9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Biomedis Apendiktomi 2.1.1 Definisi Apendiktomi
Apendiktomi merupakan tindakan operasi untuk mengangkat apendiks vermiformis yang meradang atau apendisitis (Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia, 2017, hlm. 143).
Kasron & Susilawati (2018, hlm. 340) mengemukakan bahwa apendiktomi adalah tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks yang sudah meradang dan merupakan penatalaksaknaan yang dilakukan untuk penyakit apendisitis. Apendiktomi dilakukan segera mungkin untuk menurunkan risiko terjadinya perforasi lebih lanjut seperti peritonitis atau abses.
Apendiktomi yaitu pengobatan melalui prosedur tindakan operasi yang dilakukan hanya untuk penyakit apendisitis atau penyingkiran maupun pengangkatan usus buntu yang sudah terinfeksi (Rahayu, 2021, hlm. 1).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa apendiktomi merupakan suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat apendiks yang sudah meradang atau terinfeksi.
2.1.2 Macam-macam Apendiktomi
Menurut Kasron & Susilawati (2018, hlm. 340) apendiktomi dibagi menjadi dua yaitu:
2.1.2.1 Apendiktomi Laparatomi
Apendiktomi laparotomi merupakan cara pembedahan yang konvensional atau terbuka, dilakukan dengan membuat irisan pada bagian perut sebelah kanan bawah. Panjang sayatan kurang dari 3 inci atau 7,6 cm. Dokter bedah mengidentifikasi semua organ-organ dalam perut dan memeriksa adanya kelainan organ atau penyakit lainnya. Lokasi apendiks ditarik kebagian yang terbuka, lalu memisahkan apendiks dari semua jaringan yang ada disekitarnya dan diletakan pada sekum kemudian menghilangkannya. Jaringan tempat apendiks yang menempel sebelumnya yaitu sekum, ditutup dan dimasukan kembali ke perut. Lapisan otot dan kulit kemudian dijahit.
2.1.2.2 Apendiktomi Laparoskopi
Apendiktomi laparoskopi yaitu tindakan yang dilakukan dengan membuat tiga lubang sebagai akses pembedahan. Lubang yang pertama dibuat dibawah pusar, berfungsi untuk memasukkan kamera super mini yang sudah terhubung dengan layar monitor ke dalam tubuh, lewat lubang tersebut sumber cahaya dimasukkan, sementara dua lubang yang lain diposisikan sebagai jalan masuk untuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Kemudian kamera dan alat-alat khusus dimasukkan melalui sayatan-sayatan tersebut, ahli bedah mengamati organ abdominal secara
visual dan mengidentifikasi apendiks. Lalu apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat, apendiks diangkat dan dipisahkan dari sekum. Apendiks dikeluarkan melalui salah satu sayatan tersebut.
2.1.3 Etiologi
Penyebab utama dilakukannya tindakan apendiktomi karena terjadinya infeksi pada umbai cacing atau usus buntu di kuadran kanan bawah abdomen atau peradangan yang terjadi pada apendiks. Apendiks yang sudah meradang dapat menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak segara dilakukan tindakan pembedahan. Penyebab dari radang apendiks sendiri belum diketahui secara pasti. Namun, radang apendiks bisa terjadi karena adanya sumbatan di fases. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya, diantaranya yaitu obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks, yang disebabkan karena adanya tumpukan tinja yang keras (fecalith), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing didalam tubuh, bakteri dan cacing askariasis. Berdasarkan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat serta pengaruh dari konstipasi merupakan timbulnya peradangan yang terjadi pada apendiks (Mardalena, 2018, hlm. 149-150).
Post op apendiktomi menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan yang dapat mengakibatkan nyeri, kerusakan tersebut mempengaruhi sensitivitas pada ujung-ujung saraf, hal ini dapat menstimulus jaringan untuk aktivasi pelepasan zat-zat kimia yang
merupakan penyebab munculnya nyeri terutama nyeri post op apendiktomi (Cahyani, 2021, hlm. 8).
