• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA: LESSON FROM COVID-19

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA: LESSON FROM COVID-19"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

79 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2022 01501 5

PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA: LESSON FROM COVID-19

Natalia Yeti Puspita

Fakultas Hukum, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jalan Jenderal Sudirman No 51 Jakarta 12930

Email: [email protected] Disubmit: 12-07-2021 | Diterima: 19-04-2022 Abstract

In its application, the state’s primary responsibility principle is often challenged by the ability and the willingness of a country in overcoming various disasters that are massive such as the Covid-19 pandemic. This paper analyzes the importance of reconceptualizing of the state sovereignty principle in disaster management especially in Indonesia by learning from the Covid-19 response. This is a normative juridical research. This results shows that a state sovereignty in disaster conditions should be understood as a form of state responsibility to protect its people by welcoming an international cooperation in the form of humanitarian assistance when such a country is unable or unwilling to overcome. The condition of a strong or a weak government can be the most important benchmark for determining the acceptance of international assistance. This of course, can be a recommendation for the Indonesian government to stop the polemic of receiving or seeking international assistance related to the legal implications of establishing the status of a national disaster in Indonesia.

Key words: reconceptualizing, the principle of state sovereignty, disaster management, Covid-19, international assistance.

Abstrak

Dalam praktik, penerapan prinsip state’s primary responsibility seringkali dihadapkan pada sebuah tantangan berupa kondisi kemampuan dan kemauan suatu negara dalam menghadapi bencana yang terjadi secara tiba-tiba, besar, dan bersifat meluas seperti adanya pandemi Covid- 19. Tulisan ini menganalisis pentingnya rekonseptualisasi prinsip kedaulatan negara dalam penanggulangan bencana khususnya di Indonesia dengan belajar dari penanggulangan Covid- 19. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normative. Hasilnya bahwa kedaulatan negara dalam kondisi bencana hendaknya dipahami juga sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya dengan membuka kerja sama internasional dalam bentuk bantuan kemanusiaan, ketika negaranya tidak mampu atau tidak mau menanggulanginya. Kondisi pemerintahan yang kuat atau lemah dapat menjadi tolak ukur terpenting untuk menentukan penerimaan bantuan internasional. Hal ini tentunya dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah Indonesia untuk menghentikan polemik penerimaan atau pencarian bantuan internasional terkait implikasi hukum dari penetapan status bencana nasional di Indonesia.

Kata kunci: Rekonseptualisasi, Prinsip Kedaulatan Negara, Penanggulangan Bencana, Covid-19, Bantuan internasional.

(2)

Pendahuluan

Bencana dapat terjadi secara tiba-tiba, tidak mengenal waktu, tempat dan korbannya.

Hal ini terlihat dalam penyebaran virus yang bernama Corona Virus Diseases 2019 atau selanjutnya disebut Covid-19. Pada awal mulanya tidak pernah terpikirkan bahwa virus yang semula ditemukan di Wuhan China pada akhir 2019 akan menjadi permasalahan global yang dialami oleh seluruh umat manusia di dunia.

Merespon pada pola penyebaran dan dampak yang diakibatkan oleh virus ini, maka pada tanggal 30 Januari 2020, the World Health Organization (WHO) menyatakan status PHEIC (Public Health Emergency International Concern) yaitu sebuah kondisi darurat kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian internasional.1 Virus ini oleh WHO diberi nama resmi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada tanggal 11 Februari 2020.2 Perkembangan dan penyebarannya yang sangat pesat ke seluruh wilayah di dunia menyebabkan Covid-19 kemudian ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020.3 Hampir dua tahun negara-negara di dunia melawan penyebaran Covid- 19 dan belum ada tanda-tanda virus ini akan menghilang. Sampai dengan tanggal

1 Mela Arnani, “Timeline Wabah Virus Corona, Terdeteksi pada Desember 2019 hingga Jadi Pandemi Global”, Error! Main Document Only. https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/12/113008565/timeline- wabah-virus-corona-terdeteksi-pada-desember-2019-hingga-jadi?page=all, diakses 13 Februari 2021.

2 Ibid.

3 Ibid.

4 WHO, “WHO Covid-19 Dashboard”, https://covid19.who.int/, diakses 27 November 2021.

5 Data Sebaran Covid-19 di Indonesia, https://covid19.go.id/, diakses tanggal 27 November 2021.

6 Luthfi T.Dzulfikar, “Ahli Sarankan Lockdown Parsial untuk Indonesia Sebelum Terlambat, https://

theconversation.com/ahli-sarankan-lockdown-parsial-untuk-indonesia-sebelum-terlambat-134751, diakses 19 Desember 2021.

26 November 2021 kasus positif Covid-19 berdasarkan data WHO telah mencapai 259. 502.031 kasus dengan 5.183.003 orang meninggal dunia.4 Selain itu, pandemi Covid- 19 juga telah membawa kerugian material yang sangat besar bagi semua negara di dunia.

Kasus Covid-19 diumumkan pertama kali penyebarannnya di Indonesia pada awal bulan Maret 2020 dengan ditemukannya dua warga negara Indonesia yang tertular virus ini.

Adapun sampai dengan tanggal 26 November 2021, kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menyentuh angka 4.255.268 kasus dengan 143.796 orang meninggal dunia.5

Pemerintah negara-negara di dunia termasuk Indonesia merespon kejadian ini dengan mengeluarkan kebijakan di masing- masing negara untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Prinsip kedaulatan negara telah diterapkan dengan kuat bahkan cenderung absolut dalam bentuk pembatasan bahkan penutupan akses masuk atau keluar manusia maupun barang di suatu negara, seperti contohnya penerapan kebijakan

lockdown6 oleh suatu negara Kerja sama internasional yang seharusnya dibutuhkan dalam penanggulangan Covid -19 tertutup oleh kepentingan nasional masing-masing negara untuk melindungi warga negaranya

(3)

terlebih dahulu. Hanya saja tidak semua negara mempunyai kemampuan nasional yang sama dalam penanggulangan Covid-19. Di sisi lain, bantuan internasional juga seringkali dianggap sebagai bentuk intervensi asing dalam urusan dalam negeri suatu negara.

Di Indonesia, sesuai dengan arahan dari WHO setelah melihat pola penyebaran dan dampaknya, Pemerintah Indonesia menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional non alam pertama kali yang terjadi di Indonesia. Penetapan penyebaran Covid- 19 sebagai sebuah bencana nasional yang bersifat non alam tentu memiliki implikasi hukum apalagi hal ini baru pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu implikasi hukum yang muncul terkait dengan hukum internasional adalah adanya kewajiban penerimaan bantuan internasional.

Dalam beberapa peristiwa bencana khususnya bencana alam yang sering terjadi di Indonesia seperti bencana Tsunami 2004, Gempa Bumi di Yogyakarta tahun 2006, Gempa Bumi di Lombok dan Gempa-Tsunami di Palu tahun 2018 seringkali terjadi polemik atau pro kontra terkait penetapan status bencana. Hal ini berkaitan dengan kekawatiran adanya campur tangan asing (intervensi) jika suatu bencana yang terjadi ditetapkan statusnya sebagai bencana nasional. Penerapan prinsip kedaulatan yang kuat seringkali menjadi benteng bagi negara untuk menolak kehadiran bantuan internasional.

