Tropical Environments) Tropical Environments)
Volume 3 Number 2 Article 3
8-1-2019
PEMODELAN ALIRAN LAHAR GUNUNG API MERAPI UNTUK PEMODELAN ALIRAN LAHAR GUNUNG API MERAPI UNTUK PERHITUNGAN RISIKO KERUGIAN PADA PENGGUNAAN LAHAN PERHITUNGAN RISIKO KERUGIAN PADA PENGGUNAAN LAHAN TERDAMPAK DI BANTARAN SUNGAI BOYONG, PAKEM, SLEMAN, TERDAMPAK DI BANTARAN SUNGAI BOYONG, PAKEM, SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA
D.I. YOGYAKARTA
Verry Octa Kurniawan
Manajemen Bencana, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, [email protected] Estuning Tyas Wulan Mei
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, [email protected] Danang Sri Hadmoko
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, [email protected]
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jglitrop Part of the Geography Commons
Recommended Citation Recommended Citation
Kurniawan, Verry Octa; Mei, Estuning Tyas Wulan; and Hadmoko, Danang Sri (2019) "PEMODELAN ALIRAN LAHAR GUNUNG API MERAPI UNTUK PERHITUNGAN RISIKO KERUGIAN PADA PENGGUNAAN LAHAN TERDAMPAK DI BANTARAN SUNGAI BOYONG, PAKEM, SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA," Jurnal Geografi Lingkungan Tropik (Journal of Geography of Tropical Environments): Vol. 3: No. 2, Article 3.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jglitrop/vol3/iss2/3
This Research Article is brought to you for free and open access by UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Geografi Lingkungan Tropik (Journal of Geography of Tropical Environments) by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Pemodelan aliran lahar Gunung Api Merapi untuk perhitungan risiko kerugian pada penggunaan lahan terdampak di bantaran Sungai Boyong, Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta
Verry Octa Kurniawan1, Estuning Tyas Wulan Mei2, Danang Sri Hadmoko 2
1Manajemen Bencana, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada
2Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk membuat pemodelan aliran lahar Gunung Merapi di Sungai Boyong. Selain itu penelitian ini juga mengidentifikasi penggunaan lahan yang terdampak dari model tersebut, serta menganalisis risiko kerugiannya menjadi fokus penelitian ini. Pemodelan aliran lahar dibuat menggunakan aplikasi LAHARZ dengan menggunakan data DEMNAS 2018 dan 3 skenario volume lahar bedasarkan kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 1994. Identifikasi penggunaan lahan terdampak dilakukan menggunakan interpretasi citra sentinel 2B 2018 dengan metode Maximum Likelihood Area (MLA) yang dilanjutkan verifikasi dengan metode purposive sampling di lapangan. Analisis resiko kerugian dilakukan dengan menentukan penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi, yang selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakannya berdasarkan tingkat bahaya aliran lahar. Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh dari volume lahar dan kelerengan Gunung Merapi terhadap penggunaan lahan di sekitarnya. Proses generalisasi pada data DEM tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap model aliran lahar. Morfologi sungai sangat berpengaruh dalam output pemodelan. Citra Sentinel-2B sesuai untuk identifikasi penggunaan lahan eksisting dengan skala yang digunakan adalah 1:10.000. Penggunaan lahan terdampak terklasifikasikan menjadi 6 dan 3 diantaranya memiliki nilai ekonomi yaitu permukiman, bangunan, dan sawah. Terdapat 16 Dusun yang terdampak bahaya aliran lahar dengan penggunaan lahan permukiman yang paling besar total kerugiannya, sedangkan penggunaan lahan sawah paling luas area terdampaknya.
Keywords: Lahar, Merapi, Penggunaan Lahan, Risiko
Abstract. This study aims to conduct lahar of Mount Merapi on the Boyong River modeling. In addition, this study also to identificate the affected land use of the model, and analyze the risk of loss which are the focus of this study. Lahar modeling was made by using the LAHARZ application from DEMNAS 2018 data and 3 lahar volume scenarios based on the eruption of Mount Merapi in 1994. Identification of affected land use was carried out by using Sentinel-2B 2018 image interpretation with Maximum Likelihood Area (MLA) method, continued by verification using
purposive sampling method in the field. Loss risk analysis was done by determining land use that has an economic value, which followed by classifying the level of damage based on the hazard level of lahar. The results of this study showed the effect of volcanic lahar volume and slope of Mount Merapi on surrounding land use. The generalization process in the DEM data did not have a significant difference to the lahar model. River morphology is very influential in this modeling output. Citra Sentinel-2B is suitable for identifying existing land use with the scale used is 1:10.000.
The use of affected land was classified into 6 and 3 of which have economic values, namely settlements, buildings, and rice fields. There are 16 hamlets that are affected by the danger of lahar with residential land use which has the greatest total loss, while the use of wetland areas is the most extensive area of this danger.
Keywords: Lahar, Landuse, Merapi, Risk
1. Pendahuluan
Gunung Api Merapi merupakan gunung api teraktif di wilayah Indonesia. Posisi geografis Merapi berada pada koordinat 7°32′31″LS 110°26′46″BT dan berada di wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan sejarah tercatat sejak tahun 1600-an Gunung Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun (Purba et al., 2015).
Ancaman bencana yang dapat disebabkan Gunung Api Merapi dapat berupa awan panas, abu vulkanik, dan lahar. Lahar merupakan gambaran aliran yang melibatkan campuran material vulkanik besera aliran air yang berada di sekitarnya yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi (Machado et al., 2015).
Sungai Boyong merupakan salah satu sungai yang menjadi jalur aliran lahar ketika Gunung Api Merapi mengeluarkan material piroklastiknya. Setelah erupsi tahun 2010, bentukan kubah lava Merapi mengarah ke selatan yang berpotensi menyebabkan arah pelepasan material Gunung Api terkonsentrasi ke bagian selatan. Sungai Boyong juga memiliki sejarah erupsi yang menyebabkan sejumlah korban jiwa di Dusun Turgo, Purwo Binangun, Pakem, Sleman dengan volume lahar mencapai 2.500.000 m3 pada tahun 1994 silam (Abdurachman et al., 2000). Potensi aliran lahar di Sungai Boyong menjadi sangat penting untuk dapat mengantisipasi saat terjadi erupsi Merapi.