2.1.4 Patofisiologi
Tanda patogenik primer diduga karena adanya obstruksi lumen yang menjadi langkah awal terjadinya radang pada apendiks. Obstruksi menyebabkan muskus yang diproduksi mukosa terbendung sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri (Mardalena, 2018, hlm. 151).
Apendiktomi atau pembedahan pada apendiks harus segara dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya perforasi lebih lanjut. Tindakan apendiktomi dapat menyebabkan adanya luka insisi pada abdomen sehingga terjadinya perubahan kontinuitas jaringan atau kerusakan integritas jaringan dan kulit yang menimbulkan nyeri. Saat terjadinya trauma pada jaringan, tubuh akan merespon untuk melakukan proses penyembuhan pada area tersebut. Proses penyembuhan jaringan untuk kembali pada keadaan semula melalui tiga fase. Fase pertama yaitu fase inflamasi, fase inflamasi dimulai setelah terjadi cedera dan akan berlangsung selama tiga sampai enam hari. Pada fase inflamasi terjadi dua proses yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat dari vasokonstriksi pembuluh darah besar pada area yang terkena, sedangkan fagositosis adalah penghancuran mikroorganisme
dan debris sel. Fase kedua yaitu fase poliferasi, fase ini terjadi pada hari ke tiga sampai hari ke dua puluh satu setelah cedera. Pada fase ini fibroblas (sel jaringan ikat) bermigrasi ke luka dalam waktu 24 jam setelah cedera terjadi yang bertujuan untuk mensinsitesis kolagen. Selanjutnya, pembuluh darah kapiler akan tumbuh melewati luka dan meningkatkan aliran darah.
Apabila pembuluh darah kapiler sudah terbentuk, jaringan akan terlihat merah cerah yang disebut dengan jaringan granulasi yang rapuh dan mudah berdarah. Fase penyembuhan yang ketiga yaitu fase maturasi, fase yang terjadi sekitar hari ke dua puluh satu dan biasanya berlangsung selama satu sampai dua tahun setelah terjadinya cedera. Pada fase ini fibroblas terus melakukan sintesis pada kolagen. Serat-serat kolagen yang awalnya memiliki bentuk yang tidak beraturan akan berubah menjadi struktur jaringan yang teratur. Selama proses maturasi jaringan, luka akan mengalami perubahan bentuk dan konstriksi (Jamaludin & Nur Khikmatul, 2017).
Luka post op dapat mengalami infeksi apabila terdapat kuman ataupun bakteri yang masuk pada luka tersebut. Selain itu, tindakan post op apendiktomi juga dapat menimbulkan ansietas sehingga terjadinya penurunan peristaltik pada usus, ditandai dengan distensi abdomen, merasakan mual dan muntah, anorexia yang bisa mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh atau defisit nutrisi (Hariyanto & Rini, 2015, hlm 74).
Bagan 2.1 Pathway
Pintu masuk kuman
Obstruksi lumen (tumor, benda asing, fecalith, dan lain-lain)
Apendisitis
Luka insisi Ansietas
Kerusakan integritas jaringan
Risiko infeksi Nyeri
Penurunan peristaltik usus
Distensi abdomen
Mual & muntah
Risiko kekurangan volume cairan
Anorexia
Defisit nutrisi
Sumber : Hariyanto, A & Rini, S (2015) Apendiktomi
Apendiks
Proses peradangan apendiks
2.1.5 Manifestasi Klinik
Wijaya dan Putri (2013) mengemukakan bahwa pasien yang dilakukan tindakan post op apendiktomi akan muncul berbagai manifestasi klinik seperti:
2.1.5.1 Nyeri pada luka post op 2.1.5.2 Mual
2.1.5.3 Muntah
2.1.5.4 Nafsu makan menurun 2.1.5.5 Perubahan tanda-tanda vital 2.1.5.6 Gangguan integritas kulit 2.1.5.7 Demam tidak terlalu tinggi
2.1.5.8 Kelelahan dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas perawatan diri 2.1.5.9 Biasanya terdapat konstipasi dan terkadang mengalami diare
2.1.6 Dampak Apendiktomi Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia
Maslow membagi kebutuhan dasar manusia menjadi lima tingkatan yaitu kebutuhan fisiologis (pemenuhan oksigen, kebutuhan cairan, nutrisi, eliminasi, istirahat dan tidur, aktivitas, keseimbangan suhu tubuh, dan kebutuhan seksual), kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang, kebutuhan harga diri, dan terakhir kebutuhan aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan tertinggi dalam hierarki Maslow (Kasiati & Ni Wayan, 2016, hlm. 4-5).
