• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BAB II TINJAUAN PUSTAKA - poltekkes-malang.ac.id

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF BAB II TINJAUAN PUSTAKA - poltekkes-malang.ac.id"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

Pada usia 6-10 tahun, hormon androgen dalam tubuh pertama kali meningkat, dan pada usia 20-35 tahun, kadar hormon androgen dalam tubuh sudah maksimal. Keadaan seperti ini menyebabkan hormon androgen menurun sangat drastis karena lapisan vagina tidak mampu lagi mengalirkan cairan dari jaringan sekitarnya. Konflik atau masalah komunikasi antar pasangan dapat menurunkan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual. e) Depresi.

Disfungsi seksual adalah kegagalan yang menetap atau berulang, sebagian atau seluruhnya, untuk memperoleh dan/atau mempertahankan respons pelumasan vasokongestif hingga akhir aktivitas seksual (Chandra, 2005). DSM-IV menggambarkan disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan/atau siklus respons seksual yang menyebabkan stres berat dan kesulitan dalam hubungan antarmanusia. Disfungsi seksual ini bisa terjadi pada satu atau lebih dari empat fase siklus respons, yaitu hasrat atau hasrat seksual, gairah, orgasme atau pelepasan, dan penarikan diri.

Meskipun hampir sepertiga pasien mengalami disfungsi seksual tanpa pengaruh penggunaan narkoba, beberapa indikasi menunjukkan bahwa antidepresan dapat menyebabkan atau membangkitkan disfungsi seksual. Disfungsi seksual wanita secara tradisional dibagi menjadi gangguan minat/hasrat atau libido seksual, gangguan hasrat, nyeri atau ketidaknyamanan, dan hambatan mencapai klimaks atau orgasme. Dalam DSM IV American Psychiatric Association, dan ICD-10 WHO, disfungsi seksual wanita dibagi menjadi empat kategori, yaitu.

Seorang wanita boleh saja melakukan hubungan intim, namun ia gagal merasakan kenikmatan dan kepuasan yang biasa ia rasakan.

Gambar 2.1 Kepentingan seksual menurut wanita (Bayer, 2006)
Gambar 2.1 Kepentingan seksual menurut wanita (Bayer, 2006)

Pengukuran FSFI

Nyeri atau rasa tidak nyaman dapat dirasakan pada introitus vagina akibat spasme otot perivaginal atau peradangan atau nyeri pada introitus yang mungkin disebabkan oleh episiotomi atau robekan perineum.

Keluarga Berencana

Jika seorang ibu belum pulih dari persalinannya, namun kembali hamil, maka tubuhnya tidak memiliki waktu untuk pulih dan menghadapi berbagai masalah, bahkan risiko kematian. Wanita yang telah memiliki lebih dari 4 anak menghadapi risiko kematian akibat pendarahan hebat dan berbagai jenis kelainan jika ibunya terus hamil dan melahirkan kembali (Prawirohardjo, 2007). Pelaku KB adalah pasangan usia subur (PUS) yang salah satunya menggunakan salah satu metode atau alat kontrasepsi dalam rangka mencegah kehamilan baik melalui program maupun non program.Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dalam Setiawan dan Saryono (2010), takers adalah orang-orang yang menerima dan ikut serta serta melaksanakan program KB.

Pelaku KB baru adalah pasangan usia subur (PUS) yang pertama kali menggunakan alat kontrasepsi setelah mengalami kehamilan yang berakhir dengan keguguran atau lahir mati. b) Kontraktor KB lama. Pelaku KB lama adalah pasangan usia subur (PUS) yang melakukan kunjungan berulang kali, termasuk pasangan usia subur yang menggunakan alat kontrasepsi kemudian berpindah atau berganti ke metode atau alat lain atau berpindah klinik, baik dengan metode yang sama maupun dengan metode lain. (perangkat). c) Pengadopsi keluarga berencana yang aktif. Peserta KB aktif adalah pasangan usia subur (PUS) yang sedang menggunakan satu metode atau alat kontrasepsi lagi. d) Pengadopsi KB aktif kembali.

