Oleh:
LAPORAN KASUS
KESULITAN PENGELOLAAN JALAN NAPAS
Oleh :
dr. Putu Kurniyanta, SpAn, KAP
DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Kesulitan Pengelolaan Jalan Napas”
ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar, September 2019
Tim Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ...iv
DAFTAR GAMBAR ... v
ABSTRAK ...vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2
2.1 Anatomi Jalan Napas ... 2
2.2 Kesulitan Pengelolaan Jalan Napas ... 3
2.2.1 Definisi ... 4
2.2.2 Epidemiologi ... 4
2.2.3 Klasifikasi ... 4
2.3 Penilaian dan Perencanaan Sebelum Operasi ... 10
2.4 Manajemen Pengelolaan Jalan Nafas... 11
2.4.1 Rencana A. Facemask Ventilation and Tracheal Intubation .... 12
2.4.2 Rencana B. Maintaining Oxygenation: SAD (Supraglottic Airway Device) Insertion ... 15
2.4.3 Rencana C. Facemask Ventilation ... 18
2.4.4 Rencana D. Emergency Front of Neck Access ... 18
2.5 Postoperative Care and Follow-Up ... 15
BAB III LAPORAN KASUS ... 20
BAB IV DISKUSI KASUS ... 26
BAB V SIMPULAN ... 30
DAFTAR PUSTAKA ... 31
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Mallampati Score ... 7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas ... 2
Gambar 2.2 Anatomi Laring ... 3
Gambar 2.3 Persarafan Jalan Napas ... 4
Gambar 2.4 Mallampati Score ... 7
Gambar 2.5 DAS Guidelines ... 13
Gambar 3.1 Evaluasi Preoperatif Pasien ... 25
ABSTRAK
Pasien perempuan, usia 51 tahun dengan diagnosis Oral Cancer menjalani tindakan operasi open biopsy dan bimanual palpasi. Pada pasien dilakukan evaluasi pra operasi yaitu dengan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan permasalahan dan kesimpulan status fisik pasien. Status fisik pasien yaitu ASA I. Pada durante operasi dilakukan pembiusan dengan general anestesi intravena menggunakan pipa endotrakheal. Selanjutnya pasien diposisikan supine untuk menjalani prosedur pembedahan. Operasi berlangsung selama 1 jam 20 menit dengan hemodinamik stabil. Pasca operasi pasien dirawat di ruang perawatan, observasi tanda vital, dan manajemen nyeri pasca operasi.
Studi tertutup Komite Profesional American Society of Anesthesiologists (ASA) mengungkapkan bahwa risiko dan komplikasi berat dari anestesi yang tersering yaitu berkaitan erat dengan permasalahan pengelolaan jalan napas. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
Pada pasien ini manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma DAS 2015 berhasil dengan rencana A yaitu facemask ventilation and tracheal intubation.
Keberhasilan rencana A pada pasien ini karena didukung oleh posisi, preoksigenasi, pemilihan agen induksi, blok neuromuskular, mask ventilation, pemilihan laringoskop dan pemilihan pipa trakea yang benar.
BAB I PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Pengelolaan jalan napas dilakukan untuk memastikan jalan napas bebas sehingga jalan masuknya udara ke paru normal dan menjamin kecukupan oksigenasi tubuh. Pengelolaan jalan napas yang efektif membuat jalan napas bebas dari sekresi, kontaminasi, obstruksi, dan meminimalkan komplikasi. Interaksi tertentu yang kompleks dari faktor pasien, setting, dan keterampilan praktisi dapat menyebabkan sulitnya pengelolaan jalan napas (Hashimoto dkk, 2014).
Kesulitan terbesar adalah apabila jalan nafas tidak dapat diamankan.
Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. Ini merupakan suatu situasi klinis dimana ahli anestesi mengalami kesulitan pemberian ventilasi masker di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Suatu penelitian yang dilakukan sejak Mei 2011 hingga Oktober 2013 didapatkan 885 (2,3%) dari 37.805 pasien yang menjalani anestesi umum dan intervensi saluran napas mengalami kesulitan pengelolaan jalan napas (Zeng dkk, 2018).
Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. Obat-obatan golongan sedatif, narkotika, analgesik, dan pelumpuh otot yang digunakan dalam operasi diduga berpengaruh pada stabilitas dan perlindungan jalan napas. Studi tertutup Komite Profesional American Society of Anesthesiologists (ASA) mengungkapkan bahwa risiko dan komplikasi berat dari anestesi yang tersering yaitu berkaitan erat dengan permasalahan pengelolaan jalan napas. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Ramachandran dkk, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Jalan Napas
Rongga Hidung (Cavum Nasalis) merupakan salah satu alat pernafasan manusia.
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah belakang rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut koana. Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke dalam rongga hidung (Hashimoto dkk, 2014).
Gambar 2.1 Anatomi Jalan Napas
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan
keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk suara percakapan (Hashimoto dkk, 2014).
Jalan nafas pada manusia terdiri dari dua jalan, yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis) yang dipisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk seperti huruf U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus.
Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis, gerbang laring, pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh sembilan kartilago iaitu tiroid, krikoid, epiglotis, dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiforme. (Mackey dkk, 2015).
Gambar 2.1 Anatomi Laring
Sistem saraf sadar terdiri atas 12 pasang saraf kranial, yang keluar dari otak dan 31 pasang saraf spinal yang keluar dari sumsum tulang belakang 31 pasang saraf spinal.
Saraf-saraf spinal tersebut terdiri atas gabungan saraf sensorik dan motorik. Saraf sensoris dari saluran napas atas berasal dari saraf kranial. Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (CN.V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum.
Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (CN.IX) untuk sensasi umum pada 2/3 anterior dan 1/3 posterior lidah.
Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal (IX) untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal (IX) juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (CN.X) untuk sensasi jalan napas dibawah epiglotis.
Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakea (Mackey dkk, 2015).
Gambar 2.3 Persarafan Jalan Napas
2.2 Kesulitan Pengelolaan Jalan Napas 2.2.1 Definisi
Difficult airway atau kesulitan jalan nafas di definisikan sebagai situasi klinis di mana anestesiologis terlatih mengalami kesulitan dengan pemberian ventilasi masker di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kondisi ini merupakan hubungan yang kompleks dari faktor pasien, keterampilan praktisi dan setting (Hashimoto dkk, 2014).
2.2.2 Epidemiologi
885 (23%) dari 37.805 pasien yang menjalani anestesi umum dan intervensi saluran napas mengalami kesulitan pengelolaan jalan napas yang dilakukan sejak Mei 2011 hingga Oktober 2013 (Saito dkk, 2015).
2.2.3 Klasifikasi
Istilah difficult airway tidak hanya menggambarkan suatu kondisi saja, tetapi kesulitan dapat ditemui pada kondisi yang berbeda-beda (Hashimoto dkk, 2014).
1. Kesulitan Bag-Mask Ventilation (BMV) a. Definisi
Teknik yang kurang kompleks daripada endotrakeal intubasi (ETT) untuk manajemen jalan napas selama fase bantuan kehidupan jantung lanjutan cardiopulmonary resuscitation pasien dengan henti kardiorespirasi diluar rumah sakit. Ahli anestesi yang tidak mampu menjaga SO2>90% saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal (Zeng dkk, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).
• M—Mask seal/male sex/Mallampati: Darah/debris, jenggot tebal pada wajah akan memburukkan mask seal yang memadai. Mallampati skor 3 atau 4 dan jenis kelamin laki-laki dan juga merupakan prediktor bebas dari kesulitan ventilasi.
• O—Obesity/obstruction: Wanita hamil trimester ketiga dan pasien dengan BMI >26 kg per m2 mengalami desaturasi sehingga mengalami kesulitan BMV. Jaringan berlebihan yang dimiliki oleh pasien tersebut menimbulkan resistensi terhadap aliran udara di bagian atas jalan napas. Obstruksi yang disebabkan oleh Ludwig angina, abses saluran napas bagian atas (mis.
peritonsillar), angioedema, epiglottitis, dan kondisi sama lainnya akan membuat BMV lebih sulit.