Elizabeth J. Corwin (dalam Hidayat, 2020) mengemukakan bahwa dampak dari post op apendiktomi terhadap kebutuhan dasar manusia diantaranya adalah:
2.1.6.1 Kebutuhan dasar nutrisi tidak terpenuhi karena pasien post op apendiktomi mengalami keluhan mual, muntah dan tidak nafsu makan serta akan menghambat proses penyembuhan luka post op.
2.1.6.2 Kebutuhan aktivitas terganggu karena pasien post op apendiktomi akan mengurangi pergerakan atau aktivitas untuk meminimalisir nyeri yang timbul.
2.1.6.3 Kebutuhan rasa nyaman post op apendiktomi akan terganggu karena pasien mengalami nyeri pada abdomen yang disebakan adanya luka post op serta personal hygine pada pasien juga terganggu dikarenakan pasien mengalami kelemahan dan sulit melakukan aktivitas fisik.
2.1.6.4 Kebutuhan rasa aman juga akan berdampak pada pasien post op apendiktomi, pasien mengalami kecemasan karena adanya luka post op dan apabila tidak dirawat dengan baik akan terjadi infeksi pada lukanya.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi post op apendiktomi menurut Mutaqqin (dalam Rahayu, 2021, hlm. 6) sebagai berikut:
2.1.7.1 Infeksi pada luka operasi, apabila luka mengeluarkan cairan kuning atau nanah mengakibatkan kulit disekitar luka menjadi kemerahan (rubor),
hangat (kolor), bengkak (tumor), terasa semakin nyeri (dolor) dan fungsi laesa.
2.1.7.2 Abses (nanah), terdapat kumpulan didalam rongga perut dengan gejala demam dan nyeri pada perut.
2.1.7.3 Perlengketan usus, timbulnya gejala berupa rasa tidak nyaman diperut, sulit buang air besar pada tahap lanjut dan terasa sangat nyeri.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dalam proses keperawatan. Hasil dari pengkajian merupakan dasar dari penentuan masalah keperawatan dan rencana tindakan keperawatan yang akan diberikan kepada pasien. Pengkajian atau pengumpulan data mempunyai empat metode yaitu wawancara (anamnesis), observasi, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan diagnostik (Diyono & Sri Mulyanti, 2013, hlm. 17).
2.2.1.1 Anamnesis
Anamnesis atau disebut juga wawancara merupakan suatu metode pengumpalan data dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada pasien atau keluarga mengenai masalah yang dihadapi (Diyono &
Sri Mulyanti, 2013, hlm. 18).
a. Data demografi
Data demografi pada pengkajian meliputi identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, status, agama, pekerjaan, pendidikan dan alamat serta identitas penanggung jawab yang terdiri dari nama, umur, hubungan dengan keluarga dan pekerjaan.
Pengkajian umur penting karena berbagai penyakit saluran pencernaan dikaitkan dengan umur, misalnya penyakit radang usus buntu lebih banyak ditemukan pada umur 20-30 tahun, sedangkan pada anak terjadi umur 6-10 tahun (Kasron & Susilawati, 2018, hlm. 316).
