• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Ida Sri Iswari - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Ida Sri Iswari - Unud"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK ETIK PENELITIAN KESEHATAN

IDA SRI ISWARI

RSUP SANGLAH, DENPASAR-BALI

KEMENENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II ETIKA PENELITIAN KESEHATAN 3

2.1 Etika penelitian 3

2.2 Penerapan etika penelitian kedokteran 4

2.3 Panitia etika penelitian kedokteran 5

BAB III Kelayakan Etik (Ethical clearance) 6

3.1 Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK)

dan (KEPK) Komite Etik Penelitian Kesehatan 7

BAB IV

Informed Consent

12

BAB V RANGKUMAN

17

DAFTAR PUSTAKA 18

i

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Norma-norma etika kedokteran sebenarnya telah dipakai sejak adanya orang di dalam masyarakat yang mempunyai tugas untuk mengobati orang sakit. Meskipun tidak tertulis, norma-norma tersebut menggariskan bagaimana orang yang mengobati harus bersikap terhadap orang yang diobati.

Kemajuan teknologi kedokteran terjadi dengan pesat sejak pertengahan abad ke-18, terutama dengan penemuan baru seperti oleh Pasteur dan Koch dalam etiologi penyakit, penemuan Roentgent dalam aspek diagnostic, dan lain- lain. Teknologi kedokteran menjadi lebih maju lagi selama dan sesudah Perang Dunia II dengan penemuan obat-obat baru.

Keberhasilanpencangkokan alat-alat tubuh manusia dengan alat-alat buatan atau dengan organ donor atau dengan tubuh hewan merupakan tonggak kemajuan teknologi kedokteran yang amat penting (Oemijati, S. dkk, 2010).

Pada saat ini, dengan manipulasi genetic, manusia seolah dapat membuat manusia yang diinginkan dengan teknik cloning tang kontroversial. Penemuan-penemuan tersebut menyebabkan manusia dapat mengalahkan maut, dan merasa mempunyai kekuasaan seperti Tuhan (Oemijati, S. dkk, 2010).

Orang-orang merasa bahwa jika cukup tersedia uang untuk percobaan-percobaan, orang dapat hidup abadi, sehingga hidup seolah dapat dibeli. Bila dana untuk penelitian mengalir deras, dan berbagai penemuan terjadi pula spesialisasi sehingga tidak jarang manusia hanya ditinjau sebagai sekumpulan organ yang akan menyebabkan makin kaburnya hubungan jiwa antara dokter dengan pasien. Hal ini akan mempermudah

(4)

timbulnya berbagai penyimpangan dari etika yang mungkin terjadi dengan tidak disengaja (Oemijati, S. dkk, 2010).

BAB II

ETIKA PENELITIAN KESEHATAN

(5)

Dengan meningkatnya jumlah dan jenis penelitian serta jumlah manusia yang digunakan dalam penelitian maka terjadi berbagai penyimpangan terhadap kode etik penelitian. Dipandang perlu untuk menilai keharusan adanya badan yang mengawasi penelitian menggunakan manusia sebagai subjek penelitiannya (Oemijati, S. dkk, 2010).

2.1 Etika penelitian

Salah satu aspek penting dalam kode tersebut adalah suatu keharusan adanya informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dari manusia yang digunakan dalam penelitian. Pada tahun 1964, World Medical Association mengeluarkan suatu aturan untuk penelitian pada manusia yang dikenal sebagai Deklarasi Helsinki I. Aturan ini merupakan panduan untuk dokter yang melakukan klinis, baik yang bersifat terapeutik maupun non terapeutik. Para editor jurnal kedokteran dihimbau untuk tidak memuat artikel penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek tanpa informed consent kecuali :

1. Bila subjek tidak dapat memberi persetujuan misalnya bayi, anak, atau pasien yang tidak sadar; untuk ini seyogyanya keluarga diminta persetujuannya.

2. Bila penelitian semata-mata menggunakan rekam medis.

3. Bila bahan penelitian berupa jaringan yang telah diawetkan dan tidak dapat dilacak subjeknya.

Namun harus diyakini bahwa penelitian akan berdampak positif bagi masyarakat (Oemijati, S. dkk, 2010).

(6)

2.2 Penerapan etika penelitian kedokteran

Sesuai kode Nuremberg dan deklarasi Helsinki I para peneliti hanya dihimbau untuk memperhatikan serta mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Kebijaksanaan diserahkan kepada peneliti, peneliti harus membuat keputusan sehingga peneltiannya tidak menyimpang dari norma-norma etika yang telah digariskan (Oemijati, S. dkk, 2010).