Lahar merupakan salah satu ancaman bencana yang disebabkan oleh erupsi Gunung Api Merapi yang masih diperlukan pemodelan dengan beberapa variasi skenario. Pemodelan lahar bermanfaat untuk mengidentifikasi dampak penggunaan lahan yang berada di sekitar area yang dilalui lahar.
Penggunaan lahan dapat menjadi tolok ukur dalam memperkirakan kerugian yang disebabkan oleh bencana di suatu wilayah. Data terbaru diperlukan untuk mendukung analisis pada kondisi masa kini.
Daerah rawan bencana diperoleh dengan menggunakan parameter data penginderaan jauh, lokasi kejadian dari peristiwa sebelumnya, kondisi topografi dan kerentanan area yang terpapar bencana (Becceril et al., 2013; Yulianto et al., 2016; Konstantinou, 2014). Analisis overlay dengan peta bahaya dan penggunaan lahan dapat menjelaskan dampak dari kerusakan yang disebabkan erupsi gunung api (Yulianto et al., 2013). Kim et al., 2014 menggunakan analisis AHP dalam SIG untuk mengklasifikasikan aspek dari lingkungan terbangun yang bervariasi. Salah satu hasilnya adalah pemetaan zona potensi bahaya yang menjadi pertimbangan perencanaan pembangunan (Lee et al., 2015). Penelitian ini menggunakan pemodelan dalam merumuskan peta bahaya dalam menganalisis penggunaan lahan yang terdampak. Analisis penggunaan lahan terdampak aliran lahar menjadi dasar dalam perhitungan risiko kerugian yang bermanfaat dalam mitigasi bencana.
Tujuan dalam penelitian ini untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada dengan merumuskannya sebagai berikut: (1) membuat model bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi yang melalui Sungai Boyong; (2) mengidentifikasi penggunaan lahan eksisting di area terdampak aliran lahar Gunung Api Merapi; (3) menganalisis kerugian penggunaan lahan di area terdampak aliran lahar Gunung Api Merapi.
2. Metodologi
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian tentang pemodelan aliran lahar Gunung Merapi untuk perhitungan resiko kerugian pada penggunaan lahan dilakukan di 16 Padukuhan dari 3 Desa di area terdampak di sebagian Sungai Boyong. Sebagian wilayah penelitian tercakup dalam kawasan rawan bahaya (KRB). Kegiatan masyarakat yang cukup massive mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara signifikan.
Lokasinya yang berdekatan dengan Gunung Api Merapi mengharuskan masyarakat meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bahaya erupsi Merapi. Berikut Gambar 1 menjelaskan lokasi penelitian.
Gambar 1. Lokasi penelitian 2.2 Pemodelan Aliran Lahar Gunung Merapi
Terkait Pemodelan aliran lahar menggunakan data Digital Elevation System (DEM) sebagai dasar memahami kondisi topografi di daerah penelitian. Informasi yang digunakan untuk interpolasi data DEM adalah menggunakan Data DEMNAS yang memiliki resolusi 8,1 m. Model topografi yang didapatkan berguna untuk mengidentifikasi arah aliran lahar dengan skenario-skenario tertentu. Proses pemodelan aplikasi LAHARZ dijelaskan pada Gambar 2 berikut.
DATA DEMNAS Res 8,1m
Resample Resolusi 10 m
Create Surface Hydrology
Generate New Stream Network
Hazard Zone Proximal
Laharz Distal Zones
Raster to Shapefile
Model Bahaya Lahar Merapi Skenario
Volume Lahar
Gambar 2. Proses pemodelan LAHARZ
Pemodelan dilakukan dengan menggunakan aplikasi LAHARZ dengan menggunakan data DEM dan histori volume lahar gunung api yang didapat dari studi literatur. Aplikasi tersebut mampu melakukan pemodelan aliran lahar untuk dapat dipetakan menjadi sebuah peta bahaya aliran lahar.
Pemodelan lahar selanjutnya akan dibuat tiga simulasi dengan mendasarkan pada kejadian erupsi tahun 1994 di sungai boyong dengan volume 2.500.000 m3 (Abdurrahman et al., 2000). Total volume lahar tersebut dibagi menjadi 3 skenario yang dijelaskan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Skenario pemodelan lahar Skenario Volume Lahar Keterangan
Model 1 500.000 m3
Volume tingkat rendah dalam model aliran lahar Merapi. Mendekati dengan laporan mongguan BPPTKG Merapi 4 Juli 2019 yang kurang lebih volume kubah lava mencapai 475.000 m3 (BPPTKG, 2019)
Model 2 800.000 m3 Volume tingkat sedang dalam model aliran lahar merapi
Model 3 1.200.000 m3 Volume tingkat tinggi dalam model aliran lahar merapi
Total 2.500.000 m3 Total erupsi Merapi tahun 1994 di aliran Sungai Boyong (Abdurrahman, 2000)
2.3 Peta Bahaya Lahar Gunung Api Merapi
Pembuatan peta bahaya lahar Gunung Api Merapi berdasarkan dari hasil pemodelan aliran lahar. Peta bahaya lahar akan dirumuskan sesuai dengan jumlah simulasi yang telah dilakukan. Klasifikasi tingkat bahaya lahar dilakukan dengan metode buffer dari sungai. Penjelasan tingkat klasifikasi bahaya dijelaskan pada pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Klasifikasi Peta Bahaya Lahar
Klasifikasi Keterangan
Rendah Hasil pemodelan dilakukan buffer dari sungai < 50m Sedang Hasil pemodelan dilakukan buffer dari sungai 50m – 150m Tinggi Hasil pemodelan dilakukan buffer dari sungai > 150m
Klasifikasi tersebut berdasarkan dengan tingkat distribusi volume lahar yang telah dilakukan dengan pemodelan aliran lahar menggunakan LAHARZ. Peta bahaya akan dibuat sesuai dengan jumlah model yaitu 3 peta bahaya aliran lahar.
2.4 Identifikasi Penggunaan Lahan Terdampak Aliran Lahar
Penggunaan lahan eksisting di sepanjang Sungai Boyong dilakukan dengan melakukan interpretasi dengan menggunakan Citra Sentinel-2B data tanggal 27 Agustus 2018. Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan antara lain: Sawah, Vegetasi, Permukiman, Bangunan, Kolam, dan Lahan Terbuka. Penggunaan Lahan eksisting dapat diperoleh menggunakan dua metode yaitu interpretasi citra secara manual dan menggunakan Maximum Likelihood Algorthm (MLA). MLA merupakan supervised classification dengan pendekatan kelas yang ditandai diasumsikan memiliki distribusi normal.
