• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Alam berfikir Postmodernisme mengajarkan untuk meninjau ulang eksistensi diri yang selama ini di anggap benar. Salah satunya adalah apakah cukup manusia hanya ditekankan untuk memiliki kecerdasan intelektual semata? Dari hasil kajian ini, banyak ditemukan ragam kecerdasan yang justru lebih dianggap penting bagi kehidupan. Dan manusia bisa dianggap lebih krusial jika memiliki beberapa macam kecerdasan, yang diantaranya terdiri IQ (Intelegence Quotient), EQ (Emosional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) dan kecerdasan yang lainnya.

Dari beberapa kecerdasan diatas, menurut J. Stein & E. Book akan memperoleh kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektualnya. Dengan kata lain, kecerdasan tersebut akan membantu manusia memimpin dirinya serta mampu menyatu dalam profesionalismenya sehari-hari.2

Selain itu, Dr. Patricia Patton merumuskan dari beberapa kecerdasan, dapat dikemukakan bahwa sedikit banyak akan memiliki implikasi-implikasi yang sangat besar mengenai pentingnya menyeimbangkan apa yang kita

2Shoni Rahmatullah Amrozi, Menggagas Pemimpin Masa Depan (Jember: Pena Salsabila, 2010), 55-56.

(2)

ketahui dengan apa yang dirasakan untuk mencapai tujuan kearah profesionalitas.3

Konsep kecerdasan manusia, jika dilihat dari sejarah perkembangannya pada mulanya lahir akibat adanya berbagai tes mental yang dilakukan oleh berbagai psikolog untuk menilai manusia ke dalam berbagai tingkat kecerdasan. Diistilahkan atau lebih dikenal dengan kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient). Tes IQ adalah cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Jadi menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.4

Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Alferd Binet (1980),5 ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut. Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Daniel Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih.6Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling menentukan dalam kehidupan manusia. Menurut

3Patricia Patton dalam Shoni Rahmatullah Amrozi Menggagas Pemimpin Masa Depan (Jember:

Pena Salsabila, 2010), 56.

4Sukamto,Sejarah Perkembangan Tes Inteligensi Suatu Sarana Pengungkap Psikologis (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Cokroaminoto, 1984), 15.

5Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1966), 51.

6Lihat Sukidi,“Kecerdasan Spiritual” Harian Kompas15 Desember, 2000.

(3)

Daniel Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.7 Ungkapan Goleman ini seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’

yang sering terjadi di tengah masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.

Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’

orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.8

Seseorang yang belum memiliki kecerdasan emosi biasanya akan mudah mengalami gangguan kejiwaan, atau paling tidak kurang dapat mengendalikan emosinya, dan mudah larut dalam kesedihan apabila mengalami kegagalan. Apabila muncul perilaku-perilaku negatif yang disebabkan oleh kurangnya kecerdasan emosi, maka tidak mengherankan bila merugikan bagi orang lain yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, kecerdasan emosi sangat diperlukan bagi setiap orang, karena dengan

7Maurice J. Elias, dkk., Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ (Bandung: Kaifa, 2000), 11.

8Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, Edisi Spesial No. 4 th 2002, 19.

(4)

kecerdasan emosi orang akan memiliki rasa introspeksi yang tinggi, sehingga manusia tidak akan mudah marah, egois, tidak mudah putus asa, dan selalu memiliki rasa lapang dada dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.9

Survey telah membuktikan terhadap orang tua dan guru-guru adanya kecenderungan yang sama diseluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih kesepian dan pemurung, lebih brangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.10 Dan dari hasil penelitiannya Daniel Goleman menemukan situasi yang disebut dengan when smart is damb, ketika orang cerdas jadi bodoh . Daniel Goleman menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ diatas 125 umumnya bekerja kepada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100.

artinya, orang yang cerdas umumnya bekerja kepada orang yang lebih bodoh darinya. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Melainkan orang-orang yang biasalah yang sukses dalam kehidupanya karena kecerdasan emosinya.

Daniel Goleman menceritakan dalam kisah nyata betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Pada suatu saat ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap dirumah kawanya.

Sementara anak itu pergi, orangtuanyapun pergi untuk menonton opera.

Taklama dari itu, anak tersebut kembali kerumah karena tidak betah tinggal di rumah temannya. Pada saat itu, orangtuanya masih menonton opera. Anak

9 Casmini,Jurnal Dakwah, “Arti Penting Kecerdasan Emosi dalam Dakwah”, 11 Januari-Juni 2001, 99.

10Mailto: Secapramana @Yahoo.Com.

(5)

nakal itu mempunyai rencana, ia ingin membuat kejutan untuk orangtuanya ketika pulang kerumah pada waktu malam. Ia akan diam di toilet dan jika orangtuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat kemudian, orangtuanya pulang dari opera menjelang tengah malam.

Ketika melihat lampu toilet di rumahnya masih menyala mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk kerumah perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.

Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dalam mengambil keputusan, tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionalnya, karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional, Jika seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat. Emosi yang begitu penting itu sudah lama ditinggalkan oleh para peneliti padahal tergantung kepada emosilah bergantung suka, duka, sengsara dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman mengusulkan selain memperhatikan kecerdasan otak, manusia juga harus memmperhatikan kecerdasan emosi.11

11Ferysyifa @Netscape.net

(6)

Manusia secara alamiah merindukan kehidupan yang tenang dan sehat baik jasmani maupun rohani. Kesehatan yang bukan menyangkut badan saja, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat pada semakin kompleksnya gaya hidup manusia. Banyak orang terpukau dengan modernisasi, manusia menyangka dengan modernisasi itu serta merta akan membawa kepada kesejahteraan.

Banyak orang yang lupa bahwa di balik modernisasi yang serba gemerlap dan memukau itu ada gejala yang dinamakan ketidaksehatan mental.12

Kebahagian manusia tidak tergantung pada fisik melainkan pada faktor pertumbuhan emosinya. Karena emosi sebagai tenaga-tenaga penggerak dalam hidup, yang menyebabkan manusia berkembang maju, dan mundur ke belakang.13 Tidak seorang pun yang tidak menginginkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya, setiap orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semua dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi, sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan, ketidakpuasan dan emosi yang berlebih- lebihan.

