• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PENDIDIKAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN "

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENDIDIKAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN

DALAM BINGKAI EKONOMI PANCASILA

Prof. Dr. Hari Wahyono, M.Pd

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Ekonomi

pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Negeri Malang

Tanggal 12 Mei 2022

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM) MEI 2022

(3)

PENDIDIKAN EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN

DALAM BINGKAI EKONOMI PANCASILA

Assalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam Sejahtera

Yth. Ketua Senat Akademik Universitas Negeri Malang;

Yth. Rektor Universitas Negeri Malang;

Yth. Ketua Komisi Guru Besar Universitas Negeri Malang;

Yth. Anggota Senat Akademik Universitas Negeri Malang;

Yth. Pimpinan Universitas, Lembaga, Fakultas, Sekolah Pascasarjana, Departemen, dan Program Studi di Lingkungan Universitas Negeri Malang;

Yth. Dosen, Tendik, Mahasiswa, dan Para Undangan serta Hadirin yang saya muliakan.

Sungguh besar Kasih Karunia Tuhan kepada kita, sehingga pada hari ini, Kamis, 12 Mei 2022, kita bersama dapat mengikuti sidang Pengukuhan Guru Besar. Pada hari yang penuh bahagia ini, perkenankan saya untuk menyampaikan Pidato Pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang keilmuan Pendidikan Ekonomi. Bidang keilmuan yang telah saya geluti sejak saya menjadi mahasiswa 45 tahun yang lalu.

Hadirin yang saya muliakan,

Pendidikan ekonomi tak terselaki merupakan suatu konsepsi yang unik, dikatakan unik oleh karena konsep ini lebih banyak dilakukan dan

(4)

dipraktekkan, ketimbang dipikirkan, dipahami dan dianalisis. Faktanya dalam keseharian kita mempraktekkan pendidikan ekonomi, baik sebagai pendidik maupun pebelajar. Sebagai orang tua tanpa disadari kita memberikan teladan, menasehati, mendiskusikan bahkan menuntut perilaku yang terkait dengan bijak berekonomi. Sebagai anak, tanpa sadar pula, kita menginternalisasi nilai-nilai pendidikan ekonomi dari orang tua kita, melalui pengamatan sikap dan perilaku mereka, nasehat, diskusi dan menuruti perintah untuk berhemat, menabung, dan mengelola keinginan dengan baik. Di masyarakat, kita banyak menyerap beragam pengalaman baik dan buruk dari perilaku ekonomi masyarakat, sebagai ajang untuk belajar ekonomi. Di dunia pendidikan formal ada mata pelajaran ekonomi yang diajarkan sejak kita di bangku Sekolah Dasar, bahkan sejak di Pendidikan Anak Usia Dini, hingga jenjang pendidikan atas dan tinggi.

Pada dasarnya di dalam kehidupan kita, setiap hari tak pernah lepas dari kegiatan dan perilaku ekonomi, dan dari sana kita belajar dan mengalami pendidikan ekonomi. Meskipun demikian, karena begitu dekatnya masalah-masalah dan proses pendidikan ekonomi dalam kehidupan kita, kepekaan dan kepedulian untuk merenungkan, memikirkan, memahami, dan menganalisis hal-hal yang terkait dengan pendidikan ekonomi, menjadi terabaikan dan kurang diminati.

Pengabaian atas pentingnya pendidikan ekonomi, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sosial kemasyarakatan dan terlebih di arena pendidikan formal, dapat membawa dampak buruk baik pada tataran mikro maupun makro kehidupan ekonomi. Beragam perilaku ekonomi yang tidak mencerminkan bijak berekonomi, seperti kekurangmampuan mengelola keinginan saat berkonsumsi, sehingga banyak barang yang terbeli tak termanfaatkan; kekurangmampuan mengelola keuangan dengan baik, sehingga terjebak dalam jeratan hutang; etos dan semangat kerja rendah, sehingga tidak produktif dan hidup dalam kekurangan;

(5)

berlebihan dalam upaya mengejar kekayaan, sehingga melanggar pranata sosial maupun legal dalam berekonomi; kekurangmampuan mengembangkan empati dan kepedulian terhadap orang lain dalam berekonomi, sehingga bersikap egois, enggan berbagi dan kurang peka terhadap keberadaan orang lain; terjebak pada paham pemikiran ekonomi yang berbeda dengan falsafah dasar negara, sehingga alpa untuk terlibat mewujudkan perilaku ekonomi secara pribadi dan bermasyarakat bersendikan falsafah Pancasila. Hal-hal tersebut merupakan sebagian contoh nyata dampak buruk, akibat rendahnya perhatian akan pentingnya pendidikan ekonomi, dan pada ujungnya akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan, baik pada tataran individu maupun masyarakat keseluruhan warga bangsa. Seperti diketahui kesejahteraan individu merupakan tiang penyangga kesejahteraan bangsa. Bertolak dari premis yang terungkap, melalui forum yang terhormat dan berbahagia ini, saya hendak menyampaikan pidato Pengukuhan Guru Besar dengan topik:

Pendidikan Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Bingkai Ekonomi Pancasila.