Piksel yang telah ditentukan kelasnya akan terklasifikasi ke kemungkinan yang paling besar. Titik sampel dengan penentuan kelasnya menjadi penting supaya setiap kelas memiliki distribusi yang normal (Mishra et al., 2017). Penelitian akan menggunakan metode MLA yang diterapkan dalam interpretasi citra Sentinel-2B. Klasifikasi menggunakan MLA sering digunakan untuk melakukan analisis penggunaan lahan dan penutup lahan (Setiawan et al., 2006). Hasil interpretasi penggunaan lahan selanjutnya dilakukan overlay dengan peta bahaya aliran lahar untuk mendapatkan Peta Penggunaan Lahan terdampak.
2.5 Analisis Risiko Kerugian Dapak Aliran Lahar
Analisis Risiko Kerugian dampak aliran lahar dilakukan dengan melakukan estimasi kerugian untuk masing-masing penggunaan lahan yang telah dilakukan overlay dengan peta bahaya. Risiko kerugian diklasifikasikan bedasarkan padukuhan yang terdampak. Berikut dasar dalam melakukan perhitungan kerugian dijelaskan dalam Tabel 3 dan Tabel 4 berikut.
Tabel 3 Perhitungan resiko kerugian sawah tanam padi
*Sumber : Kecamatan Pakem Dalam Angka Tahun 2018, 2017, 2016. BPS Sleman.
*Berdasarkan Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Giling (GKG) Tingkat Penggilingan Rp 5.298,00 per Mei 2019 (BPS, 2019) Tabel 4. Perhitungan resiko kerugian permukiman dan bangunan
Sumber: Perka BNPB No. 15 Tahun 2011, disesuaikan
3. Metodologi
3.1 Pemodelan Aliran Lahar Gunung Api Merapi
Pemodelan aliran lahar Gunung Api Merapi menggunakan aplikasi LAHARZ dengan menggunakan data DEMNAS yang telah dilakukan generalisasi pada resolusi 10m yang semula beresolusi 8,1m.
Kenampakan zonasi bahaya aliran lahar masing-masing resolui dilakukan perbandingan untuk mengidentifikasi perbedaan hasil di kedua resolusi tersebut. Pemodelan dilakukan pada kedua resolusi untuk membandingkan perbedaan zonasi aliran lahar yang dimodelkan.
Hasil yang didapatkan pada kedua resolusi tersebut memiliki perbedaan zonasi yang tidak terlalu berbeda. Data DEMNAS dengan resolusi 8,1m memiliki zonasi yang sedikit lebih lebar namun tidak signifikan karena zona melebar pada piksel yang memiliki nilai lebih rendah. Generalisasi yang dilakukan pada data DEMNAS menjadi resolusi 10m masih relevan karena tidak mengubah bentuk dasar zonasinya dengan resolusi awalnya. Berikut peta perbandingan zonasi aliran lahar Gunung Api Merapi ditunjukkan pada Gambar 3.
(a) (b)
Gambar 3. Perbandingan resolusi citra dengan zonasi aliran lahar (a) Peta bahaya lahar data DEMNAS resolusi 8.1m
(b) Peta bahaya lahar data DEMNAS resolusi 10m
Hasil perbandingan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Steven et al., 2012) yang membandingkan DEM resolusi 10m yang digeneralisasikan ke 30m dan 90m. Penelitian tersebut menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan kecuali luapan lahar yang bertambah jaraknya 1- 2km.
Verifikasi pada tahap selanjutnya adalah dengan membandingkan hasil peta bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi dengan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Api Merapi yang diterbitkan oleh BPBD Sleman pada tahun 2018. Perbandingan ini diperlukan untuk menganalisis kesesuaian hasil pemodelan dengan hasil kawasan bahaya yang telah ada. Hasil pemodelan dengan skenario volume lahar terbesar mencakup pada area KRB I dan KRB II. Luasan KRB mencakup area yang cukup luas di area kajian, berbeda dengan hasil dari pemodelan bahaya aliran lahar. Hasil
pemodelan aliran lahar Gunung Api Merapi berfokus pada penampang sungai yang dilalui lahar, sehingga fokus dari luapan bahaya lahar berada pada sisi Sungai Boyong. Peta KRB yang dihasilkan oleh BPBD Sleman, 2018 bersifat umum dengan mencakup seluruh potensi bahaya yang disebabkan oleh Erupsi Gunung Api. Pemodelan aliran lahar hanya berfokus pada bahaya aliran laharnya saja yang sangat berkorelasi dengan bentuk morfologi sungai tersebut.
Gambar 4 menunjukkan bahwa peta KRB memiliki luasan yang besar pada utara area kajian, sedangkan pada hasil pemodelan luasan di sisi utara lebih sempit daripada di selatan area kajian.
Kondisi tersebut disebabkan dari morfologi sungai yang cenderung lebih dalam dan lebar di sisi utara area kajian dibandingkan dengan isi selatan. Secara garis besar pemodelan bahaya aliran lahar Gunung Api di penelitian ini relevan karena tercakup dalam peta KRB menurut BPBD Sleman. Perbedaan yang terjadi dari penelitian ini dengan peta KRB karena hasil dari pemodelan hanya berfokus pada satu aspek bahaya dari Gunung Api Merapi yaitu lahar. Kedetilan dengan menggunakan resolusi citra digital sebesar 10m pada pemodelan ini juga berpengaruh dalam tingkat keakuratannya.
Gambar 4. Perbandingan Bahaya Aliran Lahar Gunung Api Merapi Versi BPBD Sleman, 2018 dengan Pemodelan LAHARZ 3.2 Model 1 Aliran Lahar Gunung Api Merapi
Model aliran lahar Gunung Merapi yang pertama menggunakan luasan volume lahar sebesar 500.000 m3. Besaran volume tersebut merupakan volume terkecil dalam keseluruhan pemodelan aliran lahar Gunung Merapi pada penelitian ini. Nilai yang diterapkan berdasarkan laporan mingguan aktivitas Gunung Merapi oleh BPPTKG sejak Januari hingga Juli 2019. Laporan tersebut cenderung konsisten
karena volume kubah merapi berada di antara 400.000 m3 hingga 500.000 m3 (BPPTKG, 2019).
Pemodelan yang pertama ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi terbaru dari Gunung Merapi.