Dapat dikatakan, semakin maju orang atau masyarakat, semakin banyak pula komplikasi hidup yang dialaminya. Persaingan, perlombaan, dan pertentangan akibat kebutuhan dan keinginan yang harus tetap dipenuhi menjadikan orang sulit untuk memperoleh mental yang sehat.

12Ahmad Mubarok, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern (Jakarta: Paramadina, 1999), 13- 14.

13Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik (Bandung: Rosdakarya, 2001), 234.

(7)

Sesungguhnya kesehatan mental, ketentraman jiwa, atau kecerdasan emosi tidak banyak tergantung oleh faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, akan tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap dalam menghadapi faktor-faktor tersebut. Adapun yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup di antaranya adalah kesehatan mental dan kecerdasan emosi, yaitu cara seseorang menanggapi suatu persoalan dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Kesehatan mental dan kecerdasan emosi pula yang menentukan orang mempunyai kegairahan hidup atau bersikap pasif.

Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, dan apatis karena dia dapat menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar, serta menerima kegagalan itu sebagai suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.14 Begitu pula yang diungkapkan Daniel Goleman bahwa kerugian pribadi akibat rendahnya kecerdasan emosional dapat berkisar mulai dari kesulitan perkawinan, pendidikan anak, buruknya kesehatan jasmani, hambatan perkembangan intelektual, hingga ketidaksuksesan karir.15

Pada persoalan ini, maka sangat krusial konsep Daniel Goleman diangkat sebagai solusi karena pada dasarnya konsep-konsep Daniel Goleman mencoba melihat aspek afeksi manusia khususnya pada perasaan atau emosi manusia. Dan konsep-konsep yang ditawarkan Daniel Goleman akan mengantarkan manusia untuk memperoleh mental yang sehat (kesehatan mental) karena perasaan dapat mempengaruhi kesehatan mental, jadi perasaan

14Zakiah Daradjat, Kesehatan mental (Jakarta :Gunung Agung, 1968), 16.

15Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), sampul depan

(8)

yang ditempatkan pada tempatnya akan memperoleh mental yang sehat.

konsep Zakiahpun merupakan konsep yang cocok diterapkan pada zaman sekarang ini.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, rumusan masalah yang merupakan fokus penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk kelapangan atau situasi sosial tertentu, namun demikian seorang peneliti harus menentukan rumusan masalah terlebih dahulu sebelum meneliti.16

Rumusan masalah merupakan pokok penelitian yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Untuk itu peneliti hendaknya dapat merumuskan permasalahan secara jelas, konkrit dan operasional.

Masalah merupakan bagian kebutuhan seseorang yang harus dipecahkan, karena orang ingin melakukan penelitian yang jelas berhasrat mendapatkan jawaban dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, perumusan masalah merupakan sesuatu yang sangat urgen untuk membantu dalam mensistematisasi isi dari seluruh proses penulisan karya ilmiah.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

16Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D (Bandug:Alfa Beta, 2010),210.

(9)

1. Fokus penelitian

Bagaimana Pemikiran Daniel Goleman dan Zakiah Daradjat tentang Kecerdasan Emosi dan Relevansinya dengan Kesehatan Mental?

2. Sub fokus penelitian

a. Bagimana Konsep Kecerdasan Emosi menurut Daniel Goleman?

b. Bagaimana Konsep Kesehatan Mental menurut Zakiah Daradjat?

c. Bagaimana Relevansi Kecerdasan Emosi Daniel Goleman dengan Kesehatan Mental Zakiah Daradjat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai jawaban yang ingin ditemukan dari suatu penelitian. Perumusan tujuan penelitian harus sejalan dengan rumusan masalah penelitian.17

Sehubungan dengan pengertian diatas, maka dalam penelitian ini mempunyai tujuan yang akan dicapai sebagai berikut :

1. Tujuan Umum

Untuk mendiskripsikan Pemikiran Daniel Goleman dan Zakiah Daradjat tentangKecerdasan Emosi dan Relevansinya dengan Kesehatan Mental.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendiskripsikan Konsep Kecerdasan Emosi menurut Daniel Goleman.

17M Sitorus, Berkenalan Dengan Sosiologi Jilid II(Jakarta: Erlangga, 2000), 72.

(10)

b. Untuk mendiskripsikan Konsep Kesehatan Mental menurut Zakiah Daradjat.

c. Untuk mendiskripsikanRelevansi Kecerdasan Emosi Daniel Goleman dengan Kesehatan Mental Zakiah Daradjat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian iniadalah sebagai berikut:

a. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan atau mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga mendapat pengetahuan maupun pengalaman baru serta dapat mendorong dalam menggali literatur-literatur yang berhubungan dengan Pemikiran Daniel Goleman dan Zakiyah Drajat tentang Konsep Kecerdasan Emosi dan Kesehatan Mental.

b. Bagi IAIN Jember, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran tentang Konsep Kecerdasan Emosi dan Kesehatan Mental yang dapat dikonsumsi dan memperkaya literatur.

c. Bagi masyarakat secara umum, diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang Pemikiran Daniel Goleman dan Zakiyah Drajat tentang Konsep Kecerdasan Emosi dan Kesehatan Mental serta nilai-nilai yang ada di dalamnya sebagai sebuah bangunan yang mereduksi adanya pergeseran nilai-nilai kemanusiaan dan mencoba menginterprestasi paradigma masyarakat sebagai kerangka berfikir alternatif yang diharapkan mampu mengembangkan misi kehidupan.

(11)

E. Definisi Istilah

Definisi operasional berisi tentang pengertian istilah yang menjadi fokus perhatian peneliti dalam judul penelitian. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan maupun kesalahpahaman dalam memahami makna istilah yang ada.18Adapun istilah yang perlu ditegaskan adalah:

1. Konsep

Diambil dari kata “concept” (Inggris) yang mempunyai arti konsep, bagan dan pengertian.19 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat, rancangan, cita-cita yang telah dipikirkan.20 Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran ide, pengertian, pendapat, maupun gagasan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi dan pendapat Zakiah Daradjat tentang kesehatan mental.

2. Kecerdasan Emosi

Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 199521 dan untuk pertama kalinya dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Petersolovey dari Horvard University dan Jhon Mayer dari University of Newhampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan hidup manusia, antara lain empati, mengungkapkan, memahami perasaan, mengendalikan amarah,

18Tim Penyusun STAIN Jember, Penulisan Karya Tulis Ilmiah: Makalah, (Jember: STAIN Jember, 2013), 61.

19John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), 313.

20Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: ARKOLA, 1994), 520.

21Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ(Bandung: Kaifa, 2002), 17.

(12)

kemandirian, kemampuan mengendalikan diri.22 Jadi, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, mengarahkan emosi, sehingga dapat dimenej secara proposional ketika berhadapan dengan tantangan hidup, musibah, dan perlawanan orang lain.

3. Relevansi

Relevansi berarti hubungan, kaitan.23 4. Kesehatan Mental

Yaitu kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit.24 Dalam Undang-Undang RI bahwa sehat adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, mental, sosial bukan hanya dari penyakit cacat dan kelemahan.25Mental (dari kata Latin mens, mentis) artinya jiwa, roh, nyawa, dan semangat.26 “Mental”

adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik dari seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan kepribadian.27

Dengan demikian, definisi opesional dari judul skripsi ini adalah menguraikan dua pemikiran yang sangat berhubungan yaitu pemikiran Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi dan merelevansikan dengan kesehatan mental menurut Zaikyah Drajat.

22Laurence E. Shapiro,Mengajarkan Emosional Inteligensi pada Anak (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), 5.

23Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 738.

24 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), 1350.

25A. Syafi’i Mufid,Dzikir sebagai Pembina Kesehatan Jiwa (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), 30.

26Kartini Kartono, Hygiene Mental (Bandung: Mandar Maju, 2000), 3.

27Mushal dkk., Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1979), 86.

(13)

F. Metode Penelitiaan

Dalam sebuah penelitian di kenal istilah metode penelitian. Metode disini di artikan sebagai sesuatu cara atau tehnis yang di gunakan dalam sebuah penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri didefinisikan sebagai upaya dalam bidang pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta- fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan sebuah kebenaran.28

Metode penelitian merupakan suatu kegiatan yang menuntut obyektifitas baik didalam proses, pengukuran maupun menganalisa dan menyimpulkan hasil penelitian yang mementingkan aplikasi didalam memecahkan masalah yang mengikuti proses identifikasi masalah, observasi, analisa dan menyimpulkan, jadi metode dan prosedur ini menjadi urgensi dalam sebuah penelitian ilmiah.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bagdan dan Taylor dalam Moleong29 mendifinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati. Menurutnya pendekatan ini di arahkan pada latar dan individu secara holistik.

1. Jenis Penelitian

Sedangkan Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan (Library Reseach). Penelitian ini di tujukan untuk

28Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal(Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 24.

29Lexy Moleong , Metodologi Penelitian kualitatif(Bandung: PT Rema Rosda Karya, 2005), 4.

(14)

mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan seperti, buku-buku, majalah, dukomen catatan dan kisah kisah sejarah lainnya. Pada esensinya data yang di peroleh dengan penelitian perpustakaan ini dapat di jadikan landasan dasar dan instrumen utama bagi pelaksanaan penelitian lapangan.

Penelitian ini juga di katakan membahas data-data skunder.30 2. Sumber Data dan Metode Pengumpulana Data

Dalam mengkaji bahan pustaka ada beberapa hal yang menjadi rambu-rambu peneliti dalam melakukan aktivitas penelitiannya, oleh sebab itu ada beberapa pengklasifikasian tentang sumber bahan pustaka. Untuk memperoleh informasi mengenai teori dan hasil penelitian peneliti dapat mengkaji berbagai sumber yang dapat di klasifikasikan atas beberapa jenis bentuk diantaranya, klasifikasi menurut bentuk dan isi.

a. Klasifikasi Menurut Bentuk

Klasifikasi menurut bentuk dibedakan atas sumber tertulis dan sumber bukan tertulis, sumber tertulis di antaranya buku harian, surat kabar, majalah, buku, inventaris, ijazah, buku-buku pengetahuan surat- surat keputusan dan lain lainnya. Sedangkan sumber bahan tertulis adalah segala bentuk sumber bukan tertulis antara lain rekaman suara, benda-benada hasil peninggalan purbakala.

30Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal(Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 28.

(15)

b. Klasifikasi Menurut Isi

Klasifikasi di bedakan atas sumber primer dan sumber sukunder. Sumber primer adalah sumber bahan atau dukemen yang di kemukakan atau di gambarakan sendiri oleh orang atau pihak yang hadir pada waktu kejadian yang di gambarkan tersebut berlangsung sehingga dapat di jadikan saksi. Sumber sekunder adalah sumber bahan kajian yang di gambarkan oleh bukan orang yang ikut mengalami atau yang hadir pada waktu kejadian berlangsung. lebih jauh lagi gertruida dan balqiz mengungkapkan bahwa menurut sumber data penelitian di golongkan sebagai data primer dan data skunder.

Menurut Gertruida dan Balqiz, sumber data primer adalah data yang di peroleh langsung dari subjek penelitian dengan mengunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagi sumber informasi yang dicari. Sedangkan data skunder adalah data tangan kedua yang di peroleh dari pihak lain tidak langsung di peroleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.31

Mengingat sumber data dari penelitian ini berupa bahan–bahan pustaka, Maka metode pengumpulan datanya melalui studi dukumenter.

Metode dokumenter adalah teknik mencari data mengenai hal- hal atau variabel-variabel yang berupa catatan, surat kabar, manuskrip, majalah, agenda dan sebagainya.

31Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 9.

