Muqaddimah
Tambahan pula, sebagaimana yang disebut oleh Imam Ibnu Qudamah, ijma’ adalah hujah yang mesti didahulukan daripada dalil-dalil yang lain. Memandangkan ijma' adalah hasil akhir perbincangan mujtahid, sudah tentu ia terbina daripada dalil-dalil lain, salah satunya ialah nas. Tanpa mengira keistimewaan di atas, ijma' mengalami perkembangan dalam perjalanannya dari semasa ke semasa, dengan mengambil kira banyak faktor yang mempengaruhinya.
Untuk itu dalam buku ini penulis akan membahas konsep ijma' baik secara teori maupun fakta yang terdapat di lapangan. Kitab ini sebenarnya merupakan rangkuman dari beberapa kitab Ushul Fiqih yang telah penulis ulas dan disusun kembali menjadi sebuah kitab kecil dengan tujuan untuk memudahkan pembaca memahami konsep ijma'.
Definisi Ijma’
Bahasa
Syariah
Syarat Terjadinya Ijma’
- Adanya Kesepakatan
- Para mujtahid
- Menguasai Ilmu Al-Qur’an
- Menguasai Ilmu As-Sunnah
- Mengetahui Adanya Ijma’ Sebelumnya
- Menguasai Ilmu Ushul FIqih
- Menguasai Ilmu Bahasa Arab
- Ummat Muhamad
- Setelah Wafatnya Rasulullah
- Dalam Suatu Masa Tertentu
Artinya, semua peserta ijma harus sepakat pada satu pendapat, baik yang diungkapkan dengan kata-kata maupun perbuatan. Yakni mengetahui kandungan makna Al-Qur’an, baik dari segi bahasa maupun dari sisi syar’i. Mengetahui Adanya Ijma' Sejak Dini Hal ini untuk menghindari adanya fatwa-fatwa yang bertentangan dengannya. Hal ini untuk menghindari fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ijma' ulama sebelumnya.
Karena ilmu tersebut merupakan sarana untuk memahami secara benar dua sumber utama (Al-Qur'an dan As-Sunnah) yang tertulis dalam bahasa Arab. Sebab secara logika ijma dapat terjadi dari para mujtahid yang saling berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung ketika timbul permasalahan.
Kehujjahan Ijma’
Dalil Kehujjahan Ijma’
Penjelasan Imam Asy-Syaukani di atas menunjukkan bahwa ayat di atas merupakan dalil yang kuat terhadap penistaan Ijma'. Selain dalil-dalil Al-Qur'an, banyak pula hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama untuk membuktikan Ijma'... a) Dari Ibnu Umar yang bersabda Rasulullah`. Hadits-hadits di atas, meskipun masing-masing tingkatannya tidak mencapai lafdhi mutawatir, namun jika semua hadits tersebut digabungkan menjadi mutawatir ma'nawi.
Sebab, hadis-hadis di atas mengarah pada satu pendapat bahwa Rasulullah `sangat memperhitungkan kekuatan ummat ini ketika semua bersatu dalam satu pendapat yang terhindar dari kesalahan. Hadits-hadits di atas menjadi landasan para sahabat dan tabi'in pada zamannya, dan tidak ada yang berbeda dari mereka sedikit pun. Landasan Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas merupakan landasan yang digunakan mayoritas ulama sebagai landasan ijma' penodaan agama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalil ijma’ merupakan dalil qath’iyyah yang wajib diikuti dan dilarang menyimpang darinya. Orang yang tidak sependapat dengan ijma' ini berakibat pada kekafiran, kesesatan, dan bid’ah yang tercela. Apabila ijma' diriwayatkan melalui khabar ahad atau jenis ijma'nya sukuti11, maka fungsinya adalah dhanni dilalah.
Sebab itu, berdasarkan pendapat sebahagian ulama seperti Imam Haramain, Al-Isnawi dan Ibnu Hajib, bahawa orang yang mengingkari adanya ijma' tidak menjadi kafir, melainkan ijma' yang dinafikan itu adalah sesuatu yang diketahui oleh orang awwam seperti rukun Islam yang lima, kewajipan beriman kepada tauhid dan risalah kenabian, serta masalah asas agama yang lain. Begitu juga sebaliknya apabila ada orang yang mengiktiraf kewujudan ijma’ dan mengakui kebenaran orang yang berijma’, tetapi dia mengingkari hasil ijma’ mereka, maka mereka terjerumus dalam ancaman di atas. Ini kerana kemaksiatan kepada masalah di atas boleh membawa kepada kemaksiatan kepada syariat, dan siapa.