7 KBBI, Awalan Re-, https://kbbi.web.id/re--2, diakses 19 Desember 2021.

8 KBBI, Pengertian Konseptualisasi, https://kbbi.web.id/konseptualisasi, diakses 27 November 2021.

9 KBBI, Pengertian Awalan re-, https://kbbi.web.id/re--2, diakses pada 27 November 2021.

Alih-alih dapat menyelamatkan negara dari suatu bencana yang menimpanya, pemahaman yang sempit terhadap penerapan prinsip kedaulatan negara justru dapat mengakibatkan bencana ganda berupa tidak terpenuhinya hak asasi manusia bagi warga negaranya.

Berdasarkan hal tersebut, dalam artikel ini akan dibahas lebih mendalam mengenai pentingnya rekonseptualisasi prinsip kedaulatan negara dalam penanggulangan bencana khususnya di Indonesia dengan pembelajaran dari kasus Covid-19. Hal ini dapat menjadi legitimasi atau pijakan hukum bagi Pemerintah Indonesia dalam menerima atau mencari bantuan internasional terkait implikasi hukum dari penetapan status bencana nasional. Adapun rekonseptualisasi berasal dari kata konseptualisasi dan awalan re-.7 Konseptualisasi berarti pengonsepan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).8 Awalan “re” menunjukan pengulangan atau tinjauan kembali.9 Oleh karenanya rekonseptualisasi dalam konteks penelitian ini adalah sebuah upaya peninjauan kembali atau pengonsepan kembali terhadap suatu prinsip hukum untuk dihasilkan konsep/makna yang lebih baik atau tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Data sekunder menjadi data utama yang diperoleh melalui penelusuran pustaka. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan bersifat deskriptif- preskriptif. Analisis data ini memberikan gambaran dan penjelasan terhadap permasalahan penelitian dalam hal ini terkait penerapan prinsip kedaulatan negara dalam penanggulangan bencana, yang

(4)

selanjutnya terdapat argumentasi terhadap hasil penelitian yang telah dilaksanakan.10

Pembahasan

A. Prinsip Kedaulatan Negara dan Prinsip Kerja Sama Internasional sebagai Kerangka Dasar Pemikiran

1. Prinsip kedaulatan negara dalam hukum internasional

Les six Livres de la Republiqu11 karangan dari Jean Bodin di bukunya yang berjudul Ia Region-Ius Religio telah menjadi tonggak sejarah dimulainya pemikiran tentang konsep kedaulatan negara atau state sovereignty. Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan negara adalah hal yang mutlak yang tidak bisa dibagi- bagi atau “absolute and perpetual authority of a State.12 Pemikiran Jean Bodin ini pada akhirnya telah menginiasi munculnya teori kedaulatan absolut yaitu:

a. Sovereignty is an essential attribute of State power;

b. The essence of sovereignty is constituted by the independence of State power from any other power;

10 Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum- Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 183-184.

11 Stéphane Beaulac, “The Social Power of Bodin’s ‘Sovereignty’ and International Law”. Melbourne Journal of International Law, Vol. 4, (2003).

12 Pavlos Eleftheriadis, “Law and Sovereignty”, Journal of Law and Philosophy, Vol, 29 No. 5 (2010): 535.

13 Nnamdi Akani, “The Concept of Sovereignty in International Law and Relations”, https://shodhganga.

inflibnet.ac.in/bitstream/10603/18737/7/07_chapter%201.pdf dan lihat juga di https://researchgate.net/

publication/335134711_THE_CONCEPT_OF_SOVEREIGNTY_IN_INTERNATIONAL_LAW_AND_

RELATIONS/link/5d52221b299bf1995b79debc/download diakses pada 30 Juni 2020.

14 Lauterpacht Oppenheim, International Law, (London: Longmans Green and Co., 1961), hlm. 127.

15 Daniel Philpott, “Sovereignty: An Introduction and Brief History”, Journal of International Affairs, Vol. 48, No. 2. (1995): 363.

c. A tendency to free the State from any form of limitation (both legal and moral both), as well as an inclination to identify sovereignty with force (i.e.

with material force or the physical possibility of realizing sovereignty).13 Merujuk pada teori tersebut dapat dipahami bahwa kedaulatan adalah sesuatu yang mutlak bagi eksistensi suatu negara, sehingga suatu negara harus mempunyai kemerdekaan dan tidak ada intervensi dari pihak manapun.

Adanya Peace of Westphalia 1648 juga membawa pengaruh bagi keberadaan teori kedaulatan negara absolut. Perjanjian ini mengakhiri perang yang terjadi di Benua Eropa selama tiga puluh tahun.14 Selain itu perjanjian ini juga menjadi dasar bagi terbentuknya negara modern. Suatu negara harus bebas dari pengaruh apapun, berdaulat penuh atas negerinya, serta terbebas dari campur tangan dari aktor eksternal (cuius regio, eius religio).15 Norma larangan intervensi kemudian diperkuat dalam Pasal 8 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933 yang berbunyi “No state has the right to intervene in the internal or

(5)

external affairs of another.16

Kekakuan teori kedaulatan absolut telah memicu lahirnya teori kedaulatan demokratis.

Dalam teori kedaulatan negara demokratis, kedaulatan negara hanya dalam hal tertentu saja sehingga hak dan sifat individu warga negaranya tetap dipertahankan. Adanya perkembangan pemahaman akan pentingnya pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia membuat teori hukum demokratis menjadi semakin berkembang juga. Hal ini ditandai dengan munculnya aliran teori kedaulatan relational.17 Berdasarkan teori ini seperti yang dikemukakan oleh Helen Stacy, bahaya yang serius dan meluas dan mengancam kelangsungan hidup warga di suatu wilayah negara merupakan bukti bahwa kedaulatan bukan merupakan benteng yang mutlak bagi intervensi internasional.18 Adanya bencana atau krisis kemanusiaan yang besar di wilayah suatu negara yang membuat suatau negara tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) menanggulangi permasalahan tersebut dapat menjadi dasar untuk mempertimbangkan masuknya bantuan atau campur tangan dari pihak luar.19 Hal ini semata-semata untuk memenuhi jaminan hak asasi manusia bagi para korban. Dalam pemahaman ini terdapat kewajiban pemerintah

16 Lihat Article 8, Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933, https://www.jus.uio.no/

english/services/library/treaties/01/1-02/rights-duties-states.xml, diakses 19 Desember 2021.

17 Sigit Riyanto, “Kedaulatan Negara dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer”, Jurnal Yustisia, Vol.

1, No. 3 (2012): 10.

18 Sigit Riyanto, “Kajian Hukum Internasional tentang Pengaruh Kedaulatan Negara terhadap Perlindungan Pengungsi Internal”, Disertasi, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 61.

19 Helen Stacy, “Relational Sovereignty”, Stanford Law Review, Vol. 55, No. 55, (2003): 396.

20 Ibid.

21 Peraturan Presiden, Nomor 17 tahun 2018, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/77911/perpres-no-17- tahun-2018”, diakses 19 Desember 2021.

dalam menjamin keamanan dan memastikan masyarakatnya mendapat hak-haknya beserta dengan kebutuhan standar. Pihak eksternal akan turut mengawasi dan akan membantu apa yang tidak bisa didapatkan dan diberikan oleh pemerintah dari penduduk negara tersebut. Adapun sebagai contohnya adalah humanitarian intervention dan bantuan ekonomi.20 Adanya operasi militer dibawah otoritas Dewan Keamanan PBB menunjukkan adanya sebuah intervensi demi menjaga perdamaian dunia dan memastikan tiap- tiap individu mendapatkan haknya. Pasal 42 Piagam PBB menjadi landasan hukum bagi pemberlakuan tindakan Dewan Keamanan PBB tersebut, pasal ini meyatakan:

Should the Security Council consider that measures provided for in Article 41 would be inadequate or have proved to be inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international peace and security. Such action may include demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces of Members of the United Nations.21 Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara atas wilayah dan warga negaranya akan tetapi di dalamnya

(6)

terkandung sebuah kewajiban negara untuk melindunginya.