(16)

Dari metode dokumenter ini data dapat diperoleh Komparasi Pemikiran Daniel Goleman dan Zakiyah Drajat tentang konsep kecerdasan emosi dan relevansinya dengan kesehatan mental.

3. Metode Analisa Data

Analisa data adalah proses mengatur data, mengorganisasi keadaan satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.32

Dalam penelitian ini menggunakan metode analisa data content analisis, yang merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi. Yang mencakup upaya klasifikasi tanda-tanda yang di pakai dalam komunikasi dan menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi dan menggunakan tehnik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi.33

Sedangkan menurut Arikunto adalah proses menganalisis data dalam penelitian kualitatif di mulai dari menelaah seluruh data yang ada yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi yaitu Usaha membuat rangkuman ini dari sumber tadi.34

4. Validitas data

Suatu alat pengukur di katakan valid, jika alat itu mengukur apa yang harus diukur oleh alat itu.35

Lebih jauh lagi kemampuan menggambarkan temuan kebenaran bisa tidak tepat jika peneliti menerima pentingnya keadaan dan kebenaran.

32Lexy Moleong , Metodologi Penelitian kualitatif(Bandung: PT Rema Rosda Karya, 2002), 103.

33Neong Muhajir, Metode Reasearch(Jakarta: Aksara , 2000), 8.

34 Suharsimi.Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 8.

35Nasution, Metode Research(Jakarta : Bumi Aksara, 2003), 74.

(17)

Agaknya validitas akan di nilai dengan keadaan yang terlihat secara baik penggambaran secara tepat data yang dikumpulkan.36

Menurut Dazin untuk memeriksa keabsahan data ini maka di pakai validitas data triangulasi. Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Tehnik triangulasi yang paling banyak di gunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Ada empat macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Dazin dalam Moleong, 2000 : 178).37

Dalam penelitian ini pemeriksaan datanya menggunakan triangulasi sumber, Yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang di perolah melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Adapun langkah-langkahnya ada lima, tetapi yang berkaitan langsung dengan kajian ini yaitu langkah untuk membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada dan orang pemerintahan.38

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan digunakan untuk memberikan gambaran secara global tentang isi dari satu bab ke bab yang lain sehingga akan lebih

36HamidPatilima, Metode penelitian kualitatif (Bandung : Alfabeta, 2005), 94.

37Lexy Moleong , Metodologi Penelitian kualitatif(Bandung: PT Rema Rosda Karya, 2009), 330.

38Ibid., 330.

(18)

memudahkan dalam meninjau dan menanggapi isinya. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dari bab satu hingga bab terakhir:

BAB I : Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, fokus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode dan prosedur penelitian serta sistematika pembahasan. Fungsi bab ini adalah untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai pembahasan dalam skripsi.

BAB II: Pada bagian ini akan di bahas pertama mengenai kajian terdahulu sebagai bahan perbandingan dan posisi penelitian dan kajian teori yang membahas tentang kecerdasan emosi menurut Daniel Golemandan kesehatan mental menurut Zakiyah Drajat.

BAB III : Menjelaskan tentang pembahasanterkait dengan masalah yang akan diteliti, Yang berisi tentang gagasan pokok yang diteruskan dengan kajian mendalam serta inti dari skripsi ini.

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir yang memaparkan tentang kesimpulan dari penelitian yang dilengkapi dengan saran-saran dari penulis dan diakhiri dengan penutup. Bab ini berfungsi untuk memperoleh suatu gambaran dari hasil penelitian berupa kesimpulan. Dengan hasil kesimpulan penelitian akan dapat membantu memberikan saran-saran konstruktif yang terkait dengan penelitian ini.

(19)

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat berguna dan merupakan bagian integral dalam sebuah penelitian ilmiah, dalam skripsi ini digunakan buku-buku yang membahas persoalan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi. Paradigma kecerdasan yang berkembang sampai saat ini sungguh sangat kompleks, mulai dari Intelligence Quotient (IQ), Emotional Intelligence (EQ), Adversity Quotiens (AQ), Emotional Spiritual Quotient (ESQ), sampai pada TransendentalIntelligence (TQ) yang dikatakan sebagai puncak kecerdasan manusia. Adapun peneliti hanya memusatkan atau terfokus pada temuan baru Daniel Goleman yaitu kecerdasan emosi. Begitupula dengan kesehatan mental, ternyata banyak sekali buku-buku Zakiah Daradjat yang membahas tentang persoalan kesehatan mental baik secara langsung maupun tidak langsung

Pembahasan tentang kecerdasan emosi ini telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain, dalam skripsi Kurniawati yang berjudul Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Daniel Goleman dalam perspektif Alqur’an.2

Dalam buku “Kecerdasan Emosional” diterangkan bahwa pandangan manusia tentang kecerdasan manusia itu terlalu sempit, mengabaikan serangkaian penting kemampuan yang sangat besar pengaruhnya dalam

2Kurniawati, skripsi: “Unsur-unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman dalam Perspektif Alqur’an”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000) tidak di terbitkan

(20)

menentukan keberhasilan manusia dalam kehidupan. Dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan mengapa orang yang ber-IQ sedang saja sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada satu cara lain untuk menjadi cerdas, yaitu suatu cara yang disebutnya kecerdasan emosional. Ini merupakan ciri-ciri yang menandai orang yang menonjol dalam kehidupan nyata.3

Steven J. Stein dan Howard dalam buku “Ledakan EQ” menyebutkan bahwa kecerdasan emosi dapat meningkatkan kinerja penjualan perusahaan- perusahaan terkemuka di dunia dan menghadirkan bukti ekstensif hubungan kecerdasan emosi dengan kesuksesan dan mengungkapkan hasil penelitian terhadap 42.000 responden di 36 negara. Menurut Howard kecerdasan emosi merupakan serangkaian kecakapan yang memungkinkan manusia melapangkan jalan di dunia yang rumit, aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri dan kepekaan yang penting.4

Jeanne Segal dalam buku “Melejitkan Kepekaan Emosional

menjelaskan bahwa emosi dan akal adalah dua bagian dari satu keseluruhan.