Memaknai Pendidikan Ekonomi

Acuan untuk merumuskan makna pendidikan ekonomi dapat dimulai dari pemahaman atas pengertian pendidikan secara umum, dan pemahaman yang demikian tidak gampang dilakukan. Oleh karena pemaknaan pendidikan bisa menjadi beragam, tergantung dari tujuan dan aspek pendefinisiannya. Ada yang mendefinisikan pendidikan sebagai tindakan atau proses menanamkan atau memperoleh pengetahuan umum, mengembangkan kekuatan penalaran dan penilaian, dan umumnya mempersiapkan diri sendiri atau orang lain secara intelektual untuk kehidupan yang matang (https://www.dictionary.com/browse/

education). Pendidikan dapat pula dimaknai sebagai proses atau

(6)

memperoleh pengetahuan, keterampilan, keyakinan, nilai-nilai, kebiasaan, karakter, dan moral melalui pembelajaran (https://jilearners.com/meaning-of-education-types-and-importance/).

Apapun maknanya pendidikan secara umum diarahkan untuk menjadikan pihak yang dididik menjadi orang terdidik yang mampu memanfaatkan hasil pendidikannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya yang dinamis. Berkenaan dengan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa pendidikan sangat penting bagi seluruh aspek kehidupan dan menjadi dasar bagi pengembangan, kemajuan dan pengelolaan sumberdaya manusia, melalui proses belajar dengan strategi, metode dan teknik pembelajaran yang beragam, baik dalam kancah formal, informal dan non formal. Berpijak dari pemaknaan atas pendidikan seperti terungkap di atas, dapatlah ditentukan makna pendidikan ekonomi.

Dalam konteks tujuan dan fungsinya National Council of Economic Education (NCEE) yang sekarang diubah menjadi Council of Economic Education (CEE), atau Dewan Pendidikan Ekonomi Amereka Serikat, memaknai pendidikan ekonomi sebagai berikut:

1. The current state of, and efforts to improve, the economics curriculum, materials and pedagogical techniques used to teach economics at all educational levels;

2. Research into the effectiveness of alternative instructional techniques in economics, the level of economic literacy of various groups, and factors that influence the level of economic literacy.

Dari pengertian tersebut nampak bahwa pendidikan ekonomi pada prinsipnya terkait dengan kondisi saat ini dan upaya untuk meningkatkan kurikulum, bahan pelajaran, dan teknik pembelajaran yang digunakan untuk mengajarkan ekonomi di segala jenjang pendidikan. Mencakup pula penelitian yang diperlukan untuk menstudi efektivitas beragam

(7)

alternatif teknik pengajaran, tingkat literasi ekonomi atas berbagai kelompok pebelajar, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Dalam kajian lebih lanjut, sebenarnya pendidikan ekonomi dapat pula dimaknai dalam konteks tujuan dan fungsinya diarahkan untuk meningkatkan strategi guna menanamkan ideologi ekonomi kebangsaan untuk mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat (improve strategy to plant national economic ideology to influence economic behavior) (Wahyono, 2014).

Seperti halnya NCEE atau CEE sekarang, dalam pengembangan materi pendidikan ekonomi, dasar falsafahnya ekonomi pasar yang berbasis ideologi kapitalis dan liberalis. Dalam makna yang terakhir tersebut, terjadinya perubahan perilaku ekonomi menjadi sasaran dan fokus pendidikan ekonomi, dan perubahan yang dimaksud selayaknya diacukan pada sistem dan tata nilai ekonomi yang diidealkan oleh negara dan warga bangsa, di mana pendidikan ekonomi dikembangkan dan dilaksanakan.

Pada tataran ini kajian atas materi dan topik-topik pendidikan ekonomi perlu dilakukan secara mendalam, dan dievaluasi tentang keterkaitannya dengan school of thought atau mazhab ekonomi yang beragam macamnya, dan dianut sebagai dasar pengembangan ekonomi setiap negara, serta akhirnya mempengaruhi perilaku ekonomi warga masyarakat di berbagai belahan dunia.

Upaya perubahan perilaku ekonomi sesuai dengan nilai-nilai ideal ekonomi yang sesuai dengan kehidupan dan budaya bangsa, serta cita- cita luhur pendiri bangsa, terlebih sesuai dengan nilai-nilai perilaku ekonomi ideal yang bersifat universal, selayaknya dilakukan dengan memperluas wawasan peserta didik atas berbagai aliran atau mazhab ekonomi yang pernah ada, masih berkembang dan dianut sebagai dasar pengambilan kebijakan dan acuan perilaku ekonomi masyarakat.

Wawasan yang luas, juga perlu ditanamkan pada peserta didik atas ragam kondisi kehidupan ekonomi masyarakat yang sungguh majemuk,

(8)

beragam kebijakan ekonomi dan dampaknya bagi kehidupan ekonomi warga negara. Dengan wawasan yang luas dan beragam pada tataran aliran dan teori serta kondisi kehidupan ekonomi masyarakat, akan membuat peserta didik memiliki kesadaran tinggi atas adanya perbedaan pada berbagai aspek teori ekonomi dan kehidupan ekonomi, dan dengan kesadaran atas adanya perbedaan, tumbuh penghargaan dan empati pada perbedaan, serta pada akhirnya dengan bijak akan menumbuhkan dan mempraktekkan perilaku ekonomi yang rasional, bermoral, dan altruistik.