Model aliran lahar pertama pada sungai boyong melewati 11 Dusun yang berada di dua desa yaitu Desa Purwobinangun dan Desa Candibinangun. Lahar melalui sepanjang aliran Sungai Boyong di area kajian sejauh 4,5 km. Luasan aliran lahar mencakup 58,82 ha di sepanjang Sungai Boyong pada area kajian. Klasifikasi bahaya sedang mendominasi pada model ini, yaitu seluas 32 ha. Klasifikasi bahaya tinggi mencakup 26,76 ha dan 0,06 ha merupakan luasan klasifikasi bahaya rendah.
Peta bahaya aliran lahar model 1 menunjukkan Dusun Jamblangan dan Kumendung mengalami dampak yang cukup luas. Lebih dari 13 hektar dibandingkan dengan Dusun yang lain walaupun area lebih rendah dibawahnya justru lebih kecil dampak yang diterima dari aliran lahar. Dampak yang cukup besar di dua Dusun tersebut disebabkan oleh sedimentasi dasar sungai serta tidak terlalu luasnya penampang sungai. Luapan lahar dapat keluar ke tempat yang lebih rendah jika badan sungai sudah tidak kuat untuk menampung. Berikut Gambar 5 dapat menunjukkan hasil pemodelan aliran lahar model 1.
Gambar 5. Peta Persebaran tingkat bahaya aliran lahar di Sungai Boyong Model 1 3.3 Model 2 Aliran Lahar Gunung Api Merapi
Model 2 dalam pemodelan aliran lahar Gunung Merapi menggunakan volume lahar sebesar 800.000 m3 sebagai bentuk skenario sedang dari total erupsi tahun 1994 yang sebesar 2.500.000 m3. Model 2 ini cakupan area lebih luas dari model sebelumnya dan aliran lahar lebih ke arah selatan dari Sungai
Boyong. Perbedaan jarak luncuran lahar ini sekitar 1,5 km lebih jauh dari model pertama sehingga terdapat 3 Dusun yang berada di selatannya terdampak. Dusun tersebut antara lain Dusun Samberembe, Sembung, dan Bulus II. Dusun Jamblangan dan Kumendung berada pada cakupan lahar yang luas dibandingkan dengan Dusun lainnya.
Peta bahaya aliran lahar model 2 terlihat adanya pelebaran jangkauan dari lahar. Pelebaran tersebut terlihat pada bagian paling selatan cakupan lahar. Sedimentasi sungai dapat terlihat bahwa semakin ke tempat yang rendah maka sedimentasinya lebih banyak. Faktor penambangan pasir juga masif dilakukan pada daerah utara Sungai Boyong sehingga mempercepat revitalisasi sungai. Area selatan Sungai Boyong walaupun masih berupa penambangan pasir secara personal namun tidak semasif dengan apa yang terjadi di sisi utara Sungai Boyong. Penambangan pasir menjadi positif dalam proses revitalisasi sungai namun memiliki sisi negatif karena hal tersebut berpengaruh pada penurunan muka air tanah. Tingkat ketinggian dari area di sekitar Sungai Boyong berpengaruh dalam distribusi aliran lahar yang memiliki dampak di area sekitarnya. Gambar 6 merupakan hasil dari permodelan kedua.
Gambar 6. Peta Persebaran tingkat bahaya aliran lahar di Sungai Boyong Model 2
3.4 Model 3 Aliran Lahar Gunung Api Merapi
Model Aliran Lahar ketiga menggunakan volume lahar 1.200.000 m3 yang merupakan skenario tinggi pada pemodelan lahar yang menggunakan total erupsi tahun 1994. Total Dusun terdampak pada model
ini sejumlah 16 Dusun. Dusun Kumendung dan Dusun Jamblangan memiliki luasan paparan lahar yang cukup besar dibandingkan dengan Dusun lainnya. Kedua Dusun tersebut memerlukan perhatian terhadap wilayah Sungai Boyong karena dapat disebabkan pendangkalan dasar sungai di area tersebut.
Luncuran lahar pada model ketiga ini mencapai Dusun Bulus I dan Balong.
Persebaran aliran lahar Gunung Merapi pada model ketiga didominasi pada klasifikasi sedang dengan 75,93 Ha. Luasan lahar tersebar di pertengahan dan di bagian selatan area kajian. Sebaran aliran lahar yang cukup luas perlu mendapatkan perhatian karena sungai yang dangkal menyebabkan lahar meluap dari badan sungai. Pemodelan lahar menggunakan LAHARZ bermanfaat dalam mengetahui arah luncuran lahar dengan skenario volume tertentu. Lahar yang melebihi badan sungai dapat diketahui persebarannya untuk mendapatkan perhatian yang lebih lanjut. Banyak faktor yang menyebabkan lahar meluap hingga melebihi badan sungai, mulai dari besarnya sedimentasi, besarnya volume lahan, hingga elevasi dari masing-masing area. Peta bahaya aliran lahar model 3 dapat dilihat pada Gambar 7 berikut
Gambar 7. Peta Persebaran tingkat bahaya aliran lahar di Sungai Boyong Model 3
3.5 Analisis Zonasi Bahaya Aliran Lahar Gunung Api Merapi
Zonasi bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi di sekitar Sungai Boyong dipengaruhi oleh kondisi topografi di area kajian. Faktor lainnya adalah morfologi dari Sungai Boyong yang berdampak pada aliran lahar Gunung Api Merapi. Kelerengan di sepanjang sungai boyong memiliki kondisi yang miring
dari hulu hingga area kajian. Kondisi lereng yang cukup miring berpengaruh pada jarak dari luncuran aliran lahar yang berdampak pada meluasnya zonasi bahaya aliran lahar. Profil penampang melintang yang diambil dari jembatan Sungai Boyong hingga area kajian paling selatan ditampilkan pada Gambar 8 berikut.
Gambar 8. Profil melintang Sungai Boyong
Hasil pengukuran penampang melintang di lapangan dilakukan di 6 titik sungai yang berawal dari sisi utara Sungai Boyong yaitu di Dusun Ngepring, Purwobinangun, Pakem, Sleman. Lebar sungai di lokasi tersebut cukup besar yaitu 110 meter dengan kedalaman maksimal berada pada 15 meter. Kondisi tersebut terjadi pasca erupsi 2010 yang telah menghancurkan jembatan yang sebelum jauh 10 meter dari jembatan yang sekarang. Sedimentasi di lokasi pertama ini sudah berkurang karena adanya penambangan pasir dan batu. Potensi luapan lahar pada lokasi ini kecil terjadi juga pada hasil dari pemodelan. Gambar 9 menjelaskan penampang melintang di lapangan.