2. Prinsip kerja sama internasional dalam hukum internasional

Manusia adalah mahluk sosial yang selalu berhubungan dengan yang lain dan saling membutuhkan. Hubungan antar manusia tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup yang kecil saja melainkan sampai juga pada tataran internasional, terlebih ketika ada suatu permasalahan atau kebutuhan yang tidak dapat diselesaikan sendiri.

Frederick S. Dunn mengemukakan bahwa hubungan internasional pada hakikatnya mencakup berbagai hubungan aktual yang melintasi batas negara.22 Adapun J.C. Johari berpendapat bahwa hubungan internasional merupakan hubungan atau interaksi antara aktor-aktor, baik negara maupun non negara, yang bisa berbentuk hubungan politik, ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan yang memiliki konsekuensi penting bagi aktor lain di luar yurisdiksi unit politiknya.23

Aliran liberalisme yang dimotori oleh John Locke dengan tulisannya yang berjudul

Two Treaties on Civil Government24 pada

22 Frederick S. Dunn, “The Scope of International Relation”, World Politics Journal, Vol. 1, Issue 1 (1948): 143- 144.

23 T. May Rudy, Administrasi & Organisasi Internasional, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.71, dan lihat juga http://repository.unpas.ac.id/51624/1/BAB2_RIZKABUNDAEP.pdf, diakses 19 Desember 2021.

24 John Locke, Two Treaties of Government, (London: 1823), https://www.yorku.ca/comninel/courses/3025pdf/

Locke.pdf , diakses 19 Desember 2021.

25 Iva Rachmawati, Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm.79.

26 Jesmine Ahmed, “The Theorical Significance of Foreign Policy in International Relations-an Analyses”, Journal of Critical Reviews, Vol. 7, Issue 2 (2020): 789.

27 Robert Jackson & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional: Teori dan Pendekatan, Edisi Kelima, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura & Pancasari Suyatiman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 175.

28 Jill Steans & Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema, diterjemahkan oleh Deasy Silvya Sari, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.100.

abad 17 telah memberikan pemahaman bahwa (1) manusia adalah mahluk rasional sehingga mampu belajar untuk tahu aturan dan moral;

(2) manusia memiliki hak alami yaitu hak asasi manusia sejak lahir sehingga mempunyai hak dan kesempatan yang sama, oleh karenanya negara hadir untuk menjamin kebebasan warga negaranya.25 Aliran ini mengambil pandangan positif mengenai keberadaan kodrat manusia, adanya pemahaman kuat terhadap pemikiran manusia dan asas-asas rasional dapat diterapkan pada persoalan internasional.26 Kaum liberal juga mengakui bahwa individu (dalam hal ini bisa diperluas sebagai negara) selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap sesuatu hal, tetapi mereka percaya bahwa individu yang memiliki banyak kepentingan dapat terlibat dalam aksi kemanusiaan, baik domestik maupun internasional yang menghasilkan manfaat besar bagi tiap orang.27 Paham liberalism telah meletakkan pemikiran bahwa kerja sama adalah ciri utama dari semua hubungan manusia.28 Kaum liberal percaya terhadap kapasitas umat manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang terlihat

(7)

sulit melalui tindakan kolektif. Hubungan atau kerja sama internasional merupakan sebuah sarana untuk menggapai kemajuan bersama oleh karenanya tindakan-tindakan negara yang dapat menghalangi kebebasan itu harus dibatasi.29

Suatu negara harus bisa bekerja sama dalam menangani isu-isu yang melintasi batas-batas territorial. Banyaknya isu-isu yang tidak dapat diselesaikan pada ruang lingkup nasional menyebabkan perlunya kerja sama dan pendelegasian pengendalian dan penanggulangan isu-isu tersebut melalui kerangka kelembagaan dan operasional organisasi.30 Sebuah kerja sama internasional dapat dimulai dari sebuah kerja sama yang sederhana antar negara untuk menyelesaikan sebuah persoalan bersama.31

B. Covid-19 sebagai Permasalahan Global dan Penetapannya sebagai Bencana Nasional Non-Alam di Indonesia

1. Penetapan Covid-19 sebagai Pandemi oleh WHO

a. Sejarah Awal Mula Pandemi Covid 19 Sejarah Coronavirus bermula pada laporan pertama wabah Covid-19 yang berasal dari sekelompok kasus pneumonia manusia di Kota Wuhan, China, sejak akhir Desember 2019.32

29 Martin Griffiths, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Mahyudin dan Izamuddin Makmur, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001) hlm. 71.

30 T. May Rudy, Op.cit., hlm.72.

31 Ian Hurd, “the Case Against International Cooperation”, International Theory Journal (2020): 2.

32 Genecraftlabs, Sejarah Corona Virus Penyebab Wabah Covid 19, https://genecraftlabs.com/id/sejarah- coronavirus-penyebab-wabah-covid-19/, diakses 12 Februari 2020.

33 Ibid.

34 Ibid.

35 Ibid.

Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa virus ini mulai timbul pada tanggal 1 Desember 2019. Virus ini menyerang manusia dengan gejala awal dapat berupa demam tinggi, malaise, batuk kering, dan juga gangguan pencernaan seperti diare. Awalnya, penyakit itu disebut Pneumonia Wuhan oleh pers karena gejala yang serupa dengan Pneumonia.

Hasil sekuensing genom menunjukkan bahwa agen penyebabnya adalah coronavirus baru.33 Berkaitan dengan kejadian tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) pada awalnya menamai virus baru ini sebagai novel coronavirus (2019-nCoV) pada 12 Januari 2020 dan kemudian secara resmi mengubahnya menjadi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) pada 12 Februari 2020.34

Covid-19 dimunculkan oleh virus SARS-CoV-2 atau disebut dengan coronavirus masih satu bagian dengan coronavirus penyebab wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS).35 Penyakit ini memiliki kecepatan infeksi yang berbeda dalam menyerang para korban. Di antara ketiganya, Covid-19 adalah yang paling cepat dalam mengakibatkan infeksi antar manusia.

MERS muncul pada 2012 dan merenggut 858 korban jiwa. Penyakit yang pertama kali

(8)

terlacak di Arab Saudi itu butuh waktu 903 hari atau sekitar 2,5 tahun untuk menginfeksi 1.000 orang pertama.36 SARS yang ditemukan di Tiongkok pada 2002 menewaskan 774 korban jiwa, serta menghabiskan 130 hari untuk menginfeksi 1.000 orang pertama.37 Sementara Covid-19 menjadi wabah dengan tingkat penularan tercepat. Virus yang berkembang dari Wuhan, Tiongkok, ini hanya membutuhkan 48 hari untuk menginfeksi 1.000 orang pertama.38

Virus ini akhirnya menyebar ke berbagai negara di dunia tak terkecuali Indonesia.

