Pendahuluan, fasilitator memberikan pengenalan tentang Al-Quran di tengah masyarakat global (15 menit). Peserta diajak berdiskusi Al-Quran di tengah masyarakat global (85 menit). Setiap peserta diminta menganalisis Al-Quran di tengah masyarakat global (90 menit).
Refleksi, fasilitator memberikan refleksi hasil diskusi dan analisis peserta terhadap Al-Qur'an. Terakhir, fasilitator menutup sesi ini dengan menekankan bahwa Al-Quran harus mampu menjawab tantangan di tengah masyarakat global (10 menit). Tafsir Emansipatoris mengajak masyarakat untuk memahami sejarah teks selain kesetaraan dan kemanusiaan yang terkandung dalam Al-Qur'an.
Ketiga, generasi penerus umat Islam sangat enggan dan menganggap tidak pantas menerima hasil pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an sebagai tafsir. Pemikiran mereka patut dievaluasi lebih lanjut untuk menghidupkan kembali ta'wil Al-Qur'an sebagai upaya mengungkap teks.
Rangkuman
Pentafsiran Al-Qur'an wajib membimbing manusia agar teknologi berada di jalan dan koridor Allah.
Evaluasi
Daftar Pustaka
Waryno Abdul Ghafur, @"Al-Koran and its Tafsir in the perspective of Arkoun" in Abdul MustaqimSahirn Syamsudin (ed), Studi Al-.
Peta Konsep
Refleksi, fasilitator memberikan refleksi hasil diskusi dan analisis peserta mengenai dinamika tafsir Al-Quran (30 menit). Sebagai penutup, fasilitator menutup sesi ini dengan menekankan bahwa penafsiran Al-Quran berkembang sesuai dengan tuntutan dinamika perkembangan masyarakat (10 menit).
Uraian Materi
Dengan demikian, pemahaman atau penafsiran terhadap Al-Qur'an dapat dan harus berubah seiring dengan perubahan keadaan seseorang.16. Misalnya, Riffat Hassan membangun hermeneutika feminis terhadap Al-Qur'an dengan menyusun tiga prinsip penafsiran: Ia memperlakukan teks Al-Qur'an sebagai kitab sastra Arab terbesar (Kitab al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga dilakukan analisis linguistik-filologis terhadap teks tersebut.
Ia berpendapat bahwa kajian Al-Quran harus dihubungkan dengan ilmu sastra dan kritik. Kajian Al-Qur’an sebagai teks linguistik memerlukan penerapan kajian linguistik dan sastra. Menurutnya, hermeneutika Al-Qur'an harus dibangun berdasarkan pengalaman hidup penafsirnya dan dimulai dari situ.
Penafsiran harus dimulai dari kenyataan dan permasalahan manusia, kemudian kembali ke Al-Qur'an untuk mendapatkan jawaban teoritis. Muhammad Mansur, “Amin al-Khuli dan Pergeseran Paradigma dalam Tafsir Al-Qur’an”, dalam Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, Vol.
Skenario Pembelajaran
Emansipasi ini tidak lepas dari sejarah teori kritis, sehingga Tafsir Emansipatoris dapat diartikan sebagai “penafsiran kritis”. Oleh karena itu, penafsiran emansipatoris menjanjikan kebangkitan kembali semangat penting gerakan sosial yang menangani masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Ilmu-ilmu sosial dalam Tafsir Emansipatoris dapat membantu umat Islam mendiagnosis dan memahami permasalahan sosial dan kemanusiaan yang dihadapi umat.
Terakhir, fasilitator menutup sesi ini dengan menekankan bahwa metode penafsiran emansipatoris berbeda dengan penafsiran umum (10 menit). Metode Interpretasi Emansipatoris merupakan simbiosis-sinergi interpretasi tekstual-aktualis-kontekstualis yang bekerja sama. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual: Upaya Menafsirkan Kembali Pesan Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Mahasiswa, 2008), hal.
Penafsiran emansipatoris menawarkan pendekatan struktural dibandingkan pendekatan individual – bahkan dalam konteks pluralitas penafsiran. Sementara itu, Tafsir Emansipatoris menawarkan pendekatan struktural dibandingkan pendekatan individual – bahkan dalam konteks pluralitas penafsiran.
Rangkman
Posisi ini patut diapresiasi dengan baik karena telah memberikan harapan kepada agama-agama untuk mempunyai kepedulian kemanusiaan tidak hanya terhadap pemeluk agama yang sama namun juga bagi seluruh pemeluk agama. Pandangan ini selaras dengan pernyataan Hans Kung bahwa perdamaian di dunia tidak dapat dicapai tanpa perdamaian agama.122 Artinya, perdamaian dunia bergantung pada upaya umat beragama untuk memahami ajaran agamanya dengan baik dan jujur. Hubungan antaragama adalah suatu keadaan di mana agama yang berbeda dapat hidup berdampingan berdasarkan prinsip saling toleransi dan pengertian dalam satu komunitas, dengan tetap menjaga kekhususan masing-masing agama.
Artinya setiap umat beragama mempunyai kepedulian terhadap terciptanya kerukunan, toleransi, keadilan, kesetaraan, persaingan dalam kebaikan dan dialog antaragama. Terkait dengan hakikat keimanan yang menjadi topik hubungan antaragama, Islam menekankan bahwa hakikat keimanan adalah ketundukan dan ketaatan yang utuh kepada Tuhan. Barangsiapa yang tunduk dan taat mengamalkan agamanya sesuai petunjuk Allah, maka dialah seorang muslim dan juga orang yang mempunyai agama yang benar.
Pengakuan terhadap kebenaran hakiki hanya berlaku pada aspek internal, bukan pada paparan eksternal. Pluralitas agama merupakan suatu realitas sosial yang perlu bahwa Islam dalam konteks hubungan antaragama mengakui hak seseorang untuk memilih agama atas kemauannya sendiri, sehingga tidak ada paksaan dalam beragama. Perang dalam realitas masyarakat Islam tidak dilakukan untuk membuat orang lain masuk Islam, namun merupakan bagian dari pemaksaan kebaikan dan keburukan.
Upaya mempererat hubungan antaragama dapat dilakukan dengan mengedepankan sikap saling memahami dan menghormati, seperti tidak mencemooh simbol agama dan mengucapkan salam sebagai doa keselamatan. Ayat-ayat yang secara harfiah menunjukkan permusuhan tidak menunjukkan ajaran yang permanen, melainkan bersifat sementara, tergantung dinamika hubungan antaragama. CRSD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Koalisi Oslo untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.
Prospek Pluralisme: Suara dan Visi dalam Kajian Agama.” Jurnal American Academy of Religion Online, (http://jaar.oxfordjournal.org.). Iman dan Pluralitas Masyarakat Lintas Agama (Pandangan terhadap Kesatuan Kebenaran Universal dan Konstitusi serta Perkembangan Agama-Agama) dalam Doktrin dan Peradaban Islam: Kajian Kritis Terhadap Isu Iman, Kemanusiaan dan Modernitas, Cet.
Uraian Materi 1. Artikulasi Jender
Disebut juga gambar orang mati karena kelemahannya seperti perempuan.127 Kata “perempuan” dalam bahasa Arab mempunyai konotasi inferior, berbeda dengan laki-laki yang mempunyai konotasi superior. Sebagian orang berpendapat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya sebatas perbedaan kodrati. Laki-laki berperan di ranah publik (peran produksi), sedangkan perempuan dianggap bertanggung jawab penuh dalam mengelola ranah domestik dan rumah tangga (peran reproduktif).
Pemahaman seperti ini dapat dibandingkan dengan pandangan Mansoer Fakih yang menyatakan bahwa gender merupakan ciri kodrati laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Allah memberikan seseorang anak perempuan atau laki-laki atau tidak ada keturunan sama sekali sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Qur'an menyebutkan urutan kelahiran dalam tiga hal, yaitu: (1) perempuan, (2) laki-laki, dan (3) laki-laki dan perempuan.
Kata Hawa yang diartikan sebagai wanita yang menjadi istri Adam sama sekali tidak pernah ditemukan dalam Al-Qur'an, bahkan keberadaan Adam sebagai laki-laki pertama dan laki-laki masih menjadi perdebatan. Kemitraan yang setara antara laki-laki dan perempuan Al-Qur'an memberikan pandangan optimis terhadap posisi dan eksistensi perempuan. Laki-laki dan perempuan dari setiap suku mempunyai potensi yang sama untuk menjadi 'âbid dan khalifah.145.
Al-Qur'an antara lain menjelaskan kesetaraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan secara normatif dalam beberapa ayat. Al-Qur'an menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan dapat menjadi saksi dan dalam setiap perkara (QS. Al-Baqarah/2:282), laki-laki dan perempuan diberikan hak waris yang sama (QS. Tafsir ini jelas mempunyai makna universal yaitu Al-Qur'an dan mempunyai implikasi teologis dan psikologis mengenai superioritas laki-laki atas perempuan, seolah-olah perempuan tidak setara dengan laki-laki.
Dengan demikian, ayat ini dapat diartikan bahwa laki-laki adalah pelindung atau penopang perempuan. Laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena kekuatan dan kemampuannya dalam mencari nafkah dan mengurus perempuan. Cita-cita moral Al-Qur’an dalam masalah ini: (1) agar anak yatim terurus dan terurus, (2) keadilan.