• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Remaja yaitu masa yang penting dalam perjalanan kehidupan manusia.

Masa remaja ini merupakan jembatan antara masa kanak-kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab (Kusmiran, 2011). Pendapat tentang usia remaja bervariasi antara beberapa ahli, organisasi, maupun lembaga kesehatan.

Menurut World Health Organization (WHO, 2020) remaja merupakan periode usia 10 sampai 19 tahun. Menurut The Health Resources Services Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja terbagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja menengah (15-17 tahun), remaja akhir (18-21 tahun) (Kusmiran, 2011).

Menurut Peraturan Meteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja merupakan penduduk dalam rentan usia 10-18 tahun (Kemenkes 2018).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa remaja yaitu individu yang berusia 10 – 21 tahun, dimana individu tersebut mengalami perubahan-perubahan secara fisik, maupun psikologis, serta masa dimana individu tersebut dituntut untuk bertanggung jawab.

Pada fase ini, individu akan mengalami proses perkembangan dalam mencapai kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Proses tersebut akan menimbulkan karakteristik yang berbeda antara remaja satu dan lainnya. Serta akan menimbulkan banyak permasalahan dan tantangan yang akan dialami oleh individu (Fitri et al., 2018).

(2)

Masa remaja yang dikenal dengan masa transisi ini memiliki dampak pada perkembangan psikologisnya seperti krisis identitas dan jiwa yang labil. Selain lingkungan, teman sebaya juga berpengaruh kuat terhadap perkembangan remaja.

Menjalin hubungan pertemanan dan membangun sebuah persahabatan membutuhkan keterampilan sosial dan kemampuan komunikasi yang baik, tetapi bagi sebagian remaja yang tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam berkomunikasi serta bersosialisasi akan mengalami kendala dan persoalan yang cukup sulit. Keinginan untuk membentuk hubungan sosial dengan kurangnya kompetensi sosial dapat menyebabkan remaja rentan mengalami penolakan oleh lingkungan sosialnya (Adhiatma, 2019).

Banyak individu mengalami gangguan psikiatris ringan (neuroses) pada masa remaja. Perubahan-perubahan tersebut dipadu dengan kebutuhan akan pengakuan sosial atau penerimaan oleh teman sebaya, sehingga seorang remaja rentan terkena penolakan yang disebabkan oleh masalah-masalah seperti penampilan fisik, sikap kaku, orientasi sosial, ras, ataupun perasaan malu secara sosial. Penolakan tersebut yang dapat menyebabkan gangguan psikiatris ringan, bahkan berat jika penolakan tersebut berujung pada bullying (Boeree, 2016).

Bullying atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai perundungan, merupakan persoalan serius pada remaja hampir sebagian besar negara di dunia ini.

Bullying sudah menjadi fenomena tersebar di seluruh dunia khususnya di Indonesia.

Berdasarkan penelitian Soedjatmiko (2013) prevalensi bullying di Indonesia mencapai 89,5% dengan sebagian besar berusia lebih dari 9 tahun, dan status sosio-

(3)

ekonomi rendah cenderung menjadi korban bullying. Bullying merupakan tindakan agresif yang dapat menyakiti orang lain baik secara fisik (misalnya memukul dan menendang), psikis (misalnya melalui ancaman, julukan yang buruk ataupun penghinaan fisik), maupun secara sosial (seperti mengucilkan atau mengabaikan korban) yang dilakukan secara sengaja, berulang dan menunjukkan perbedaan kekuatan yang dominan antara pelaku dan korban (Borualogo & Gumilang, 2019).

Bullying dapat terjadi di mana saja, yaitu di lingkungan masyarakat umum maupun lingkungan pendidikan (sekolah formal dan non-formal). Dua faktor besar yang mempengaruhi perilaku bullying pada anak, yaitu (1) faktor eksternal yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat ,dan (2) faktor internal yaitu sifat, kepribadian ataupun karkater dari individu (Purwati 2019).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada periode 2011-2017 menerima 26.000 kasus perlindungan anak, di mana 34% dari kasus tersebut adalah kasus bullying. Pada tahun 2018, KPAI menerima 161 laporan kasus bullying, di mana 36 kasus (22.4%) adalah kasus korban bullying dan 41 kasus (25.5%) adalah kasus pelaku bullying (Novianto, 2018). Sebuah studi menunjukkan bahwa 84%

remaja Indonesia pernah menjadi korban bullying (Borualogo & Gumilang, 2019).

Bullying juga terjadi pada anak usia 8, 10 dan 12 tahun di 27 Kota/Kabupaten di Jawa Barat yang diperoleh langsung dari laporan anak atas frekuensi terjadinya bullying pada dirinya (Borualogo & Gumilang, 2019). Data-data tersebut menunjukkan bahwa fenomena bullying merupakan persoalan serius yang sering terjadi di Jawa Barat, sehingga hal itu menjadi alasan utama mengapa peneliti memilih Kota dan Kabupaten yang terdapat di Jawa Barat.

(4)

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki tingkat bullying yang relatif tinggi. Menurut data dari studi sebelumnya menunjukan bahwa di wilayah Kabupaten Cianjur, kasus kekerasan dan bullying masih menjadi fokus perhatian utama dan data dari Dinas Sosial Kabupaten Cianjur melaporkan bahwa terdapat 46 anak korban kekerasan seksual, psikis maupun fisik dan 14 anak terkena bullying dari lingkungan masyarakat sebagai dampak kekerasan yang dialaminya. Banyak terjadi juga dalam kegiatan persekolahan salah satunya kasus aksi kekerasan diduga dilakukan para siswa senior terhadap murid baru di sebuah sekolah di Kabupaten Cianjur (Sutriyawan & Sari, 2020). Menurut hasil penelitian Sutriyawan & Sari, (2020) didapatkan informasi bahwa di SMPN 2 Karang Tengah Cianjur setiap tahunnya menerima kurang lebih 50 laporan siswa yang menjadi korban bullying verbal dan fisik. Selain itu, ditemukan dari tahun ke tahun sering mengalami tawuran antar sekolah yang disebabkan banyak faktor salah satunya saling mengejek antar sekolah.

Berdasarkan data dari studi sebelumnya maka peneliti menetapkan bahwa SMP merupakan tingkatan pendidikan yang mengalami kasus bullying dengan angka yang relative tinggi. Hal ini sesuai dengan data dari penelitian Muliani, Ginanjar & Yusnita (2020) yang melaporkan bahwa kasus bullying sering terjadi pada rentang usia 11-20 tahun, di mana usia tersebut siswa saling mengejek dan kejadian itu seringkali tidak terpantau oleh pihak guru maupun orang tua. Maka dari itu, peneliti melakukan studi pendahuluan di SMPN 2 Bojongpicung melalui wawancara dengan salah satu wali kelas disekolah tersebut. Hasil wawancara memperoleh informasi bahwa dari tahun 2018-2019 terdapat 30 laporan siswa

(5)

menjadi korban bullying dengan rincian kelas VII sebanyak 15 orang, kelas VIII sebanyak 11 orang dan kelas IX sebanyak 4 orang. Perilaku yang paling sering terjadi yaitu bullying verbal seperti saling mengejek nama orang tua, memanggil nama panggilan yang tidak baik, sedangkan bullying fisik yaitu menendang dan memainkan dasi untuk memukul temannya, sehingga hal itu mengakibatkan salah satu orang tua melaporkan bahwa anaknya merasa cemas dan tidak mau sekolah dikarenakan takut menjadi korban bullying oleh teman-temannya.

Pada dasarnya bullying dapat dikatakan sebagai perbuatan yang rasis atau mengarah kepada kenakalan siswa (Hopeman, Suarni & Lasmawan, 2020), sehingga akan memberikan dampak yang negatif bagi siswa yang terkena bullying.

Menurut Niman (2019) menjelaskan bahwa bullying akan menimbulkan perasaan tidak percaya diri, rasa minder, serta ketakutan berlebih pada lingkungan sekitar terutama pada teman sebaya yang menjadi pelaku bullying. Selain itu, bullying juga dapat menyebabkan kecacatan fisik apabila pelaku menyerang fisik korban secara kasar dan terus-menerus. Bullying juga dapat memberikan efek pada psikologis korban, antara lain terjadinya berbagai masalah mental seperti depresi, kegelisahan dan masalah tidur yang mungkin akan terbawa hingga dewasa, keluhan kesehatan fisik, seperti sakit kepala, rasa tidak aman saat berada dilingkungan sekolah, penurunan semangat belajar dan kecemasan (Zakiyah et al., 2019). Kemudian dampak lain dari bullying yaitu menyebabkan perilaku dari para siswa menjadi takut, kurang percaya diri, murung dan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau menolak untuk bersosialiasi dengan temannya (Visty, 2021), sehingga nantinya

(6)

akan berdampak terhadap penurunan prestasi belajar dari siswa yang menjadi korban bullying(Samsudi & Muhid, 2020; Jelita, Purnamasari & Basyar, 2021).

Salah satu dampak dari bullying bagi siswa adalah timbulnya gejala kecemasan. Pada dasarnya kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur ketika seseorang mulai mengalami depresi dan stres yang diakibatkan oleh suatu konflik. Kecemasan memiliki aspek sadar, seperti:

ketakutan, keterkejutan, ketidakberdayaan, rasa bersalah atau merasa terancaman dan lain-lain. Kecemasan ini terjadi tanpa disadari serta tidak dapat dihindari, kecemasan muncul dalam semua penyakit terutama penyakit mental, sehingga kecemasan itu sangat berdampak terhadap terhambatnya potensi diri dan terganggunya kehidupan sehari-hari pada remaja (Raharjo, 2021). Salah satu cara untuk menurunkan tingkat kecemasan pada siswa dapat menggunakan suatu terapi, misalnya Coping Strategy, Terapi Musik, Terapi Warna, Terapi Zikir, Terapi Breathing, Terapi Imagery, TerapiMurottal dan Expressive Writing Therapy.

Expressive Writing Therapy merupakan salah satu intervensi keperawatan berupa psikoterapi kognitif yang berbentuk perefleksian pikiran dan perasaan terdalam terhadap peristiwa tidak menyenangkan yang dialami oleh seseorang dengan gangguan emosional seperti kecemasan. Refleksi ini mengarahkan individu agar dapat menuangkan emosi negatifnya dalam bentuk tulisan, sehingga tergantikan oleh energi positif yang didapatkan dari ketenangan hati karena telah mengungkapkan hal- hal yang mendasari kecemasan yang dirasakannya (Danarti, 2018).

(7)

Salah satu keunggulan dari Expressive Writing Therapy adalah klien dapat menuangkan segala bentuk kecemasan yang membebani pikirannya dalam bentuk tulisan tanpa harus memperhatikan susunan kata baku atau penulisan bahasa yang baik dan benar, sehingga mereka lebih leluasa dalam pengungkapan isi hatinya.

Keleluasaan inilah yang dapat menurunkan tingkat kecemasan yang dirasakan oleh klien (Purnamarini et al., 2016). Expressive Therapy dapat dijadikan salah satu alternatif terapi dalam menurunkan kecemasan remaja, sebagaimana dijelaskan pada penelitian (Wekoadi et al., 2018) bahwa Writing Therapy efektif dalam menurunkan kecemasan remaja korban bullying. Hal tersebut didukung oleh penelitian Raharjo (2021) dengan hasil bahwa Expressive Writing Therapy dapat menunjukan adanya penurunan tingkat kecemasan. Namun dalam penelitian yang akan peneliti lakukan ada pembeda dari penelitian terdahulu yaitu tempat, waktu, karakter dan responden yang akan dijadikan sampel yaitu populasi kelas VII SMPN 2 Bojongpicung.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh expressive writing therapy terhadap kecemasan pada remaja korban bullying di SMPN 2 Bojongpicung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Apakah ada pengaruh kelompok expressive writing therapy terhadap kecemasan pada remaja korban bullying di SMPN 2 Bojongpicung ? 2. Apakah ada pengaruh kelompok kontrol terhadap kecemasan pada

remaja korban bullying di SMPN 2 Bojongpicung ?

(8)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh expressive writing therapy terhadap kecemasan pada remaja korban bullying di SMPN 2 Bojongpicung.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui sebelum intervensi kelompok ekperimen yang mendapatkan perlakuan expressive writing therapy terhadap penurunan tingkat kecemasan pada remaja korban bullying di SMPN 2 Bojongpicung.

b. Untuk mengetahui sesudah intervensi pada kelompok ekperimen terhadap penurunan tingkat kecemasan pada remaja korban bullying di SMPN 2 Bojongpicung.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan dasar pengembangan ilmu pengetahuan mengenai efek expressive writing therapy terhadap penurunan tingkat kecemasan pada remaja korban bullying.

b. Sebagai sumber ilmu pengetahuan mengenai cara melakukan expressive writing therapy untuk menurunkan kecemasan pada remaja korban bullying.

2. Manfaat Klinis

a. Bagi Perawat : Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh expressive writing therapy dalam menurunkan tingkat kecemasan.

(9)

b. Bagi Institusi Kesehatan : sebagai sumber informasi mengenai pengaruh expressive writing therapy dalam menurunkan tingkat kecemasan.

c. Bagi Institusi Pendidikan : Sebagai sumber referensi untuk pembelajaran mengenai expressive writing therapy.

d. Bagi Klien : Membantu klien remaja korban bullying dalam menurunkan tingkat kecemasannya dengan expressive writing therapy.

3. Ruang Lingkup Penelitian a. Ruang Lingkup Tempat

Tempat penelitian akan dilaksanakan di SMPN 2 Bojongpicung.

b. Ruang Lingkup Waktu

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2022.

c. Ruang Lingkup Materi Keilmuan

Penelitian ini merupakan bidang keilmuan Keperawatan Jiwa

Referensi

Dokumen terkait

17 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab I pendahuluan ini dijelaskan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah penelitian, manfaat penelitian, dan

1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab I pendahuluan ini dijelaskan mengenai latar belakang, alasan pemilihan variabel, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah penelitian,