(a)
(b)
Gambar 9. Lokasi pertama pengukuran penampang melintang
(a) Penampang melintang di Sungai Boyong, Dusun Ngepring; (b) Lokasi sampel
Morfologi Sungai Boyong dari hulu ke hilir memiliki tingkat sedimentasi yang berbeda-beda.
Pengukuran penampang melintang pada penelitian ini menunjukkan kondisi sedimentasi yang berbeda- beda. Sisi utara dari Sabo DAM memiliki kedalaman yang dangkal dikarenakan sedimen yang tinggi terhambat oleh Sabo DAM. Tingkat kedalaman di selatan Sabo DAM memiliki kedalaman lebih tinggi daripada sisi utara. Perlunya penanganan dalam normalisasi sedimentasi terutama pada area yang terhambat oleh Sabo DAM agar fungsi dari badan sungai dan Sabo DAM dapat optimal dalam meminimalisir bahaya aliran lahar. Berikut Gambar 10 menunjukkan titik sampel dan penampang melintang di area kajian.
Profile Graph Title
Profile Graph Subtitle
8,000 7,500 7,000 6,500 6,000 5,500 5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 650 600 550 500 450 400 350
Gambar 10. Peta penampang melintang Sungai Boyong
3.6 Identifikasi Luasan Penggunaan Lahan Terdampak
Penggunaan lahan terdampak terbagi menjadi 3 model sesuai dengan model peta bahaya aliran lahar.
Pada model 1 total luasan lahan terdampak adalah 36,92 Ha dengan 5 penggunaan lahan terpapar.
Penggunaan lahan sawah dan vegetasi mendominasi luasan lahan yang terdampak. Vegetasi banyak diidentifikasi pada area sempadan Sungai Boyong, diikuti area persawahan mayoritas berada tidak jauh dari sepanjang Sungai Boyong. Sawah produktif justru menjadi lahan terdampak paling luas tentunya akan berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat jika lahan tersebut dilalui luncuran lahar. Luasan permukiman dari keseluruhan lahan terdampak yaitu 3.03 Ha.Perhatian khusus diperlukan untuk permukiman terdampak sebagai bentuk preventif menimalisir kerugian yang disebabkan luncuran lahar.
Penggunaan lahan bangunan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi karena sabagai lahan usaha juga memerlukan langkah preventif dalam mengatasi bahaya lahar. Berikut Tabel 4.6 menjelaskan distribusi bahaya lahar pada setiap penggunaan lahannya.
Model 2 dari penggunaan lahan terdampak teridentifikasi seluas 70,36 Ha masuk dalam area bahaya aliran lahar. Terdapat peningkatan yang signifikan pada penggunaan lahan sawah dan permukiman. Volume lahar 800.000 m3 menyebabkan semakin luasnya lahar yang keluar dari badan Sungai Boyong. Dusun Kumendung, Jamblangan, dan Glondong memiliki luas penggunaan lahan
terdampak yang cukup besar jika dibandingkan dengan Dusun yang lain. Penggunaan lahan sawah paling banyak terdampak pada Dusun Jamblangan, untuk Dusun Kumendung penggunaan lahan permukiman yang paling banyak terdampak lahar pada model 2 ini. Lahan pertanian yang cukup luas di area Dusun Jamblangan yang berada dalam radius aliran lahar dengan model 2 dapat memiliki kerugian yang cukup tinggi di sektor pertanian. Penggunaan lahan permukiman terdampak paling luas terdapat di Dusun Kumendung. Perkembangan permukiman di area terdampak bahaya lahar akan terus meningkatkan kerentanan di wilayah tersebut.
Pemodelan ketiga mencakup volume lahar 1.200.000 m3, skenario yang diterapkan pada kondisi terburuk dari total volume lahar yang pernah terjadi di Sungai Boyong tahun 1994. Luas penggunaan lahan terdampak bahaya lahar pada model 3 ini mencapai 111,82 Ha. Paparan dari bahaya lahar mencapai selatan Desa Purwobinangun yaitu Desa Donoharjo, tepatnya Dusun Balong. Bahaya aliran lahar melebar keluar dari badan Sungai Boyong Dusun Bulus II dan Dusun Balong terdampak.
Penggunaan lahan permukiman paling luas terdampak berada pada Dusun Bulus II dikarenakan dangkalnya badan Sungai Boyong tidak cukup memuat volume lahar yang besar serta jaraknya yang cukup dekat. Berikut badan Sungai Boyong dan permukiman di Dusun Bulus II ditunjukkan pada Gambar 11 berikut.
(a) (b) Gambar 11. Kondisi Lapangan
(a) Badan Sungai Boyong; (b) Permukiman di dekat badan Sungai Boyong
Penggunaan lahan sawah dan permukiman memiliki dampak yang cukup luas dari bahaya lahar Gunung Merapi. Luas lahan terdampak untuk Sawah mencapai 69,96 Ha, sedangkan permukiman mencapai 20,91 Ha. Kondisi ini perlu menjadi perhatian sebagai langkah preventif saat terjadi erupsi merapi yang besar dengan mengeluarkan lahar dengan volume yang besar. Langkah-langkah preventif perlu dilakukan seperti melakukan revitalisasi sungai agar kedalaman Sungai Boyong dapat terjaga pada titik-titik luapan lahar.
Desa Candi Binangun merupakan wilayah dengan lahan terdampak yang paling luas dengan 63,35 Ha dibandingkan dengan Desa Purwobinangun denga luas 44, 02 Ha. Faktor elevasi sangat berpengaruh dalam distribusi bahaya aliran lahar Gunung Merapi di Sungai Boyong. Hasil pemodelan ketiga menunjukkan arah luapan lahar cenderung ke arah timur Sungai Boyong. Elevasi Desa Candi Binangun dapat diidentifikasi lebih rendah dari Desa Purwo Binangun. Faktor lainnya sempadan sungai di sisi barat Sungai lebih luas dibandingkan di sisi timur yang langsung bersinggungan dengan penggunaan lahan seperti sawah dan permukiman.