Perubahan penting dalam deklarasi Helsinki II dan seterusnya adalah terdapatnya peraturan yang mengharuskan protocol penelitian pada manusia ditinjau lebih dahulu oleh suatu panitia untuk pertimbangan, tuntunan, dan komentar. Juga harus dicantumkan pada protokol bahwa telah dilakukan pertimbangan etika dan hasil penelitan tidak boleh dipublikasi bila tidak ada ethical clearance . Dengan demikian maka mulailah dibentuk Panitia-panitia Etika Kedokteran di semua lembaga yang menyelenggarakan peenelitian (Oemijati, S. dkk, 2010).

2.3 Panitia etika penelitian kedokteran

Disetiap Negara selalu terdapat undang-undang yang melindungi hak azasi manusia. Dengan makin pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi, banyak dilakukan penelitian sehingga dirasakan bahwa undang-undang saja tidak cukup. Sejalan dengan panitia di tingkat internasional maka pada tingkat nasional di berbagai Negara dibentuk panitia-panitia dan dibuat peraturan-peraturan etika penelitian kedokteran (Oemijati, S.

dkk, 2010).

(7)

Panitia diberi tanggung jawab dalam segi etika penelitian dalam institusi.

Meskipun panitia-panitia tersebut tidak berhubungan langsung tetapi sewaktu-waktu mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh ketua-ketua panitia etika peneltian membahas berbagai masalah dan dapat dibahas bersama (oemijati, S. dkk, 2010).

Panitia – panitia local biasnya dibentuk pleh kepala institusi (dekan untuk fakultas kedokteran) dan anggotanya terdiri atas dua orang yang faham akan bidang penelitian dan dua orang peneliti lainnya (Oemijati, S. dkk, 2010).

Dalam perkembangannya diharuskan pula untuk melakukan telaah terhadap disain dan metodologi penelitian yang disebut dengan scientific review. Hal ini dianggap perlu oleh karena suatu rencana penelitian dengan metodologi yang keliru akan membuahkan jhasil penelitian yang keliru pula sehingga tidak etis (Oemijati, S. dkk, 2010).

BAB III Kelayakan Etik (Ethical clearance)

Penelitian kesehatan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari penelitian kesehatan global. Hasil penelitian harus di publikasikan supaya masyarakat ilmiah global mengetahui tentang penemuan penemuan pengetahuan ilmiah baru dan ditantang menguji ulang keabsahannya. Dengan demikian penelitian kesehatan Indonesia merupakan subsistem penelitian kesehatan global khususnya pada aspek publikasi, kerjasama ilmiah dan pendanaan (KNEPK, 2007).

(8)

Lembaga penelitian, majalah ilmiah, industri kesehatan, sponsor dan badan pemerintah mempersyaratkan persetujuan etik untuk penelitian yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subyek penelitian. Setiap lembaga di Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan dengan mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian mutlak harus memiliki atau menjangkau suatu Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di Lembaga lain (KNEPK, 2007).

3.1 Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) dan (KEPK) Komite Etik Penelitian Kesehatan

Pada hakikatnya masalah etik penelitian kesehatan adalah tanggung jawab pribadi peneliti. Seiring semakin banyaknya penelitian berkelompok atau bersama oleh beberapa lembaga penelitian, tanggung jawab etik menjadi terlalu berat untuk dibebankan kepada perorangan peneliti. Para peneliti perlu dibina dan didampingi oleh KEPK lembaga.

Meskipun KEPK didirikan oleh lembaga atau oleh pemerintah, perlu tetap dipegang teguh prinsip dasar bahwa etik penelitian adalah tanggung jawab ilmuwan dan masyarakat ilmiah (KNEPK, 2007).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, bekerjasama dengan WHO telah melakukan kajian dan pemetaan KEPK lembaga- lembaga di seluruh Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan dengan

mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian (KNEPK, 2007).

Pemerintah RI telah membentuk Komisi Nasional Etik Kesehatan (KNEPK) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/Menkes/SK/X/002 tanggal 29

(9)

Oktober 2002. Sesuai dengan tugasnya KNEPK bekerjasama dengan semua lembaga di Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan mengikutsertakan relawan manusia sebagai subyek penelitian. Kerja sama ini dikembangkan dengan memanfaatkan Jaringan Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (Jarkomnas EPK). Jarkomnas dibentuk untuk mengadakan pembinaan secara kolektif untuk meningkatkan mutu etik penelitian kesehatan di Indonesia dan didirikannya KEPK pada setiap lembaga yang melakukan penelitian kesehatan lengkap dengan prosedur penilaian protocol dan pemberian persetujuan etik (KNEPK, 2007).

