES GIGI SERTA POLA MAKAN DAN MINUM PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DESA KIAWA KECAMATAN KAWANGKOAN UTARA. Jurnal e-GiGi (eG), Volume I, pp. hlm. 59-68.