3.7 Analisis Penggunaan Lahan Terdampak Aliran Lahar Gunung Api Merapi
Penggunaan lahan di area kajian yaitu Desa Purwobinangun, Desa Candibinangun, dan sebagian Desa Donoharjo memiliki dominasi pada sawah tanam padi. Penggunaan lahan pada tahun 2015 di lereng Gunung Api Merapi secara keseluruhan mayoritas adalah sawah tanam padi 35%; Permukiman 25%;
Lahan Kering 17%; Rumput: 21%; dan Hutan 1% (Lavigne & Morin, 2015). Cakupan area kajian yang lebih detail mengidentifikasi hal yang sama dengan mayoritas penggunaan lahan pertama adalah sawah lalu disusul dengan permukiman sesuai dengan luasan lahan yang terdampak aliran lahar. Dampak dari zona bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi pemodelan pertama paling banyak pada lahan persawahan
yang berada pada radius cukup dekat dengan Sungai Boyong seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12 berikut.
Gambar 12. Peta penggunaan lahan terdampak model 1
Luasan penggunaan lahan terdampak semakin meluas pada model 2 dikarenakan jarak dari zona bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi semakin jauh ke arah selatan. Model 2 dari pemodelan aliran lahar mengakibatkan penggunaan lahan permukiman yang terdamapak semakin meningkat. Berikut Gambar 13 menunjukkan penggunaan lahan yang terdampak pada model 2.
Gambar 13. Peta penggunaan lahan terdampak model 2
Pemodelan ketiga bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi pada menyebabkan semakin luas penggunaan lahan yang terdampak. Luasan pada model ini cukup signifikan dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Jumlah volume yang diterapkan juga paling besar daripada yang sebelumnya menyebabkan luncuran aliran lahar dengan jarak yang lebih jauh dan luapan yang semakin melebar.
Penggunaan lahan sawah, permukiman, dan bangunan terdampak semakin luas. Kondisi morfologi sungai yang semakin ke selatan jumlah sedimentasi pada titik-titik Sabo DAM semakin tebal yang menyebabkan pendangkalan badan Sungai Boyong. Titik-titik luapan dapat diidentifikasi pada pemodelan ini sehingga dapat menjadi perhatian khusus dalam penanggulangan bahaya aliran lahar
Gunung Api Merapi di Sungai Boyong. Berikut Gambar 14 menunjukkan zonasi bahaya lahar yang cukup besar.
Gambar 14. Peta penggunaan lahan terdampak model 3
3.8 Analisis Risiko Kerugian Dampak Aliran Lahar Gunung Api Merapi Terhadap Penggunaan Lahan Eksisting
Analisis risiko kerugian dari dampak aliran lahar Gunung Merapi terhadap penggunaan lahan eksisting berfokus pada lahan yang memiliki nilai kerugian di dalamnya. Dari keenam penggunaan lahan yaitu Sawah, Vegetasi, Permukiman, Bangunan, Lahan Terbuka, dan Kolam hanya 3 penggunaan lahan yang
menjadi fokus penelitian ini. Penggunaan lahan tersebut adalah sawah, permukiman, dan bangunan.
Penentuan tersebut dikarenakan pada penggunaan lahan tersebut merupakan lahan produktif serta lahan tempat manusia melakukan aktivitasnya dalam keseharian. Penggunaan lahan sawah di area kajian mayoritas merupakan lahan tanam padi seperti pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15. Sawah untuk tanam padi
Sawah selain untuk tanam padi, namun pada beberapa lokasi masih ditemukan beberapa petak tanaman salak, cabai, dan selada seperti pada Gambar 16 berikut. Risiko kerugian yang digunakan untuk penggunaan lahan sawah menggunakan mayoritas dari lahan yang ada yaitu tanaman padi.
(a) (b) (c) Gambar 16. Variasi penggunaan lahan sawah
(a) kebun salak; (b) tanam cabe; (c) tanam selada
Penggunaan lahan yang selanjutnya digunakan dalam analisis risiko kerugian yaitu permukiman dan bangunan. Lahan yang digunakan oleh bangunan utamanya digunakan sebagai lahan usaha seperti pabrik hingga bangunan tempat ternak ayam potong yang berada di dekat sempadan sungai.
Permukiman sendiri menurut kondisi dilapangan mayoritas merupakan permukiman permanen sehingga unsur risiko kerugian yang ditimbulkan pun berpotensi besar. Berikut Gambar 17 merupakan gambaran dari penggunaan lahan permukiman dan bangunan di area kajian.
(a) (b) (c) Gambar 17. Penggunaan Lahan Permukiman
dan Bangunan (a) pabrik kayu olahan; (b) permukiman;
(c) bangunan ternak ayam
Persebaran risiko kerugian pada model pertama yang paling besar adalah Dusun Kumendung, Desa Candi Binangun yang mencapai lebih dari 34 Milyar rupiah. Dusun Potrowangsan, Kempul, Baratan, dan Pakisaji masuk dalam klasifikasi sedang serta keselurahannya berada pada Desa Candi Binangun.
Kerugian paling besar berada pada Desa Candi Binangun yang berada di sisi timur Sungai Boyong.
Lahan permukiman, bangunan, dan sawah terdampak banyak terjadi di Desa Candi Binangun. Perhatian perlu diberikan pada banyaknya penggunaan lahan yang berada di dekat badan Sungai Boyong sebagai bentuk antisipasi di saat terjadi erupsi Gunung Merapi. Berikut Gambar 18 menjelaskan persebaran dari risiko kerugian model 1.
Gambar 18. Peta Persebaran Risiko Kerugian Model 1
Penggunaan lahan yang paling besar kerugiannya pada model 1 adalah pada Lahan Bangunan.
Kerugian tersebut dipengaruhi oleh faktor pengalinya yang besar karena bangunan memiliki nilai ekonomi yang besar. Kegiatan usaha sebagai bentuk peningkatan perekonomian masyarakat di luar bidang pertanian banyak dilakukan pada penggunaan bangunan ini. Besaran total kerugian pada penggunaan lahan bangunan dari kedua Desa kajian mencapai hingga 32,06 milyar rupiah. Kerugian tersebut di atas permukiman dengan kerugian hingga 30,55 milyar rupiah dan sawah sebesar 755,8 juta rupiah.