EQ mengingatkan pada ukuran standar kecerdasan otak dan wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antar pribadi, bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial. Bila EQ seseorang tinggi mereka mampu memahami berbagai perasaan secara

3Daniel Goleman, Emotional Intellegence, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).

4Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ (Bandung: Kaifa, 2002)

(21)

mendalam manakala perasaan-perasan muncul dan benar-benar dapat mengenali diri sendiri.5

Zakiah Daradjatdalam buku “Kesehatan Mental” menjelaskan arti kesehatan mental. Menurutnya, yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental, dan kesehatan mental pula yang menentukan tanggapan seseorang terhadap persoalan dan kemampuannya dalam menyesuaikan diri. Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis, atau apatis, karena orang tersebut dapat menerima rintangan atau kegagalan dalam hidupnya dengan tenang dan wajar.6

B. Kajian Teori

1. Kecerdasan Emosional

a. Pengertian Kecerdasan Emosional

Akar kata emosi adalah: movere kata kerja bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak” ditambah awalan “e” untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Semua emosi, pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi juga sebagai perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa

5Jeanne Segal,Melejitkan Kepekaan Emosional (Bandung: Kaifa, 2001)

6Zakiah Daradjat, Kesehatan mental (Jakarta : Gunung agung), 16.

(22)

amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu.7

Kecerdasan emosi adalah kemampuan memahami perasaan diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.8

Dan ada Lima dasar Kemampuan dalam Teori Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman antara lain:

1. Mengenali emosi diri, Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.

Kesadaran diri membuat kita lebih waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

2. Mengelola emosi, Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.

Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak

7Daniel Goleman, Emotional Intelligence,terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 7.

8Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi terj. Alex Tri Kantjono

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 512.

(23)

kestabilan kita . Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Memotivasi diri yaitu meraih Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

4. Mengenali emosi orang lain, Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal- sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

5. Membina hubungan, kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar sesama. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Terkadang manusia sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.9

Adapun dalam buku yang lain Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan

9http://yulisubandi.blog.binusian.org/2009/10/19/kecerdasan-emosi-menurut-daniel-goleman.

(24)

tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa.10 Dengan demikian yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi.

b. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman

Daniel Goleman berpendapat ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.

Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah:

1) Kesadaran Diri

Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Daniel Goleman lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas.11

10Daniel Goleman, Emotiona intelligence terj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), 45.

11Daniel Goleman, Emotional Intelligenceterj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), 63.

(25)

Kesadaran diri menurut Daniel Goleman bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.12

Kesadaran diri yaitu mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.13

Dalam buku Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman memaparkan contoh kesadaran diri yaitu :

“Alkisah, di Jepang ada seorang Samurai yang suka bertarung. Samurai ini menantang seorang guru Zen untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta menjawab dengan nada menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang macam kamu.” Merasa harga diri direndahkan, Samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang, ia berteriak, ”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.” “Nah,”

jawab pendeta itu dengan tenang, ”Itulah neraka.” Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru, amarah yang menguasai diri samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil mengucapkan terima kasih pada sang pendeta itu atas penjelasannya. ”Dan” kata sang pendeta, ”Itulah surga.”14

Kesadaran mendadak Samurai terhadap gejolak perasaannya adalah inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri waktu perasaan itu timbul.

12Ibid., 64.

13 Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA),” Kecerdasan Emosi dan Quantum Learning”, (Yogyakarta: FkBA, 2000), 3.

14Daniel Goleman, Emotional Intelligenceterj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), 62

(26)

Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan mengenali perasaan akan tetapi juga menghimpun kosa kata untuk perasaan dan mengetahui hubungan antara fikiran, perasaan, dan reaksi.15

Menurut Daniel Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Adapun ciri orang yang mampu mengukur diri secara akurat adalah:

1) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.

2) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

3) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri.

4) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.16

Kesadaran diri memang penting apabila seseorang ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif bagi orang lain, oleh sebab itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya.

Kesadaran diri juga tidak lepas dari rasa percaya diri. Percaya diri memberikan asuransi mutlak untuk terus maju. Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad. Menurut Daniel

15Ibid., 428

16Ibid., 97

(27)

Goleman rasa percaya diri erat kaitannya dengan “efektivitas diri”, penilaian positif tentang kemampuan kerja diri sendiri. Efektifitas diri cenderung pada keyakinan seseorang mengenai apa yang ia kerjakan dengan menggunakan ketrampilan yang ia miliki.17

2) Pengaturan Diri

Menurut Daniel Goleman pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.18

Menurut Daniel Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang umumnya dimiliki oleh staf performer adalah pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.19 3) Motivasi

Yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi.20 Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting

17Ibid.,110-111.

18Ibid., 77

19Ibid., 77.

20Ibid., 421.

(28)

yang berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan berkreasi.

Untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego. Orang yang dalam keadaan flow menampilkan penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon mereka sempurna senada dengan tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun orang menampilkan puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal. Kenikmatan tindakan itu sendiri yang memotivasi mereka.21

Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya keadaan flow.

Menurut Daniel Goleman, salah satu cara untuk mencapai flow adalah dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. keadaan konsentrasi tinggi merupakan inti flow.

21Daniel Goleman, Emotional Intelligenceterj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), 128

(29)

Flow merupakan keadaan yang bebas dari gangguan emosional, jauh dari paksaan, perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh ekstase ringan, Ekstase itu tampaknya merupakan hasil samping dari fokus perhatian yang merupakan hasil prasyarat keadaan flow.

Mengamati seseorang yang dalam keadaan flow memberi kesan bahwa yang sulit itu mudah, puncak performa tampak alamiah dan lumrah, ketika dalam keadaan flow otak berada pada keadaan “dingin”.

Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. Menurut Daniel Goleman optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena optimisme membawa keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu realistis. Karena optimisme yang naif membawa malapetaka.22

4) Empati

Menurut Daniel Goleman, empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang

22Ibid., 123

(30)

mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.23 Menurut Daniel, kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata- kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya.

Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness) dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.24

Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain sebagai dasar untuk membangun hubungan interpersonal yang sehat. Bila kesadaran diri terfokus pada\engenalan emosi sendiri, dalam empati perhatiannya diraihkan pada pengenalan emosi orang lain. Seseorang semakin mengetahui emosi sendiri, maka ia akan semakin terampil membaca emosi orang. Dengan demikian, empati dapat difahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif orang lain.

23Daniel Goleman, Emotional Intelligence terj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), 428

24Forum kajian Budaya dan Agama, Kecerdasan Emosi Quantum Learning, 34.

(31)

5) Ketrampilan Sosial

Ketrampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.25

Dalam memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua ketrampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, ketrampilan berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya ketrampilan-ketrampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang otaknya encer pun gagal dalam membina hubungannya.26

25Daniel Goleman, Working With Emotional Intelegence; Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), 43.

26Daniel Goleman, Emotional Intelligence terj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), 158-159

(32)

Dalam berhubungan dengan orang lain, manusia menularkan emosinya kepada orang lain atau sebaliknya semakin trampil seseorang secara sosial, semakin baik mengendalikan sinyal yang dikirimkan.

Kesadaran sosial juga didasarkan pada kemampuan perasaan sendiri, sehingga mampu menyetarakan dirinya terhadap bagaimana orang lain beraksi. Menurut Daniel Goleman, apabila kemampuan antar pribadi ini tidak diimbangi dengan kepekaan perasaan terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri serta bagaimana cara memenuhinya, maka ia akan termasuk dalam golongan bunglon- bunglon sosial yang tidak peduli sama sekali bila harus berkata ini dan berbuat itu.

2. Kesehatan Mental

a. Pengertian Kesehatan Mental

Pemikiran Zakiah Daradjat tentang kesehatan mental dapat dilihat dari sejarah pendidikan dan pengalaman Zakiah sebagai konsultan ketika menghadapi klien atau orang-orang yang menghadapi berbagai macam problema dalam kehidupannya, termasuk para penderita penyakit atau gangguan kejiwaan. Dari sinilah dapat diketahui secara jelas pemikiran Zakiah, demikian pula dengan melihat karya-karya Zakiah sebagai seorang psikolog.

Banyak pengertian dan definisi tentang kesehatan mental yang diberikan oleh para ahli sesuai dengan pandangan di bidang masing-

(33)

masing. Zakiah Daradjat dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar kesehatan jiwa di IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta”

mengemukakan empat buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Keempat rumusan tersebut disusun mulai dari rumusan- rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum,27 sebagai berikut:

1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose)

2. Kesehatan mental adalah: kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup.

3. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.

4. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuandirinya

.

b. Pengaruh Kesehatan Mental dalam hidup

Cara menentukan pengaruh mental tidak mudah, karena mental tidak dapat dilihat, diraba atau diukur secara langsung. Manusia hanya dapat melihat bekasnya dalam sikap, tindakan, cara menghadapi persoalan, dan akhlak. Oleh ahli jiwa dikatakan bahwa pengaruh mental itu dapat dilihat pada perasaan, pikiran, kelakuan, dan kesehatan.

27Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 132.

(34)

1) Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Perasaan

Pengaruh kesehatan mental terhadap perasaan akan terlihat dari cara orang menghadapi kehidupan ini, misalnya ada orang yang menghadapinya dengan kecemasan dan ketakutan. Banyak hal-hal kecil yang mencemaskannya, kadang-kadang hal remeh, yang oleh orang lain tidak dirasakan berat, akan tetapi bagi dirinya hal itu sudah sangat berat sehingga menyebabkannya gelisah, tidak bisa tidur, dan hilang nafsu makan. Mereka sendiri tidak mengerti dan tidak dapat menahan atau mengatasi kecemasannya. Inilah yang dalam istilah kesehatan mental dinamakan anxiety dan phobia atau takut yang tidak pada tempatnya.28 Jadi di antara gangguan perasaan yang disebabkan oleh terganggunya kesehatan mental adalah rasa cemas (gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah, dan ragu (bimbang).

2) Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Pikiran

Di antara masalah yang sering menggelisahkan orang tua, adalah menurunnya kecerdasan dan kemampuan anaknya dalam pelajaran atau semangat belajarnya menurun, jadi pelupa, dan tidak sanggup memusatkan perhatian.29

Mengenai pengaruh kesehatan mental atas pikiran, memang besar sekali. Di antara gejala yang bisa dilihat yaitu sering lupa, tidak bisa mengkonsentrasikan pikiran tentang sesuatu hal yang

28Zakiah Daradjat, Pembinaan Jiwa atau Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 8.

29Ibid., 10

(35)

penting, kemampuan berfikir menurun, sehingga merasa seolah- olah tidak lagi cerdas, pikirannya tidak bisa digunakan, kelemahan dalam bertindak, lesu, malas, tidak bersemangat kurang inisiatif, dan mudah terpengaruh oleh kritikan-kritikan orang lain, sehingga mudah meninggalkan rencana baik yang telah dibuatnya hanya karena kritikan orang lain. Semuanya itu bukanlah suatu sifat yang datang tiba-tiba dan dapat diubah dengan nasehat dan teguran saja, akan tetapi telah masuk terjalin ke dalam pribadinya yang tumbuh sejak kecil.

2) Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Kelakuan

Ketidaktentraman hati, atau kurang sehatnya mental, sangat mempengaruhi kelakuan dan tindakan seseorang, seperti nakal, pendusta, menganiaya diri sendiri atau orang lain, menyakiti badan orang atau hatinya dan berbagai kelakuan menyimpang lainnya. 30 3) Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Kesehatan Badan

Di antara masalah yang banyak terjadi dalam masyarakat maju, adalah adanya kontradiksi yang tidak mudah dimengerti yaitu masalah kesehatan. Kalau pada masa dahulu, penyakit dan bahaya yang sangat mencemaskan orang adalah penyakit menular dan penyakit-penyakit yang mudah menyerang. Penyakit-penyakit tersebut dapat diatasi dengan obat-obatan dan cara-cara pencegahan yang ditemukan para ahli. Akan tetapi, pada

30Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1968), 22.