Dengan pemaknaan pendidikan ekonomi seperti teruraikan di atas, pengembangan pendidikan ekonomi pada berbagai jalur dan jenjang pendidikan, selayaknya diarahkan untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang membangun kesadaran atas adanya perbedaan, tanpa terjebak pada ideologi ekonomi tertentu, sehingga rasa berkepentingan atas urgensi kebersamaan dalam perbedaan ideologi, kondisi, dan kehidupan ekonomi terbangun pada peserta didik. Kesadaran untuk menghargai perbedaan tidak selayaknya menghilangkan semangat dan dorongan untuk memperjuangkan terwujudnya tatanan ekonomi masyarakat berbasis nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi Dasar Negara.

Bertolak dari pemikiran seperti diuraikan sebelumnya, dapat diformulasikan makna pendidikan ekonomi di berbagai jalur dan jenjang pendidikan, sebagai berikut: Upaya sistematis dan terprogram melalui proses belajar untuk menjadikan peserta didik memiliki kemampuan untuk berperilaku ekonomi secara rasional, altruistik dan bermoral, dilandasi oleh pengetahuan, sikap, keterampilan ekonomi dan kapabilitas yang memadai, serta memiliki kesadaran untuk membela dan memperjuangkan nilai-nilai ekonomi keIndonesiaan berbasis ideologi Pancasila bagi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Diksi sistematis dan

(9)

terprogram dalam upaya pendidikan, pada dasarnya lebih sesuai dengan jalur pendidikan formal. Oleh karena biasanya proses belajar, utamanya di jalur informal (dalam lingkungan keluarga) tidak berlangsung secara sistematis dan terprogram. Meskipun demikian dapatlah dipahami bahwa orang tua yang berusaha untuk melakukan pendidikan ekonomi secara intensif dan dilakukan dengan sengaja melalui ketaladanan, diskusi atas masalah-masalah ekonomi, tuntutan perilaku bijak berekonomi, membangun kesadaran untuk peduli dan berbagi, walaupun tidak terjadwal dan berlangsung secara insidental, efektivitasnya dimungkinkan melebihi pembelajaran di jalur formal melalui sekolah yang dilakukan secara sistematis dan terprogram.

Dari pengertian pendidikan ekonomi seperti terungkap di atas, berperilaku ekonomi yang rasional artinya peserta didik menggunakan prinsip dan kaidah-kaidah ekonomi dalam menjalani aktivitas ekonomi.

Secara fungsional mereka (1) mampu mengakses informasi bagi pencapaian tujuan perilaku ekonomi, (2) mampu memilih dan menentukan tujuan dalam perilaku ekonomi, (3) mampu menyusun rencana untuk mencapai tujuan ekonomi, dan (4) mampu menilai tujuan perilaku ekonomi. Secara substansial peserta didik mampu menimbang logika dalam perilaku ekonomi, dan mampu memahami fenomena ekonomi yang ada di sekitarnya (literasi ekonomi) (Wahyono, 2011).

Menurut Mankiew (2018) rasionalitas ekonomi adalah kecenderungan pola sikap dan perilaku ekonomi yang mengedepankan (1) trade off, yaitu keseimbangan faktor-faktor yang semuanya tidak dapat dicapai pada saat yang bersamaan, (2) opportunity cost, yaitu biaya tambahan penggunaan sumber daya yang besarnya sama dengan perbedaan antara nilai aktual yang dihasilkan dari penggunaan sumber daya tersebut dengan nilai alternatifnya, (3) marginal change, yaitu efek per unit dari perubahan kecil dalam variabel yang terkait atau perbandingan antara marginal cost dan

(10)

marginal benefit, dan (4) incentives, yaitu imbalan yang menginduksi atau membangkitkan untuk bertindak dan melakukan aktivitas ekonomi.

Dengan berperilaku ekonomi yang rasional, seseorang memiliki kemampuan lebih untuk menyejahterakan kehidupan ekonominya.

Berperilaku ekonomi yang altruistik artinya peserta didik dalam menjalani kehidupan ekonominya memikirkan kepentingan orang lain, sehingga mereka memiliki kepedulian atas kesejahteraan orang-orang dan masyarakat di sekitarnya, maupun kesejahteraan bangsanya. Dalam disiplin ekonomi altruisme dapat dimaknai sebagai sikap dan hasrat untuk memperhatikan, peduli dan membantu orang lain, yang dilakukan dengan sengaja dan sukarela, tanpa dilandasi oleh motif memperoleh imbalan dan keuntungan diri sendiri. Pengukuran tingkat altruisme diindikasikan oleh persepsi diri seseorang, terkait sikap dan hasratnya untuk (1) bekerja sama dengan orang lain, (2) berbagi dengan orang lain. (3) menolong orang lain, (4) mendermakan hartanya untuk orang lain, (5) menjunjung kejujuran terhadap orang lain, dan (6) peduli pada kondisi dan masalah orang lain (Tov & Diener, 2008; Santrock, 2009; Kahana et.al., 2013; Xu

& Li, 2015; Pee, 2017; Frenken & Schor, 2017). Berperilaku ekonomi yang bermoral artinya peserta didik dalam tindakan ekonominya mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh etika kepribadian, etika sosial, etika agama, dan etika hukum. Etzioni (1992) mengungkapkan bahwa moralitas ekonomi terpaut dengan sikap: (1) imperatif (ketaatan pada pranata dan pemenuhan kewajiban dalam perekonomian); (2) tenggang rasa (kepedulian terhadap keberadaan orang lain, dan kemampuan untuk menimbang dampak tindakan terhadap pihak lain);