Banyaknya korban yang meninggal serta dampak yang luar biasa terhadap sendi- sendi kehidupan manusia membuat WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020.39 Pandemi adalah sebuah epidemi yang telah menyebar ke beberapa negara atau benua, dan umumnya menjangkiti banyak orang.40 Dalam sejarah pandemi, Covid 19 bukanlah penyakit yang pertama kali ada di dunia menyerang kesehatan manusia. Di masa lalu, manusia telah menghadapi penyakit yang lebih mematikan dari Covid-19, seperti Black Death atau Pes (1720), Cholera (1820), dan Flu Spanyol (1920).41 Uniknya, dari ketiga

36 Ibid.

37 Ibid.

38 Ibid.

39 Domenico Cucinotta and Maurizio Vanelli, “WHO Declares Covid-19 a Pandemic”, Acta Biomed, Vol. 91, No.

1 (2020): 157.

40 Karlina Lestari, Covid-19 ditetapkan sebagai Pandemi, https://www.sehatq.com/artikel/covid-19-ditetapkan- sebagai-pandemi-apa-artinya, diakses 10 April 2020.

41 Fariz Ilham Rosyidi, Pandemi Covid-19 dan Penulisan Sejarah di Masa Depan, http://news.unair.

ac.id/2020/10/22/pandemi-covid-19-dan-penulisan-sejarah-di-masa-depan/, diakses 13 Februari 2021.

42 Ibid.

43 Shawn H.E. harmon, “International Public Health Law: Not So Much WHO as Why, and Not Enough WHO and Why Not?”, Medicine, Health Care and Philosophy Journal, Vol. 12, No. 3 (2009): 245.

44 Michael Mccarthy, “A Brief History of the World Health Organization D,” The Lancet 360, (2002), 1111.

penyakit mematikan itu ternyata mempunyai siklus seratus tahunan. Covid-19 menjadi wabah mematikan keempat yang dihadapi manusia selama empat abad terakhir. Keadaan ini bias disebut “I’historie se repete”atau sejarah yang terulang.42

b. Pengaturan Internasional tentang Kesehatan Global Umat Manusia

Permasalahan Covid-19 berkaitan dengan kesehatan global umat manusia. The World Health Organization (WHO) adalah badan subsider PBB yang mempunyai mandat untuk menjamin terepenuhinya hak kesehatan seluruh umat manusia di dunia.43 WHO dibentuk pada tanggal 7 April 1948 dengan sebuah Konstitusi WHO. Pada awal pembentukannya, WHO mempunyai tugas utama untuk penanganan penyakit malaria, tuberculosis, sanitasi, kesehatan ibu dan anak serta pemenuhan gizi masyarakat.44 Dalam perkembangannya, tugas WHO semakin diperluas yaitu ikut terlibat dalam upaya pencegahan penyakit dalam skala global.

Berdasarkan Pasal 21 dan 22 Konstitusi WHO, WHO diberikan kewenangan yang sangat luas dalam pengambilan keputusan, salah satunya membuat aturan yang dapat

(9)

mengikat negara-negara tanpa melalui proses ratifikasi. Terdapat tiga instrumen hukum terkait kesehatan yang diadopsi melalui mekanisme Pasal 21 Konstitusi WHO yakni International Sanitary Regulations (ISR), International Health Regulations (IHR), dan Nomenclature Regulations.45 IHR yang dikeluarkan pada tahun 2005 adalah instrumen WHO yang secara khusus mengatur mengatur kewajiban negara pihak untuk melaporkan penyakit yang sedang mewabah dan menjaga pertahanan pada perbatasan negara untuk mencegah penularannya.46 IHR telah menjadi sebuah instrumen internasional dalam penanggulangan pandemi termasuk dalam hal ini pandemi Covid-19.

2. Covid-19 sebagai Bencana Nasional Non-Alam di Indonesia

a. Tinjauan tentang Bencana

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (selanjutnya disebut UUPB) dinyatakan bahwa yang dimaksud bencana adalah,

Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

45 Bogdandy and Villarreal, International Law on Pandemic Response: A First Stocktacking in Light of the Coronavirus Crisis, hlm. 5.

46 Kelly Lee and Julianne Piper, “The WHO and the Covid-19 Pandemic: Less Reform, More Innovation”, Global Governance 26 (2020): 524.

47 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39901/uu-no-24-tahun-2007, diakses 19 Desember 2021

48 Ibid.

49 KBBI, Pengertian Pandemi, https://kbbi.web.id/pandemi, diakses 13 Februari 2021.

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.47

Pengertian bencana tersebut di atas merujuk pada faktor penyebabnya yaitu karena faktor alam, faktor non alam, dan faktor manusia. Sehingga dengan demikian jenis bencana berdasarkan UUPB dibedakan menjadi tiga yaitu:

3. Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor;

4. Bencana non alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

5. Bencana sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.48

Adapun pandemi adalah wabah penyakit yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah yang luas (seluruh dunia).49 Istilah pandemi tidak digunakan untuk

(10)

menunjukkan tingkat keparahan suatu penyakit, melainkan hanya tingkat penyebarannya saja.

Dalam UUPB pandemi dapat dikategorikan sebagai bencana non-alam.

b. Kewenangan penetapan status bencana di Indonesia

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf c dinyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mempunyai wewenang dalam penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.50 Lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan tentang beberapa indikator dalam penentuan status bencana yaitu jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana; cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.51 Pada tingkat nasional, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dikepalai oleh pejabat negara setingkat menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Sedangkan dalam tingkat propinsi dan daerah, pelaksanaan penanggulangan bencana dikomandoi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang bertanggung jawab langsung kepada Gubenur atau Bupati/Walikota.52

c. Pertimbangan Penetapan Covid-19 sebagai Bencana Nasional

50 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39901/uu-no-24-tahun-2007, diakses 19 Desember 2021.

51 Ibid.

52 Ibid.

53 Rizal Setyo Nugroho, Rekap Kasus Corona Indonesia Selama Maret dan Prediksi di Bulan April, https://www.

kompas.com/tren/read/2020/03/31/213418865/rekap-kasus-corona-indonesia-selama-maret-dan-prediksi-di- bulan-april?page=all, diakses 13 Februari 2021.

54 Ibid.

55 Portal Kominfo, “Indonesia Masih dalam Status Keadaan Darurat Bencana Nasional”, https://portal.kominfo.

go.id/berita/kini/4009, diakses 19 Desember 2021.

Seperti pada kasus lainnya di tingkat global, pandemi Covid-19 juga menjangkiti wilayah Indonesia. Jumlah korban yang terjangkit Covid-19 di Indonesia dari hari ke hari semakin bertambah dengan pesat begitu pula dampaknya. Pada saat Covid-19 diumumkan pertama kali pada awal Maret 2020 terdapat 2 kasus, kemudian pada 15 Maret 2020 terdapat 21 kasus baru sehingga total menjadi 117 kasus positif.53 Pada akhir Maret 2020 berkembang menjadi 1.528 pasien positif Covid-19.54 Selain itu, cakupan wilayah yang terjangkit Covid-19 di Indonesia juga semakin meluas, yang semula hanya ada di DKI Jakarta kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 juga sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Merujuk pada hal tersebut maka Pemerintah Indonesia menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional non alam melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.55

Adapun kebijakan hukum lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terkait penanggulangan Covid 19 di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan

(11)

barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);56

2. Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19;57 3. Peraturan Pemerintah No. 21 tahun

2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19);58

4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019;59

5. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).60

Kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan Covid 19 tersebut di atas didasarkan pada:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar

56 Lihat Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020, https://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2020/pp21-2020bt.

pdf, diakses 19 Desember 2021.

57 Lihat Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/135058/keppres- no-11-tahun-2020, diakses 19 Desember 2021.