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian dilakukan dengan menanyakan keluhan utama pasien secara kronologis, yaitu waktu, pencetus, durasi, dan keadaan pasien saat ini. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien post op apendiktomi, yaitu nyeri pada insisi pembedahan serta letih dan tidak bisa beraktivitas atau imobilisasi sendiri. Pengkajian nyeri harus lengkap meliputi: P (provokatif/paliatif), yaitu faktor pencetus nyeri, bagaimana nyeri bisa bertambah dan berkurang; Q (quality/quantity), yaitu kualitas nyeri biasanya pasien post op akan merasakan nyeri seperti ditusuk-tusuk atau disayat-sayat; R (region/radiasi), yaitu lokasi nyeri yang dirasakan dan nyeri menyebar atau pada satu titik; S (severity/scale), yaitu intensitas atau skala nyeri yang dirasakan dengan menggunakan Numeric
Rating Scale (NRS) dimulai dari skala 0-10; dan T (time), yaitu kapan, berapa lama, durasi, dan frekuensi nyeri (Diyono & Sri Mulyanti, 2013, hlm. 20-22).
2) Riwayat kesehatan dulu
Perlu dikaji adanya riwayat gangguan saluran pencernaan pada masa lalu pasien, seperti gangguan pada usus, lambung dan sebagainya. Biasanya pasien post op apendiktomi memiliki kebiasaan makan-makanan yang rendah serat dan juga makanan yang pedas. Tanyakan kepada pasien pernah sampai dirawat di rumah sakit atau tidak, berapa lama dan pulang dengan status apa.
Selain itu, riwayat pembedahan juga perlu untuk dikaji baik pembedahan abdomen atau sistem yang lain (Diyono & Sri Mulyanti, 2013, hlm. 19-20).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit saluran pencernaan bisa terjadi akibat pola kebiasaan keluarga yang kurang baik seperti penyiapan dan penyimpanan makanan (Diyono & Sri Mulyanti, 2013, hlm. 20). Tanyakan apakah anggota keluarga memiliki penyakit yang sama dengan pasien dan biasanya tidak ada pengaruh ke penyakit keturunan seperti hipertensi, hepatitis, diabetes mellitus, tuberkulosis, dan asma.
2.2.1.2 Observasi
Observasi yaitu tindakan pengamatan kondisi, perilaku dan keadaan umum pasien pada rentang waktu tertentu. Observasi dilakukan untuk mendukung atau menguatkan data hasil dari anamnesis yang kurang jelas. Misalnya, pada pasien post op apendiktomi yang mengeluh nyeri, maka untuk mendukung keluhan pasien tersebut perawat mengobservasi perilaku pasien, seperti perilaku membatasi gerak, memegangi area nyeri secara terus-menerus dan sebagainya. Observasi juga bisa dengan menggunakan alat misalnya mengobservasi suhu pasien menggunakan termometer, mengukur tekanan darah menggunakan sfigmomanometer dan sebagainya (Diyono & Sri Mulyanti, 2013, hlm. 22-23).
2.2.1.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yaitu metode pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan bagian fisik dari pasien menggunakan alat ataupun tidak dengan alat. Berikut pemeriksaan fisik pada pasien post op apendiktomi meliputi (Setiawan, 2018, hlm. 32-34) :
a. Keadaan umum
Pasien post op apendiktomi mencapai kesadaran penuh atau composmentis, penampilan menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung periode nyeri. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali pasien yang mengalami perforasi apendiks.
b. Sistem pernafasan
Pasien akan mengalami penurunan atau peningkatan frekuensi nafas serta pernafasan dangkal, sesuai yang dapat ditoleransi oleh pasien.
c. Sistem kardiovaskuler
Umumnya pasien mengalami takikardi sebagai respon terhadap stres dan hipovolemia, pasien juga mengalami hipertensi sebagai respon terhadap nyeri ataupun hipotensi karena kelemahan dan tirah baring.
Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji keadaan konjungtiva, ada tidaknya sianosis dan auskultasi bunyi jantung.
d. Sistem pencernaan
Saat dipalpasi adanya nyeri pada luka operasi di abdomen kuadran kanan bawah. Pasien post op apendiktomi biasanya mengeluh mual muntah, konstipasi pada awitan awal post op dan penurunan bising usus, akan tampak adanya luka bekas operasi di abdomen kanan bawah. Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas. Kaji kembalinya peristaltik setiap 4-8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal yaitu 5- 30 x/menit bunyi keras pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak peristaltik kembali normal. Tanyakan pada pasien apakah pasien membuang gas (flatus), karena ini merupakan tanda penting yang menunjukkan fungsi usus normal.
e. Sistem perkemihan
Awal post op apendiktomi pasien akan mengalami penurunan jumlah output urin, hal ini terjadi dikarenakan adanya pembatasan intake oral selama periode awal post op apendiktomi.
f. Sistem musculoskeletal
Secara umum, pasien dapat mengalami kelemahan karena tirah baring post operasi dan merasa kaku. Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi aktivitas.
g. Sistem integumen
Tampak adanya luka bekas operasi di abdomen kuadran kanan bawah karena insisi bedah yang biasanya disertai juga dengan kemerahan.
h. Sistem persyarafan
Pasien tidak mengalami penyimpangan dalam persyarafan. Pengkajian fungsi persyarafan meliputi tingkat kesadaran, saraf kranial dan refleks.
2.2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik
Perawat dalam menegakkan diagnosa keperawatan perlu untuk mempertimbangkan hasil analisis pemeriksaan penunjang atau prosedur diagnostik (Diyono & Sri Mulyanti, 2013, hlm. 30). Berikut ini jenis pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang mengalami masalah sistem pencernaan, yaitu:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pasien yang mengalami radang apendiks bukan hanya disebabkan oleh bakteri saja tetapi nilai leukosit yang meningkat karena proses infeksi. Nilai leukosit pada penderita apendisitis meningkat di atas 10.000/ dan neutrofil di atas 80% dengan rentang normal 47-80%. Nilai leukoist dan neutrofil dapat meningkat secara bersamaan jika terjadi radang apendiks dan semakin meningkat pada apendisitis komplikata sedangkan nilai limfosit jarang mengalami peningkatan pada fase akut bahkan nilai limfosit akan jauh berkurang.
Selain itu, pemeriksaan laboratorium pada pasien apendisitis yaitu pemeriksaan sel darah putih dan pemeriksaan urine (Kasron &
Susilawati, 2018, hlm. 332).
b. Pemeriksaan Radiologi 1) Rontgen Apendikogram
Rontgen apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara oral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak sedangkan untuk dewasa 10-12 jam (Kasron & Susilawati, 2018, hlm. 333).
2) Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Gambaran USG pada diagnosis apendisitis yaitu apendiks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih,
terdapat suatu apendicolith, adanya cairan atau massa periapendiks (Kasron & Susilawati, 2018, hlm. 333).
3) CT-Scan
CT-Scan adalah pemeriksaan yang dapat digunakan dalam mendiagnosa apendisitis akut jika diagnosanya tidak jelas.
Diagnosa apendisitis dengan CT-Scan dapat ditegakkan apabila apendiks mengalami perubahan ukuran lebih dari 5-7 mm pada diameternya (Kasron & Susilawati, 2018, hlm. 334).
4) MRI
Pemeriksaan menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya dibandingkan dengan pemeriksaan lain (Kasron & Susilawati, 2018, hlm. 334).
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik aktual maupun potensial (PPNI, 2016, hlm. 5).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien post op apendiktomi menurut PPNI (2016) adalah:
2.2.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi).
DS : Mengeluh nyeri.
DO : Tampak meringis, bersikap protektif menghindari nyeri, gelisah, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat sulit tidur, nafsu makan berubah.
2.2.2.2 Gangguan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan luka insisi bedah.
DS : Mengatakan nyeri dan adanya kemerahan pada luka operasi.
DO : Kerusakan jaringan atau lapisan kulit, terdapat luka operasi.
2.2.2.3 Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
DS : Mengeluh nyeri abdomen dan nafsu makan menurun.
DO : Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, membran mukosa pucat.
2.2.2.4 Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasi.