• A—Age: Beberapa penilaian dapat diterapkan sehubungan dengan apakah tonus otot dan jaringan pasien relatif tidak elastis (tua) atau elastis jaringan (muda). Orang yang berusia lebih dari 55 tahun lebih berisiko kesulitan BMV akibat dari berkurangnya tonus otot dan jaringan pada pernapasan atas.
• N—No teeth: Pada pasien edentulous, struktur wajahnya tidak mampu menyokong BMV sehingga diperlukan dentures ketika BMV dan dikeluarkan ketika akan intubasi
• S—Stiff/snoring: Pasien dengan penyakit saluran napas reaktif dengan obstruksi saluran napas ringan-sedang (asma dan penyakit paru obstruktif kronik [COPD]), pasien dengan edema paru, sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), pneumonia berat, atau kondisi lain yang mengurangi compliance paru atau meningkatkan resistensi jalan napas terhadap BMV.
Riwayat mendengkur (sleep apnea) juga prediktor kesulitan BMV yang harus diketahui dari anamnesis.
2. Kesulitan Intubasi a. Definisi
Kesulitan Intubasi adalah keadaan dimana intubasi dengan beberapa upaya laringoskopi, manuver dan atau scalpel digunakan oleh seorang dokter ahli yang berpengalaman. Kesulitan intubasi berkaitan dengan ketidakjelasan lapang pandang plica vokalis pada laringoskop dan perlunya penggunaan alat atau teknik khusus. (Dinata, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).
• L—Look externally: Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik. Pada umumnya jika jalan napas terlihat sulit, maka kesulitan jalan napas benar terjadi. Perhatikan apakah pasien memiliki leher pendek, trauma wajah, gigi yang besar, kumis atau jenggot tebal, dan lidah yang besar.
• E—Evaluate 3-3-2: Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring. Penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar pembukaan mulut dan ukuran mandibula dengan posisi laring pada leher dalam memungkinkan keberhasilan visualisasi glotis dengan laringoskopi langsung.
3: Kecukupan akses oral. Jarak interincisor 3 jari pasien. Mulut harus terbuka secara memadai untuk memungkinkan visualisasi melewati lidah ketika laringoskop dan tabung endotrakeal berada dalam rongga mulut.
3: Kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika laringoskopi. Jarak mentothyoid 3 jari pasien. Mandibula harus memiliki ukuran (panjang) yang cukup untuk memungkinkan lidah tergeser sepenuhnya ke dalam ruang submandibular.
2: Mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Jarak thyrothyoid 2 jari pasien. Glottis harus terletak pada jarak yang cukup caudal ke pangkal lidah yang merupakan garis pandang
langsung dari luar mulut ke pita suara.
• M—Mallampati score: alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan lidah.
Tabel 2.1 Mallampati Score Klasifikasi Klinis
Kelas I Palatum mole, pilar fausial dan tampak uvula Kelas II Palatum mole terlihat dan pilar fausial
Kelas III Palatum mole, dasar uvula dan palatum durum Kelas IV Palatum durum saja terlihat
Gambar 2.3 Mallampati Score
• O—Obstruction/obesity: Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses peritonsil, trauma karena obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring. Empat tanda utama adanya obstruksi jalan napas atas yaitu muffled voice (hot potato voice), kesulitan menelan (karena rasa sakit atau obstruksi), stridor, dan sensasi dispnea. Dua tanda pertama tidak biasanya menunjukkan adanya obstruksi total pada jalan napas atas pada orang dewasa. Namun adanya obstruksi kritis biasa ditandai
jika sensasi dispnea terjadi. Stridor merupakan tanda yang terburuk karena mengindikasikan jalan napas telah tereduksi menjadi <50%
dari normalnya, atau diameternya menjadi <4,5 mm. Meskipun masih kontroversial namun pasien obesitas sering memiliki kondisi pandangan glotis yang buruk dengan laringoskopi langsung ataupun video.
N—Neck mobility: Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam intubasi. Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Ektensi leher "normal" adalah 35o (The atlanto- oksipital/ A-O joint). Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, dan pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.
3. Kesulitan SAD (Supraglottic Airway Device) a. Definisi
Keadaan saat ahli anestesi membutuhkan beberapa kali upaya dalam pemasangan SAD (Laryngeal mask airway (LMA) saat ada atau tidak adanya kelainan pada trakea pasien (Dinata, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).
• R—Restricted mouth opening: Berbagai macam, tergantung pada SAD tertentu yang digunakan.
• O—Obstruction/obesity: Obesitas menciptakan 2 hambatan untuk oksigenasi menggunakan SAD. Pertama, jaringan berlebihan pada faring dapat membuat penempatan perangkat lebih sulit. Kedua, pasien obesitas memerlukan tekanan ventilasi yang lebih tinggi
akibat berat dinding dada dan abdomen. Jika terdapat obstruksi jalan napas atas pada faring, laring, glotis, atau di bawah pita suara, SAD tidak akan dapat dimasukkan pada posisi yang tepat untuk mencapai ventilasi dan oksigenasi. Hal ini menyebabkan resistensi terhadap ventilasi dengan meningkatkan tekanan yang diperlukan untuk memperluas dada dan menyebabkan resistensi terhadap ventilasi dengan meningkatkan tekanan yang dibutuhkan untuk menyebabkan diafragma turun. Hal ini tergantung pada SAD yang dipilih dan posisi pasien (ventilasi dengan posisi reverse trendelenberg atau dengan posisi pasien >30° ).
• D—Distorted or disrupted airway: Abnormalitas fleksi tulang belakang yang menetap, cedera leher dengan hematoma, epiglottis, dan abses faring cukup mengganggu pemasangan SAD pada posisi yang tepat.
• S—Stiff: Resistensi instrinsik ketika ventilasi seperti peningkatan hambatan jalan napas seperti asma dan penurunan compliance paru misalnya edema paru
4. Kesulitan Cricothyroidotomy a. Definisi
Prosedur darurat yang dilakukan pada pasien dengan gangguan napas yang berat dimana upaya pemasangan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal telah gagal atau dianggap memiliki tingkat risiko yang tidak dapat diterima.
Prosedur ini melibatkan pembuatan sayatan di membran krikotiroid, yang terletak di antara kartilago tiroid dan krikoid, dan memasukkan tabung trakeostomi ke trakea untuk memungkinkan ventilasi (Dinata, 2015).
b. Faktor prediktor (Hashimoto dkk, 2014; Saito dkk, 2015).
• S—Surgery (recent or remote): Perbedaan gambaran anatomis baik secara halus atau jelas dapat membuat airway landmark sulit untuk diidentifikasi. Pembedahan yang masih baru terkait dengan edema atau perdarahan sehingga mempersulit prosedur.
• M—Mass: Hematoma (pasca operasi atau trauma) atau proses
infektif di jalur krikotiotomi dapat membuat prosedur secara teknis sulit, tetapi tidak boleh dianggap sebagai kontraindikasi dalam situasi yang mengancam jiwa. Abses atau massa lain di jalur krikotirotomi dapat mempersulit prosedur dan mengharuskan ahli anestesi untuk menemukan landmark yang mungkin berada di luar garis tengah.
• A—Access/anatomy: Obesitas harus dianggap sebagai pengganti untuk masalah apa pun yang membuat akses bedah perkutan atau bedah terbuka ke leher anterior bermasalah, seperti leher yang sangat pendek, pannus besar, desendens, dan emfisema subkutan.
palpasi yang cermat merupakan petunjuk yang relevan untuk mengidentifikasi masalah ini.Obesitas mempersulit dalam mengidentifikasi landmark. Masalah serupa juga diakibatkan oleh adanya emfisema subkutan, infeksi jaringan lunak, atau edema.
Pasien dengan leher pendek atau pannus mandibula mempersulit identifikasi landmark dan akses prosedur. Perangkat ekstraneou seperti cervical immobilization collar, halo-thoracic brace dapat menghambat akses.
• R—Radiation (deformitas): Terapi radiasi terdahulu dapat merusak dan jaringan parut yang dihasilkan akan mempersulit prosedur (menyebabkan jaringan yang awalnya terpisah untuk menyatu dan merusak bentuk dan hubungan jaringan).
• T—Tumor: Tumor eter di dalam atau di sekitar jalan napas, dapat menimbulkan kesulitan, baik dari akses dan perspektif perdarahan.
2.3 Penilaian dan Perencanaan Sebelum Operasi
Kesulitan jalan napas tetap menjadi tantangan terbesar yang dihadapi selama pemberian anestesi dari hari ke hari. Mempertahankan patensi jalan napas penting untuk oksigenasi yang memadai dan, ventilasi serta kegagalan yang mungkin terjadi saat melakukannya, bahkan untuk jangka waktu singkat dapat mengancam kehidupan. Penilaian jalan napas sebelum operasi harus dilakukan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menyebabkan kesulitan dengan ventilasi masker wajah, pemasukan SAD, dan intubasi trakea.
Manajemen jalan napas sebagian besar dilakukan di ruang operasi, dan intubasi trakea yang sulit dapat meyebabkan peristiwa yang mengancam nyawa yang kejadiannya bervariasi dalam kisaran yang luas dengan perkiraan frekuensi yang dikumpulkan sekitar 6,8% (Lavinia dkk, 2016). Kesulitan dalam laringoskopi atau intubasi dapat berupa ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas pasien, menghadapkan pasien pada risiko komplikasi yang pada dasarnya terkait dengan hipoksia. Kejadiannya telah dilaporkan sekitar 1-4% dari pasien dengan jalan napas normal dan, baru-baru ini, dalam kisaran 1,58-5% dari semua anestesi umum (Law dkk, 2013). Manajemen jalan napas yang aman adalah ketika potensi masalah diidentifikasi sebelum operasi, memungkinkan penerapan strategi, serangkaian rencana, yang bertujuan mengurangi risiko komplikasi.
2.4 Pengelolaan Jalan Napas Berdasarkan Algoritma DAS 2015
Algoritma DAS (Difficult Airway Society) 2015 memberikan strategi untuk mengelola kesulitan jalan napas yang tidak terduga dengan intubasi trakea.
Mereka didasarkan pada bukti yang telah dipublikasikan. Setiap pasien harus memiliki penilaian jalan napas yang dilakukan sebelum operasi untuk mengevaluasi semua aspek manajemen jalan napas. Tujuan algoritma ini adalah untuk memberikan respons terstruktur terhadap masalah klinis yang berpotensi mengancam nyawa. Mereka mempertimbangkan praktik terkini dan perkembangan terkini. Algoritma ini membantu dalam kesulitan pengambilan keputusan selama keadaan darurat berlangsung. Ini termasuk langkah-langkah untuk membantu tim anestesi dalam membuat keputusan yang tepat, membatasi jumlah upaya intervensi jalan napas, dan secara eksplisit merekomendasikan memperbaiki waktu untuk berhenti dan berpikir tentang bagaimana tindakan selanjutnya (Frerk,2015).
Gambar 2.5 Algoritma DAS
2.4.1 Rencana A. Facemask Ventilation and Tracheal Intubation
Tujuan rencana A ini yaitu memaksimalkan kemungkinan intubasi berhasil pada upaya pertama serta untuk membatasi jumlah dan durasi upaya laringoskopi sehingga mencegah trauma saluran napas dan mencegah perkembangan situasi menjadi CICO (can’t intubate can’t oxygenate). Semua pasien harus diposisikan dan diberikan preoksigenasi secara optimal sebelum induksi anestesi. Blok neuromuskuler memfasilitasi facemask ventilation dan intubasi trakea (Sachdeva dkk, 2014). Setiap upaya laringoskopi dan intubasi trakea berpotensi menyebabkan trauma. Setelah upaya tidak berhasil, peluang keberhasilan menurun setiap upaya berikutnya.
Pada upaya intubasi trakea yang berulang dapat mengurangi kemungkinan penyelamatan jalan napas yang efektif dengan SAD (Sakles, dkk, 2013). DAS merekomendasikan maksimum tiga upaya intubasi, upaya keempat oleh rekan yang lebih berpengalaman diizinkan. Jika tidak berhasil, harus dinyatakan bahwa intubasi gagal dan rencana B diimplementasikan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
saat melakukan rencana A adalah sebagai berikut:
• Posisi
Posisi kepala dan leher yang tepat penting untuk mengoptimalkan tampilan laring selama laringoskopi langsung. Laringoskopi rutin dilakukan dalam
"Snifting Position (SP)" (leher akan fleksi 35° pada dada dengan bantal di bawah oksiput dan ekstensi 15° kepala pada sendi atlanto-oksipital) dianggap sebagai posisi ideal untuk laringoskopi langsung. Penanda yang digunakan untuk SP yang tepat adalah penyelarasan meatus auditorius eksternal dengan sternum pasien.
Penyelarasan meatus auditorius eksternal dan lekukan sternum pada dataran horizontal pada posisi terlentang menjadikannya posisi yang optimal untuk intubasi endotrakeal (Kiran dkk, 2017).
• Preoksigenasi teknik apnoeic untuk mempertahankan oksigenasi Preoksigenasi sebelum induksi anestesi dan intubasi trakea adalah
manuver yang sudah diterima secara luas, dirancang untuk meningkatkan cadangan oksigen tubuh dan dengan demikian menunda timbulnya desaturasi hemoglobin arteri selama apnea. Karena kesulitan dengan ventilasi dan intubasi tidak dapat diprediksi, kebutuhan preoksigenasi dilakukan pada semua pasien.
Selama tindakan anestesi, efek residu anestesi dan pembalikan blokade neuromuskuler yang tidak adekuat dapat menyebabkan hipoventilasi, hipoksemia, dan hilangnya patensi jalan napas. Efektivitas preoksigenasi dinilai dari efikasi dan efisiensinya. Indeks kemanjuran meliputi peningkatan fraksi oksigen alveolar, peningkatan tekanan oksigen arteri, dan penurunan fraksi nitrogen alveolar (Nimagadda, 2017).
• Pilihan agen induksi
Agen induksi harus dipilih sesuai dengan klinis kondisi pasien. Propofol, agen induksi paling umum digunakan di Inggris, menekan refleks laring dan memberikan kondisi yang lebih baik untuk manajemen jalan napas dibandingkan agen lain. Proyek Audit Nasional ke-5 dari Royal College of Anesthetists menyoroti hubungan antara manajemen jalan napas yang sulit dan kesadaran.
Penting untuk memastikan bahwa pasien dianestesi secukupnya selama upaya intubasi berulang kali (Sury, dkk, 2013).
• Blok neuromuskuler
Jika intubasi sulit, upaya lebih lanjut tidak boleh dilanjutkan tanpa blok neuromuskuler penuh. Blok neuromuskuler menghilangkan refleks laring, meningkatkan chest compliance, dan memfasilitasi facemask ventilation.
Neuromuskuler blok harus dipastikan jika ada kesulitan yang dihadapi dengan manajemen jalan napas (Broomhead dkk, 2013).
• Mask Ventilation
Mask ventilation dengan oksigen 100% harus dimulai sesegera mungkin setelah induksi anestesi. Jika terdapat kesulitan, posisi jalan napas harus dioptimalkan dan manuver jalan napas seperti chin lift/jaw thrust. Posisi sniffing meningkatkan ruang faring dan meningkatkan mask ventilation. Anestesi yang tidak adekuat atau blok neuromuskuler yang tidak adekuat membuat mask ventilation lebih sulit (Ramachandran dan Kheterpal, 2011).
• Pilihan laringoskop
Pilihan laringoskop mempengaruhi peluang sukses intubasi trakea.
Videolaryngoscopes dapat meningkatkan pandangan dibandingkan dengan laringoskopi langsung konvensional dan dapat menjadi pilihan pertama atau perangkat standar untuk beberapa ahli anestesi (Griesdale dkk, 2012).
• Pemilihan pipa trakea
Pipa trakea harus dipilih sesuai dengan prosedur bedah, tetapi karakteristik pipa dapat mempengaruhi kemudahan intubasi. Pipa yang lebih kecil lebih mudah untuk dimasukkan karena pandangan yang lebih baik pada laring tetapi juga cenderung menyebabkan trauma (Jafari dkk, 2014)
• Laringoskopi
Upaya laringoskopi didefinisikan sebagai penyisipan laringoskop ke dalam rongga mulut. Setiap usaha harus dilakukan dengan optimal karena upaya berulang pada laringoskopi berhubungan dengan hasil yang buruk dan risiko pada situasi CICO. Jika terjadi kesulitan, bantuan harus dipanggil lebih awal, terlepas dari tingkat pengalaman ahli anestesi. Jika intubasi sulit dilakukan, upaya dapat diulangi dengan prosedur yang sama kecuali jika sesuatu dapat diubah untuk meningkatkan peluang sukses, termasuk posisi pasien. Upaya laringoskopi harus
dibatasi sampai tiga kali. Upaya keempat harus dilakukan hanya oleh kolega yang lebih berpengalaman (Sakles dkk, 2013).
• Manipulasi laring eksternal
Identifikasi penempatan trakea yang sukses dari tabung endotrakeal adalah salah satu langkah terpenting dalam manajemen jalan napas. Manipulasi laring eksternal adalah manuver sederhana yang memfasilitasi visualisasi laring selama laringoskopi. Manipulasi laring eksternal seperti Backward, Upward, Rightward Pressure (BURP) dan Optimal External Laryngeal Manipulation (OELM) adalah manuver yang biasanya digunakan untuk meningkatkan visualisasi glotis pada intubasi yang sulit (Rajeev, 2017).
• Penggunaan bougie atau stylet
Gum elastis bougie adalah peralatan yang banyak digunakan untuk memfasilitasi keberhasilan intubasi trakea ketika tampilan laring grade 2 atau 3a terlihat. Hal ini juga dapat membantu selama videolaryngoscopy (Kelly dan Seller, 2015).
• Konfirmasi intubasi trakea
Setelah intubasi trakea tercapai, penempatan pipa yang benar di dalam trakea harus dikonfirmasi. Ini harus mencakup konfirmasi visual bahwa pipa berada di antara pita suara, ekspansi dada bilateral, auskultasi dan kapnografi.
Bentuk gelombang kapnografi berkelanjutan dengan inspirasi yang sesuai dan nilai akhir CO2 adalah gold standar untuk konfirmasi ventilasi paru-paru. Tidak adanya CO2 yang dihembuskan menunjukkan kegagalan ventilasi paru-paru, yang mungkin merupakan hasil dari intubasi esofagus (Kristensen dkk, 2014).
2.4.2 Rencana B. Maintaining Oxygenation: SAD (Supraglottic Airway Device) Insertion
Penekanan pada rencana B adalah mempertahankan oksigenasi menggunakan SAD. Penempatan SAD yang berhasil membuat kita untuk STOP AND THINK (berhenti dan berpikir) apakah akan membangunkan pasien, melakukan upaya intubasi lebih lanjut, melanjutkan anestesi tanpa pipa trakea, atau jarang untuk melanjutkan langsung ke trakeostomi atau cricothiroidotomi.
Jika oksigenasi melalui SAD tidak dapat dicapai setelah memaksimalkan upaya, rencana C harus dilaksanakan.
• Pemilihan dan penempatan SAD
Karena kesulitan dengan intubasi tidak selalu dapat diprediksi, setiap ahli anestesi harus memiliki rencana yang matang untuk suatu kemungkinan.
Keputusan tentang SAD mana yang akan digunakan untuk penyelamatan seharusnya dibuat sebelum induksi anestesi, dan pilihan ini harus ditentukan oleh situasi klinis, ketersediaan, dan pengalaman operator. Sejak penemuan Laryngeal Mask Airway oleh Archie I.J Brain pada tahun 1983, upaya telah dilakukan untuk memperkenalkan perangkat jalan nafas yang lebih efisien, yang akan membantu ahli anestesi dalam memberikan manajemen jalan nafas yang lebih baik kepada pasien dalam berbagai keadaan. Contoh Supraglottic Airway Device lainnya ini adalah: Elisha airway device, COBRA perilaryngeal airway, Streamlined pharynx airway liner, Laryngeal tube, Phryngealairwayxpress, Glottic aperture seal airway (Prabhat dan Satyajee, 2005).
• Tekanan krikoid dan pemasangan SAD
Tekanan krikoid mengurangi ruang hipofaring dan menghambat penyisipan SAD. Tekanan krikoid akan dihilangkan selama rencana A jika laringoskopi sulit dan (jika tidak ada regurgitasi) harus tetap tidak ada selama pemasangan SAD (Hashimoto dkk, 2014).
• SAD generasi kedua
Dikatakan bahwa SAD generasi kedua digunakan secara rutin karena lebih aman bila dibandingkan dengan perangkat generasi pertama. Sebuah angka studi telah membandingkan SAD generasi kedua, tetapi penting untuk mengakui bahwa pengalaman operator dengan perangkat juga memengaruhi peluang sukses penyisipan (Kristensen dkk, 2014).
• Membatasi jumlah upaya penyisipan
Upaya berulang dalam memasukkan SAD meningkatkan kemungkinan trauma jalan napas. Penempatan yang berhasil kemungkinan besar pada upaya pertama. Maksimal tiga upaya penyisipan SAD direkomendasikan; dua dengan perangkat generasi kedua dan upaya lain dengan sebuah alternatif. Upaya termasuk mengubah ukuran SAD. Jika oksigenasi yang efektif belum ditetapkan setelah tiga upaya, rencana C harus diimplementasikan (Saito dkk, 2015).
• Penyisipan SAD berhasil dan oksigenasi efektif terbentuk: STOP AND THINK
Pemeriksaan klinis dan kapnografi harus digunakan untuk mengkonfirmasi ventilasi. Jika oksigenasi telah efektif melalui SAD, disarankan agar tim berhenti dan meninjau tindakan yang paling tepat. Ada empat opsi untuk dipertimbangkan yaitu, bangunkan pasien, mencoba intubasi melalui SAD menggunakan lingkup serat optic, memproses dengan pembedahan menggunakan jalan napas supraglotis, atau melanjutkan untuk trakeostomi atau cricothyroidotomy (jarang).
Faktor pasien, urgensi pembedahan, dan keahlian keterampilan operator semua mempengaruhi keputusan, tetapi prinsip dasarnya adalah untuk mempertahankan oksigenasi serta meminimalkan risiko aspirasi.
• Bangunkan pasien
Jika pembedahan tidak mendesak maka pilihan paling aman adalah membangunkannya dan ini harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Ini akan membutuhkan antagonis penuh blok neuromuskuler. Jika rocuronium atau vecuronium telah digunakan, sugammadex adalah pilihan agen yang tepat. Jika agen penghambat neuromuskuler non-depolarisasi lainnya telah digunakan, maka anestesi harus dipertahankan sampai kelumpuhan cukup lemah. Operasi kemudian dapat ditunda atau dapat dilanjutkan setelah bangun atau di bawah anestesi regional.
• Intubasi melalui SAD
Intubasi melalui SAD hanya tepat dilakukan jika situasi klinis stabil, oksigenasi dimungkinkan melalui SAD, dan ahli anestesi dilatih dalam teknik ini.
Membatasi jumlah intervensi jalan napas adalah prinsip inti dari manajemen jalan napas yang aman, upaya berulang pada intubasi melalui SAD tidak tepat (Halwagi, dkk, 2012).
• Lanjutkan dengan operasi menggunakan SAD
Ini harus dipertimbangkan sebagai opsi berisiko tinggi yang disediakan untuk situasi spesifik atau segera yang mengancam jiwa. Jalan napas mungkin sudah trauma dari beberapa upaya intubasi yang gagal dan dapat memburuk selama operasi karena pelepasan alat, regurgitasi, pembengkakan saluran napas,
atau faktor pembedahan. Opsi penyelamatan terbatas mengingat intubasi trakea sudah dinyatakan gagal.
• Lanjutkan ke trakeostomi atau cricothyroidotomy
Dalam keadaan yang jarang terjadi, bahkan ketika ventilasi dimungkinkan melalui SAD, mungkin tepat untuk mengamankan jalan napas dengan trakeostomi atau cricothyroidotomy.
2.4.3 Rencana C. Facemask Ventilation
Rencana C dilakukan jika ventilasi yang efektif belum ditetapkan setelah tiga upaya penyisipan SAD. Selama rencana A dan B, akan ditentukan apakah mask ventilation mudah, sulit, atau tidak mungkin, tetapi situasinya mungkin telah berubah jika upaya intubasi, penempatan SAD dan telah terjadi trauma pada jalan napas. Jika facemask ventilation menghasilkan oksigenasi yang cukup, maka pasien harus bangun dalam semua keadaan. Jika tidak mungkin mempertahankan oksigenasi menggunakan facemask, memastikan kelumpuhan penuh sebelum hipoksia kritis terjadi merupakan kesempatan terakhir untuk menyelamatkan jalan napas tanpa bantuan rencana D. Sugammadex telah digunakan untuk memblokir neuromuskuler selama situasi CICO tetapi tidak menjamin paten dan jalan napas atas dapat dikelola. Anestesi residual, trauma, edema, atau patologi saluran napas bagian atas yang sudah ada mungkin terjadi dan berkontribusi pada obstruksi jalan napas (Curtis dkk, 2012).
2.4.4 Rencana D. Emergency Front of Neck Access
Front of neck access (FONA) adalah akronim yang saat ini paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi prosedur penyelamatan jiwa yang akan dimulai (awal) setiap kali menghadapi situasi CICO (Onrubia,2018). Situasi ini muncul ketika upaya untuk mengelola jalan napas oleh intubasi trakea, facemask ventilation, dan SAD telah gagal. Kerusakan otak dan kematian akibat hipoksia akan terjadi jika situasinya tidak cepat diselesaikan. The 4th National Audit Project (NAP4) memberikan pendapat bahwa bedah darurat dan kanul krikotiroidotomi perlu dilakukan ketika metode lain untuk mengamankan jalan napas selama anestesi umum telah gagal (Tim dkk,2011). Algoritma DAS menawarkan pilihan krikotiroidotomi bore sempit (kanul) atau bedah krikotiroidotomi, bila krikotiroidotomi jarum gagal krikotiroidotomi bedah dapat direkomendasikan.
Terdapat sejumlah masalah dalam melakukan krikotiroidotomi, termasuk pengambilan keputusan (penundaan perkembangan menjadi krikotiroidotomi), kesenjangan pengetahuan (tidak memahami bagaimana peralatan bekerja), kegagalan sistem (peralatan tertentu tidak tersedia), dan kegagalan teknis (kegagalan menempatkan kanula di jalan napas). Keberhasilan tergantung pada pengambilan keputusan, perencanaan, persiapan, dan keterampilan, yang semuanya dapat dikembangkan dan disempurnakan dengan praktik berulang.
Bukti saat ini menunjukkan bahwa teknik bedah paling baik memenuhi kriteria ini. Krikotiroidotomi dapat dilakukan dengan menggunakan pisau bedah atau teknik kanula. (Lockey dkk, 2014).
2.5 Managemen Pasca Operasi
Kesulitan dengan manajemen jalan napas dan implikasinya terhadap perawatan pasca operasi harus didiskusikan. Selain secara verbal, rencana manajemen jalan napas harus didokumentasikan dalam rekam medis. Banyak panduan jalan napas merekomendasikan bahwa pasien harus ditindaklanjuti oleh ahli anestesi untuk mendokumentasikan dan mengomunikasikan kesulitan jalan napas. Ada hubungan erat antara intubasi yang sulit dan trauma saluran napas, tindak lanjut pasien memungkinkan komplikasi untuk dikenali dan diobati.
Instrumentasi jalan napas dapat menyebabkan trauma atau memiliki efek buruk.
Berdasarkan analisis American Society of Anesthesiologist bahwa faring dan esofagus adalah yang paling sering rusak selama intubasi sulit. Keinginan untuk memberikan informasi klinis terperinci harus seimbang dengan kebutuhan komunikasi yang efektif. Pengkodean adalah metode paling efektif untuk mengkomunikasikan informasi penting kepada dokter umum, kode untuk 'intubasi trakea yang sulit' adalah kode SP2y3 dan seharusnya dimasukkan pada ringkasan.
Setiap kegagalan intubasi, akses darurat di depan leher, dan jalan masuk yang tidak berhubungan dengan jalan napas harus ditinjau dan didiskusikan (Apfelbaum dkk, 2013).
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : LU
No. RM 19037269
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 Tahun
Agama : Kristen Katolik
Status Perkawinan : Sudah menikah
Alamat : NTT
Diagnosis : Oral Cancer
Tindakan : Open biopsi bimanual palpasi
MRS : 25 September 2019, pukul 12.35 WITA
3.2 Anamnesis
Pasien merupakan rujukan dari RS Ruteng Timor dengan keluhan bajolan di area pipi yang sudah dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Keluhan benjolan awalnya tidak mengganggu dengan ukuran kurang lebih sebesar kacang kemudian semakin lama semakin membesar.
Pada bulan Juli 2019, pasien merasakan benjolan sebesar bola bekel dan dirasakan menganggu aktivitas hingga susah menelan dan susah bicara sehingga pasien memeriksakan diri ke dokter di RS Ruteng Timor, namun karena keterbatasan fasilitas pemeriksaan, pasien dirujuk ke RSUP Sanglah, Bali. Pasien merupakan seorang petani, tidak ada gangguan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Riwayat tremor, keringat berlebih, berdebar, penurunan berat badan disangkal, nafsu makan normal, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan : Tidak ada
Riwayat pengobatan : Tidak ada Riwayat penyakit sistemik : Tidak ada
Riwayat operasi : Tidak ada
Riwayat sosial : Pasien adalah seorang petani, tidak ada gangguan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Riwayat kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal.
3.3 Pemeriksaan Fisik (24 September 2019)
Berat badan 46 kg; Tinggi badan 150 cm; BMI 20,4 kg/m2; Suhu axilla 36
oC; NRS diam 0/10, NRS bergerak 0/10
Susunan saraf pusat : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 3 mm/3 mm, RC/RK +/+.
Respirasi : Frekuensi napas 16 kali per menit, vesikular pada kedua lapang paru, rhonki dan wheezing tidak ada, saturasi oksigen perifer 98% room air.
Kardiovaskular : Tekanan darah 110/70 mmHg; nadi 86 kali per menit, bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, murmur tidak ada.
Gastrointestinal Tract : Supel, bising usus (+) normal, asites (-), nyeri tekan (-)
Urogenital : Buang air kecil spontan.
Muskuloskeletal : Fleksi defleksi leher baik, Mallampati IV, gigi geligi utuh.
KRITERIA MOANS
Mask seal/ male sex/ Mallampati: pasien perempuan, janggut dan kumis tidak ada, Tampak benjolan pada area pipi ukuran 7 cm x 7 cm batas tidak tegas, konsistensi padat, nyeri tekan (+), Mallampati skor IV.
Obesity : BMI pasien 20,4 kg/m2 (<26kg/m2).
Age : 51 tahun (<55 tahun).
No teeth : gigi geligi normal.
Stiff lung/snoring : pasien tidak ada COPD, asma, ARDS.
KRITERIA LEMON
Look externally:
- Tampak benjolan pada area pipi ukuran 7 cm x 7 cm batas tidak tegas, konsistensi padat, nyeri tekan (+)
- Janggut dan kumis tidak ada - Gigi incisor besar tidak ada - Lidah besar tidak ada - Facial trauma tidak ada Evaluated :
- Jarak interincisor 3 jari - Jarak mentohyoid 3 jari - Jarak hyothiroid 2 jari Mallampati : Mallampati IV.
Obstruction : Tampak massa pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler.
Neck mobility : Fleksi dan defleksi leher normal.
KRITERIA RODS
Restricted mouth opening : tidak ada.
Obstruction/obesity : tampak massa pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler.
Disrupted or distorted airway : pasien tidak ada deformitas fleksi tulang belakang yang menetap, cedera leher dengan hematoma, dan abses faring.
Stiff : pasien tidak ada hambatan intrinsik untuk ventilasi seperti asma dan edema paru.
KRITERIA SMART
Surgery (recent or remote) : tidak ada.
Mass : tidak terdapat hematoma atau proses
infektif abses atau massa di jalur krikotirotomi
Access/Anatomy : pasien tidak ada leher pendek atau pannus Radiation : pasien tidak pernah mendapat terapi radiasi
sebelumnya.
Tumor : Terdapat tumor di lokasi gingiva superior dextra pasien, tidak ada tumor di jalur krikotirotomi.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
• Darah Lengkap (29/8/2019)
WBC 7,33 x103/µL (4,1-11); HGB 10,33 g/dL (13.5-17.5); HCT 35,39
% (41-53); PLT 259 x103µL (150-440)
• Faal Hemostasis (29/8/2019)
PT 15,1 (10,8-14,4) detik; aPTT 31,4 (24-36) detik; INR 1,08
• Kimia Klinik (29/8/2019)
SGOT 33,6 U/L (11-33); SGPT 39,10 U/L (11-50); BUN 7,3 mg/dL (8-23); SC 0,61 mg/dL (0,7-1,2); BS acak 139 mg/dL (70-140); Na 139 mmol/L (136-145); K 3,56 mmol/L (3,5-5,10)
• Rontgen thorax PA (29/8/2019) Cor dan pulmo tak tampak kelainan.
• CT Scan Kepala midface dan colli (29/8/2019)
Massa solid batas tegas tepi regular pada parotis gland kanan yang meluas ke masticator space kanan, region temporal kanan, mandibular kanan hingga ke oral cavity dan menempel dengan lidah aspek ventral-
posterior dominan sisi kanan. Mangesankan suatu malignansi.
• EKG (29/8/2019)
Normal sinus rhythm, HR 82 kali permenit, axis normal, ST-T changes tidak ada
3.5 Permasalahan Dan Kesimpulan
• Permasalahan Aktual : Difficult Airway Management (Difficult to Intubate)
• Permasalahan Potensial : Desaturasi
• Pembedahan : Lokasi : Gingiva Superior Dextra Posisi : Supine
Durasi : 1-2 jam
Manipulasi : Open Biopsi dan Bimanual Palpasi
• Kesimpulan : Status Fisik ASA I 3.6 Persiapan Anestesi
Persiapan di ruang perawatan:
• Evaluasi identitas penderita
• Persiapan psikis
− Anamnesis pasien
− Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan
• Persiapan fisik
− Puasa 8 jam sebelum operasi
− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi
− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
− Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang
− Memeriksa surat persetujuan operasi
− Memasang IV line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan 20 tetes per menit
Persiapan di Ruang Persiapan OK IBS:
• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi
• Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan
• Evaluasi ulang status present dan status fisik
• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi .
Persiapan di Kamar Operasi:
• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas
• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi
• Mempersiapkan obat dan alat anestesi
• Menyiapkan obat dan alat resusitasi
• Evaluasi ulang status present penderita 3.7 Manajemen Operasi
➢ Rencana Anestesi
Rencana Anestesi :GA-OTT Premedikasi :-
Analgetik :Fentanyl 100 mcg IV
Induksi :Propofol titrasi hingga pasien terhipnosis.
Fasilitas Intubasi :Atracurium 15 mg IV
Pemeliharaan :O2; Compressed air; sevoflurane
Medikasi lain :Ondansetron 4 mg IV; ketorolac 30 mg IV
➢ Durante Operasi
Hemodinamik : TD 110-100 mmHg/ 70-60 mmHg, Nadi 60- 80x/menit, RR 14-16x/menit, SpO2 98-99%.
Cairan masuk : Ringer Laktat 1000 mL Lama operasi : 2 jam
➢ Post Operasi
Analgesik : Ketorolac 30mg iv tiap 8 jam, Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO
Perawatan : Ruangan
Gambar 3.1 Evaluasi Preoperatif Pasien
BAB IV DISKUSI KASUS
Kesulitan pengelolaan jalan napas merupakan suatu situasi klinis dimana ahli anestesi mengalami kesulitan pemberian masker ventilasi di saluran napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan pengelolaan jalan napas dapat diklasifikasikan menjadi kesulitan Bag Mask Ventilation (BMV), kesulitan intubasi, kesulitan Supraglotic Airway Device (SAD), dan kesulitan cricothyroidotomy. Manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma DAS 2015 dibagi menjadi 4 rencana. Rencana A facemask ventilation and tracheal intubation, rencana B maintaining oxygenation: supraglottic airway device insertion, rencana C facemask ventilation, dan rencana D akses darurat di depan leher.
Pasien perempuan, usia 51 tahun dengan oral cancer akan dilakukan open biopsi dan bimanual palpasi. Prosedur biopsi adalah prosedur bedah yang melibatkan pengambilan spesimen jaringan hidup untuk melakukan diagnosis.
Saat ini standar emas untuk diagnosis adalah penilaian histopatologis dari biopsi jaringan lesi yang mencurigakan (Hershita dkk, 2016). Indikasi untuk lesi yang muncul menetap selama lebih dari 2 minggu bahkan setelah pengurangan faktor resiko dan etiologi, biopsi sangat diindikasikan. Setelah periode 2 minggu, setiap kelainan yang tersisa atau lesi yang terbukti refrakter terhadap terapi lokal diindikasikan untuk biopsi. Pertama yang dilakukan adalah melakukan evaluasi praoperasi yaitu dilakukan pemeriksaan status fisik, dan juga meramalkan penyulit yang bisa didapatkan pasien selama operasi ataupun pasca operasi dan mempersiapkan obat atau alat untuk mengatasi penyulit tersebut. Persiapan pra operasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi pada angka yang sangat kecil, yaitu kurang dari 2-3% (Frederick, 2016).
Status fisik diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Pada pasien ini memiliki status ASA I. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pasien dengan oral cancer dapat menimbulkan tantangan bagi ahli anestesi untuk manajemen jalan napas karena ketika terjadi intubasi trakea yang gagal, dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Kesulitan dalam manajemen jalan nafas perioperatif pada pasien oral cancer karena intubasi dan
ekstubasi dapat menjadi sulit. Oleh karena itu, evaluasi dan perencanaan yang tepat dan diskusi dengan ahli bedah diperlukan untuk menghindari komplikasi yang tidak perlu. Faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk kesulitan jalan nafas selama periode perioperatif pada pasien kanker mulut adalah obstruksi dari pertumbuhan kanker itu sendiri, perubahan anatomi dan fibrosis akibat pembedahan sebelumnya atau radioterapi, edema di sekitar jalan napas karena manipulasi bedah, risiko perdarahan, terutama karena penyebab bedah atau berbagai upaya manipulasi jalan napas dan, risiko aspirasi paru. Manajemen jalan napas pada pasien kanker mulut sebagian besar dapat dilakukan dengan induksi general anestesi (Sapna dkk,2017).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik yaitu monitoring tekanan darah, nadi, suhu, laju napas, dan pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi badan, berat badan, keadaan umum, serta kesadaran umum. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien kanker mulut adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis, kimia klinik), foto polos thoraks PA, dan EKG serta dilakukan pemeriksaan CT scan kepala midface dan colli. Dari pemeriksaan darah yang ditemukan hemoglobin rendah yaitu 10,33 g/dL, hematokrit rendah yaitu 35,39%, SGOT tinggi yaitu 33,6 U/L, BUN rendah yaitu 7,3 mg/dL, SC rendah 0,61 mg/dL, serta hasil lainnya dalam batas normal. Dari hasil CT Scan kepala midface dan colli terdapat massa solid batas tegas tepi regular pada kelenjar parotis kanan yang meluas ke ruang mastikator kanan, region temporal kanan, mandibular kanan hingga ke rongga mulut dan menempel dengan lidah aspek ventral-posterior dominan sisi kanan.
Pada pemeriksaan prediktor kesulitan Bag-Mask Ventilation berupa MOANS, didapatkan ‘M’ Mask seal/ male sex/ Mallampati: pasien perempuan, janggut dan kumis tidak ada, Mallampati skor IV. ‘O’ Obesity: BMI pasien 20,4 kg/m2 (<26kg/m2). ‘A’ Age: 51 tahun (<55 tahun). ‘N’ No teeth: gigi geligi normal. ‘S’ Stiff lung/snoring: pasien tidak ada COPD, asma, ARDS. Namun pasien tidur mendengkur dan akhir-akhir ini suara serak.
Pada pemeriksaan kesulitan intubasi dengan kriteria ‘LEMON’, didapatkan ‘L’ Look externally terdapat benjolan pada area pipi ukuran 7 cm x 7 cm batas tidak tegas, konsistensi padat, nyeri tekan (+). Gigi incisor besar tidak ada, lidah besar tidak ada. ‘E’ Evaluated didapatkan arak interincisor 3 jari, jarak
mallampati kelas IV. ’O’ Obstruction tampak massa pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler. ‘N’ Fleksi dan defleksi leher normal.
Pada pasien ini manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma DAS 2015 berhasil dengan rencana A yaitu facemask ventilation and tracheal intubation. Keberhasilan rencana A pada pasien ini karena didukung oleh posisi, preoksigenasi, pemilihan agen induksi, blok neuromuskular, mask ventilation, pemilihan laringoskop dan pemilihan pipa trakea yang benar. Manajemen operasi dengan teknik GA-OTT diawali dengan pemberian obat analgesik short acting opioid yaitu fentanyl 100 mcg intravena diberikan sebagai antinyeri kuat, mengurangi respon somatik dan autonom, menjaga stabilitas hemodinamik, dan mengurangi depresi pernapasan. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan facemask ventilation.
Dalam mendukung keberhasilan facemask ventilation, dipilih ukuran yang sesuai dengan pasien, kemudian disambungkan dengan mesin anestesi yang sudah dipastikan tidak ada kebocoran. Setelah preoksigenasi dan diinduksi dengan propofol 100 mg intravena untuk mendapatkan efek hipnotik murni dengan onset kerja yang cepat (sampai reflek bulu mata tidak ada), setelah itu pasien disungkup selama 3-5 menit untuk mengisi Fungsional Residual Capacity (FRC) untuk cadangan oksigen saat intubasi. Pada saat pasien disungkup pastikan ventilasi berhasil dan tidak ada kebocoran dengan melihat pengembangan dada, uap pada sungkup, pengembangan pada balon bagging dan tidak ada suara bocor pada sungkup. Setelah ventilasi dipastikan berhasil, secara simultan masukkan atracurium 15 mg intravena sebagai pelumpuh otot untuk memfasilitasi intubasi.
Atracurium dapat digunakan hanya oleh para ahli pengelolaan jalan napas dan hanya ketika fasilitas untuk intubasi endotrakeal dan alat untuk memberikan dukungan ventilasi yang memadai telah tersedia, termasuk pemberian oksigen melalui tekanan positif dan pengeluaran karbon dioksida. Dokter harus siap untuk membantu atau mengontrol ventilasi, dan agen antikolinesterase harus tersedia untuk pembalikan blokade neuromuskuler. Lihat perubahan volume tidal selama ventilasi sebagai penanda keberhasilan facemask ventilation.
Selanjutnya pasien diintubasi dengan sebelumnya sudah dipersiapkan STATICS yaitu ‘S=Scope” yaitu laringoskop blade macintosh ukuran 3 dan
dipilih berdasarkan ukuran ETT berdasarkan ukuran kelingking pasien, dan penggunaan cuff supaya ETT tidak bocor. “A=Airway” yaitu Oropharing Airway (OPA) yang diukur dengan cara mengukur OPA dari sudut bibir sampai angulus mandibula. “T=Tape” yaitu hypafix dengan potongan panjang 2 buah dengan ukuran 1,5 cm x 25 cm untuk memfiksasi ETT. “I=Introducer” yaitu stylet untuk membantu membentuk dan mengarahkan ETT agar lebih mudah masuk ke plica vocalis menuju trakea, “C=Connector” yaitu sebuah penghubung antara mesin dan ETT serta pastikan pemasangannya benar. “S=Suction” yaitu disiapkan selang suction yang sudah disambungkan ke mesin suction untuk menyedot liur dan segala cairan yang terdapat di rongga mulut. Selain STATICS, dipersiapkan pula SGA berupa LMA dengan ukuran 3.0 untuk mengantisipasi jika terjadi kegagalan intubasi.
Prosedur intubasi dimulai dengan memposisikan pasien pada posisi sniffing position dengan tujuan agar axis airway segaris. Kemudian buka mulut pasien dengan teknik cross finger lalu masukkan laringoskop dengan tangan kiri dari sudut mulut kanan, kemudian geser lidah ke kiri dengan blade laringoskop, lalu masukkan laringoskop dan dorong ke depan sampai melihat plica vocalis.
Kemudian masukkan ETT dengan menggunakan stylet yang sudah diberikan jelly terlebih dahulu. Setelah ETT dipasang sambungkan dengan connector serta kembungkan cuff ETT menggunakan spuit 10 cc, kemudian pastikan oksigen masuk ke paru-paru dengan cara inspeksi (melihat pengembangan dada) dan auskultasi (mendengarkan dengan stetoskop lambung dan kedua lapang paru).
Setelah intubasi dipastikan berhasil, fiksasi ETT dengan hypafix. Kemudian monitoring pasien selama operasi. Pantau tanda-tanda vital, cairan masuk dan keluar, dan pemberian obat-obatan pemeliharaan.
DAS merekomendasikan maksimum tiga upaya intubasi, upaya keempat oleh rekan yang lebih berpengalaman diizinkan. Jika tidak berhasil, harus dinyatakan bahwa intubasi gagal dan rencana B diimplementasikan. Prediktor keberhasilan rencana B berupa kriteria RODS pada pasien ini didapatkan, ‘R’
Restricted mouth opening : tidak ada, ‘O’ Obstruction/obesity : tampak massa pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler.
‘D’ Disrupted or distorted airway : pasien tidak ada deformitas fleksi tulang belakang yang menetap, cedera leher dengan hematoma, dan abses faring. ‘S’ Stiff
Pengelolaan jalan nafas selanjutnya jika masih mengalami kegagalan dapat dilanjutkan dengan krikotiroidotomi, dimana upaya pemasangan intubasi orotrakeal telah gagal atau dianggap memiliki tingkat risiko yang tidak dapat diterima. Prosedur ini melibatkan pembuatan sayatan di membran krikotiroid, yang terletak di antara kartilago tiroid dan krikoid, dan memasukkan tabung trakeostomi ke trakea untuk memungkinkan ventilasi. Prediktor kesulitan berupa SMART yang terdapat pada pasien ini yaitu ‘S’ Surgery (recent or remote) : tidak ada, ‘M’ Mass : tidak terdapat hematoma atau proses infektif abses atau massa di jalur krikotirotomi, ‘A’ Access/Anatomy : pasien tidak ada leher pendek atau pannus, ‘R’ Radiation : pasien tidak pernah mendapat terapi radiasi sebelumnya, dan ‘T’ Tumor : Terdapat tumor di lokasi gingiva superior dextra pasien, tidak ada tumor di jalur krikotirotomi.
Obat lainnya yang diberikan yaitu ketorolac 30 mg yaitu analgetik non opioid golongan NSAID yang tidak menstimulasi reseptor opiod sehingga tidak menimbulkan efek depresi napas, sedasi, dan euforia. Ondansentron 4 mg intravena diberikan sebagai profilaksis Post Operative Nausea and Vomiting (PONV).
Setelah operasi selesai, lakukan ekstubasi saat pasien sudah mulai sadar betul, ini dikarekan agar pasien dapat bernapas spontan. Pada saat ekstubasi, untuk memastikan terjadinya tracheomalasia dilakukan cuffleak test, yaitu saat cuff dikempeskan kemudian dipompa, jika dirasakan tidak ada tahanan maka menunjukkan bahwa trakea pasien masih paten dan tidak terjadi tracheomalasia sehingga dapat dilakukan ekstubasi pada pasien. Namun jika saat dipompa dirasakan terdapat tahanan, maka menunjukkan bahwa trakea pasien sudah tidak paten sehingga ekstubasi harus ditunda. Pada pasien ini, ekstubasi sadar dapat dilakukan, dan pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian analgetik post operasi yaitu ketorolac 30mg iv tiap 8 jam, parasetamol 500 mg tiap 6 jam peroral.
BAB V SIMPULAN
Pasien perempuan, usia 51 tahun dengan diagnosis Oral Cancer menjalani tindakan operasi open biopsy dan bimanual palpasi. Pada pasien dilakukan evaluasi pra operasi yaitu dengan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan permasalahan dan kesimpulan status fisik pasien. Permasalahan pada pasien ini yaitu terdapat obstruksi berupa massa pada gingiva superior dekstra ukuran 4x3 cm, berdungkul-dungkul, tepi ireguler prediksikan adanya kesulitan pada manajemen jalan napas.
Kesulitan pengelolaan jalan napas dapat diklasifikasikan menjadi kesulitan BMV dengan faktor prediktor “MOANS”, kesulitan intubasi dengan faktor prediktor “LEMON”, kesulitan SAD dengan faktor prediktor “RODS” dan kesulitan cricothyroidotomy dengan faktor prediktor “SMART”. Manajemen jalan napas paling aman adalah ketika potensi masalah diidentifikasi sebelum operasi, memungkinkan penerapan strategi, serangkaian rencana, yang bertujuan mengurangi risiko komplikasi. Manajemen pengelolaan jalan napas berdasarkan algoritma DAS 2015 dibagi menjadi 4 rencana (A,B,C,D), dimulai dengan melakukan rencana A, jika rencana A tidak berhasil lakukan dengan rencana B, begitu seterusnya sampai dengan rencana D. Kesulitan dengan manajemen pengelolaan jalan napas dan implikasinya terhadap perawatan pasca operasi, selain secara verbal, rencana manajemen jalan napas harus didokumentasikan dalam rekam medis.
Rencana anestesi pada pasien ini yaitu anestesi umum dengan oro-tracheal tube. Pasien diberikan analgetik, lalu pasien diinduksi dan dilakukan pemeliharaan anestesi selama operasi. Selama operasi, pasien berada dalam kondisi yang stabil berdasarkan monitoring tanda vital durante operasi. Pasca operasi pasien diberikan obat analgetik dan perawatan di ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Apfelbaum JL, Hagberg CA, Caplan RA, et al. Practice guidelines for management of the difficult airway: an updated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology; 2013, 118: 70–251
Broomhead RH, Marks RJ, Ayton P. Confirmation of the ability toventilate by facemask before administration of neuromuscular blocker: a non- instrumental piece of information? Br J Anaesth 2010; 104: 7–313.
Curtis R, Lomax S, Patel B. Use of sugammadex in a ‘can’t intubate, can’t ventilate ’ situation. Br J Anaesth 2012; 108: 4–612.
Dinata, D. A. Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Anestesi Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi Perioperatif. 2013. Vol. 3(1), No: 100-8.
Frederick T. O’Donnell. Preoperative Evaluation of the Surgical Patient. The Journal of the Missouri State Medical Assosiation. 2016 May-Jun; 113(3):
196–201.
Frerk C, V. S. Mitchell, A. F. McNarry, C. Mendonca, R. Bhagrath, A. Patel, E. P.
O’Sullivan, N. M. Woodall dan I. Ahmad. Difficult Airway Society 2015 guidelines for management of unanticipated difficult intubation in adults.
British Journal of Anaesthesia; 2015, 115 (6): 827–48.
Griesdale DEG, Liu D, McKinney J, Choi PT. Glidescope video-laryngoscopy versus direct laryngoscopy for endotracheal intubation: asystematic review and meta-analysis. Can J Anaesth 2012; 59: 41 –52.
Halwagi AE, Massicotte N, Lallo A, et al. Tracheal intubation through the I-gel™
supraglottic airway versus the LMA Fastrach™: a randomized controlled trial. Anesth Analg 2012; 114: 6–152.
Hashimoto Y, Asai T, Arai T, Okuda Y. Effect of cricoid pressure on placement of the I-gel: a randomised study. Journal of Anaesthesia. 2014; 69: 82–878.
Hershita Singh, Shalini, Nancy charaya, Monika Poonia, Supreet Kaur Sidhu, Sandeep Singh Sihmar, Monika. Biopsy- A vision of life. International Journal of Contemporary Medical Research; 2016, 3(6).
Jafari A, Gharaei B, Kamranmanesh MR, et al. Wire reinforced endotracheal tube compared with Parker Flex-Tip tube for oral fiberoptic intubation: a
randomized clinical trial. Minerva Anestesiol 2014; 80: 9–324.
Kiran Kumar Gudivada, Nirmala Jonnavithula, Sai Lakshman Pasupuleti, Chaitanya Prathyusha Apparasu, Syama Sundar Ayya, Gopinath Ramachandran. Comparison of ease of intubation in sniffing position and further neck flexion. Journal of Anaetesiology Clinical Pharmacology; 2017, 33(3), 342-347.
Kelly FE, Seller C. Snail trail. Anaesthesia 2015; 70: 501.
Kristensen MS, Teoh WH, Asai T. Which supraglottic airway will serve my patient best? Anaesthesia 2014; 69: 92–1189.
Lavinia B, Nadia R, Orazio D, Enrico G dan Franco C. Difficult Airway Management in Patients Submitted to General Anesthesia. Is it a Matter of Devices or Predictive Scores?. International Journal of Anesthetics and Anesthesiology; 2016, 3(1).
Law JA, Broemling N, Cooper RM, Drolet P, Duggan LV. The difficult airway with recommendations for management-Part1-Difficult tracheal intubation encountered? in an unconscious/induced patient. Can J Anaesth; 2013, 60:
1089-1118.
Lockey D, Crewdson K, Weaver A, Davies G. Observational study of the success rates of intubation and failed intubation airway rescue techniques in 7256 attempted intubations of trauma patients by pre-hospital physicians. Br J Anaesth 2014; 113: 220.
Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (Eds.). (2013). Morgan & Mikhail's clinical anesthesiology. McGraw-Hill Education LLC.
Nimmagadda U, Salem MR, Crystal GJ. Preoxygenation: Physiologic Basis, Benefits, and Potential Risks. Anesth Analg;2017, 124(2):507-517.
Prabhat Kumar Sinha, Satyajeet Misra. Supraglottic Airway Devices Other Than Laryngeal Mask Airway And Its Prototypes. Indian Journal Anaest, 2005;
49(4): 281-292.
Rajeev Sharma. Use of Backward Upward Rightward Pressure (BURP) and Optimum External Laryngeal Manipulation (OELM) to Confirm Tracheal Placement of Endotracheal Tubes in Difficult Cases. 201, 52(6) : 883.
Ramachandran SK, Klock PA. Definition and incidence of the difficult airway.
Dalam: Hagberg CA, penyunting. Benumof and Hagberg’s airway