(3) menghargai kesetaraan (kemampuan untuk menimbang kondisi masyarakat sekitar dan penghargaan terhadap persamaan hak sebagai pelaku ekonomi); dan (4) menjunjung tinggi komitmen (sikap mengutamakan norma moral dan sikap prososial serta sikap

(11)

mengutamakan kerja sama dalam perilaku ekonomi). Dalam fenomena riil ternyata manusia mempertimbangkan aspek moral dalam pengambilan keputusan dan perilaku ekonominya (Jaworski, 1990;

Taylor, 2014; Perry, 2018). Hal terakhir yang perlu mendapatkan perhatian dalam pendidikan ekonomi adalah penanaman kesadaran untuk membela dan memperjuangkan nilai-nilai ekonomi keIndonesiaan berdasar Pancasila, dimaknai bahwa peserta didik memiliki ideologi ekonomi yang dianut dan dijadikan sebagai landasan perekonomian Indonesia, yaitu Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan, serta meyakini bahwa dengan ideologi ekonomi tersebut, bangsa Indonesia akan meraih kesejahteraan dan kemakmuran.

Pelaku Ekonomi Berkualitas dan Urgensi Pendidikan Ekonomi Kesadaran akan pentingnya pengembangan sumberdaya manusia sebagai pemicu keberhasilan pembangunan ekonomi telah tumbuh sejak para ekonom mulai memikirkan pertumbuhan ekonomi. Secara eksplisit pada awal perempat akhir abad XVIII, Adam Smith mengungkapkan tentang peran kerja dan produktivitas pekerja bagi kemakmuran suatu bangsa. Surplus sebagai dasar pembentukan kapital akan dapat dicapai oleh suatu bangsa, manakala produktivitas tenaga kerja yang menggerakkan sektor produktif perekonomian suatu negara terus ditingkatkan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi guna meraih kemakmuran, peningkatan produktivitas pekerja merupakan suatu keniscayaan. Pemikiran Adam Smith ini menjadi pemicu pengembangan kajian dan teori pembangunan ekonomi berbasis pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Kajian tentang peran sumberdaya manusia dalam pembangunan ekonomi dalam dimensi yang agak berbeda, tumbuh pada awal abad XIX.

Sumberdaya manusia dalam perekonomian tidak sekedar dilihat dari

(12)

perannya sebagai tenaga kerja yang menggerakkan mesin-mesin produksi bagi pertumbuhan ekonomi, akan tetapi secara lebih luas, dikaji pula sumbangannya dalam perekonomian, terkait dengan kemampuannya untuk mengelola sumberdaya lain melalui inovasi, pengembangan kapital, penciptaan peluang usaha dan kerja, serta keberanian menanggung resiko dalam suatu organisasi untuk menghasilkan produk barang dan jasa.

Pengungkapan peran sumberdaya manusia sebagai wirausaha (entrepreneur), dilakukan pertama kali oleh Jean-Babtiste Say (1803).

Meskipun demikian sebenarnya Say hanya mengembangkan pemikiran sebelumnya, yang diungkapkan oleh Richard Cantillon (1755).

Selanjutnya studi lebih luas dan mendalam tentang peran sumberdaya manusia sebagai entrepreneur bagi pertumbuhan ekonomi, baru berkembang lebih dari satu abad berikutnya, ketika Joseph Schumpeter menerbitkan bukunya “The Theory of Economic Development” di tahun 1934.

Bertolak dari pemikiran Schumpeter berkembang kajian-kajian tentang peran penting sumberdaya manusia sebagai wirausaha dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi, seperti yang dilakukan oleh Frank H. Knight (1961), yang meninjau kewirausahaan dari masalah resiko dan ketidakpastian; Harvey Leibenstein (1968), yang mengkaitkan kewirausahaan dengan pembangunan; dan Peter Drucker (1986), yang mengkaji masalah inovasi dan kewirausahaan. Berbagai studi terbaru juga membuktikan adanya pengaruh positif kewirausahaan terhadap pertumbuhan dan kemajuan ekonomi suatu negara.

Berbagai pemikiran tentang peran sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi, sejak awal mulanya hingga menjelang akhir perempat pertama abad XXI ini, lebih menitikberatkan sumberdaya manusia pada sisi sumbangannya bagi kegiatan produktif dalam roda kehidupan ekonomi, baik sebagai tenaga kerja maupun wirausaha.