(36)

masyarakat maju telah timbul suatu penyakit yang lebih berbahaya dan sangat menegangkan yaitu penyakit gelisah, cemas, dan berbagai penyakit yang tidak dapat diobati oleh ahli-ahli kedokteran. Karena penyakit itu timbul bukan karena kekurangan pemeliharaan kesehatan atau kebersihan akan tetapi karena kehilangan ketenangan jiwa.31

c. Ciri-ciri Manusia Sehat Mental

1) Ciri Manusia yang Sehat Mentalnya

Orang yang sehat mentalnya adalah orang-orang yang mampumerasakan kebahagian dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasa bahwa dirinya berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin, yang membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Di samping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas (dengan dirinya, orang lain, dan suasana sekitar).

Orang-orang inilah yang terhindar dari kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.32

Maka orang yang sehat mentalnya, tidak akan merasa ambisius, sombong, rendah diri dan apatis, akan tetapi dia akan bersikap wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri sendiri dan selalu gesit. Setiap tindak dan tingkah lakunya, ditunjukkan untuk mencari kebahagiaan bersama, bukan

31Zakiah Daradjat, Pembinaan jiwa atau mental,(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), 12.

32Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1968), 16.

(37)

kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya digunakan untuk kemanfaatan dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya, bukan untuk bermegah-megahaan dan mencari kesenangan diri sendiri, tanpa mengindahkan orang lain, akan tetapi digunakannya untuk menolong orang yang miskin dan melindungi orang yang lemah.

Seandainya semua orang sehat mentalnya, tidak akan ada penipuan, penyelewengan, pemerasan, pertentangan dan perkelahian dalam masyarakat, karena mereka menginginkan dan mengusahakan semua orang dapat merasakan kebahagiaan, aman tentram, saling mencintai dan tolong-menolong.

(38)

2) Manusia yang Kurang Sehat Mentalnya

Manusia yang kurang sehat ini sangat luas, mulai dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya.

Dari orang yang merasa terganggu ketentraman batinnya, sampai kepada orang yang sakit jiwa. Gejala yang umum, yang tergolong kepada yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi antara lain pada:

1) Perasaan :yaitu perasaan terganggu, tidak tenteram, rasa gelisah, tidak tentu yang digelisahkan, tapi tidak bisa pula mengatasinya (anxiety); rasa takut yang tidak masuk akal atau tidak jelas yang ditakuti itu apa (phobi), rasa iri, rasa sedih, sombong, suka bergantung kepada orang lain, tidak mau bertanggung jawab, dan sebagainya.

2) Pikiran:Gangguan terhadap kesehatan mental, dapat pula mempengaruhi pikiran, misalnya anak-anak menjadi bodoh di sekolah, pemalas, pelupa, suka bolos, tidak bisa konsentrasi, dan sebagainya. Demikian pula orang dewasa mungkin merasa bahwa kecerdasannya telah merosot, ia merasa bahwa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah direncanakannya baik-baik, mudah dipengaruhi orang, menjadi pemalas, apatis, dan sebagainya.

3) Kelakuan:Pada umumnya kelakuan-kelakuan yang tidak baik seperti kenakalan, keras kepala, suka berdusta, menipu,

(39)

menyeleweng, mencuri, menyiksa orang, membunuh, dan merampok, yang menyebabkan orang lain menderita dan teraniaya haknya

4) Kesehatan:Jasmani dapat terganggu bukan karena adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu, akan tetapi rasanya sakit, akibat jiwa tidak tentram, penyakit yang seperti ini disebut psychosomatic, di antara gejala penyakit ini yang sering terjadi seperti sakit kepala, merasa lemas, letih, sering masuk angin, susah nafas, sering pingsan, bahkan sampai sakit yang lebih berat, lumpuh sebagian anggota jasmani, kelu lidah saat bercerita, dan tidak bisa melihat (buta) yang terpenting adalah penyakit jasmani itu tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.33

Inilah gejala-gejala kurang sehat yang agak ringan, dan lebih berat dari itu, mungkin menjadi gangguan jiwa(neourose) dan terberat adalah sakit jiwa (psychose).

33Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang 1970),39-42.

(40)

KOMPARASI PEMIKIRAN DANIEL GOLEMAN DAN ZAKIAH DRADJAT TENTANG KONSEP KECERDASAN EMOSI DAN

RELEVANSINYA DENGAN KESEHATAN MENTAL.

A. Konsep Kecerdasan Emosi menurut Daniel Goleman 1. Biografi Daniel Goleman

Daniel Goleman adalah seorang tokoh psikolog kontemporer yang namanya melejit lewat karya monumentalnya “Emotional Intelligence”.

Daniel Goleman dilahirkan di Stockton California dan saat ini tinggal di Berkshires Massachusetts bersama istrinya, Tara Bennet, serta kedua anaknya Fay Goleman dan Irving Goleman.

a. Latar Belakang Pendidikan Daniel Goleman

Daniel Goleman menyelesaikan pendidikan strata satunya (graduate education) di Harvard University dan mendapat beasiswa dengan predikat Magna Cumlaude. Adapun strata dua (MA) dan strata tiga (Ph.D) dalam bidang Psikologi Klinik dan Perkembangan Pribadi (Clinical Psychology dan Personality Development) diraih di Universitas Harvard, dan saat ini Daniel Goleman menjadi dosen di almamaternya.