Beberapa Penolak Kehujjahan Ijma’
Kalau ada pendapat Imam Al-Mashum, maka ijmanya bisa dijadikan dalil, jika tidak maka tidak bisa.” Pendapat mereka diatas sebenarnya berasal dari ijma ulama itu sendiri, dimana mereka menjadikan patokan benarnya perkataan Imamnya yang menurut akidahnya adalah Imam yang ma'sum (bebas dari kesalahan).Orang yang menerima ancaman dalam ayat tersebut bila yang dilanggar adalah dua hal sekaligus (menentang Nabi dan berbeda pendapat). dari jalan orang mukmin), jika hanya salah satu saja yang dilanggar, maka ancamannya tetap tidak sah.
Yang dimaksud dengan kata (نینمؤملا) dapat diartikan oleh seluruh umat Islam sampai hari kiamat, sehingga Ijma' tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan masyarakat sekaligus. Mereka yang menentang ijma' juga merupakan bagian dari umat Islam, sehingga tidak bisa mengambil langkah apa pun. Dari kedua keberatan di atas dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut merupakan ayat yang multitafsir (dhanni ad-dilalah), sedangkan Ijma adalah pernyataan yang tidak dapat didasarkan pada apapun dhanni.
Bantahan Atas Dalil Penolak Ijma’
Kemungkinan-kemungkinan ini tidak serta-merta memastikan bahawa dalil tersebut adalah dalil yang tidak mengandungi dalil asal.
Kemungkinan Terjadinya
Sebab, dalil apapun pasti bisa diinterpretasikan dengan banyak kemungkinan, misalnya Nash mempunyai kemampuan mansukh, proposisi 'saya bisa diinterpretasikan. Itulah pengingkaran mayoritas (jumhur) ulama terhadap kelompok penentang penistaan Ijma', dimana kita lihat mereka cukup kuat dalam pengingkarannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin menurut adat, karena tidak ada batasan yang jelas tentang siapa yang menjadi mujtahid dan para mujtahid tersebar di berbagai negara, sehingga mengumpulkannya dan mengetahui pendapat satu sama lain secara terpercaya adalah suatu hal yang sulit.
Dalil yang digunakan peserta Ijma untuk mendasari pendapatnya dapat berupa dalil qath’iy atau dhanniy dilalah. Jika yang mereka jadikan landasan adalah dalil qath'iy, maka sesungguhnya tanpa ijma' pun kita hanya bisa berargumentasi dengan dalil tersebut. Apabila dalil yang mereka gunakan adalah dalil dhanniy, maka secara logika tidak mungkin tercapai kesepakatan.
Sebab, dalil dhanniy merupakan dalil yang multitafsir, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Mayoritas peneliti tidak menggunakan argumentasi teoritis atau penalaran serupa ketika menjawab argumentasi di atas, namun menjawab dengan fakta yang ada. Seorang anak laki-laki dapat menculik cucu seorang anak perempuan dan contoh hukum lainnya yang terjadi dalam ijma' di dalamnya.
Ijma' hari ini dapat dilakukan dengan mu'tamar atau pertemuan tingkat tinggi. Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah negara-negara Islam atau organisasi fikih dengan memilih wakil-wakil ahlul halli wal aqdi ternama yang memenuhi kriteria syar'i sebagai mujtahid, sebagai wakil sejati masing-masing negara Islam. Agar lebih jelas dari waktu ke waktu mengenai amalan ijma', mari kita curahkan pembahasan khusus mengenai hal ini.
Praktek Ijma’ dari Masa ke Masa
- Masa Sahabat
- Masa Tabi’in
- Masa Para Imam Mujtahid
- Masa Ulama Madzhab
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa ini banyak bermunculan ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Pada saat itu gagasan Ijma' mulai meredup, seiring dengan menyebarnya para sahabat ke berbagai wilayah di negara-negara Islam, dan pendapat-pendapat yang berkembang pun semakin beragam. Syarat ijtihad pada saat itu juga mengharuskan para mujtahid mengetahui ijma'-ijma pada masa para Sahabat.