Sumberdaya manusia lebih diposisikan sebagai salah satu faktor produksi

(13)

yang produktivitas dan kreasi inovatifnya sangat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Konsepsi yang demikian pada dasarnya benar belaka, meskipun demikian sebenarnya terdapat sisi lain yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam menempatkan peran sumberdaya manusia bagi pembangunan ekonomi. Lebih dari sekedar berperan sebagai faktor produksi, sumberdaya manusia berperan pula sebagai pelaku ekonomi, yang keputusan dan tindakan ekonominya berpengaruh dan mewarnai kehidupan ekonomi tidak saja pada tataran mikro, tetapi juga makro. Dalam konteks yang lebih luas, sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi dapat berperan dalam memacu pertumbuhan ekonomi, baik dalam kegiatan produktif maupun konsumtif. Dalam kegiatan produktif sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi, melakukan berbagai kegiatan lebih dari sekedar menjalankan perannya sebagai tenaga kerja atau wirausaha di sektor- sektor produktif. Berbagai kegiatan seperti menabung, berinvestasi (penyertaan modal dalam usaha, pembelian saham atau obligasi), jual-beli logam mulia, tanah ataupun properti, dan pemanfaatan berbagai sumberdaya untuk kegiatan produktif lain, merupakan contoh-contoh kegiatan produktif di luar peran sebagai faktor produksi, dan kegiatan- kegiatan tersebut selain memberikan tambahan pendapatan secara individual, secara makro juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitannya dengan kegiatan konsumtif, tidak dapat diingkari ada peran yang dapat disumbangkan sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi, terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama dalam konteks makro ekonomi (Schug & Wood, 2011).

Perkembangan terakhir terungkap dari pemikiran Peter Drucker yang mengawali munculnya konsepsi tentang ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Diungkapkan dalam publikasinya yang berjudul The Effective Executive, adanya perbedaan antara pekerja manual dan pekerja

(14)

pengetahuan. Pekerja manual bekerja dengan mengandalkan keterampilan tangannya dan menghasilkan barang atau jasa, sementara pekerja pengetahuan bekerja dengan kepala atau pikirannya untuk menghasilkan gagasan-gagasan, pengetahuan dan informasi. Ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dipandang sebagai tahap pengembangan paling akhir saat ini dalam restrukturisasi perekonomian global. Pada tahap tersebut terjadi gejolak dalam inovasi teknologi, dan kebutuhan persaingan global untuk berinovasi dengan produk-produk baru, dan temuan-temuan yang dikembangkan dari berbagai komunitas riset. Tidak dapat diselaki pada kondisi yang demikian pengembangan kualitas modal manusia (human capital) menjadi keniscayaan untuk meraih kemajuan, dan urgensi pendidikan ekonomi bagi terbentuknya pelaku ekonomi yang efektif dan efisien, tidak terbantahkan lagi. Selayaknya dunia pendidikan dengan kontribusi bidang pendidikan ekonomi, mencetak pekerja pengetahuan yang akan memproduksi gagasan-gagasan, pengetahuan dan informasi, seperti yang diungkap Peter Drucker lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Menyadarkan masyarakat dan terutama pengambil kebijakan akan urgensi pendidikan ekonomi bagi kemajuan bangsa, membutuhkan daya pikir untuk membayangkan, dan melahirkan ide-ide kreatif, yang disebut dengan imajinasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Albert Einstein: “Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution.” Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.

Pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi melingkupi seluruh dunia, merangsang kemajuan, melahirkan evolusi.

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan, selayaknya tidak sekedar difokuskan pada mengupayakan meningkatnya produktivitas sumberdaya manusia dalam perannya sebagai tenaga kerja dan wirausaha yang menggerakkan mesin-mesin produktif

(15)

perekonomian. Lebih dari itu, urgensi atas peningkatan kualitas sumberdaya manusia seharusnya diletakkan dalam cakrawala yang lebih luas, memandang sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi yang tindakan-tindakan ekonominya dalam skop mikro maupun makro memberi warna dan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (VanFossen, 2011). Kegiatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, berdasar premis tersebut, seyogyanya diarahkan pada upaya membentuk sumberdaya manusia dengan perilaku ekonomi yang rasional, altruistik dan bermoral, baik dalam kegiatan produktif maupun konsumtif.

Seperti diketahui asumsi dasar yang dikembangkan sejak kemunculan ilmu ekonomi menyatakan, bahwa manusia dalam perilaku ekonomi senantiasa bertindak rasional, digerakkan oleh kepentingan pribadi, berupaya memaksimalkan utilitasnya, dan tidak peduli dengan pihak lain.

Asumsi yang demikian sejak pertengahan abad XX tidak lagi dijadikan acuan, oleh karena secara aktual, ada faktor-faktor lain yang menggerakkan perilaku ekonomi manusia. Seperti diungkapkan oleh Bina Agarwal & Alessandro Vercelli (2003):

“Under standard economic assumptions, human beings are presumed to be narrowly rational, motivated by individual self-interest, preoccupied with maximizing personal utility or satisfaction, driven by cold economic calculation without concern for others, capable of instantaneous learning, and so on. Real people are found to be more complex, driven not just by selfinterest but also by altruism, guilt, liking, and other emotions.”

Jelaslah bahwa dalam kenyataan, manusia mengembangkan perilaku ekonomi yang lebih kompleks, tidak hanya digerakkan oleh kepentingan pribadi, tetapi juga digerakkan oleh keinginan untuk mengutamakan kepentingan orang lain, perasaan bersalah, kegemaran, dan reaksi-reaksi psikologis yang lain. Kompleksitas perilaku ekonomi manusia dalam

(16)

wacana kepentingan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, menuntut pengembangan program pendidikan berkarakteristik khusus yang mampu menjadikan sumberdaya manusia, berperilaku rasional secara ekonomi dan mempertimbangkan etika moral tindakannya, serta berkemampuan mengelola reaksi psikologis dalam berekonomi. Program pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan ekonomi.