Terdapat juga faktor yang mendorong perkembangan etik penelitian kesehatan, yaitu persyaratan bahwa setiap penelitian kesehatan yang mengikut-sertakan manusia sebagai subyek penelitian harus memiliki persetujuan etik dari komisi yang berwenang. Tanpa persetujuan perstujuan etik, hasil penelitian tidak dapat dipublikasi dalam majalah ilmiah yang bermutu atau ditawarkan kepada industri kesehatan. Tanpa persetujuan etik hasil persetujuan etik dari komisi yang berwenang. Tanpa persetujuan etik, hasil penelitian tidak dapat dipublikasikan dalam majalah ilmiah yang bermutu atau ditawarkan kepada industri kesehatan.

Tanpa persetujuan etik hasil penelitian seakan-akan menjadi mandul. Peneliti juga akan menemui kesulitan mengembangkan kerja sama dan memperoleh dukungan dana dari para donor (KNEPK, 2007).

Keadaan di Indonesia tidak banyak berbeda dengan keadaan global. Dalam berbagai aspek, keadaan di Indonesia masih perlu perlu ditingkatkan. Pemahaman dan kesadaran pada dokter dan lembaga-lembaga yang melakukan penelitian kesehatan masih terbatas. Keinginan dan upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang etik

(10)

penelitian juga masih kurang. Etik penelitian kesehatan masih merupakan mata kuliah formal dalam pendidikan kesehatan dan sering sama sekali tidak dipelajari (KNEPK, 2007).

Penilaian protocol penelitian untuk pemberian persetujuan etik dilakukan untuk meningkatkan mutu penelitian tetapi kegunaan hasilnya masih dianggap sebagai tambahan proses birokrasi yang hanya menghambat dan mempersulit.

Menjadi anggota KEPK sering merupakan pekerjaan yang kurang menyenangkan karena sering dianggap sebagai seorang yang mempersulit dan mencari-cari kesalahan (KNEPK, 2007).

Faktor-faktor yang mendorong perkembangan etik penelitian kesehatan di Indonesia masih sangat lemah. Banyak majalah ilmiah kesehatan di Indonesia belum mempersyaratkan persetujuan etik. Dana untuk penelitian, antara lain dari anggaran Negara, masih dapat diperoleh tanpa persetujuan etik. Lebih menyedihkan lagi bahwa penelitian untuk Tesis S2 dan Disertasi S3 langsung di bawah bimbingan Guru Besar atau tenaga pengajar senior masih juga dilakukan tanpa persetujuan etik. Perjuangan untuk menegakkan etik penelitian kesehatan di Indonesia harus menempuh jalan panjang yang penuh rintangan (KNEPK, 2007).

KEPK didirikan oleh suatu lembaga untuk menangani urusan etik penelitian kesehatan di lembaga tersebut, antara lain mengadakan penilaian protocol penelitian untuk memberikan persetujuan etik (ethical approval) (KNEPK, 2007).

Tiga prinsip etik umum:

(11)

1. Prinsip etik umum menghormati martabat manusia (Respect for person) yang mencakup dua pertimbangan etik penting, yaitu menghormati otonomi seseorang dan melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang.

2. Prinsip etik umum berbuat baik (Beneficience) kewajiban membantu orang lain dengan mengupayakan manfaat maksimal kerugian minimal.

3. Prinsip etik umum keadilan (Justice) mengacu pada kewajiban etik memperlakukan setiap orang dengan moral yang benar dan pantas serta memberikan setiap orang yang merupakan haknya.

Selain menghormati dan mentaati ketiga prinsip etik umum tersebut, masalah etik penelitian ditangani sesuai moral dan etik masyarakat ilmiah lembaga. Beraneka ragam faktor di dalam dan di luar lembaga akan mempengaruhi dan menetukan kinerja KEPK.

Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah budaya, adat istiadat, kebiasaan dan agama/kepercayaan. Keadaan tersebut menyebabkan terdapat berbagai macam perbedaan antara KEPK-KEPK yang harus diterima sebagai kenyataan yang tidak mudah dapat diubah (KNEPK, 2007).