58 Lihat Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/135059/pp-no-21- tahun-2020, diakses 19 Desember 2021.

59 Lihat Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134544/keppres- no-7-tahun-2020, diakses 19 Desember 2021 .

60 Lihat Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134757/keppres- no-9-tahun-2020, diakses 19 Desember 2021.

61 Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/46973/uu-no-4- tahun-1984 , diakses 19 Desember 2021.

62 Lihat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38778/uu-no-36- tahun-2009 , diakses 19 Desember 2021.

63 Lihat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/90037/uu-no-6- tahun-2018, diakses 19 Desember 2021.

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);61

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);62

5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);63

6. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018

(12)

tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 34).64

3. Implikasi Hukum (Internasional) Penetapan Covid-19 sebagai Bencana Nasional Non-Alam di Indonesia

Dengan ditetapkannya pandemi Covid- 19 sebagai bencana nasional non alam oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres No.

12 tahun 2020 telah menunjukkan bahwa bencana tersebut terjadi dalam skala nasional dan menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Kewenangan pemerintah ini berdasarkan pada prinsip state’s primary responsibility65 yang menjadi prinsip dasar penanggulangan bencana, negara menjadi aktor pertama dan utama dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga negaranya jika negaranya tersebut tertimpa musibah bencana.

Prinsip ini terdapat dalam UN Resolution 46/182 yang menyatakan bahwa:

The sovereignty, territorial integrity and national unity of States must be fully respected in accordance with the Charter of the United Nations. In this context, humanitarian assistance should be provided with the consent of the affected country and in

64 Lihat Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2018, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/77911/perpres-no- 17-tahun-2018, diakses 19 Desember 2021.

65 Fadia Fitriyanti and Yordan Gunawan, “Post-ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution: How to Settle the Dispute Settlement?”, Hasanuddin Law Review, Vol. 5, Issue 3 (2019): 260-262.

66 Paul Harvey, “the Role of National Government in International Humanitarian Response to Disaster”, Meeting Background Paper, 26th ALNAP Meeting in Kuala Lumpur, (16-17 November 2010), ,hlm.3, lihat juga https://

www.unocha.org/sites/unocha/files/dms/Documents/120402_OOM-46182_eng.pdf, diakses 19 Desember 2021.

67 Ibid.

68 ISDR, Hyogo Framework for Action 2005‐2015, Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters, International Strategy for Disaster Reduction, (2005), lihat juga https://www.unisdr.org/files/1037_

hyogoframeworkforactionenglish.pdf, diakses 19 Desember 2021..

principle on the basis of an appeal by the affected country. Each State has the responsibility first and foremost to take care of the victims of natural disasters and other emergencies occurring on its territory. Hence, the affected State has the primary role in the initiation, organization, coordination, and implementation of humanitarian assistance within its territory.66

Di samping itu di dalam the Sphere guidelines juga diakui adanya peranan dan tanggung jawab utama negara dalam pemberian bantuan pada saat terjadi bencana di negaranya.67 The Hyogo Framework for Action 2005–2015 juga menyebutkan bahwa,

each state has primary responsibility for taking effective Disaters Risk Reduction (DRR) measures and commits governments to ensuring, that disaster risk reduction is a national and local priority.” 68

Tanggung jawab negara berkorelasi dengan pelaksanaan kedaulatan negara, yakni bagaimana negara dapat melindungi warga negaranya dalam kondisi apapun terlebih dalam kondisi bencana. Dalam praktik, kedaulatan negara dalam penanggulangan bencana seringkali dihadapkan pada kondisi kemampuan nasional negara tersebut yang

(13)

tidak mendukungnya apalagi jika bencana tersebut terjadi secara tiba-tiba, masif dan bersifat meluas seperti yang nampak dari pandemi Covid-19. Kegagapan dalam penanggulangan bencana Covid-19 dirasakan oleh seluruh pemerintahan di dunia tidak terkecuali oleh Pemerintah Indonesia.

Kedaulatan negara dalam kondisi bencana hendaknya dipahami sebagai bentuk tanggung jawab negara melindungi rakyatnya dengan membuka kerja sama internasional dalam bentuk bantuan kemanusiaan ketika negaranya tidak mampu atau tidak mau menanggulanginya. Hal ini sesuai dengan teori kedaulatan negara relational yang dinyatakan oleh Helen Stacy.

Dalam praktik di Indonesia, meskipun dalam Pasal 7 ayat (2) UUPB disebutkan tentang indikator penetapan status bencana nasional oleh Pemerintah Indonesia dan juga merujuk pada kewenangan Pemerintah pusat untuk menanggulanginya, akan tetapi indikator tersebut belumlah cukup untuk menjelaskan seberapa jauh pemerintah Indonesia dinyatakan mampu/mau menanggulangi bencana yang ada di wilayahnya termasuk di dalamnya legitimasi Pemerintah Indonesia menerima atau mencari bantuan internasional.

Dibutuhkan indikator tentang keberadaan dan keberfungsian pemerintah dalam

69 Nidal Nabil Jurdi, “The Prosecution Interpretation of the Complementarity Principle Does It Really Contribute to Ending Impunity on the National Level?”, International Criminal Law Review”, Vol. 10, No. 1 (2010): 74- 78.

70 J. Benton Heath, “Disaster, Relief and Neglect: The Duty to Accept Humanitarian Assistance and the Work of the International Commission”, New York University Journal of International Law and Politic, New York, Volume 4 No.2, (2011): 472-473.

71 Ibid., hlm.473 dan lihat juga Francois Grunewald and Andrea Binder, “Inter Agency Real Time Evaluation in Haiti”, Final Report (2010), https://www.unocha.org/sites/unocha/files/dms/Documents/Haiti_IA_RTE_1_

final_report_en.pdf, diakses 19 Desember 2021.

menanggulangi bencana di wilayahnya.

Dalam hukum internasional kemampuan dan kemauan suatu negara merujuk pada indikator unwillingness and inability yang tercantum dalam the Rome statute of the International Court.69 Indikator unwilling suatu negara yaitu antara lain:

1. there is a regular failure on the part of the state to deliver humanitarian aid, development aid, or social services to particular geographic area, or to a particular gender, ethnic or political group;

2. there has been unjustified delay in delivery of assistance which in the circumstances is inconsistent with an attempt to meet the needs of the affected population;

3. assistance is not being delivered in accordance with internationally recognized principles of humanity, neutrality, impartiality, and non-discrimination.70

Adapun indikator unable atau inability berarti “objective capacities, supplies, and infrastructure, or a government may be found to unable to respond due to a total or partial collapse, or a lack of effective control over part of its territory”.71

Apabila dikaitkan dengan

(14)

penanggulangan bencana maka kriteria

unable (ketidakmampuan) berkaitan dengan kemampuan suatu negara termasuk dalam hal ini kesiapan, kesigapan dan ketepatan negara dalam menanggulangi bencana. Contoh nyata pemenuhan kriteria kemampuan negara dalam menanggulangi bencana dapat dilihat dalam kasus penanggulangan gempa bumi di Haiti tahun 2010, Topan Haiyan di Filipina tahun 2013. Kriteria unwilling (ketidakmauan) berkaitan dengan niat atau kemauan negara untuk menanggulangi bencana di negaranya.

Untuk kasus ini dapat dilihat juga dalam penanggulangan badai Nargis di Myanmar tahun 2008 (meskipun dalam kasus ini Myanmar juga dapat dikategorikan sebagai negara yang tidak mampu).