Selayang Pandang Kesejahteraan

Dalam konteks ekonomi, kesejahteraan terkait dengan pengeloaan ekonomi baik pada tataran mikro maupun makro. Secara sederhana seseorang dinyatakan sejahtera, manakala yang bersangkutan mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan, yang ukurannya secara subjektif ditentukan oleh tingkat kepuasan dalam aktivitas ekonomi, baik konsumtif maupun produktif. Dengan demikian kesejahteraan pada dasarnya merupakan fungsi dari capaian kepuasan dalam aktivitas ekonomi individu. Hal tersebut terkait dengan teori kesejahteraan Neo Klasik (Albert dan Hahnel, 2005). Dengan aktivitas produktif seseorang menghasilkan pendapatan, tingkat kepuasan atas penghasilan yang diperoleh, merupakan salah satu fungsi dari kesejahteraan. Manakala pendapatan yang diperoleh cukup atau bahkan lebih untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan dalam aktivitas konsumtif, tingkat kepuasan yang diperoleh juga merupakan fungsi dari kesejahteraan. Pada prinsipnya konsepsi kesejahteraan menurut pandangan Neo Klasik bersifat subjektif, tergantung masing-masing individu dalam mempersepsi dan memaknai tingkat kepuasannya (Robbins dan Judge, 2007). Pada skala makro, kesejahteraan dikaji secara agregat dengan mengembangkan indikator-indikator yang bersifat umum dan dapat ditala pada kelompok masyarakat, pada tataran regional maupun nasional, bahkan global. Konsepsi yang demikian disebut dengan

(17)

kesejahteraan objektif. Secara ringkas dapat pula diungkapkan bahwa kesejahteraan subjektif adalah persoalan kepuasan hidup yang dihasilkan dari kualitas hidup, dan kesejahteraan objektif tidak lain adalah persoalan sosial yang dapat diukur yaitu mencakup komponen, kebutuhan hidup manusia, kebutuhan ekonomi dan kebutuhan lingkungan hidup.

Persepsi dan pemaknaan atas tingkat kepuasan hidup, yang menentukan tingkat kesejahteraan subjektif (subjective well-being) seseorang, biasanya terefleksikan pada tanggapan atas pengalaman emosional positif dan negatif serta evaluasi kognitif umum dan spesifik tentang kepuasan hidup. Dengan ungkapan lain secara singkat dapat dinyatakan bahwa kesejahteraan subjektif adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang atas kehidupannya (Diener, Lucas, & Oishi, 2002; Proctor, 2014). Lebih lanjut dikemukakan oleh Siedlecki et (2014) dan Proctor (2014) bahwa seseorang yang merasa bahagia dan puas atas kehidupannya atau secara subjektif sejahtera, cenderung memiliki penghargaan sosial yang lebih besar, hasil kerjanya baik, mampu mengatasi masalah, menjadi lebih kooperatif, prososial, dermawan, optimis, religius, sederhana dan aspiratif. Sementara Ogaki dan Tanaka (2017), mengemukakan bahwa dalam ekonomi perilaku, kesejahtaraan subjektif dimaknai dalam tiga konsep, yaitu kesejahteraan emosional (emotional well-being), kepuasan hidup (life satisfaction) dan sistem etika yang mendasarkan nilai moral pada kemungkinan terjadinya tindakan yang menghasilkan kebahagiaan (eudaemonism). Jadi tindakan yang bernilai moral dan beretika itu memberikan kebahagiaan pada orang yang memiliki kesejahteraan subjektif tinggi.

Terdapat dua teori yang biasa dipakai untuk menelaah kesejahteraan subjektif, pertama teori top-down yang melihat bahwa tingkat kesejahteraan subjektif seseorang dipengaruhi oleh cara orang yang bersangkutan mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa atau kejadian melalui sudut pandang yang positif. Dalam pandangan teori ini

(18)

diasumsikan bahwa, individulah yang menentukan dan memegang peranan penting apakah peristiwa dan pengalaman hidup yang dijalaninya menciptakan kesejahteraan bagi dirinya. Kedua, teori bottom-up yang menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang dipengaruhi oleh banyaknya kebahagiaan kecil dan kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia yang dirasakan dan dialami orang yang bersangkutan. Dengan demikian kesejahteraan subjektif dapat dimaknai sebagai akumulasi dari pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan seseorang.

Makin banyak peristiwa menyenangkan yang dialami seseorang, makin sejahtera orang tersebut. Tingkat kesejahteraan subjektif amat ditentukan oleh lingkungan dan situasi yang mempengaruhi pengalaman hidup seseorang, bila lingkungan dan situasi memberikan pengalaman hidup yang menyenangkan dan membahagiakan, maka kesejahteraan subjektif akan meningkat (Campbell dalam Compton, 2005; Diener dan Scollon, 2003 dan Lucas & Baird, 2004).

Berdasarkan pengertian dan teori yang dipergunakan untuk menelaahnya, maka pada dasarnya kesejahteraan subjektif yang dirasakan oleh seseorang, memiliki komponen afek, yaitu perubahan perasaan yang terjadi pada individu dalam kesadarannya, karena menanggapi peristiwa atau keadaan dalam kehidupannya. Bila peristiwa atau keadaan menurutnya buruk akan menimbulkan afektivitas negatif, sebaliknya bila menurutnya baik akan menumbuhkan afektivitas positif dan hal inilah yang mempengaruhi tingkat kesejahtaraan subjektif seseorang.

Berikutnya ada komponen kepuasan hidup, adalah kemampuan untuk menikmati pengalaman hidup disertai dengan rasa kebahagiaan. Ukuran kepuasan hidup seseorang biasanya dipengaruhi oleh standar yang ditentukan oleh individu yang bersangkutan secara subjektif, tergantung pada lingkungan, wawasan, pengalaman hidup, apresiasi dan ide-ide tentang kepuasan, serta pengalaman hidup di masa lalu (Diener, 1999;

(19)

Boniwell & Hefferon, 2011). Dari konsepsi tentang komponen kesejahteraan subjektif tersebut, dapat diungkapkan bahwa tingkat kesejahteraan subjektif sangat bersifat individu dan pengukurannya tidak dapat distandarkan berdasarkan tolok ukur yang baku dan bersifat umum.

Orang-orang yang cenderung berafektifitas positif, hidupnya penuh dengan rasa senang dan gembira serta terbuka dalam pergaulan, akan cenderung pula memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi.

Sebaliknya orang dengan afektifitas negatif, sering cemas, murung dan temperamen, akan cenderung rendah kesejahteraan subjektifnya.

Sementara itu, tentu saja kecenderungan seseorang untuk memiliki afektifitas positif atau negatif dipengaruhi oleh kepuasan hidup yang dirasakannya, dan hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengalaman yang teralami sepanjang hidup yang bersangkutan.

Untuk menilai kesejahteraan subjektif, biasanya digunakan laporan diri, berupa hasil evaluasi kepuasan hidup atau seberapa banyak yang telah individu alami pada perasaan tertentu, sehingga ini akan berbeda untuk setiap orang. Kesejahteraan subjektif merupakan komponen kunci dari kualitas hidup. Individu yang memiliki lebih banyak teman dan anggota keluarga, cenderung memiliki level yang lebih tinggi dalam hal kesejahteraan subjektifnya. Demikian pula orang yang memiliki kesejahteraan subjektif lebih tinggi, cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih dekat dan lebih mendukung, dibandingkan dengan individu dengan hubungan sosial yang kurang baik. Dengan memeriksa interaksi sehari-hari jelas terlihat bahwa hubungan suportif merupakan faktor penyebab dalam kesejahteraan subjektif yang tinggi (Diener & Biswas, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan jika ketika mereka terlibat dalam interaksi sosial secara umum, mereka lebih bahagia ketika berada di sekitar orang lain. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi, memiliki tingkat

(20)

kepercayaan diri, kehangatan, kemampuan bersosialisasi dan lebih banyak teman. Seseorang dengan kesejahteraan subjektif yang tinggi, sebenarnya menghasilkan sistem dukungan sosial untuk mereka sendiri (Kahneman

& Krueger, 2006). Kesejahteraan subjektif yang tinggi tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Terkadang ada anggapan bahwa orang yang mencari kebahagiaan adalah orang yang egois dan tidak bertanggung jawab, terlibat dalam sebuah kegiatan hanya untuk keuntungan dirinya sendiri daripada untuk kemajuan mayoritas mereka. Mereka yang mencari keterlibatan kesejahteraan subjektif yang tinggi lebih sering daripada orang dengan kesejahteraan subjektif yang rendah dalam hal kegiatan altruistik. Kesejahteraan subjektif yang tinggi menyebabkan fungsi yang lebih baik pada tingkat individu dan masyarakat (Tov & Diener, 2008).

Hubungan sosial didefinisikan sebagai struktur sosial yang dibuat hingga ikatan kontak anatara individu atau kelompok kerabat, kolega, teman, dan tetangga. Hubungan ini didasarkan peda kepercayaan timbal balik (De Belvis et al., 2008). Orang yang memiliki hubungan yang memuaskan atau hubungan yang baik terlihat memiliki perasaan lebih bahagia dan jarang sedih, merasa lebih puas dengan hidup mereka yang tidak memiliki hubungan sosial. Hubungan sosial yang baik dapat bermanfaat. Salah satu kemungkinannnya yakni individu yang memiliki hubungan yang memuaskan dapat memperoleh dukungan ketika mereka membutuhkannya, sedangkan mereka yang tidak memiliki hubungan yang baik tidak dapat dengan mudah memperoleh dukungan saat mereka membutuhkan. Hubungan sosial menjadi kunci dalam memahami hubungan antar kualitas hubungan sosial dan kesejahteraan subjektif.

Hubungan sosial memiliki konsep yang kompleks (Siedlecki et al., 2014).

Hubungan sosial mempengaruhi kesejahteraan dengan memberikan cinta, keintiman, dan bimbingan. Interaksi sosial ( hubungan) tidak boleh

(21)

disamakan dengan dukungan sosial karena interaksi sosial dapat melibatkan perselisihan, iri hati, pelanggaran privasi, ingkat janji, dan aspek negatif yang lainnya sebagai tambahan emosi positif seperti kasih sayang, kepuasan, dan kegembiraan. Interaksi yang negatif melanggar norma seperti kepercayaan, rasa hormat. Kualitas hubungan yang posistif dan negatif juga bisa memiliki efek independen pada kesejahteraan. Oleh karena itu penting untuk dilakukan pertimbnagan aspek positif dan negatif dari hubungan sosial dalam menyelidiki efek hubungan sosial pada kesejahteraan (Goswami, 2012). Sebuah hubungan sosial merujuk ke kebahagiaan dalam bentuk bantuan dan bantuan bisa diberikan kepada orang sekitar, sehingga secara luas akan membentuk suatu interaksi sosial.