Penelitian yang menggunakan embrio manusia akan berbeda hasilnya di lembaga dengan latar belakang Katolik Roma, Islam atau sekuler. Perbedaan tersebut patut dihormati sebagai suatu kenyataan yang jika ditangani secara bijaksana dapat merupakan suatu kekayaan dan kekuatan. Memperhatikan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa kurang layak memaksakan kesamaan KEPK-KEPK. Kesamaan yang berguna dan layak

(12)

diupayakan adalah keseragam tentang organisasi, keanggotaan tata cara kerja seperti telah dibahas dalam PNEPK (KNEPK, 2007).

Pada perkembangan lebih lanjut akan tiba waktunya untuk mengadakan evaluasi dan akreditasi KEPK-KEPK supaya dapat dijamin bahwa pelaksanaan etik penelitian kesehatan akan memenuhi standar yang telah disepakati bersama. Pada tahap perkembangan sekarang dengan titik berat pada upaya pengembangan motivasi serta peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang etik penelitian kesehatan. KEPK harus dapat melaksanakan fungsinya secara independen yaitu bebas dari pengaruh dan tekanan politik, lembaga, profesi, industri atau pasar (KNEPK, 2007).

BAB IV

Informed Consent

Kata consent berasal dari bahasa latin “consensio” atau “concentio” kemudian dalam bahasa Inggris menjadi “consent” yang berarti persetujuan, izin, menyetujui, persetujuan, memberi wewenang. Informed consent atau real consent di Indonesia dikenal dengan “ Persetujuan Tindakan Medik “ berarti pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapat informasi dari dokter dan

(13)

sudah dimengerti oleh pasien. Informed consent tidak hanya diperlukan sebelum dilakukan tindakan medik karena Informed consent adalah suatu proses bukan suatu yang sekali selesai. Jenis Informed consent adalah dinyatakan secara lisan atau tertulis atau tersirat dalam keadaan biasa atau darurat (Guwandi, 2006).

Dalam perkembangan terakhir Informed consent dibuat penjelasan secara tertulis dalam hal-hal tertentu informasi tertulis diwajibkan oleh hukum. Secara yuridis, kewajiban memberikan informasi kepada pasien dibebankan kepada dokter untuk memperoleh persetujuan sebelum melakukan tindakan (Guwandi, 2006).

Hak pasien dalam doktrin Informed consent antara lain :

1. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya .

2. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

3. Hak untuk memilih alternative lain (jika ada)

4. Hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan.

Komunikasi antara dokter dengan pasien sangat penting dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan yang akan mempererat hubungan berdasarkan kepercayaan.

Manfaat Informed consent dari segi hukum adalah beban komplikasi/ risiko yang mungkin timbul akan beralih dari dokter kepada pasien. Jika hubungan antara dokter dengan pasien sudah sedekian erat, maka jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan maka pasien tidak akan begitu mudah menuntut dokternya (Guwandi, 2006).

Pasien dapat menuntut dokter apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa meminta persetujuan terlabih dahulu dan hal ini digolongkan sebagai tindakan melakukan

(14)

penganiayaan berdasarkan KUHP pasal 351. Selain itu jika persetujuan yang diberikan tidak berdasarkan atas pemberian informasi yang cukup dan adekuat pasien dapat melakukan tuntutan berdasarkan lack of Informed consent (Guwandi, 2006).

Informed consent terdiri dari tiga bagian :

1. Pengungkapan dan penjelasan kepada pasien dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien tentang : penegakkan diagnosis, sifat dan prosedur atau tindakan medic yang diusulkan, kemungkinan timbulnya risiko, manfaat, dan alternative (bila ada).

2. Memastikan bahwa pasien mengerti dengan apa yang telah dijelaskan kepadanya, pasien telah menerima risiko-risiko tersebut dan pasien mengizinkan dilakukan prosedur tindakan.

3. Harus didokumentasikan.

Pasien harus mempunyai kesempatan untuk berfikir dan mempertimbangkan informasi yang diberikan oleh dokter. Informasi atau penjelasan diberikan dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien dan hindari menggunakan bahasa medic. Tidak dibenarkan memberikan informasi saat pasien akan dibawa ke Kamar Bedah (Guwandi, 2006).

Keputusan pasien mengenai tindakan medic atau perawatan medic harus dilakukan secara kolaboratif antara pasien dengan dokter. Pada prinsipnya Informed consent adalah suatu proses bukan hanya sekedar meminta pasien untuk menandatangani suatu formulir tetapi merupakan suatu kelanjutan atau pengukuhan yang sebenarnya sudah disepakati antara dokter dengan pasien (Guwandi, 2006).