Merujuk pada kriteria tersebut, Indonesia dihadapkan pada kondisi ketidakmampuan dalam penanggulangan Covid-19 di wilayah Indonesia. Terdapat alasan untuk hal ini yaitu: Covid-19 adalah pandemi yang datang secara tiba-tiba dan bersifat massal (seluruh wilayah Indonesia) dengan korban yang terus bertambah, belum pernah ada sebelumnya penetapan bencana non alam dengan status skala nasional, infrastruktur dan kapasitas nasional Indonesia belum siap (terbatasnya alat medis, obat-obatan dan juga sumber daya manusia yang bisa menangani virus ini).

Berkaitan dengan hal tersebut maka Indonesia tidak bisa menangani sendiri sehingga

72 Jon C.W. Pevehouse, “The Covid-19 Pandemic, International Cooperation, and Populism”, international Organization Journal (Online Supplement), Issue 74 (2020): 191.

73 Lihat Pasal 1 Piagam PBB, https://www.un.org/en/about-us/un-charter/chapter-1, diakses 19 Desember 2021.

74 Rohan J. Hardcastle and Adrian T.L. Chua, “Humanitarian Asssistance: Towards a Right of Access to Victim

dibutuhkan kerja sama internasional dalam hal ini menerima bantuan internasional.72

C. Bantuan Internasional dalam Pengaturan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia 1. Bantuan internasional dalam hukum

internasional

Pijakan kewajiban negara untuk menerima bantuan internasional yaitu dalam hal ini bantuan kemanusiaan didasarkan pada tujuan PBB yang terdapat dalam Pasal 1 Piagam PBB yaitu, “to achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character and in promoting and encouraging respect for human rights.”73 Hanya saja sampai saat ini belum ada perjanjian internasional yang mengatur mengenai hak korban bencana untuk menerima bantuan kemanusiaan.

Hak untuk menerima bantuan kemanusiaan dalam tataran hukum internasional dipandang sebagai sebuah kebiasaan internasional. Untuk hal ini, Rohan J. Hardcastle dan Adrian T. L.

Chua dalam tulisannya tentang International Review of the Red Cross, mengemukakan bahwa

Together with the rights to development, peace, and to benefit from the common heritage of mankind, the claim to humanitarian assistance was raised for inclusiom as a human right under the rubric of third generation solidarity rights.74

(15)

Hal yang sama juga dinyatakan dalam the Code of Conduct for the International Red Cross and Red Crescent Movement and NGOs in Disaster Relief bahwa, ‘‘(t)he right to receive humanitarian assistance, and to offer it, is a fundamental humanitarian principle which should enjoy by citizens of all countries”.75

Dalam praktik, kemauan suatu negara untuk memberikan bantuan kemanusiaan tidak serta merta menunjukkan keberadaan sebuah hak berdasarkan hukum internasional.

Mahkamah Internasional dalam the North Sea Continental Shelf Case menyatakan bahwa,

Frequency or even habitual character of acts is not in itself enough for a proposed rule to have envolved into a principle of customary international law. For such a right to exist, provision of humanitarian assistance must be evidence of a belief that such assistance is rendered obligatory by a rule of law or a human requiring it.76

Berdasarkan hal tersebut maka tetap dibutuhkan sebuah aturan yang tertulis dalam bentuk perjanjian internasional yang mengatur tentang pemberian bantuan kemanusiaan korban bencana pada saat damai. Sebuah perjanjian internasional dalam bentuk

of Natural Disasters”, International Rev. Red Cross, Number 325, (1998): 11, https://www.icrc.org/en/doc/

resources/documents/article/other/57jpjd.htm, diakses 19 Desember 2021 75 IRRC, No.310, (January-Febuary 1996): 120.

76 Lihat the Statute of International Court of Justice, North Sea Continental Shelf Cases, ICJ Rep., (1969), hlm.

44, Paragraf 77, https://www.icj-cij.org/en/case/51/judgments , diakses 19 Desember 2021.

77 Lihat the UN Draft Convention on Expediting the Delivery of Emergency Assistance, Pasal 1 Paragraf 1 (c), UN Doc. A/39/267/Add.2, 1984, lihat juga “Strengthening the Coordination of Humanitarian Emergency Assistance of the UN”, UNGA Resolution 46/182 of 19 December 1991.

78 Rohan J. Hardcastle & Adrian T.L., loc.cit.

79 J. Benton Heath, op.cit., hlm.453.

80 Lihat J. Ebersole, “the Mohonk Criteria for Humanitarian Assistance”, Human Rights Quartely, No.17,

perjanjian multilateral adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjamin perlindungan korban bencana dengan lebih baik.

Dalam rangka mewujudkan keinginan tersebut, maka usaha membentuk perjanjian internasional terus dilakukan. Pada tahun 1984, the Office of the United Nations Disaster Relief Co-ordinator mencoba membuat draft konvensi dalam kaitannya dengan pemberian bantuan pada saat gawat darurat. Dalam bagian pembukaannya dinyatakan, “the international community has willingly rendered assistance in individual cases of disaster and continues to do so whenever necessary”.77 Selain itu terdapat pula “guidelines” yaitu sebuah Draft international agreement on principles of international relief on natural disaster situation by Rohan J. Hardcastle and Adrian T.L.Chua.78 Dalam draft tersebut dinyatakan bahwa,” where victims do not receive necessary assistance, the receiving State is obliged to allow international relief efforts”.79

Pada tahun 1994, sebuah draft potensial perjanjian internasional telah dipertimbangkan oleh a Task Force on Ethical and Legal Issues in Humanitarian Assistance dalam sebuah the World Conference on Religion and Peace.80 Hasil nyata dari konferensi tersebut adalah

(16)

berupa the Mohonk Criteria for Humanitarian Assistance in Complex Emergencies.

Berdasarkan kriteria tersebut the Task Force meminta negara anggota PBB untuk:

2. recognize the right to humanitarian assistance and the responsibility to provide it, and

3. acknowledge and ensure the right of access by humanitarian assistance organizations to endangered populations in complex emergencies.81 Dengan adanya the Task Force maka hak atas bantuan kemanusiaan telah menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.

Selain itu juga mengakui dan menegaskan bahwa organisasi kemanusiaan mempunyai hak akses untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban terutama untuk kondisi tanggap darurat.

2. Bantuan internasional dalam hukum nasional Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengatur bantuan internasional terkait dalam kondisi bencana dengan peraturan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ( Lembaran Negara Republik Indonesia

(1995): 192, https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/article/other/57jpjd.htm, diakses 19 Desember 2021

81 Ibid., hlm. 195.

82 Lihat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44991/uu-no-24- tahun-2000, diakses 19 Desember 2021.

83 Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, https://bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf, diakses 19 Desember 2021.

84 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/4833, diakses 19 Desember 2021.

85 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008, https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/23TAHUN2008PP.

htm , diakses 19 Desember 2021.