DS : - DO : -
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala tindakan atau perlakuan yang dikerjakan oleh perawat berdasarkan pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018, hlm. 8).
Intervensi keperawatan menurut PPNI (2018) pada diagnosa utama pasien post op apendiktomi yaitu nyeri akut dengan intervensi utama manajemen nyeri dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1
Intervensi Keperawatan Post Op Apendiktomi Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
(1) (2) (3) (4)
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi).
DS :
Mengeluh nyeri DO :
1. Tampak meringis 2. Bersikap protektif menghindari menghindari nyeri 3. Gelisah 4. Frekuensi nadi
meningkat 5. Sulit tidur 6. Nafsu makan
berubah
TUM:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat teratasi.
TUK:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun, dengan kriteria hasil:
1. Pasien mengatakan nyeri
menurun dan terkontrol (skala 1-3 dari 10) 2. Meringis
menurun 3. Gelisah
menurun 4. Frekuensi
nadi membaik
Observasi 1. Identifikasi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri.
3. Identifikasi nyeri non verbal.
Terapeutik 4. Berikan
teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri (imajinasi terbimbing).
5. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
Edukasi 6. Ajarkan
memonitor nyeri secara mandiri.
Kolaborasi 7. Kolaborasi
pemberian analgetik.
Observasi 1. Mengetahui
penyebab nyeri dan menentukan tindakan
manajemen nyeri.
2. Mengetahui tingkat nyeri yang dialami pasien.
3. Mengetahui ketidaknyamanan pasien terhadap nyeri.
Terapeutik
4. Teknik relaksasi imajinasi
terbimbing dapat membantu mengalihkan perhatian sebagai upaya
menurunkan nyeri.
5. Lingkungan berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakan.
Edukasi 6. Mengetahui
karakterisitik nyeri.
Kolaborasi
7. Obat analgetik dapat
mengurangi nyeri.
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan proses keperawatan untuk melakukan atau menyelesaikan suatu tindakan yang sudah direncanakan pada tahapan sebelumnya (Andarmayo, 2013, hlm. 115).
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahapan terakhir dari suatu proses keperawatan yang bertujuan untuk mengukur respon pasien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan pasien kearah pencapaian tujuan dan hasil yang diharapkan (Andarmayo, 2013, hlm. 116).
2.3 Konsep Imajinasi Terbimbing 2.3.1 Definisi Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing atau guided imagery yaitu suatu teknik relaksasi yang berfungsi untuk mengurangi stress serta dapat meningkatkan perasaan menjadi tenang dan damai, serta bisa digunakan sebagai obat penenang saat sedang dalam keadaan sulit seperti mengalami nyeri (Putri & Rahmita, 2019, hlm. 85).
Imajinasi terbimbing (guided imagery) pada dasarnya adalah proses penggunaan pikiran dengan cara membayangkan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan, melalui cara seperti ini diharapkan ketenangan dan kedamaian batin didapatkan dalam situasi apapun (Hidayat, 2019, hlm. 51).
Imajinasi terbimbing adalah membentuk imajinasi dengan menggunakan semua indera melalui pemrosesan kognitif dengan mengubah objek, tempat, peristiwa, atau situasi yang berfungsi untuk meningkatkan relaksasi, meningkatkan kenyamanan dan meredakan nyeri.
(PPNI, 2021, hlm. 409).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa imajinasi terbimbing (guided imagery) merupakan sebuah teknik relaksasi dengan cara menuntun atau membimbing seseorang untuk membayangkan sesuatu yang membuat kondisinya menjadi lebih tenang dan rileks, sehingga dapat meradakan nyeri yang dirasakan.
2.3.2 Jenis-jenis Imajinasi Terbimbing
Putri & Rahmita (2019, hlm. 86) mengemukakan bahwa imajinasi terbimbing (guided imagery) dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
2.3.2.1 Pleasant Imagery merupakan imajinasi yang menyenangkan, seperti membayangkan tempat yang disukai serta membuat tenang dan rileks.
2.3.2.2 Physiologically Facused Imagery merupakan imajinasi yang fokus terhadap fisiologis, seperti fokus pada fungsi fisiologi yang membutuhkan penyembuhan.
2.3.2.3 Mental Rehearsal adalah imajinasi yang digunakan untuk melatih mental, misalnya membayangkan tugas tertentu sebelum kejadian.
2.3.2.4 Receptive Imagery digunakan untuk scanning pada tubuh dalam penyembuhan langsung.
2.3.3 Manfaat Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing (guided imagery) memiliki manfaat tidak jauh berbeda dari teknik relaksasi lainnya. Namun, para pakar berpendapat bahwa guided imagery merupakan teknik penyembuhan yang sangat efektif untuk mengurangi rasa nyeri, mempercepat penyembuhan, serta dapat membantu mengurangi berbagai macam penyakit seperti alergi, depresi dan asma. Menurut Lindquist & Synder (2006), guided imagery dijadikan sebagai terapi kecemasan pada seseorang, karena bisa memberikan rasa nyaman serta berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri kronis maupun akut, pusing, susah tidur, dan meningkatkan mekanisme koping bahkan mampu untuk menurunkan tekanan darah (Putri &
Rahmita, 2019, hlm. 86-87).
2.3.4 Penatalaksanaan Imajinasi Terbimbing
Tindakan imajinasi terbimbing (guided imagery) bisa membuat seseorang menciptakan kesan dalam pikirannya dan berkonsentrasi pada kesan tersebut, sehingga secara bertahap pasien merasa nyeri yang dirasakan berkurang. Tentu indikasi dari tindakan ini yaitu seseorang yang mengalami nyeri ataupun pusing. Tujuan dilakukannya tindakan imajinasi terbimbing (guided imagery) adalah untuk mengatasi atau mengurangi
nyeri, menurunkan stress, dan meningkatkan kenyamanan (Setiawan, D &
Hendro, P, 2015). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan yaitu perawat duduk dekat dengan pasien supaya dapat didengar oleh pasien, namun tidak sampai mengganggu pasien. Ketenangan dan suara yang lembut membantu pasien semakin berfokus seutuhnya pada gambaran yang dianjurkan oleh perawat.
Menurut PPNI (2021, hlm. 409), langkah-langkah untuk melakukan teknik relaksai imajinasi terbimbing dapat dilakukan dengan cara:
Tabel 2.2
Langkah-langkah Imajinasi Terbimbing
Langkah-langkah Imajinasi Terbimbing
(1) (2)
Persiapan pasien 1. Berikan salam, perkenalkan diri perawat dan identifikasi pasien dengan memeriksa identitas pasien
2. Tanyakan kondisi pasien
3. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan diberikan
4. Berikan privasi pada pasien
5. Atur posisi pasien sehingga merasakan aman dan nyaman saat tindakan berlangsung
Persiapan alat 1. Ruangan yang tenang dengan pencahayaan yang cukup
2. Tempat tidur atau kursi yang nyaman 3. Jam saku
Cara kerja 1. Cuci tangan
2. Beritahu pasien bahwa tindakan akan dimulai 3. Anjurkan dan bantu pasien untuk memilih posisi
yang nyaman
4. Tanyakan skala nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan Numerical Rating Score (NRS)
5. Tanyakan hal-hal atau tempat yang disukai oleh pasien
6. Ciptakan suasana yang tenang 7. Minta pasien untuk menutup mata
8. Anjurkan membayangkan suatu tempat yang sangat menyenangkan yang pernah atau yang ingin dikunjungi (seperti pegunungan, pantai, taman, dll)
(1) (2) Script:
“Dimulai dengan melemaskan seluruh tubuh anda, tarik nafas secara perlahan rasakan udara masuk melalui hidung menuju ke paru-paru lalu anda hembuskan melalui mulut dengan membayangkan seolah-olah beban pikiran sudah dilepaskan dan dibuang jauh-jauh.
Saat ini saya yakin anda sudah mulai fokus dan bisa mulai membayangkan hal-hal yang anda sukai. Coba anda bayangkan bahwa anda kembali ke suatu masa yang sangat berkesan, indah dan paling membahagiakan dalam hidup anda. Suatu masa yang selama ini benar-benar anda rindukan.
Seperti yang anda katakan bahwa anda menyukai suasana tempat (dipantai/pegunungan) dan bayangkan saat tersebut. Rasakan semakin jelas, semakin nyata bahwa anda sudah kembali di masa itu. Anda benar-benar berada ditempat itu bersama dengan orang-orang yang anda sayangi.
Anda benar-benar mulai dapat mengamati keadaan disekeliling anda, melihat dan merasakan hal-hal yang menyenangkan dalam hidup anda. Saat itu langit begitu cerah dengan udara yang segar dan sangat menyejukkan mata, burung-burung berkicau dengan sangat merdu sehingga membuat anda semakin nyaman, rileks, tenang, dan santai. Nikmati semua perasaan yang anda rasakan, semakin nyata, semakin jelas anda benar-benar menikmatinya. Rasakan bahwa hal ini sangat nyata, anda benar-benar berada disana”
9. Anjurkan membayangkan berada dalam kondisi yang sehat, bersama dengan orang yang disayangi atau dicintai dalam suasana yang nyaman
Script:
“Sekarang anda bayangkan anda dalam keadaan sehat, semua rasa sakit yang anda rasakan saat ini hilang, anda tidak merasakan sakit sedikitpun, anda merasa rileks, nyaman, dan tenang.
Semakin rileks, rileks dan rilek. Syukuri semua nikmat dari Allah SWT, selalu sabar dan ikhlas.
Sekarang anda tarik nafas tahan dalam hitungan ketiga, satu dua tiga hembuskan dari mulut, sekali lagi tarik nafas tahan, satu dua tiga hembuskan dari mulut”
10. Minta pasien untuk membuka mata secara perlahan
11. Tanyakan kenyaman pasien
12. Periksa respon perubahan emosional dan menanyakan skala nyeri yang dirasakan pasien setelah diberikan tindakan
13. Buka kembali tirai atau pintu 14. Buat kontrak waktu selanjutnya 15. Akhiri kegiatan dengan baik
(1) (2) 16. Cuci tangan
17. Dokumentasi prosedur yang telah dilakukan dan respon pasien
2.4 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 2.4.1 Kerangka Teori
Kerangka teori atau kerangka berpikir merupakan gambaran hubungan berbagai variabel yang menyeluruh serta lengkap dengan menggunakan bagan dan alur untuk menjelaskan adanya hubungan sebab akibat dari sebuah kejadian (Adiputra, dkk. 2021, hlm. 35).
Kerangka teori mengenai imajinasi terbimbing (guided imagery) pada pasien post op apendiktomi yaitu:
Bagan 2.2 Kerangka Teori
Sumber : Mardalena (2018), Wijaya & Putri (2013)
Penyebab
Infeksi atau peradangan pada apendiks di kuadran kanan bawah abdomen
Manifestasi klinik:
1. Nyeri pada luka post op 2. Mual
3. muntah
4. Nafsu makan menurun 5. Perubahan tanda-tanda vital 6. Gangguan integritas kulit 7. Demam
8. Kelelahan 9. Konstipasi
Manajemen Nyeri (Teknik Relaksasi Imajinasi
Terbimbing) Post Op Apendiktomi
Penurunan Skala Nyeri
2.4.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka yang disusun berdasarkan teori yang ditemukan saat melakukan telaah jurnal dan merupakan turunan dari kerangka teori (Adiputra, dkk. 2021, hlm. 36).
Kerangka konsep intervensi keperawatan pada pasien post op apendiktomi yaitu:
Bagan 2.3 Kerangka Konsep
Sumber : Kasron & Susilawati (2018), Putri & Rahmita (2019)
Post Op Apendiktomi
Teknik Relaksasi Imajinasi Terbimbing
(guided imagery)
Skala nyeri