(15)

Doktrin Informed consent adalah suatu prinsip dalam bidang etika yang direfleksikan ke dalam peraturan hukum. Dari segi hokum medic, memperoleh informasi adalah hak pasien dan kewajiban dokter untuk memberikannya. Pasien berhak tanpa harus diminta untuk memperoleh informasi mengenai panyakitnya serta tindakan medic yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya (Guwandi, 2006).

Pada umumnya seorang dokter melihat pasien hanya dari segi medic, sedangkan pasien memiliki factor-faktor yang harus dipertimbangkan, misalnya keuangan, keluarga, pasien, agama, psikis, sosial, dan lain-lain. Merupakan hak azasi pasien (HAM) untuk menrtukan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya (Guwandi, 2006).

Dokter yang akan melakukan tindakan medik bertanggung jawab dan diwajibkan untuk memberikan penjelasan tentang Informed consent kepada pasien. Dokter bisa dituntut karena membocorkan rahasia kedokteran, materi tentang Informed consent diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.Dasar hukum Informed consent adalah hubungan dokter dengan pasien atas dasar kepercayaan, hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, dan adanya hubungan kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien.

Tujuan doktrin Informed consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter dan memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative karena setiap tindakan medic terdapat suatu risiko (Guwandi, 2006).

Walaupun sudah ada Informed consent tertulis, dokter tidak bebas dari tuntutan bila melakukan kelalaian. Persetujuan pasien tidak dapat dilakukan setelah prosedur atau tindakan medik dilakukan karena menyalahi prinsip utama dari Informed consent

(16)

yang bersifat pro-aktif. Tidak semua tindakan medic selalu harus dimintakan Informed consent, untuk tindakan rutin atau berisiko minimal seperti pengukuran tensi, pemeriksaan darah tidak perlu diperlukan. Rekaman foto dan video yang merupakan bagian dari tindakan pengobatan atau foto radiologi menggunakan kontras harus meminta izn terlebih dahulu.

Demikian pula jika foto dan rekaman video akan dipergunakan untuk pendidikan, publikasi atau penelitian harus meminta izin khusus kepada pasiennya (Guwandi, 2006).

BAB V RANGKUMAN

(17)

Sehubungan dengan deklarasi internasional maka di berbagai negara diadakan peraturan-peraturan ataupun kode etik penelitian kedokteran serta panitia-panitia untuk mengelola penelitian dari aspek etika. Yang lebih penting adalah peneliti atau dokter harus menyadari dan memenuhi kode etik yang telah digariskan deklarasi Helsinki I ataupun yang dibuat oleh komite etika penelitian kesehatan di tempat masing-masing (Oemijati, S. dkk, 2010).

Masalah etika bukanlah suatu yang statis tetapi akan berkembang sesuai zaman.

Komite atau panitia etik diperlukan sebagai salah satu unsur pengembangan ilmiah harus terbuka untuk menerima kritik demi perbaikan di masa depan (Oemijati, S. dkk, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychological Association. (2002). "2010 Amendments to the American Psychological Association ethical principles of psychologists and code of conduct.".

Retrieved April 30, 2012.

(18)

2. Beauchamp, Tom L. and Childress, James F (1994). Principles of Biomedical Ethics.

New York: Oxford University Press.

3. Burns, Chester R. (1977). Legacies in ethics and medicine. New York: Science History Publications. ISBN 9780882021669. In this book see Mary Catherine Welborn's excerpts from her 1966 The long tradition: A study in fourteenth-century medical deontology

4. Council for International Organization of Medical Sciences (CIOMS) and World Health Organization (WHO) Geneva, Switzerland, 2002. "International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects".

5. Guwandi, J., 2006. Informed consent dan Informed Refusal. Ed 4th. . Jakarta. FKUI.

6. Homan, R. (1991). The ethics of social research. London; New York: Longman.

7. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Dep. Kes.RI, Jakarta 2007 Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan Suplemen III Jaringan Komunikasi Nasional Etik Penelitian.

8. Komite Etik FK UNUD – RSUP Sanglah, Denpasar 2013. Standard Operatinonal Prosedure

9. McManus, J.; S. G. Mehta, et al. (2005). ""Informed consent and ethical issues in military medical research."". Academic Emergency Medicine 12 (11): 1120-1126.

10. Oemijati, S., Samsudin., Sutan, AM., Tamaela, LA., dan Nasar, SS. Penerapan Etika Peneltian Kedokteran. Pada Sastroasmoro, Buku Ajar : Dasar dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 3. Penerbit Sagung Seto, 2010; hal : 332 – 340

Referensi

Dokumen terkait