86 Lihat Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/42195/perpres-no-8- tahun-2008, diakses 19 Desember 2021.

Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 82

b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);83

c. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4828);84 d. Peraturan Pemerintah Nomor 23

Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 44, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4830);85 e. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun

2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;86

f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor

(17)

69 Tahun 2012 tentang Pembebasan Bea Masuk dan atau Cukai atas Import Barang Kiriman Hadiah/Hibah untuk Kepentingan Penanggulangan Bencana Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 491);87

g. Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2016 tentang Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1777);88

h. Peraturan BNPB (Perban) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penerimaan Bantuan Internasional dalam Keadaan Darurat Bencana.89

Merujuk pada Pasal 1 ayat (4) Peraturan BNPB (Perban) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penerimaan Bantuan Internasional dalam Keadaan Darurat Bencana dapat diketahui bahwa bantuan internasional adalah,

Bantuan berasal dari luar negeri yang diberikan oleh negara sahabat, lembaga internasional, lembaga asing nonpemerintah, lembaga usaha asing, dan perseorangan pada keadaan darurat bencana berdasarkan pernyataan resmi Pemerintah Indonesia.90

Dalam definisi tersebut, setidaknya terdapat empat () indikator untuk menyatakan suatu bantuan merupakan bantuan internasional yaitu

87 Lihat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2012, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/170778/

pmk-no-69pmk072021, diakses 19 Desember 2021 ,

88 Lihat Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2016, https://bnpb.go.id/produk-hukum/peraturan-kepala-bnpb/

uploads/24/peraturan-kepala/2016/perka-3-tahun-2016.pdf, diakses 19 Desember 2021.

89 Lihat Bagian Mengingat Peraturan BNPB (Perban) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penerimaan Bantuan Internasional dalam Keadaan Darurat Bencana, https://paralegal.id/peraturan/peraturan-badan-nasional- penanggulangan-bencana-nomor-6-tahun-2018/, diakses 19 Desember 2021.

90 Ibid.

pertama merupakan bantuan dari luar negeri;

kedua berasal dari negara sahabat, lembaga internasional, lembaga asing non pemerintah, lembaga usaha asing, dan perserorangan;

ketiga diberikan pada saat keadaan darurat bencana, serta keempat berdasarkan pernyataan resmi Pemerintah Indonesia.

Indikator ke-4 merupakan kunci utama dalam mekanisme adanya bantuan internasional di Indonesia karena harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah Indonesia.

Tanggung jawab utama dan pertama dari pemerintah Indonesia untuk dapat memastikan terlaksananya penanggulangan bencana yang terjadi di wilayahnya. Ketika bencana terjadi dalam skala nasional atau mendapat status bencana nasional, maka sebetulnya merujuk pada definisi di atas bantuan internasional tidak serta merta datang tetapi harus melalui persetujuan atau permintaan dari pemerintah Indonesia. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 5 Perban yang menyatakan bahwa, “Penerimaan bantuan internasional berdasarkan atas adanya pernyataan resmi Pemerintah.” Meskipun demikian dalam peraturan tersebut maupun dalam peraturan lainnya tidak ada ketentuan yang menjelaskan tentang indikator dalam kondisi atau keadaan bagaimana pemerintah Indonesia dapat menerima bantuan internasional. Adanya

(18)

kemampuan dan kemauan suatu negara/

pemerintah dapat menjadi indikator dalam proses penerimaan bantuan internasional pada saat terjadi bencana di suatu wilayah negara selain jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana; cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.91

D. Rekonseptualisasi Prinsip Kedaulatan Negara sebagai Upaya

Legitimasi Indonesia dalam Menerima Bantuan Internasional:

Lesson from Covid-19

Ketika suatu negara yang tertimpa bencana menyatakan bahwa negaranya tidak mampu untuk menanggulangi bencana, maka seperti yang telah diuraikan di atas bantuan kemanusiaan dari pihak eksternal menjadi sesuatu hal yang harus ada untuk menjamin pemenuhan perlindungan hak asasi korban bencana. Hanya saja kenyataannya, dalam praktik seringkali ditemukan permasalahan mengenai pelaksanaan pemberian bantuan kemanusiaan terutama dalam penerapan prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan. Usaha pemberian bantuan kemanusiaan dari pihak eksternal seringkali dikritik melakukan pengingkaran, pengabaian atau tindakan yang meremehkan kemampuan negara/masyarakat yang tertimpa bencana. Kejadian ini membuat rusaknya atau tidak berfungsinya hubungan antara negara korban dan pihak eksternal.

91 Lihat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, https://bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf, diakses 19 Desember 2021.

92 Lihat Paul Harvey, loc.cit.

93 F. Grunewald and A. Binder, Inter-Agency Real Time Evaluation in Haiti: 3 Months After the Earthquake, URD

Hal ini juga telah menjadi perhatian dalam Pertemuan ALNAP ke 26 yang mengemukakan bahwa,

For instance, government officials may regard aid agencies as being over‐resourced, unaccountable, and donor‐driven, with overpaid staff.

At the same time, international agencies may view governments as corrupt, ineffectual and unhelpfully restrictive – a caricature perhaps, but one not too wide of the mark.92

Struktur dan budaya organisasi dari bantuan luar yang berbeda dengan ritme kinerja pemerintah lokal, ketidaksamaan bahasa dalam berkomunikasi, tenaga lokal yang tidak terlatih juga telah menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan bantuan kemanusiaan. Berdasarkan hasil evaluasi kerja nyata penanggulangan bencana di Haiti 2010 disimpulkan bahwa,

Immediately after the earthquake, national and local authorities were eager to coordinate with international relief actors. However, this initial close cooperation with the national authorities was not sustained over time. Many government agencies at the national and local levels felt (and in most cases were) excluded from humanitarian coordination and decision making. As a result, the relationship between humanitarian organisations and the government has been strained and there is a risk that the humanitarian response will further weaken the government.93

Kasus serupa juga ditemukan dalam hasil

(19)

evaluasi penanggulangan bencana alam Asian Tsunami 2004. Telford mengungkapkan bahwa,

Local institutions were frequently neglected and undermined by influx of international organizations and examples of brusing aside or misleading authorities and displacement of able local staff by poorly prepared internationals and dominance of English as a lingua franca.94

Berdasarkan hal tersebut maka perlu diupayakan penyelesaiannya demi terjaminnya pemenuhan hak asasi korban bencana, terlebih saat ini demografi global menunjukkan adanya potensi peningkatan kejadian bencana baik dalam skala kecil maupun besar sebagai effect dari adanya perubahan iklim dunia serta sifat bencana yang tidak mengenal batas negara.

Bantuan internasional atau Humanitarian assistance secara khusus berkaitan dengan hak individu untuk hidup yang merupakan hak paling mendasar dari hak asasi manusia. Secara khusus the Covenant on Civil and Political Rights menyatakan tentang hal tersebut yaitu,

No one shall be arbitrarily deprived of his life, and it notes that this right may not be suspend even amid a public emergency that threatens the life of the nation.”95 Oleh karenanya

and GPPI, (2010), hlm.43, https://www.unocha.org/sites/unocha/files/dms/Documents/Haiti_IA_RTE_1_

final_report_en.pdf, diakses 19 Desember 2021

94 J. Telford, Et al, “Joint Evaluation of the International Response to the Indian Ocean Tsunami: Synthesis Report”, Tsunami Evaluation Coalition, (2006).

95 Lihat ICCPR Pasal 4, https://treaties.un.org/doc/Treaties/1976/03/19760323%2006-17%20AM/Ch_IV_04.

pdf, diakses 19 Desember 2021. .

96 Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace: Preventive Diplomacy, Peacemaking, and Peace-keeping, United Nations, (New York: 1992), hlm. 9, dan lihat juga Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, (Bandung: 2006), hlm. 177.

97 Ibid.

98 M.H. Syed, Human Rights the Global Perspective, Reference Press, (New Delhi: 2003), hlm.1

perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat diartikan sebagai bentuk pemahaman teori kedaulatan negara demokratis, yaitu kedaulatan negara hanya dalam hal tertentu saja sehingga hak dan sifat individu warga negaranya tetap dipertahankan. Boutros Boutros Ghali menegaskan hal ini dalam tulisannya yaitu, “(t)he time of absolute and exclusive sovereignity has passed, its’ theory was never matched by reality”.96

Yurisprudensi Mahkamah Internasional juga telah menunjukkan bahwa pengadilan (Mahkamah Internasional) telah secara jelas dan pasti mengakui dan menerima bahwa kewajiban untuk menghargai hak asasi manusia yang fundamental merupakan kewajiban dari hukum internasional publik.97 Hak asasi manusia telah menjadi perhatian besar terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II yaitu sejak diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 oleh Majelis Umum PBB. Saat ini deklarasi ini telah diterima oleh lebih dari 150 negara.98

Oleh karenanya kedaulatan negara jika dikaitkan pada kondisi saat tanggap darurat bencana seharusnya dimaknai sebagai kewajiban negara untuk bekerja sama dengan pihak lain untuk menjamin pemenuhan

(20)

hak asasi manusia rakyatnya. Dengan kata lain, kedaulatan negara bukanlah tameng untuk menolak bantuan kemanusiaan tetapi dijadikan sebagai pijakan untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia korban bencana dengan cara menghadirkan bantuan kemanusiaan dari pihak ekternal ketika negara yang bersangkutan tidak sanggup lagi menanggulanginya.

Menurut J. Benton Heath, kewajiban negara dengan bantuan kemanusiaan dapat digolongkan menjadi tiga hal yaitu, positive obligations to agree to relief sheme, positive obligations merely to seek or request assistance, and negative obligations constraining the abilities of states to refuse assistance.99 Selanjutnya terdapat beberapa aturan tidak tertulis yang berkaitan dengan kewajiban negara untuk mencari atau meminta bantuan kemanusiaan dari pihak lain. Salah satunya dapat ditemukan dalam the 2003 Bruges Resolution on Humanitarian Assistance by the Institut de Droit International, yang salah isi ketentuannya menyatakan bahwa,

a State shall seek assistance from competent international organizations and/or form third States when it cannot provide such assistance on its own”.100 Ketentuan serupa juga dapat ditemukan dalam IFRC Guidelines on Disaster

99 Ibid, hlm. 452.

100 Lihat the 2003 Bruges Resolution, http://www.pegc.us/archive/Organizations/IDI_bruges_2003.pdf, diakses 19 Desember 2021.

101 “If an affected States determines that a disaster situation exceeds national coping capaties, it should seek international and/or regional assistance to address the needs of affected persons”. Lihat dalam International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, Guidelines for the Domestic Facilitation and Regulation of International Disaster Relief and Initial Recovery Assistance.

102 Lihat Active Learning Network for Accountability and Performance in Humanitarian Action, “the Role of National Governments in International Humanitarian Response to Disaster”, Meeting Background Paper, 26th ALNAP Meeting in Kuala Lumpur,16-17 November 2010, hlm.2.

Relief.101

Berdasarkan argument yang dikemukan oleh Rohan J. Hardcastlle and Adrian T.L. Chua, kita dapat mengetahui bahwa kewajiban negara dalam penanggulangan bencana setidaknya menyangkut empat hal penting yaitu: a). Negara bertanggung jawab untuk menyatakan keadaan tanggap darurat dan mencari/meminta/menerima bantuan kemanusiaan; b). Negara bertanggung jawab untuk membantu dan melindungi korban bencana alam dan juga para pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana alam; c).

Negara bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengkoordinasi bantuan dari luar; d).

Negara bertanggung jawab untuk membentuk sebuah peraturan dan kerangka hukum yang mengatur tentang bantuan kemanusiaan.102

Apabila dikaitkan dengan bantuan kemanusiaan mengandung arti bahwa kondisi pemerintahan yang kuat atau lemah, perhatian atau tidak peduli terhadap korban bencana menjadi suatu hal yang penting dalam proses penentuan pemberian bantuan kemanusiaan oleh pihak eksternal. Kondisi internal negara termasuk dalam hal ini adalah kemampuan (able) dan kemauan (willing) negara untuk menanggulangi bencana yang terjadi di wilayahnya telah menjadi dasar

(21)

penting dalam menentukan ada atau tidaknya bantuan kemanusiaan. Dalam draft Rohan J. Hardcastlle and Adrian T. L. Chua yang menyatakan “where victims do not receive necessary assistance, the receiving state obliged to allow international relief efforts”,103 terkandung jelas pengertian bahwa victims yang merupakan individu (manusia) menjadi poin penting dalam proses pemberian/

penerimaan bantuan kemanusiaan. Hak-hak dasar manusia harus mendapatkan jaminan pemenuhannya/perlindungannya dalam masa apapun bahkan ketika dalam kondisi bencana.

Hal ini seperti yang ditegaskan dalam putusan Mahkamah Internasional in the Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua Case104 khususnya yang berkaitan dengan pengertian humanitarian aid, yaitu:

(I)f the provision of humanitarian assistance is to escape condemnation as an intervention in the internal affairs of Nicaragua, not only must it be limited to the purposes hallowed in the practice of the Red Cross

“to prevent and alleviate human suffering” and “to protect life and health and to ensure respect for the human being” it must also and above all, be given without discrimination to all in need in Nicaragua”.105

Ketidakmampuan atau ketidakmauan negara bukanlah alasan pembenar atau pemaaf untuk dapat mengingkari pemenuhan hak dasar

103 Rohan J. Hardcastle and Adrian T.L. Chua, Loc.cit.

104 Lihat Putusan Mahkamah Internasional tentang Nicaragua Case (Nicaragua v U.S.) 1986, https://www.icj-cij.

org/public/files/case-related/70/070-19860627-JUD-01-00-EN.pdf, diakses 19 Desember 2021.

105 Ibid.

106 Romano Lasker (OCHA), “Respon Bencana di Asia dan Pasifik- Panduan Perangkat dan Layanan Internasional”, United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA ROAP), (Thailand: 2014), http://

docs.unocha.org/.../Asian_Disaster_Guide_Bahasa.pdf., diakses 4 Februari 2021.

tersebut, untuk itu sudah menjadi kewajiban negara untuk menerima bantuan internasional berupa bantuan kemanusiaan dari pihak lain.

Dalam pelaksanaannya, humanitarian assistance harus didasarkan pada prinsip:

a. Humanity principle atau prinsip kemanusiaan: Penderitaan manusia harus diatasi di mana pun berada.

Aksi kemanusiaan bertujuan untuk melindungi nyawa dan kesehatan dan memastikan adanya penghargaan terhadap umat manusia;

b. Neutrality principle atau prinsip netralitas: Para aktor kemanusiaan tidak boleh berpihak dalam perselisihan/peperangan atau terlibat dalam kontroversi politik, ras, agama atau ideologi;

c. Impartiality principle atau prinsip imparsialitas: Aksi kemanusiaan harus dijalankan atas dasar kebutuhan semata tanpa memperdulikan kebangsaan, ras, gender, keyakinan keagamaan, kelas atau pandangan politis;

d. Independence principle atau prinsip kemandirian: Aksi kemanusiaan harus bersifat otonom dari tujuan politis, ekonomi, militer atau tujuan-tujuan lain yang mungkin dimiliki oleh aktor-aktor di wilayah dimana aksi kemanusiaan sedang dilaksanakan.106

Referensi

Dokumen terkait

Prosiding Seminar Nasional Webinar Nasional Universitas Mahasaraswati Denpasar “Percepatan Penanganan COVID-19 Berbasis Adat di Indonesia” 85 DAMPAK COVID 19 TERHADAP PSIKOLOGIS