Risiko kerugian pada model 2, Dusun Kumendung masih berada di klasifikasi paling besar kerugiannya dibandingkan dengan dusun lainnya. Dusun Potrowangsan, Kemput, Baratan, Pakisaji, dan Glondong memiliki risiko kerugian di atas 4,6 milyar rupiah hingga 14 milyar rupiah. Dusun lainnya berada pada klasifikasi rendah yaitu dibawah 4,6 milyar rupiah. Terjadi peningkatan risiko kerugian
pada Dusun Glondong. Peningkatan tersebut dikarenakan luasan bahaya aliran lahar yang meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah volume lahar yang diterapkan pada model 2. Berikut Gambar 19 menjelaskan persebaran tingkat kerugian pada model 2.
Gambar 19. Peta Persebaran Risiko Kerugian Model 2
Total risiko kerugian pada model 2 ini mencapai 102,7 milyar rupiah dan di dominasi oleh penggunaan lahan permukiman. Dominasi lahan permukiman ini disebabkan semakin melebarnya bahaya aliran lahar pada model 2. Jangkauan bahaya aliran lahar menjangkau lahan- lahan permukiman yang banyak berada di dekat aliran Sungai Boyong. Lahan permukiman sendiri dapat mencapai kerugian hingga lebih dari 64,7 milyar rupiah, paling tinggi dibandingkan penggunaan lahan Bangunan dan Sawah. Penggunaan lahan bangunan mencapai hingga 36,52 milyar rupiah, sedangkan lahan sawah mencapai 1,52 milyar rupiah. Model 3 untuk risiko kerugian penggunaan lahan yang terdampak bahaya aliran lahar Gunung Merapi mengalami beberapa pergeseran dalam klasiifikasi tingkat kerugiannya.
Peningkatan yang signifian terjadi pada Dusun Bulus II dengan mencapai risiko kerugian hingga 38,2 milyar rupiah. Bahaya aliran lahar pada model 3 ini mencapai Dusun Balong yaitu Dusun paling selatan dari area kajian dan termasuk Desa Donoharjo di luar Kecamatan Pakem. Total terdapat 16 Dusun
dalam 3 Desa yang terdampak bahaya aliran lahar. Terdapat 8 Dusun yang total kerugiannya berada diantara 3,49 Milyar rupiah hingga 18,38 milyar rupiah, 6 Dusun lainnya dibawah 3,49 milyar rupiah.
Berikut Gambar 20 menjelaskan distribusi tingkat kerugian untuk model 3.
Gambar 20. Peta Persebaran Risiko Kerugian Model 3
Peningkatan risiko kerugian lahan permukiman mengalami paling besar daripada penggunaan lainnya. Lebih dari 100% peningkatan kerugian pada lahan permukiman ini mengindikasi semakin besar volume lahar yang terjadi maka semakin luas pula lahan permukiman yang terdampak. Total risiko kerugian pada model 3 ini mencapai 191,39 milyar rupiah. Total kerugian untuk masing-masing penggunaan lahan pada model 3 ini antara lain, permukiman mencapai 132,36 milyar rupiah, bangunan mencapai 56,78 milyar rupiah, dan sawah mencapai 2,24 milyar rupiah.
Dusun dengan peningkatan risiko kerugian dari model 1 hingga model 3 adalah Dusun Kumendung yang termasuk dalam Desa Purwobinangun. Lokasi Dusun ini berada di timur Sungai Boyong. Kerugian yang meningkat cukup besar mengindikasi bahwa banyaknya lahan permukiman yang terdampak. Lahan sawah serta bangunan pun meningkat di Dusun Kumendung ini namun tidak sebesar kerugian yang ditimbulkan oleh lahan permukiman yang terdampak. Peningkatan risiko kerugian secara konsisten terjadi di wilayah selatan dari area kajian. Dusun Bulus II mengalami
peningkatan yang tajam pada model 3 disebabkan meluasnya zonasi bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi yang meluap di area dusun tersebut. Pendangkalan badan Sungai Boyong serta penggunaan lahan yang produktif merupakan faktor pendorong dari besarnya risiko kerugian yang terjadi. Berikut Gambar 21 menjelaskan pergeseran risiko kerugian pada masing-masing model bahaya aliran lahar.
Gambar 21. Grafik pergeseran tingkat kerugian Dusun
Pemodelan bahaya aliran lahar Gunung Merapi tentunya akan menghasilkan hasil yang berbeda-beda pada setiap modelnya. Skenario yang digunakan mulai dari estimasi rendah hingga tinggi. Penggunaan lahan terdampak yang memiliki nilai ekonomi tentunya berpotensi menderita kerugian jika lahar meluap dari badan sungai. Persentase peningkatan tertinggi berada pada lahan permukiman yang mencapai lebih dari 100% pada model 2 dan model 3. Peningkatan yang cukup tinggi ini dikarenakan jangkauan bahaya aliran lahar dapat menjangkau area lahan permukiman yang memang dekat dengan sempadan sungai. Penggunaan lahan sawah mengalami kenaikan yang signifikan dari model 1 ke model 2 hingga 101,52%. Area pada model 2 lahan sawah juga terpapar bahaya aliran lahar yang lebih luas lagi.
Penggunaan lahan bangunan peningkatan yang paling besar terjadi pada model 2 ke model 3. Semakin luas jangkauan dari bahaya aliran lahar maka semakin besar pula tingkat risiko kerugian yang berdampak pada masing-masing wilayah. Berikut Tabel 5 menjelaskan persentase peningkatan risiko kerugian pada masing-masing model.
Tabel 5. Persentase peningkatan risiko kerugian per model pada tiap penggunaan lahan
Penanggulangan bencana yang diakibatkan oleh aliran lahar Gunung Api Merapi diperlukan dengan memperhatikan faktor potensi bahaya serta morfologi sungai yang dilalui. Inovasi dalam konteks perencanaan penggunaan lahan dan pengurangan risiko bahaya alam didefinisikan sebagai kesempatan untuk merencanakan hasil sosial, ekonomi, dan lingkungan yang positif (Saunders &
Kilvington, 2016). Penanganan bahaya aliran lahar terhadap risiko kerugian penggunaan lahan dapat diminimalisir dengan memperhatikan aspek bencana serta dari segi karakteristik pada masing-masing wilayah.
4. Kesimpulan
Pemodelan bahaya aliran lahar Gunung Api Merapi sangat bermanfaat dalam perhitungan kerugian penggunaan lahan yang terdampak. Pemodelan memperhatikan kondisi topografi badan sungai, sehingga morfologi sungai sangat berpengaruh pada zonasi bahaya lahar Gunung Api Merapi. Sungai dengan sedimentasi yang cukup tinggi menjadikan kedalamannya rendah yang menyebabkan luapan lahar pada pemodelan memiliki zonasi yang cukup luas. Jawaban atas tujuan dari penelitian ini dijabarkan dalam 3 poin berikut:
1. Proses generalisasi pada data DEM sebagai input pemodelan aliran Lahar Gunung Api Merapi di aplikasi LAHARZ perbedaannya tidak signifikan sehingga relevan untuk digunakan. Morfologi
sungai yang dilalui oleh aliran lahar berpengaruh terhadap zonasi bahayanya, area dengan sedimentasi yang cukup tinggi mengalami luapan lahar yang luas juga. Area dengan luapan bahaya aliran lahar memiliki morfologi sungai dengan tingkat kedalaman dan lebar yang rendah.
2. Kesesuaian resolusi antara citra digital sebagai analisis penggunaan lahan dengan data DEM sangat penting terhadap tingkat ketelitian peta yang dihasilkan. Citra Sentinel-2B sesuai untuk identifikasi penggunaan lahan eksisting di skala 1:10.000 serta memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi dalam membedakan objek pada metode MLA. Mayoritas penggunaan lahan di area terdampak adalah sawah dan permukiman. Wilayah paling selatan dari area kajian memiliki dampak luapan aliran lahar yang paling besar, sehingga berdampak pada semakin luasnya penggunaan lahan produktif yang terdampak bahaya aliran lahar.
Risiko kerugian bahaya aliran lahar berbanding lurus dengan luasan zonasi bahaya aliran lahar. Semakin luas bahaya aliran lahar di suatu area maka semakin luas pula potensi kerugian yang diderita wilayah tersebut. Lahan permukiman adalah yang paling besar mengalami kerugian, yang dilanjutkan bangunan dan sawah. Perlunya tindakan preventif dalam pengurangan risiko kerugian di sekitar wilayah aliran Sungai Boyong agar meminimalisir lahar yang meluap dari badan sungai.
Daftar Pustaka
Abdurachman, E. K., Bourdier, J. L., & Voight, B. (2000). Nuées ardentes of 22 November 1994 at Merapi volcano, Java, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 100(1–4), 345–361.
Becceril, L., Capello, A., Galindo, I., Neri, M., & Del Negro, C. (2013). Spatial probability distribution of future volcanic eruptions at El Hierro Island (Canary Islands, Spain). Journal of Volcanology and Geothermal Research, 257, 21-30.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2011). Peraturan Kepala BNPB Nomor 15 Tentang Pedoman Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana. Hal-124: Jakarta.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman. 2018. Peta Kawasan Bencana Gunung Api Merapi. Diakses pada tanggal 1 Juli 2019 pukul 19.30 dari data geo-portal Kabupaten Sleman http://geoportal.slemankab.go.id/documents/28.
Badan Pusat Statistik. (2018). Kecamatan Pakem Dalam Angka 2018, 2017, 2016. Sleman.
Badan Pusat Statistik. (2019). Nilai Tukar Petani (NTP) Mei 2019 Sebesar 102,61 Atau Naik 0,38 Persen. Diakses pada tanggal 20 Juli 2019 Pukul 20.00 WIB https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/06/10/1602/nilai-tukar-petani--ntp--mei-2019-sebesar- 102-61-atau-naik-0-38-persen.html.
Badan Informasi Geospasial. (2018). Lembar 1408-24. Diakses pada tanggal 17 April 2019 pukul 13.32 WIB dari Data DEMNAS: http://tides.big.go.id/DEMNAS/Jawa.php
BPPTKG. (2019). Laporan Aktivitas Gunung Merapi tanggal 28 Juni 2019 – 4 Juli 2019. Diakses pada tanggal 5 Juli 2019 Pukul 13.00 WIB http://merapi.bgl.esdm.go.id/pub/page.php?idx=400.
Kim, H. Y., Choi, Y., Kim, H., & Oh, S. H. (2014). Planning for the suitable? land use suitability and social and ecological factors for locating a new hazardous facility. KSCE Journal of Civil Engineering, 20, 359–366.
Konstantinou, K. I. (2014). Potential for future eruptive activity in Taiwan and vulnerability to volcanic hazards. Natural Hazards, 75(3), 2653–2671.
Lavigne, F., & Morin, J. (2015). The Atlas of Merapi volcano The Atlas of Merapi volcano.
Lee, S. K., Lee, C. W., & Lee, S. (2015). A comparison of the Landsat image and LAHARZ-simulated lahar inundation hazard zone by the 2010 Merapi eruption. Bulletin of Volcanology, 77(6), 1-13.
Machado, G., Lupiano, V., Avolio, M. V., Gullace, F., & Di Gregorio, S. (2015). A cellular model for secondary lahars and simulation of cases in the Vascún Valley, Ecuador. Journal of Computational Science, 11, 289–299.
Mishra, V.N., Prasad, R., Kumar, P., Gupta, D.K., & Srivastava, P.K. (2017). Dualpolarimetric C-band SAR data for land use/land cover classification by incorporating textural information.
Environmental Earth Sciences, 76(1), 26.
Purba, Dhika R., & Purqon, A. (2015). Analisa Statistik Erupsi Gunung Merapi. Prosiding SKF 2015, 452-457.
Saunders, W., & Kilvington, M. (2016). Innovative land use planning for natural hazard risk reduction:
A consequence-driven approach from New Zealand. International Journal of Disaster Risk Reduction, 18, 244–255.
Setiawan, H., Mathieu, R., & Thompson-Fawcett, M. (2006). Assessing the applicability of the V-I-S model to map urban land use in the developing world: Case study of Yogyakarta, Indonesia.
Computers, Environment and Urban Systems, 30(4), 503–522.
Yulianto, F., Sofan, P., Khomarudin, M. R., & Haidar, M. (2013). Extracting the damaging effects of the 2010 eruption of Merapi volcano in Central Java, Indonesia. Natural Hazards, 66(2), 229–
247.
Yulianto, F., Suwarsono, & Sofan, P. (2016). The Utilization of Remotely Sensed Data to Analyze the Estimated Volume of Pyroclastic Deposits and Morphological Changes Caused by the 2010???2015 Eruption of Sinabung Volcano, North Sumatra, Indonesia. Pure and Applied Geophysics, 173(8), 2711–2725.