• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF BUKU AJAR - dspace.hangtuah.ac.id

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PDF BUKU AJAR - dspace.hangtuah.ac.id"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

Senyawa bioaktif yang diekstrak dari tulang ikan hiu hasil analisis spektroskopi FTIR (Fourier transform infra red) adalah kondroitin sulfat dan glukosamin sulfat yang mempunyai efek anti inflamasi secara in vitro menggunakan hewan percobaan pada tikus wistar (Agustin, Sulistyowati, & Yatmasari, 2016) dan secara eksperimental in vivo menggunakan metode PBMC (peripheral blood mononuclear cell) dengan antibodi IL-6, senyawa bioaktif tulang ikan hiu diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi yang signifikan (Agustin, Sulistyowati, & Yatmasari, 2013). Diharapkan setelah mempelajari Bab 2 mahasiswa mampu memahami potensi dan komposisi kimia tulang hiu Prionace glauca.

Potensi Hiu (Prionace glauca) di Indonesia

15% dari total jumlah hiu yang ditangkap di perairan selatan Jawa (Fahmi dan Darmadi, 2013). Namun jika sebaliknya tangkapan ikan tuna sedikit dan hiu yang tertangkap banyak, maka seluruh bagian tubuhnya akan diangkut dan didaratkan di pelabuhan untuk dijual (Fahmi dan Darmadi, 2013).

Tulang Hiu (Prionace glauca) 1. Rendemen Tulang Hiu

Komposisi Kimia Tulang Hiu

Daging ikan hiu biasanya diolah menjadi dendeng, abon, daging cincang, surimi ikan hiu, bakso, sosis, dan tepung daging.

Tabel 2.  Kandungan Gizi Daging Beberapa Jenis Hiu   Jenis Hiu  Air (%)  Protein
Tabel 2. Kandungan Gizi Daging Beberapa Jenis Hiu Jenis Hiu Air (%) Protein

Senyawa Bioaktif Tulang Hiu

Setelah mempelajari Bab 3 diharapkan mahasiswa mampu mempelajari tentang ekstraksi, preformulasi dan karakterisasi hasil ekstrak tulang ikan hiu. Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan ekstraksi, preformulasi dan karakterisasi hasil ekstrak tulang ikan hiu.

Ekstraksi Tulang Hiu

Potong-potong tulang ikan hiu, lalu keringkan dalam mesin pengering dengan suhu 50oC selama 7 jam (2x). Jika pengeringan hanya dilakukan satu kali maka proses pengeringan tidak sempurna dan akan menimbulkan bau tidak sedap pada ekstrak yang dihasilkan. Tulang ikan hiu yang sudah kering digiling dengan blender hingga diperoleh tepung tulang dengan ukuran partikel yang homogen, tulang ikan hiu yang telah tercampur kemudian diayak dengan ayakan 100 mesh.

Tepung tulang kemudian dicuci dengan n-heksana dengan perbandingan 1:2,5 (b/v) dan diaduk selama 1 jam, kemudian disaring untuk memisahkan heksana, kemudian tepung tulang dikering-anginkan semalaman. Tulang ikan hiu yang dicuci dengan heksana dikeringkan kembali dalam pengering bersuhu 50oC selama 30 menit untuk menguapkan sisa heksana. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan akuades dengan perbandingan 1:10 (b/v) dengan pengadukan terus menerus pada suhu 45oC selama 8 jam.

Hasil ekstrak kemudian disentrifugasi untuk memisahkan padatan tepung yang tidak larut, supernatan yang mengandung glukosamin dan kondroitin kemudian diliofilisasi untuk memisahkan pelarut. Data rendemen hasil ekstrak dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil pengeringan beku dapat dilihat pada Gambar 4.

Preformulasi

Kapsul keras yang terdiri dari dua bagian yaitu badan kapsul dan tutup kapsul biasanya mengandung formula berbentuk bubuk. Keunggulan sediaan kapsul adalah proses pembuatannya lebih sederhana dibandingkan dengan tablet, karena proses kompresi, granulasi dan pengeringan dapat dihindari (Aulton, 1996 dan Jones 2008). Menurut Aulton (1996), formulasi serbuk untuk sediaan kapsul keras harus memperhatikan distribusi ukuran partikel campuran serbuk, sehingga dapat dihasilkan campuran serbuk yang homogen dan tidak terpisahkan. Ukuran partikel harus memiliki kisaran yang sempit. untuk memastikan aliran yang baik dan dapat direproduksi. Selama proses pengisian, bentuk partikel tidak boleh tidak beraturan, karena dapat menimbulkan masalah selama proses pengisian.

Berat tepung tulang (40 gr) setelah dicuci dengan heksana selama 1 jam dan dijemur semalaman ditimbang 42,79 gr dan dikeringkan kembali dalam pengering 50oC selama 30 menit ditimbang 37,30 gr, kemudian dibagi 2, masing-masing 18,65 gram, diekstraksi dengan 200 ml air suling, diaduk dengan pengaduk magnet hot plate selama 8 jam pada suhu 50oC, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 30 detik, diperoleh filtrat sebanyak 229,5 ml dibagi 3 @ 76,5 ml untuk diolah dengan penambahan Avicel (50%, 75% dan 100%). Ekstrak hasil perlakuan dengan penambahan avicel menghasilkan bahan kering yang masih sulit terkikis dari labu beku-kering, sehingga perlu dicoba penambahan bahan penyerap lain yaitu cab osil dan HPMC.

Perlakuan (3) yaitu penambahan 90% avicel, 10% cab osil dan 1% HPMC menghasilkan bahan yang berpori dan mudah dikeluarkan dari labu.

Gambar 5. Hasil Preformulasi
Gambar 5. Hasil Preformulasi

Karakterisasi Ekstrak Tulang Hiu

  • Hasil Uji XRD (X Ray Difraksi)
  • Hasil Uji FTIR
  • Hasil Uji Differential Scanning Calorymetri (DSC)
  • Hasil Scanning Electron Microscopy SEM
  • Kandungan Glukosamin dan Kondroitin

Difraktogram ekstrak tulang ikan hiu juga menunjukkan puncak kristal yang identik dengan difraktogram pembanding glukosamin dan kondroitin pada posisi 2Ø, antara 20°-30°. Sampel ekstrak tulang ikan hiu yang diformulasi dengan bahan penyerap dikarakterisasi menggunakan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi pada sampel. Hasil uji DSC dapat dilihat pada Tabel 8 dan Termogram sampel ekstrak tulang ikan hiu tanpa penyerap, ekstrak tulang ikan hiu + penyerap, glukosamin dan kondroitin masing-masing dapat dilihat pada Gambar dan 14.

Terlihat pada Tabel 8 bahwa ekstrak tulang ikan hiu dengan dan tanpa penyerap mempunyai tiga puncak leleh. Kadar glukosamin dan kondroitin dalam sampel yang diekstraksi dari tulang ikan hiu dianalisis menggunakan HPLC di laboratorium komersial. Tepung tulang ikan hiu merupakan tepung tulang ikan hiu yang tidak diolah, larutan ekstrak tulangnya merupakan hasil ekstraksi tepung tulang ikan hiu dalam air bersuhu 40oC selama 8 jam.

Ekstrak tulang hiu beku-kering merupakan larutan ekstrak tulang yang dikeringkan beku setelah ditambahkan bahan penyerap.

Tabel 4. Hasil Uji Organoleptik Preformulasi Sedian Tulang Hiu
Tabel 4. Hasil Uji Organoleptik Preformulasi Sedian Tulang Hiu

Ketentuan dan Peraturan Perundang-Undangan

Dukungan terhadap langkah pengelolaan perikanan hiu tidak hanya datang dari elemen pendukung dalam negeri, namun juga dari komunitas internasional. Terdapat berbagai inisiatif internasional dan regional untuk mendorong atau menarik perhatian terhadap pengelolaan dan konservasi populasi hiu di perairan pesisir (inshore) dan laut lepas (offshore). Beberapa negara memberikan perlindungan nasional untuk satu atau lebih spesies yang terancam punah berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perikanan dan Satwa Liar.

Jenis hiu banyak yang hidup di perairan terbuka, sebaran luas dan bermigrasi sehingga tidak dibatasi oleh batas negara atau yurisdiksi tertentu. Akibatnya, pemanfaatan sumber daya penangkapan ikan hiu, terutama pada spesies yang bermigrasi dan tersebar luas, terkadang dapat menimbulkan permasalahan antar negara tetangga. Konflik dapat muncul jika suatu negara menetapkan status perlindungan terhadap suatu spesies tertentu, sementara spesies tersebut tidak ditetapkan sebagai spesies yang dilindungi oleh negara tetangga dan masih belum sepenuhnya dieksploitasi.

Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan kerjasama mengenai pengelolaan stok hiu yang bermigrasi dan melintasi perairan terlarang sebagai spesies yang dimanfaatkan secara bersama-sama (shared stock).

Ketentuan dan Perundang-Undanga Internasional

Hal ini harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan rantai makanan dan mencegah penurunan populasi atau kepunahan spesies yang terkait dengan spesies yang ditangkap. UNCLOS juga telah mengidentifikasi beberapa jenis hiu yang bermigrasi (highly migratory spesies), seperti hiu tumpul sixgill (Hexanchus griseus, Hexanchidae), hiu paus (Rhincodon typus, Rhincodontidae), serta beberapa jenis hiu dari suku Carcharhinidae, Sphyrnidae. dan suku Lamnidae. Sejak berdirinya organisasi ini, telah diterbitkan dua Resolusi No. 05/2005 tentang perlindungan hiu hasil tangkapan dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan dan Resolusi No. 05/2005.

Setiap negara wajib melepaskan hasil tangkapan hiu hidup, terutama hiu remaja dan hiu bunting; Pertimbangan lain bagi nelayan adalah jika suatu jenis hiu ditangkap namun dibuang kembali ke laut, maka pendapatan mereka akan berkurang. Oleh karena itu, penerapan larangan ini harus dibarengi dengan program dan penegakan hukum yang intensif dan berkesinambungan untuk menyadarkan masyarakat hiu terhadap perlindungan spesies hiu tertentu yang masuk dalam kategori rentan terhadap kepunahan.

Penangkapan ikan hiu terlarang yang masih ditangkap oleh nelayan, baik sebagai target tangkapan maupun sebagai hasil samping, harus dicatat sekurang-kurangnya berdasarkan ukuran, jenis kelamin, dan letak geografis wilayah penangkapan ikan.

Ketentuan Perundang-Undangan Nasional

Rencana Aksi Internasional untuk Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari (IPOA) diadopsi pada tahun 1999 oleh Komite Perikanan Organisasi Pangan Dunia (FAO). Meski bersifat sukarela, seluruh negara penangkap hiu dan pari didorong untuk melaksanakan IPOA-Hiu dengan mengembangkan kajian hiu dan pari serta Rencana Aksi Nasional (NPOA). Tujuan akhir dari rencana aksi ini adalah untuk meningkatkan tangkapan spesies tertentu, pengumpulan data pendaratan, pemantauan dan pengelolaan perikanan hiu dan pari.

IPOA juga mengakui pentingnya kerja sama internasional dalam pengumpulan dan pengelolaan data lintas batas, stok bersama, stok hiu dan pari laut lepas, serta spesies yang bermigrasi jauh. Dokumen NPOA Hiu dan Pari Indonesia mencakup isu-isu penting terkait konservasi dan pengelolaan hiu dan pari di tingkat nasional yang mencakup keanekaragaman hayati, persebaran, aspek perikanan hiu dan pari, status eksploitasi dan upaya pengelolaan yang akan dilakukan oleh pemerintah. dan pihak lain – Pihak Terkait di tingkat nasional dan daerah. Rencana Aksi Pengelolaan Hiu yang diterbitkan sejak tahun 2010 masih menghadapi banyak kendala dalam implementasinya, salah satunya karena perbedaan prioritas program antar direktorat yang bertanggung jawab terhadap upaya NPOA Hiu dan Pari.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan perencanaan yang komprehensif dan koordinasi yang lebih erat antar instansi terkait, karena data tersebut merupakan bahan baku utama perumusan kebijakan pengelolaan perikanan hiu di Indonesia.

Ketentuan Perundang-Undangan tentang perlindungan Sumber Daya Hiu

Berbagai peraturan perundang-undangan dan produk hukum turunannya yang berkaitan langsung dengan upaya konservasi (perlindungan, konservasi, dan pemanfaatan berkelanjutan) sumber daya ikan, termasuk hiu, antara lain sebagai berikut. Salah satu produk hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan KP di atas adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/MEN-KP/2013 tentang penetapan status perlindungan hiu paus (Rhyncodon typus) dengan status perlindungan penuh. 4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Penetapan kawasan konservasi perairan ini dilakukan dengan tujuan: (a) melindungi dan melestarikan sumber daya ikan dan tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin kelestarian fungsi ekologisnya; (b) mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistemnya.

Keterbatasan data dan informasi mengenai lokasi pemijahan dan kawasan perkembangbiakan hiu sangat diperlukan untuk melestarikan sumber daya hiu di saat pemerintah daerah telah mencadangkan wilayah perairan dan pesisir sebagai kawasan konservasi dengan luas hingga hektar. Keputusan penghapusan trawl merupakan salah satu kebijakan yang tepat untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan, tidak hanya pada spesies hiu tetapi juga pada spesies ikan lainnya. Beberapa pasal dalam peraturan menteri tersebut antara lain merujuk pada pengelolaan sumber daya hiu.

Produk hiu yang terancam punah memerlukan intervensi negara untuk mengendalikannya.

Upaya Pengelolaan Perikanan Hiu

Peraturan mengenai kewajiban mendaratkan hiu dalam keadaan utuh ini juga dapat mengurangi jumlah hiu yang dapat ditangkap oleh nelayan karena terbatasnya kapasitas kontainer kapal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 2001, diperoleh informasi bahwa jumlah hiu kecil (belum dewasa/muda) yang didaratkan dan ditangkap oleh nelayan. Penangkapan hiu yang belum dewasa secara biologis dalam jangka panjang akan berdampak pada kelestarian sumber daya ikan tersebut.

Khusus untuk ikan hiu, penetapan kuota penangkapan ikan dapat mengalami banyak kendala, hal ini dikarenakan banyak ikan hiu yang ditangkap sebagai hasil tangkapan sampingan. Badan konservasi sumber daya alam dunia IUCN telah mengeluarkan daftar spesies hiu yang secara global rentan terhadap ancaman kepunahan, beberapa spesies tersebut terdapat di perairan Indonesia. Bagi jenis hiu yang terancam punah secara nasional, harus ditetapkan status perlindungannya agar populasinya tidak mengalami kepunahan.

Salah satu jenis hiu yang ditetapkan sebagai spesies dilindungi adalah hiu paus (Rhincodon typus).

Gambar

Tabel 1. Rendemen Tepung Tulang Hiu
Gambar 1. Proses Pengambilan Tulang Hiu Di Industri Pembekuan Ikan
Gambar 2. Preparasi Tulang Hiu Segar di Laboratorium
Gambar 3. Proses Penepungan Tulang Hiu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, perlu pula dibentuk peraturan mengenai crowdfunding property mengingat telah banyak perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan tersebut dan telah banyak pula