Peserta kontrasepsi reaktif adalah pasangan usia subur (PUS) yang telah menghentikan penggunaan selama tiga bulan atau lebih tanpa terputus oleh kehamilan dan telah kembali menggunakan kontrasepsi baik menggunakan metode yang sama atau berganti metode setelah penghentian atau cuti paling sedikit tiga bulan berturut-turut dan tidak jatuh tempo. untuk kehamilan.

Kontrasepsi

Alat kontrasepsi sederhana yang menggunakan alat berupa alat mekanis (penghalang) yang terdiri dari beberapa jenis, seperti kondom pria, alat kontrasepsi intravaginal (seperti diafragma, penutup serviks, spons, kondom wanita. Beberapa jenis kontrasepsi hormonal oral merupakan kombinasi berupa Pil Oral (POK), Pil Mini, Pil Pagi DMPA dan NET-ET (kombinasi) dan Implam yang diberikan secara subkutan. b) Kontrasepsi non hormonal.

Ibu yang memiliki penyakit yang dapat membahayakan nyawanya jika terjadi kehamilan disarankan untuk menggunakan alat kontrasepsi. F. Wanita usia subur dapat menggunakan kontrasepsi progestin, sedangkan penggunaan kontrasepsi progestin tidak dianjurkan bagi wanita pascamenopause, sehingga hal ini dapat mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi. b) Gaya Hidup. Wanita yang gaya hidupnya mirip dengan merokok (perokok, anemia defisiensi besi) dapat menggunakan kontrasepsi progestin, karena tidak ada efek samping pada wanita perokok dan anemia.

Kontrasepsi progesteron dapat digunakan oleh wanita yang sering atau jarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya, karena tidak mengganggu hubungan seksual. Salah satu tujuan kontrasepsi adalah untuk menjarangkan kehamilan, sehingga bagi wanita yang ingin mengontrol jumlah anak atau ingin menjarangkan kehamilan agar jumlah anak dalam keluarga diinginkan dapat menggunakan alat kontrasepsi. Wanita yang sebelumnya pernah menggunakan salah satu jenis alat kontrasepsi merasa nyaman dan merasakan manfaat dari alat kontrasepsi tersebut.

Wanita yang memiliki penyakit jantung dapat menggunakan kontrasepsi progesteron karena mengandung estrogen dan tidak berdampak serius pada penyakit jantung. b) Riwayat menstruasi. Semua wanita yang memiliki siklus menstruasi panjang atau pendek dapat menggunakan kontrasepsi progesteron, sedangkan wanita yang pernah mengalami pendarahan vagina yang tidak jelas penyebabnya sebaiknya tidak menggunakan kontrasepsi progesteron. c) Riwayat keluarga. Wanita yang keluarganya memiliki riwayat kanker payudara dan diabetes dengan komplikasi tidak dapat menggunakan alat kontrasepsi progestin. d) Pemeriksaan fisik.

Hanya ada sedikit efek samping (gangguan siklus menstruasi, perubahan berat badan, tertundanya kembalinya kesuburan dan osteoporosis dengan penggunaan jangka panjang). c) Kerugian. Kerugian sedikit dan jarang terjadi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi progesteron, perubahan berat badan menjadi penurunan yang paling umum. d) Potensi komplikasi. Tingkat kinerja pelayanan KB dapat dilihat dari cakupan peserta KB yang sedang atau pernah menggunakan alat kontrasepsi, lokasi pelayanan KB dan jenis alat kontrasepsi yang digunakan pengadopsi (DEPKES RI, 2009).

Kontrasepsi Suntik

Kadar progestin yang bersirkulasi cukup tinggi sehingga menghambat lonjakan LH yang berperan pada saat ovulasi, sehingga akibatnya LH yang bersirkulasi akan menurun sehingga menghambat pembuahan. Klien tidak perlu menyimpan obat suntik krisis anemia sel sabit 3) Keterbatasan. Penggunaan jangka panjang mungkin sedikit mengurangi kepadatan (kepadatan) tulang. i) Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kekeringan pada vagina, penurunan hasrat seksual, gangguan emosi (jarang), sakit kepala, nefrosis, jerawat.

Setelah penyuntikan tunggal, kombinasi tersebut menunjukkan efek yaitu terhambatnya pematangan folikel, penebalan lendir serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke dalam lendir serviks dan bertemu dengan sel telur, sehingga tidak terjadi pembuahan dan efektivitas pengobatan menurun. kombinasi akan berkurang dan tidak terdeteksi hingga 30 hari (Siswosudarmo et al., 2008). Kontrasepsi suntik merupakan suatu obat pencegah kehamilan yang digunakan dengan cara menyuntikkan obat tersebut kepada ibu subur. Progesteron berperan dalam perubahan progestasional pada endometrium dan perubahan siklik pada serviks dan vagina (Ganong, 2003).

Pada wanita normal yang tidak hamil, progesteron disekresi dalam jumlah yang signifikan pada paruh kedua setiap siklus ovarium. Progesteron berperan pada saluran tuba, yaitu meningkatkan sekresi selaput lendir yang melapisi saluran tuba. Sekresi ini diperlukan untuk memberi nutrisi pada sel telur yang telah dibuahi dan membelah saat sel telur bergerak ke saluran tuba sebelum implantasi.

Efek progesteron pada KB suntik adalah mengentalkan lendir serviks dan mengubah endometrium, kadar progestin dalam sirkulasi cukup tinggi sehingga menghambat lonjakan LH sehingga pembuahan dapat dicegah (Speroff, 2003). Kadar progestin yang beredar cukup tinggi sehingga kadar FSH (follicle-stimulation hormone) dan LH (luteinizing hormone) turun dan tidak terjadi lonjakan LH, sehingga tidak terjadi pertumbuhan folikel dan produksi sel telur pun berkurang. Jadi. Alat kontrasepsi suntik progestin berfungsi mencegah pembuahan dengan cara menghalangi pertumbuhan sperma di dalam rongga rahim dengan cara menebalkan lapisan leher rahim sehingga sperma tidak dapat menembus leher rahim dan tidak terjadi pembuahan (Siswosudarmo dkk, 2008).

Hormon progesteron mengganggu perubahan fisiologis pada endometrium, mengganggu proses nidasi (proses menempelnya hasil pertemuan antara sperma dan sel telur di dalam rahim), sehingga membuat endometrium menjadi kurang viabilitas atau kurang cocok untuk proses implantasi ( proses menempelnya sel telur pada lapisan endometrium) sel telur yang telah dibuahi (Siswosudarmo, dkk, 2008). Alat kontrasepsi suntik progestin menyebabkan perubahan gerak peristaltik saluran tuba, sehingga pergerakan gamet terhambat dan konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) terhambat, sehingga peluang terjadinya pembuahan menjadi kecil (Hartanto, 2012).

Gambar 2.4. Grafik Penurunan kadar LH pada fase ovulasi dengan  penggunaan progesteron tinggi
Gambar 2.4. Grafik Penurunan kadar LH pada fase ovulasi dengan penggunaan progesteron tinggi

Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi

Sekresi hormon ini akan merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk mengeluarkan hormon perangsang folikel (FSH) dan hormon luteinizing (LH). Dalam jangka waktu tertentu, tubuh dapat melakukan kompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam keadaan normal, namun dalam jangka waktu yang lama menyebabkan tubuh kehilangan kompensasi dan menurunkan sekresi hormon, terutama estrogen (Guyton , 2008). Rendahnya kadar estrogen menyebabkan penurunan aliran darah pada vagina yang menyebabkan pematangan epitel vagina terhambat, dinding vagina menjadi tidak elastis dan memendek serta tipis sehingga menimbulkan nyeri saat berhubungan intim (Ozgoli dkk, 2015).

Menurut Meston (2004) dalam Baktiyani (2009), sebuah penelitian menunjukkan bahwa rendahnya kadar dehydroepiandrosterone (DHEA) tidak serta merta melaporkan mengalami kepuasan seksual yang rendah, namun wanita yang melaporkan mengalami disfungsi seksual memiliki kadar DHEA yang rendah.

Gambar 2.5 Schematic representation of the hypothalamic – pituitary – gonadal (HPG) axes
Gambar 2.5 Schematic representation of the hypothalamic – pituitary – gonadal (HPG) axes

Kerangka Konsep

Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait