• Tidak ada hasil yang ditemukan

pdf

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "pdf"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Jakiatin Nisa Page 90 RESOLUSI KONFLIK

DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI* Jakiatin Nisa

Dosen PIPS Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstract: Conflict Resolution in Perspective of Communication. Basically, conflict is part of people’s life. People face conflict, which is called as vertical conflict and horizontal one.

Conflict can potentially arise in Indonesia because of its diversity in terms of ethnicity, religion and social stratification. To that reason, it is essential to understand conflict resolution in order to resolve conflict in a constructive way.

Key Words: conflicts, diversity and conflict resolution

Pendahuluan

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia selalu dihadapkan pada dua modus eksistensi. Menurut Fromm, ada dua modus eksistensi manusia, modus pertama adalah kecenderungan untuk “memiliki” (to have) dan modus keduanya adalah kecenderungan untuk “ingin menjadi” (to be).1 Modus pertama mengarah kepada keinginan yang kuat untuk memiliki “to have” sesuatu dalam bentuk material dengan simbol-simbol statusnya, seperti merasa sebagai kelompok eksklusif yang terhormat. Sangat menarik dicermati karena obsesi kepemilikan ini justru lebih kuat pada status dan kekuasaan. Karena itu, nafsu memiliki ini menjadi tidak sehat dan bahkan menimbulkan letupan-letupan konflik di masyarakat.

Modus kedua dari eksistensi manusia ini adalah ingin menjadi “to be”, seseorang yang berkepribadian, mengaktualisasikan diri melalui ikhtiar dan kerja keras, sehingga terpenuhinya identitas diri berlangsung melalui proses. Tentu saja dorongan semacam ini erat kaitannya dengan kesadaran manusia akan kodratnya, akan potensinya yang tidak saja sekedar menerima dan menimbun kepemilikan, tetapi ada orientasi yang berlandaskan perilaku produktif yang konstruktif, memberi, dan tidak lepas dari restu masyarakat. Saat to have (kecenderungan untuk memiliki) lebih dominan daripada to be (kecenderungan untuk ingin menjadi) maka akan melahirkan konflik. Oleh karena itu tulisan ini akan memaparkan hakekat konflik dalam masyarakat dan resolusi konflik dalam perspektif komunikasi.

* Diterima tanggal naskah diterima: 14 Maret 2015, direvisi: 23 Maret 2015, disetujui untuk terbit: 30 April 2015.

1 Fromm, Erich, To Have or To Be?, (New York: Continuum, 2008, originally published in 1976).

(3)

Jakiatin Nisa Page 91 Hakekat Konflik dalam Masyarakat

Konflik pada hakekatnya merupakan keniscayaan bagi manusia yang memiliki struktur tubuh yang terdiri dari akal, roh dan raga, yang masing-masing memiliki tuntutan serta keinginan yang beraneka ragam. Keinginan manusia tidak terbatas (to have), manusia menuntut dibebaskan dari berbagai penyakit, malapetaka, dan kekuatan alam agar ia dapat hidup. Mereka pun menuntut kehormatan-kehormatan lain bagi kehidupan, yang pada akhirnya menghadapkan mereka pada realitas yang sangat pelik dan kompleks. Satu sisi, di hadapannya telah hadir keburukan-keburukan yang sudah menjadi hakekat alam, namun di sisi lain juga ada kebaikan-kebaikan yang bakal menghadapi keburukan itu, sehingga mereka dapat bertahan hidup sekaligus menguasainya. Sebagaimana firman Allah yang menerangkan tentang keniscayaan konflik, yaitu pada alquran Surat Al-Baqarah [2]: 251 yang diterjemahkan sebagai berikut:

“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendakiNya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”

Manusia memang pada dasarnya memiliki kecenderungan berkonflik antara satu dengan yang lainnya, dan selalu berusaha pula untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Karena hakekat tersebut manusia selalu dihadapkan dengan banyak konflik, terlebih konflik yang terjadi di masyarakat, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, masyarakat Indonesia terbagi atas lapisan-lapisan kelas sosial yang terbentuk dengan sendirinya dan sudah seharusnya ada dalam struktur sosial masyarakat. Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk, sehingga memunculkan keanekaragaman dalam berbagai aspek yang juga menyebabkan adanya lapisan sosial yang beragam. Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua cirinya yang bersifat unik.2 Dua jenis pelapisan masyarakat Indonesia ialah pelapisan secara horizontal dan pelapisan secara vertikal. Pelapisan horizontal di indikasikan dengan adanya perbedaan ras, agama, serta adat istiadat yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Sedangkan pelapisan vertikal di indikasikan dengan adanya lapisan atas dan lapisan bawah yang didasarkan atas tingkatan ekonomi dan tingkatan-tingkatan lain seperti pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Pelapisan secara

2 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 28.

(4)

Jakiatin Nisa Page 92 vertikal dalam masyarakat Indonesia dinilai cukup mengkhawatirkan dengan adanya kesenjangan yang begitu kentara antara lapisan atas dan lapisan bawah. Keadaan ini pula yang menjadikan Indonesia selalu dihadapkan pada potensi konflik dalam masyarakatnya.

Konflik yang dapat terjadi dalam dua macam, yaitu konflik yang bersifat ideologis, dan konflik yang bersifat politis.3

Dalam konflik ideologis, konflik tersebut muncul dalam perbedaan presepsi dari berbagai golongan masyarakat dalam menyikapi suatu hal. Sementara di tingkatan politis, konflik terjadi disebabkan karena adanya pertentangan dalam pembagian sumber kekuasaan. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan konflik yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dapat diminimalisir dengan menyelesaikan konflik secara konstruktif (resolusi konflik).

Menurut Killman dan Thomas (1978) dalam Susan (2010), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.4

Konflik adalah suatu proses antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi tidak berdaya. Konflik itu sendiri merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat maupun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggota atau antar kelompok masyarakat lainnya, konflik itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik yang dapat terkontrol akan menghasilkan integrasi yang baik, namun sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan suatu konflik.

Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn dalam Susan (2010), yang dimaksud dengan konflik adalah:

“Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another” yang memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.5

3 Ibid., h. 63

4 Susan, Novri, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 50

5Ibid.

(5)

Jakiatin Nisa Page 93 Menurut Stoner, konflik adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.

Konflik menurut Robbins (1996) dalam Sumaryanto (2010) adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh terhadap pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Robbin membagi pandangan ini menjadi 3 bagian, yaitu (1) Pandangan Tradisional, pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik ini suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-orang dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan tersebut.

(2) Pandangan Kepada Hubungan Manusia, pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi didalam suatu kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena didalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi tersebut. (3) Pandangan Interaksionis, pandangan ini menyatakan bahwa mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya suatu konflik.

Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif dan tidak inovatif. Oleh karena itu, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat dan kreatif.6

Pemerintah mencatat angka peristiwa konflik horizontal yang terjadi di daerah pada tahun 2013 menurun, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2012). Dalam tahun 2013 sampai dengan awal Desember ini, ada 85 peristiwa konflik, lebih rendah dibanding tahun 2012 yaitu 128 peristiwa konflik.7 Menurut beberapa sumber, berikut beberapa konflik sosial (horizontal) yang terjadi pada masyarakat Indonesia.

No Tanggal/Tahun

Konflik Konflik Penyebab

1 6 Juli 2000 dan

10 Juli 2000 Konflik antar desa di

Tegal dan konflik antar Perkelahian dan balas dendam antar kelompok

6Sumaryanto, Manajemen Konflik Sebagai Salah Satu Solusi Dalam Pemecahan Masalah, (Yogyakarta: UNY, 2010) dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-sumaryanto-mkes/6-manajemen-konflik- sebagai-salah-satu-solusi-dalam-pemecahan-masalah.pdf.

7Kemendagri Klaim Konflik di Daerah Menurun dalam

http://nasional.sindonews.com/read/813984/15/kemendagri-klaim-konflik-di-daerah-menurun-1386303904

(6)

Jakiatin Nisa Page 94 kampung di Cilacap (Kamis,

6 Juli 2000) kedua desa, yaitu warga Desa Karang Malang, Kecamatan Kedung Banteng dan warga Desa Harjosari, Kecamatan Suradadi, Tegal, Jawa

Tengah pada

pertunjukan wayang golek dalam sebuah pesta pernikahan.8

2 Desember 2013

Konflik antar mahasiswa dan pemuda

Adanya gesekan antar organisasi pemuda, ulah oknum provokator bahkan pihak aparat.9

3 November 2014

Tawuran Pelajar SMAN 109 dan SMAN 60

Timbulnya pertikaian antar pelajar yang

berimbas pada

terganggunya stabilitas

keamanan dan

ketertiban.

Sumber : Berbagai Surat Kabar 2000, 2013, 2014

Louis R. Pondy dalam Kenan Spaho (2013) merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys Model of Organizational Conflict”.10 Menurutnya, konflik berkembang melalui lima fase secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict Aftermath.

Tahap I; Konflik yang Terpendam (Laten). Konflik ini merupakan bibit konflik yang bisa terjadi dalam interaksi individual ataupun kelompok dalam organisasi, oleh karena set up organisasi dan perbedaan konsepsi, namun masih dibawah permukaan. Konflik ini berpotensi untuk sewaktu-waktu muncul kepermukaan. Konflik laten bersifat mengejutkan, karena datang tiba-tiba dan biasanya sangat berdampak. Konflik laten ini berlaku seperti api di dalam sekam, tak tampak adanya di permukaan, tetapi sangat bermasalah secara tersembunyi di dalam. Gejalanya sulit di deteksi karena bersifat tertutup, justru konflik laten sangat berbahaya. Sama halnya sebuah kekuatan yang disimpan, tentu akan menjadi semakin kuat dan berdaya tinggi bila sewaktu-waktu meledak. Bahaya laten yang tidak terdeteksi dan bisa ditengarai akan menjadi konflik laten yang merusak. Dalam masyarakat yang tertindas misalnya, ketertundukan yang bukan karena kepatuhan dapat menjadi bahaya laten yang terbalik menyerang pada waktunya.

Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini seperti : Saling ketergantungan kerja, perbedaan tujuan dan prioritas, faktor birokrasi, perbedaan status, dan sumber daya yang terbatas.

8Konflik Sosial Kasus Tegal dan Cilacap dalam

http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/279

9Ini Penyebab Konflik Antar Pemuda dan Mahasiswa dalam

http://nasional.sindonews.com/read/819270/15/ini-penyebab-konflik-antar-pemuda-mahasiswa-1387557916

10Spaho, Kenan, Organizational, Communication and Conflict Management, Management, Vol. 18, 2013, 1, pp. 103-118 Professional paper dalam https://www.efst.hr/management/Vol18No1-2013/6-Spaho.pdf.

(7)

Jakiatin Nisa Page 95 Tahap II; Konflik yang Terpersepsi. Fase ini dimulai ketika para aktor yang terlibat mulai mengkonsepsi situasi-situasi konflik termasuk cara mereka memandang, menentukan pentingnya isu-isu, membuat asumsi-asumsi terhadap motif-motif dan posisi kelompok lawan.

Tahap III; Konflik yang Terasa. Fase ini dimulai ketika para individu atau kelompok yang terlibat menyadari konflik dan merasakan pengalaman-pengalaman yang bersifat emosi, seperti kemarahan, frustrasi, ketakutan, dan kegelisahan yang melukai perasaan.

Tahap IV; Konflik yang Termanifestasi. Pada fase ini salah satu pihak memutuskan bereaksi menghadapi kelompok dan sama-sama mencoba saling menyakiti dan menggagalkan tujuan lawan. Misalnya agresi terbuka, demonstrasi, sabotase, pemecatan, pemogokan dan sebagainya.

Tahap V; Konflik Sesudah Penyelesaian. Fase ini adalah fase sesudah konflik diolah.

Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik hasilnya berpengaruh baik pada organisasi (fungsional) atau sebaliknya (disfungsional).

Mengkaji dari hakekat konflik diatas, memperkuat dan memperjelaskan sesungguhnya sangat diperlukan untuk memahami resolusi konflik bagi setiap pribadi maupun kelompok masyarakat Indonesia terutama dalam pendekatan komunikasi.

Resolusi Konflik dalam Perspektif Komunikasi

Konsekuensi makhluk sosial senantiasa menginginkan adanya hubungan dengan manusia lainnya, menjadikan manusia selalu ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya, rasa ingin tahu ini memaksa manusia untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dalam hidup bermasyarakat atau berorganisasi, karena dua modus eksistensi manusia akan menimbulkan suatu konflik pada diri seseorang maupun dengan orang lain. Diperlukan suatu komunikasi yang merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap manusia untuk menyampaikan informasi maupun keinginan dan ketidak inginan baik verbal maupun non verbal. Masyarakat tanpa adanya komunikasi maka tidak akan terbentuk masyarakat atau organisasi kemasyarakatan.

Konflik yang terjadi pada diri seseorang di akibatkan adanya komunikasi yang tidak lancar antara seorang informan dan penerima informasi baik secara langsung maupun tidak langsung, dan konflik yang terjadi dapat menimbulkan adanya perpecahan maupun permusuhan di antara orang tersebut dengan orang lain baik secara individu maupun di dalam suatu masyarakat. Konflik ini adalah suatu realitas unik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan, yang disadari maupun tidak kita sadari akan senantiasa mengiringi semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada seorangpun selama ia hidup yang dapat menghindar dari konflik, namun setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi, menyikapi dan menyelesaikan konflik. Konflik akan terus ada selama roda kehidupan ini berjalan.

(8)

Jakiatin Nisa Page 96 Dalam kehidupannya, manusia memerlukan komunikasi, baik berkomunikasi dengan individu lain maupun dengan kelompok atau masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam suatu kelompok atau masyarakat. Muhammad (2005) menyatakan bahwa pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri, begitu pula halnya bagi suatu organisasi. Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil. Sebaliknya tidak adanya komunikasi akan menimbulkan konflik antara anggota organisasi dan dampaknya mengganggu komunikasi dalam organisasi tersebut.

Brent D. Ruben (dalam Muhammad 2005) menyatakan definisi komunikasi adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasikan lingkungannya dan orang lain.

Muncul pertanyaan, dalam kondisi apa komunikasi mengurangi konflik? Mereka memeriksa empat model komunikasi. Dari model ini mereka mendapatkan tujuh prinsip bagaimana komunikasidapat mengurangi konflik.

Model encoding-decoding memandang komunikasi manusia sebagai masalah pengkodean informasi (misalnya, merumuskan kalimat), transmisi pesan (misalnya, berbicara), dan decoding pesan (misalnya, mendengarkan dan pemahaman). Komunikasi yang sukses membutuhkan saluran yang jelas transmisi, dan kode bersama.

Kesalahpahaman hasil dari pesan salah menerjemahkan, atau dari celah atau suara asing dalam pesan. Dari model ini mereka memperoleh prinsip pertama : "Hindari saluran komunikasi dengan rasio signal-to-noise yang rendah, jika itu tidak mungkin meningkatkan redundansi dengan menegaskan kembali ide yang sama dalam berbagai bentuk.11

Pada model ini disampaikan bahwa komunikasi digambarkan sebagai transfer informasi melalui kode, dan kode ini adalah sistem yang memetakan satu set sinyal ke satu set makna. Dalam paradigma pertama (encoding-decoding) pula hal yang menjadi bahasan penting terkait komunikasi efektif jika pesan-pesan mempunyai arti atau makna yang sama antara si penerima dan pemberi pesan.

Model intensionalis mengakui bahwa kata-kata yang sama dapat memiliki arti yang berbeda. Pada model komunikasi ini melibatkan, mengakui niat komunikatif masing-

11Deutsch, Morton and Coleman, Peter T,The Handbook of Conflict Resolution Theory and Practice. (San Francisco: Jossey-Bass, Publishers, 2000), h.133

(9)

Jakiatin Nisa Page 97 masing. Komunikasi yang efektif membutuhkan latar belakang pengetahuan bersama, terutama bahasa yang sama dan budaya bersama. Miss Communication hasil dari kurangnya latar belakang umum. Miss Communication yang terjadi selama konflik sebagai kata-kata pembicara ditafsirkan sesuai dengan pendengar mereka terbentuk sebelumnya pengertian tentang niat mereka. Prinsip kedua ini mengarahkan pendengar untuk mencoba memahami makna pembicara yang dimaksud.

Model ketiga, Perspektif-Taking- mengarahkan speaker ketika memutuskan apa yang harus dikatakan, untuk mempertimbangkan apa yang pendengar mereka akan membawa mereka berarti. Paradigma ketiga ini mengakui bahwa individu dengan bahasa dan budaya yang sama memiliki perspektif yang berbeda pada dunia. Model ini mengarahkan speakeru ntuk merancang pesan mereka agar sesuai perspektif penonton mereka. Miss Communication dapat terjadi ketika pembicara mengasumsikan lebih kesamaan dalam perspektif dengan pendengar daripada benar-benar ada, atau ketika pemahaman pembicara dari perspektif pendengar berbasis disprasangka dan stereotip yang tidak akurat. Kesulitan lain muncul ketika pembicara secara bersamaan menangani audiens yang berbeda.

Meskipun masalah ini, prinsip keempat penulis mengarahkan speaker untuk mengambil perspektif pendengar, mereka memperhitungkan dalam merumuskan pesan mereka.

Model ke empat adalah Model dialogis, memandang komunikasi sebagai kooperatif (cooperative), proses kolaboratif. Makna muncul dari situasi komunikatif, dan hanya dapat dipahami dalam konteks itu. Model ini tidak seperti yang lain, memperlakukan pendengar sebagai peserta aktif dalam penciptaan pemahaman bersama. "Pendengar aktif mengajukan pertanyaan, mengklarifikasi pernyataan ambigu, dan bersusah payah untuk memastikan bahwa mereka dan rekan mereka memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang telah dikatakan.12

Prinsip lima adalah: Jadilah pendengar yang aktif. Dalam situasi konflik, enam prinsip menunjukkan fokus awalnya pada pembentukan kondisi yang memungkinkan komunikasi yang efektif terjadi. Kerja sama bahwa komunikasi memerlukan, setelah dibentuk, mungkin generalisasi kekonteks lain. 13

Pada prinsip komunikasi, Mulyana (2011) memaparkan beberapa prinsip penting, diantaranya:

Pertama; Berbicara terlalu bersuara rendah atau sebaliknya, sebab bisa menimbulkan persepsi yang berbeda, prinsip ini benar adanya bahkan ketika mengharapkan lawan bicara

12Ibid., h. 140

13Ibid., h. 141

(10)

Jakiatin Nisa Page 98 untuk bersuara keras atau bersuara rendah dan ternyata tidak seperti yang diharapkan, itu benar-benar akan melahirkan konflik baru.

Kedua; Ketika mendengarkan, kita mencoba untuk memahami makna yang dimaksud oleh rekan pembicara, prinsip kedua ini mengisyaratkan untuk mendengarkan terlebih dahulu, hal ini pula menjadi jalan untuk memudahkan memahami maksud dari pihak lawan bicara, namun memang kebanyakan kita selalu dominan berbicara, atau selalu berbicara banyak dengan sedikit mendengarkan.

Ketiga; Ketika merumuskan pesan, selalu mempertimbangkan kata-kata apa yang dipahami oleh teman bicara, prinsip ini cukup mudah dipahami, bahwa ketika kita sangat hati-hati untuk menyampaikan pesan dengan merumuskan terlebih dahulu, hanya bertujuan untuk memudahkan teman bicara memahami pesan.

Keempat; Ketika berbicara, kita harus mengambil perspektif pendengar atau lawan bicara, pada prinsip ini seprtinya tidak mudah untuk dilaksanakan, karena kebanyakan kita (individu) seringnya mengambil perspektif dari diri sendiri, cukup jarang berpandangan dari perspektif orang lain, sehingga kebanyakan konflik menurut saya berawal dari sini.

Satu pihak selalu merasa benar menurut perspektifnya sehingga dengan mudah menyatakan kesalahan kepada pihak lain atau bahkan pada titik yang ekstrim ketika tidak mengambil perpektif orang lain selalu terjadi konflik yang lebih besar seperti konflik yang diakhiri dengan destruktif (perang secara fisik).

Kelima; Jadilah pendengar yang aktif, seperti halnya prinsip ke (2) diatas, bahwa mendengarkan akan jauh lebih memungkinkan untuk tidak terjadi konflik.

Keenam; Fokus awal pembicaraan menciptakan kondisi yang memungkinkan komunikasi yang efektif terjadi. Kerja sama komunikasi itu diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Prinsip ini mengingatkan kita pada awal pembicaraan harus selalu mengupayakan komunikasi efektif.

Ketujuh; Perhatikan bentuk pesan.

Kedelapan; Komunikasi adalah suatu proses simbolik. Komunikasi adalah sesuatu yang bersifat dinamis, sirkular, dan tidak berakhir pada satu titik, tetapi terus berkelanjutan.

Kesembilan; Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi. Setiap orang tidak bebas menilai pada saat orang tersebut tidak bermaksud mengkomunikasikan sesuatu, tetapi dimaknai oleh orang lain, maka orang tersebut sudah terlibat dalam proses berkomunikasi. Gerak tubuh, ekspresi wajah (komunikasi non verbal) seseorang dapat dimaknai oleh orang lain menjadi suatu stimulus.

Kesepuluh; Komunikasi punya dimensi isi dan hubungan. Setiap pesan komunikasi mempunyai dimensi isi dimana dari dimensi isi tersebut kita bisa memprediksi dimensi hubungan yang ada diantara pihak-pihak yang melakukan proses komunikasi. Percakapan diantara dua orang sahabat, dan antara dosen dan mahasiswa di kelas berbeda memiliki dimensi isi yang berbeda.

Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam resolusi konflik.

Pertama; berkompetisi. Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan–bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di

(11)

Jakiatin Nisa Page 99 atas kepentingan bawahan. Kedua; menghindari konflik. Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindar dari situasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menang kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.

Ketiga; Akomodasi, yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.

Keempat; Kompromi atau Negosiasi. Tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama–sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution).

Kelima; Berkolaborasi atau Bekerjasama. Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerjasama (win-win solution). Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.

Penutup

Berdasarkan paparan diatas, diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, adanya konflik tidak hanya dikarenakan dua modus eksistensi manusia, tetapi juga banyak faktor lain yang dapat menimbulkan konflik seperti halnya kemajemukan, lapisan kelas masyarakat atau struktur sosial masyarakat seperti halnya Indonesia. Keadaan ini menjadi potensi yang nyata dalam melahirkan konflik. Dalam kondisi seperti itulah pemahaman akan resolusi konflik menjadi suatu keharusan. Kedua, Dalam perspektif komunikasi, resolusi konflik yang paling utama adalah adanya keinginan yang tulus untuk menyelesaikan konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Jika terdapat keinginan yang tulus untuk menyelesaikan konflik, komunikasi ini dapat memfasilitasi mencapai tujuan ini (resolusi konflik). Komunikasi tidak selalu menjamin resolusi konflik. Memang, komunikasi kebanyakan telah menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, komunikasi benar-benar dapat memperburuk hasil tawar-menawar. Namun, prinsipnya adalah bahwa komunikasi yang buruk sangat mungkin memperburuk konflik. Komunikasi yang baik (efektif), ditambah dengan keinginan yang tulus untuk menyelesaikan konflik dan membuat resolusi konflik menjadi lebih berhasil.

(12)

Jakiatin Nisa Page 100 Pustaka Acuan

Deutsch, Morton and Coleman, Peter T. (2000). The Handbook of Conflict Resolution Theory and Practice. Jossey-Bass, Publishers: San Francisco.

Fromm, Erich. 2008, originally published in 1976. To Have or To Be?. New York:

Continuum.

Ig. Wursanto. 2005. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Maftuh, Bunyamin. (2005). Pendidikan Resolusi Konflik. Program Studi Pkn Sekolah Pascasarjana UPI; Bandung.

Nasikun. 1995. “ Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia dalam Masalah Integrasi

Nasikun. 1995. “ Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia”, dalam Sistem Sosial Indonesia.

Nasional”, dalam Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Pruitt, Dean G. & Jeffrey Z. Rubin. (2009). Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar;

Yogyakarta.

Spaho, Kenan, Organizational, Communication and Conflict Management, Management, Vol. 18, 2013, 1, pp. 103-118 Professional paper dalam

https://www.efst.hr/management/Vol18No1-2013/6-Spaho.pdf.

Sumaryanto. 2010. Manajemen Konflik Sebagai Salah Satu Solusi Dalam Pemecahan Masalah.

Yogyakarta: UNY. dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-sumaryanto- mkes/6-manajemen-konflik-sebagai-salah-satu-solusi-dalam-pemecahan-masalah.pdf.

Susan, Novri. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana Prenada Media Group; Jakarta.

Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta;

Kencana Prenada Media Group.

Wirawan. (2009). Konflik Dan Manajemen Konflik:Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Salemba Humanika;Jakarta.

Website:

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juanita3.pdf, diakses 12 Nopember 2014 http://nasional.sindonews.com/read/813984/15/kemendagri-klaim-konflik-di-daerah-menurun-

1386303904

http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/279

http://nasional.sindonews.com/read/819270/15/ini-penyebab-konflik-antar-pemuda-mahasiswa- 1387557916

http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2082/1/tawuran.pelajar.memprihatinkan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan LMS, interaksi berlangsung menggunakan perangkat yang memungkinkan terjadinya komunikasi baik secara langsung (synchronously) maupun tidak langsung

The Effect of Personal Independence on Entrepreneurial Behavior Case Study on Clothing Traders in Medan Petisah Market Christina Matiur Aruan Program Studi Manajemen, Fakultas