Selama dua belas tahun Daniel Goleman mempelajari tentang ilmu otak dan perilaku manusia. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-

(41)

tulisannya pada surat kabar The New York Times dan artikel- artikelnya yang dimuat di seluruh dunia. Berkat tulisan-tulisan Daniel Goleman yang dimuat di surat kabar bergengsi dunia serta usahanya yang ulet menghantarkannya banyak menerima penghargaan jurnalistik, termasuk dua nominasi bagi the pulizer prize atas tulisannya di surat kabar tersebut dan career achievement award (penghargaan prestasi kerja) pada jurnalisme dari American Psycological Association (Asosiasi Psikologi Amerika). Untuk menghargai usahanya dalam mengkomunikasikan ilmu-ilmu ke publik, Daniel Goleman dipilih sebagai anggota pada The American Association to the Advancement of Science (Asosiasi Amerika pada Peningkatan Ilmu atau Sains).

Kegigihan berkarier dalam bidang keilmuan menjadikan Daniel Goleman sebagai penasehat internasional dan menjadi dosen di berbagai pertemuan-pertemuan bisnis dunia dan kelompok-kelompok profesional di kampus-kampus ilmiah (perguruan tinggi).

Daniel Goleman juga menjadi pendiri Emotional Intelligence Services (pelayanan intelligensi emosional) serta pendiri Collaborative for Social and Emotional Learning (kolaborasi pelajaran sosial dan emosional) pada The Yale University Child and Studies Center sekarang menjadi The University Ilionis di Chicago yang bertujuan untuk memperkenalkan pelajaran-pelajaran literasi emosional di sekolah-sekolah dan salah satu tanda keberhasilan usahanya yaitu

(42)

adanya ribuan sekolah di seluruh dunia mengimplementasikan program ini.

Pemikiran Daniel Goleman sebelumnya banyak dipengaruhi oleh David C Mc. Clelland (almarhum), beliau seorang profesor di Harvard University. Daniel Goleman sendiri mengakui dalam karyanya bahwa sebagian besar bukti yang menjadi dasar kesimpulan penelitiannya adalah dari penelitian beliau. Daniel Goleman mengakui bahwa pandangan visioner profesornya tentang sikap dasar kecakapan dan upayanya yang gigih untuk mencari kebenaran telah lama menjadi inspirasi bagi dirinya. Daniel Goleman juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran riset Yoseph Ledoux, seorang ahli saraf di Center for Neural Science di New York University. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya pemikiran beliau dijadikan rujukan dan wawancara yang sedang dilakukan oleh Daniel Goleman. Daniel juga banyak bekerja sama dengan istrinya tercinta yang seorang psikoterapi dalam perjalanan intelektualnya.

b. Hasil Karya Daniel Goleman 1) Emotional Intelligence

2) Working With Emotional Intelligence 3) Vital Lies

4) Simple Truth The Medicative Mind 5) The Creative Spirit (penulis pendamping) 6) Primal Leadership

(43)

7) The Emotionally Intelligent Work Place

Di antara karya intelektualnya yaitu Emotional Intelligence dan Working With Emotional Intelligence merupakan karya monumental Dainel Goleman. Kedua buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Buku Daniel Goleman beredar dan tersebar luas di berbagai negara baik di negara barat maupun negara timur. Dan buku sensasionalnya yang berjudul Emotional Intelligence yang diterbitkan pada tahun 1995 merupakan salah satu buku “best seller” dan sudah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa, di Eropa, Asia, dan di Amerika terkopi lebih dari lima ribu kopian.2

2. Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman

Kecerdasan (Intelligence) adalah daya reaksi penyesuaian yang cepat dan tepat baik secara fisik atau mental terhadap pengalaman- pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi baru.3Menurut W. Stern, kecerdasan adalah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat. Adapun menurut Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelligence yang hidup antara tahun 1857-1911, mendefinisikan inteligensi sebagai tindakan yang terdiri atas tiga komponen yaitu :

2Webside: htpp://www.eiconsortium.org/members/goleman. htm. dan pada sampul belakang buku kecerdasan emosi Daniel Goleman.

3Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indnesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 78.

(44)

a. Kemampuan untuk mengarahkan fikiran.

b. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan.

c. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.4

Emosi menurut Daniel Goleman merumuskan sebagai perasaan dan fikiran-fikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.5 Emosi juga memiliki dua faktor yang mempengaruhinya.Faktor tersebut meliputi internal dan eksternal, yaitu Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi. Dan Faktor ekstemal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor ekstemal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi dan 2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang

4Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelligensi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 6.

5Majalah Ummi, “Anak Cerdas Dunia Akhirat”, hlm. 21.

(45)

melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan. Dari kedua faktor tersebut akan mengantarkan manusia pada peningkatan kecerdasan emosi. Peningkatan kecerdasan emosi adalah mampu membaca situasi, Dengan memperhatikan situasi sekitar, kita akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Mampu mendengarkan dan menyimak pembicaraan orang lain, Dengarkan dan simak pembicaraan dan maksud dari lawan bicara, agar tidak terjadi salah paham serta dapat menjaga hubungan baik.Jika terjadi suatu masalah, bicarakanlah agar tidak terjadi salah paham. Siap untuk ditolak. Setiap usaha terdapat dua kemungkinan, diterima atau ditolak, jadi siapkan diri dan jangan takut ditolak. Mencoba berempati, EQ tinggi biasanya didapati pada orang-orang yang mampu berempati atau bisa mengerti situasi yang dihadapi orang lain. Pandai memilih prioritas.Ini perlu agar bisa memilih pekerjaan apa yang mendesak, dan apa yang bisa ditunda. Memiliki kesiapan mental. Situasi apa pun yang akan dihadapi, kita harus menyiapkan mental sebelumnya.

Bersikap rasional. Kecerdasan emosi berhubungan dengan perasaan, namun tetap berpikir rasional. Dan selalu fokus.Konsentrasikan diri pada suatu masalah yang perlu mendapat perhatian. Jangan memaksa diri melakukannya dalam 4-5 masalah secara bersamaan.

Dengan demikian, Kecerdasan Emosi adalah kemampuan yang khas dimiliki manusia dalam aspek biologis dan psikologis, sehingga akan membentuk tatanan kehidupan manusia agar mampu memahami diri sendiri dan orang lain. Kemampuan tersebut bisa memotivasi diri dengan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait