1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan kemampuan memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (UU No.
18 Tahun 2014) dalam Avelina & Angelina, (2020).
Gangguan jiwa atau skizofrenia adalah respon maladaptif dari lingkungan internal dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma lokal atau budaya setempat dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik (Dermawan & Rusdi, 2013). Pengertian ini menjelaskan klien dengan gangguan jiwa akan menunjukan sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat dimana perilaku tersebut mengganggu fungsi sosialnya. Masalah kesehatan terutama klien dengan gangguan jiwa insidennya masih cukup tinggi.
Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2016 menunjukan bahwa gangguan jiwa dialami oleh sekitar 450 juta orang di seluruh dunia dengan
perkiraan 10% orang dewasa, dan 25% pada usia tertentu seseorang diprediksi akan mengalami gangguan jiwa (Kementrian Kesehatan, 2018) dikutip dalam Avelina & Angelina, (2020). Gangguan jiwa di Indonesia menjadi masalah yang cukup serius. Secara Nasional terdapat 0,17%
penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental berat (Skizofrenia) atau secara absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk Indonesia yang juga merupakan Negara berkembang diperkirakan ada 26 juta penduduknya mengalami gangguan jiwa, mulai dari tingkat rendah hingga berat (Kemenkes RI, 2013) dikutip dalam Avelina & Angelina, (2020).
Skizofrenia merupakan diagnosa medis yang banyak ditemukan pada pasien gangguan jiwa. Individu dengan skizofrenia menunjukan gangguan dalam proses kognitif dan menerima stimulus. Termasuk gangguan memori jangka panjang untuk merespon rasa bahagia, belajar, proses berfikir, membuat keputusan. Kondisi ini sering dihubungkan dengan gejala negatif skizofrenia (seperti anhedonia, asosial) (Green, dkk. 2019). Menurut WHO (2019) dalam Husni, (2021) Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis dan parah yang mempengaruhi 20 juta orang diseluruh dunia. Skizofrenia ditandai dengan distorsi dalam berfikir, persepsi, emosi, bahasa, rasa diri, dan perilaku. Pengalaman umum termasuk halusinasi (mendengar suara atau melihat hal – hal yang tidak ada) dan delusi (keyakinan tetap, salah). Hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) didapatkan bahwa pravalensi penderita skizofrenia di Indonesia sebesar 1,8 per 1.000 penduduk. Sementara itu di Provinsi Jawa Barat prevalensi (permil) Rumah Tangga dengan ART
gangguan jiwa Skizofrenia sebesar 4,97 permil atau 22.489 orang dan untuk Kabupaten Ciamis prevalensi gangguan jiwa skizofrenia sebesar 6,80 permil 603 orang (Riskesdas, 2018). Dan di Puskesmas Cikoneng terdapat 84 orang yang mengalami gangguan jiwa pada tahun 2022. Menurut penelitian Putri &
Trimusarofah, (2018) pada pasien skizofrenia, 70% pasien mengalami halusinasi.
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensorik tanpa rangsangan eksternal (pendengaran, visual, rasa, penciuman dan halusinasi taktil).
Halusinasi adalah salah satu gejala penyakit jiwa individu yang ditandai dengan perubahan persepsi; merasakan sensasi palsu dalam bentuk suara, penglihatan, sentuhan, atau inhalasi. Pasien merasakan rangsang yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2014). Menurut penelitian Putri, (2018) mengatakan bahwa pasien halusinasi dengan diagnosa medis skizofrenia sebanyak 20% mengalami halusinasi pendengaran dan penglihatan secara bersamaan, 70% mengalami halusinasi pendengaran, 20% mengalami halusinasi penglihatan, dan 10% mengalami halusinasi lainnya.
Tanda dan gejala yang terlihat pada pasien halusinasi termasuk berbicara, tertawa sendiri, marah tanpa alas an, berbalik kearah tertentu, takut sesuatu, mencium sesuatu, menutup hidung, meludah atau muntah serta menggaruk – garuk permukaan kulit (Putri & Trimusarofah, 2018). Tingginya angka penderita gangguan jiwa yang mengalami halusinasi merupakan sebuah masalah yang serius bagi dunia kesehatan dan keperawatan di Indonesia. Penderita halusinasi jika tidak ditangani dengan baik akan
berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang lain dan lingkungan. Tidak jarang ditemukan penderita yang melakukan tindak kekerasan karena halusinasinya (Ginting, 2013 ).
Beberapa faktor pasien kambuh dan perlunya penanganan dirumah sakit. Pertama, pasien gagal minum obat secara teratur, kedua dokter pemberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis teurapetik yang dapat mencegah kambuh dan efek samping, ketiga penanggung jawab pasien atas program adaptasi pasien dirumah sakit, keempat ketidakmampuan keluarga dalam merawat pasien juga sebagai faktor penyebab kekambuhan pasien (Putri & Trimusarofah, 2018). Beberapa pengalaman peneliti pada saat survei atau praktik di lapangan bahwa banyak sekali keluarga yang membiarkan pasien karena sudah lama mengurus pasien sakit, tanpa memberi dukungan pasien untuk berobat secara rutin, tidak mengantar pasien berobat, dan bahkan membiarkan pasien dengan gangguan jiwa dibiarkan berkeliaran di luar rumah, meski pasien masih memiliki keluarga yang utuh.
Keluarga adalah unit yang paling dekat dengan pasien merupakan
“perawat utama” bagi pasien. Keluarga berperan menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien dirumah. Keberhasilan perawat dirumah sakit dapat sia – sia jika tidak diteruskan dirumah karena dapat mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat pasien dirumah sehingga kemungkinan dapat dicegah (Putri & Trimusarofah, 2018).
Menurut penelitian Putri & Trimusarofah, (2018) peran perawat dalam menangani halusinasi salah satunya yaitu melakukan rencana asuhan keperawatan. Rencana asuhan keperawatan mencakup penerapan strategi pelaksanaan halusinasi baik secara individu maupun keluarga. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan melatih kemampuan intelektual tentang pola komunikasi dan pada saat dilaksanakan adalah latihan kemampuan intelektual, psikomotor dan efektif.
Keluarga mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Jika keluarga tidak mampu merawat pasien, pasien akan kambuh kembali sehingga untuk memulihkannya lagi akan sulit. Untuk itu perawat harus memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga agar keluarga mampu menjadikan pendukung yang efektif bagi pasien dengan halusinasi baik saat di rumah sakit maupun di rumah. Tindakan keperawatan yang ditujukan untuk keluarga pasien yang bertujuan agar keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit maupun dirumah, dan keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif bagi pasien (Muhith, 2015).
Menurut jurnal penelitian Putri & Trimusarofah, (2018) dengan judul Pengaruh Penerapan Strategi Pelaksanaan Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Merawat Pasien Halusinasi Di Kota Jambi Tahun 2017, setelah peneliti memberikan strategi pelaksanaan keluarga terdapat adanya pengaruh terhadap kemampuan keluarga sebelum dan sesudah dilakukan strategi pelaksanaan keluarga yang berarti kemapuan keluarga mengalami perubahan
yaitu peningkatan kemapuan keluarga merawat pasien dengan halusinasi, dengan selisih nilai 2,00. Perubahan atau meningkatnya kemampuan keluarga merawat pasien dengan halusinasi yang diukur melalui penerapan strategi pelaksanaan keluarga, hasil penelitian ini menyatakan bahwa strategi pelaksanaan keluarga dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemapuan keluarga dalam merawat dengan halusinasi.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik dengan strategi pelaksanaan keluarga untuk mendorong kesembuhan pasien halusinasi. Maka penulis akan melakukan penelitian tentang “Penerapan Strategi Pelaksanaan Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusinasi.”
B. Rumusan Masalah
Menurut Ginting, (2013) Penderita halusinasi jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang lain dan lingkungan. Kesembuhan seseorang yang menderita halusinasi sangat erat kaitannya dengan peran keluarga. Menurut penelitian Putri & Trimusarofah, (2018) keluarga merupakan perawat utama sebagai unit yang paling dekat dengan pasien. Maka dari itu kemampuan keluarga dalam merawat pasien sangat penting. Berkaitan dengan hal tersenut, penulis merumuskan masalah
“Bagaimanakah Penerapan Strategi Pelaksanaan Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusimasi?. ”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran penerapan strategi pelaksanaan keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat pasien halusinasi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik keluarga pasien halusinasi b. Untuk mengetahui gambaran kemampuan keluarga dalam merawat
pasien halusinasi sebelum diberikan strategi pelaksanaan keluarga c. Untuk menggambarkan implementasi strategi pelaksanaan keluarga
terhadap kemampuan keluarga dalam merawat pasien halusinasi d. Untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam merawat pasien
halusinasi sesudah diberikan strategi pelaksanaan keluarga D. Manfaat
1. Bagi Klien dan keluarga
Diharapkan melalui studi kasus ini dapat menambah wawasan dan kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan pada pasien halusinasi, setelah diberikan strategi pelaksanaan keluarga. Kemudian keluarga dapat mengetahui tanda gejala pasien halusinasi, cara merawat, dan adanya sikap dorongan dari keluarga membuat kesembuhan pasien halusinasi bisa meningkat.
2. Bagi Penulis
Pelaksana mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan bertambahnya wawasan dalam pemberian strategi pekasanaan keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat pasien halusinasi. Serta, pelaksana akan lebih menguasai asuhan keperawatan jiwa dengan pasien halusinasi.
3. Bagi Lahan Praktik
Hasil asuhan keperawatan jiwa yang sudah dilakukan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi lahan praktek dan perawat dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan.
4. Bagi Institusi
Menjadi informasi, referensi, bahan perbandingan untuk pengembangan keilmuan dan teknologi umumnya di kesehatan, khususnya di keperawatan.