Dan para imam pun berusaha mengikuti ijma tersebut agar tidak dituduh menyimpang dari ijmanya. Pada masa ini terdapat fenomena yang menjadikan ijma sebagai pembenaran atas kebenaran pemikiran mazhabnya, padahal belum tentu demikian. Sebab pada kenyataannya permasalahan-permasalahan yang dikemukakan atas dasar ijma’ ternyata terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ijma' yang sebenarnya disepakati oleh para ulama adalah ijma' yang terjadi pada masa para sahabat Nabi. Meskipun secara teori ijma' jumhur ulama dapat berlaku sewaktu-waktu, namun dalam praktiknya ijma' pada zaman setelah para sahabat sangat sulit dibuktikan. Makna perkataan Imam Ahmad v di atas bukan berarti pengingkarannya terhadap ijma' melainkan sebagai bentuk peringatan kepada siapapun yang melakukannya.
Atas dasar itu, Imam Ahmad saat menjelaskan permasalahan tersebut mengaku telah ijma dengan ungkapan,. Namun satu hal yang pasti dan disepakati semua ulama adalah mengetahui ijma yang terjadi pada masa para sahabat. Jadi gagasan bahwa ijma' sebagai bukti kath bagi ummat ini telah mengakar dalam tubuh ummat Islam.
Klasifikasi Ijma’
Jenis Ijma’ Berdasarkan Cara Bersepakat
Contoh upaya mengganggu ijma' sahabat antara lain munculnya opini-opini nyentrik yang mempertanyakan perhitungan waris yang dianggap tidak adil antara laki-laki dan perempuan, beranggapan bahwa berhijab tidak wajib, sedangkan larangan khamr karena cuaca panas. upaya untuk melegalkan LGBT dan perbedaan pendapat lainnya. Segala perkataan mereka, sekalipun dikemas dengan cara apapun, tetap tidak dapat mengubah hukum yang telah ditetapkan Allah, yang diperkuat dengan adanya dalil ijma’ ini. Mereka bertemu dalam satu pertemuan, dan dalam pertemuan itu semua mujtahid dengan jelas mengutarakan pandangannya mengenai hal tersebut.
Ijma yang dilakukan dalam Ijma adalah sebagian mujtahid mengutarakan pendapatnya secara jelas, namun mujtahid lainnya tetap diam setelah mempertimbangkan permasalahan yang dibicarakan, namun juga tidak mengingkari kesepakatan yang telah ada.
Hukum Kedua Jenis Ijma’
Kerana jika kita menganggap jenis ini sebagai ijma', maka ini adalah satu bentuk anggapan bahawa mujtahid yang diam itu bercakap dan menisbahkan kepadanya ucapan yang belum tentu diterima olehnya. Atas sebab-sebab di atas, mereka membuat kesimpulan bahawa diam bukanlah penunjuk persetujuan dengan pendapat yang telah diutarakan, maka Ijma' Sukuti bukanlah pembuktian. Imam Al-Karkhi dari Mazhab Hanafi dan Al-Amidiy dari Mazhab Syafi'i percaya bahawa jenis ijmak yang rajih adalah dhanniy. 25.
Jadi diamnya para mujtahid dalam hal ini merupakan bentuk tidak langsung persetujuan suatu pendapat. Kemungkinan diamnya para mujtahid adalah ketidaksetujuan mereka sebagaimana diungkapkan dalam alasan kelompok menolak ijma sukutij adalah kemungkinan yang tidak berdasar. Alasan pendapat tersebut adalah karena hakikat ijma tidak diwujudkan dalam ijma jenis ini, namun menjadi dalil karena dalam diamnya kemungkinan sepakat lebih kuat dari pada kemungkinan perselisihan.
Ijma' Masyarakat Madinah Al-Munawwarah Dalam hal ini Imam Malik berpendapat hujjah syar'iyyah, sedangkan sebagian besar ulama tidak memandang demikian. Yang dimaksud para ulama ayat di sini adalah Ali bin Abi Taliba, istrinya Fatima v dan kedua anaknya, Al-Hasan dan Al-Husain c. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kesepakatan mereka bukanlah ijma' karena tidak mewakili seluruh masyarakat. Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi 'Ilmi Usul Al-Fiqh, 1413 H, Beirut: Daar Al-Kutub Al-'Ilmiyah.