Terdapat beberapa aspek sosial yang memiliki hubungan bervariasi dengan kesejahteraan subjektif yakni kepuasan hidup, pengaruh positif dan pengaruh negatif (Siedlecki et al., 2014).

Mencermati dan memahami makna tentang kesejahteraan, seringkali terjadi kerancuan diksi antara kesejahteraan dan kebahagiaan. Pemikir- pemikir kesejahteraan subjektif mengungkapkan bahwa kesejahteraan yang dimaksud, mengacu pada beragam studi ilmiah tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup. Dengan demikian mereka mempercayai bahwa kebahagiaan merupakan bagian dari kesejahteraan. Seperti diketahui dalam pengukuran kesejahteraan subjektif biasanya digunakan tiga indikator kesejahteraan utama, yaitu evaluasi kehidupan, emosi positif, dan emosi negatif (seringkali disebut sebagai pengaruh positif dan negatif). Pengukuran dan pemeringkatan kebahagiaan biasanya didasarkan pada evaluasi kehidupan, oleh karena evaluasi kehidupan yang diungkap oleh individu, dapat dijadikan sebagai ukuran kualitas hidup dan lebih stabil dibandingkan dengan indikator emosi positif atau negatif.

Meskipun demikian tak dapat diingkari bahwa evaluasi kehidupan yang sebenarnya terkait dengan aspek kognitif, berkorelasi erat dengan aspek

(22)

emosional. MenurutDiener et al. (1999) orang yang memiliki peringkat evaluasi kehidupan atau tingkat kepuasan hidup yang tinggi, cenderung melaporkan lebih banyak emosi positif yang menyenangkan, dibandingkan dengan orang yang peringkat evaluasi kehidupannya rendah. Berkenaan dengan hal tersebut, pengungkapan kesejahteraan subjektif secara makro pada tataran bangsa di seluruh dunia, digunakan indeks kebahagiaan (happiness index), sebagai cerminan hasil evaluasi kehidupan atau tingkap kepuasan hidup masyarakat di suatu negara.

Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Solutions Network), didukung oleh Gallup World Poll, sebuah lembaga independen yang tidak berafiliasi pada organisasi, badan atau program Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah melaporkan tentang indeks kebahagiaan dunia (the world happiness report). Ukuran yang digunakan untuk pemeringkatan indeks kebahagiaan adalah evaluasi kehidupan, alasan yang mereka kemukaan adalah, (1) evaluasi kehidupan memberikan ukuran paling informatif untuk perbandingan internasional karena evaluasi tersebut menangkap kualitas hidup dengan cara yang lebih lengkap dan stabil daripada laporan emosional berdasarkan pengalaman sehari-hari, dan (2) evaluasi hidup lebih berbeda antar negara daripada emosi dan lebih baik dijelaskan oleh pengalaman hidup yang sangat berbeda di berbagai negara. Emosi yang dialami hari sebelumnya dijelaskan dengan baik oleh peristiwa hari itu, sementara evaluasi kehidupan lebih dekat mencerminkan keadaan-keadaan kehidupan.

Meskipun demikian pada mereka juga memasukkan emosi positif dan negatif dalam studi eksploratifnya. Pada emosi positif, afek positif diberikan oleh rata-rata jawaban ya atau tidak, individu untuk tiga pertanyaan tentang emosi yang dialami atau tidak pada hari sebelumnya, meliputi tawa, kesenangan, dan belajar atau melakukan sesuatu yang menarik. Untuk emosi negatif, afek negatif diberikan oleh rata-rata

(23)

jawaban ya atau tidak, individu tentang tiga emosi yang dialami pada hari sebelumnya, meliputi khawatir, sedih, dan marah. Akan tetapi kajian terhadap emosi tersebut hanya dijadikan landasan untuk melacak perubahan pada berbagai aspek kehidupan akibat Covid-19. Pada studi yang dilakukan responden diminta untuk mengevaluasi kehidupannya saat ini secara keseluruhan, menggunakan gambaran mental tangga, dengan kemungkinan kehidupan terbaik bagi mereka sebagai 10 dan kemungkinan terburuk sebagai 0 dan setiap responden memberikan jawaban numerik pada skala ini, yang disebut sebagai tangga Cantril (dikemukakan pertama kali oleh Hadley Cantril pada tahun 1965). Studi dilakukan terhadap 146 negara, termasuk Indonesia. Cuplikan hasil studi berupa ranking kebahagiaan (ranking of happiness) 2019-2021 dapat disajikan pada diagram berikut:

Gambar 1. Ranking of Happiness 2019-2021

Sumber: World Happiness Report 2022 (Sustainable Development Solutions Network).

1 . F in la n d ( 7.8 2 1) 2 . D e n m a r k ( 7.6 3 6 ) 3 . I c e la n d ( 7.5 5 7 ) 4 . S w it z e r la n d ( 7.5 12 ) 5 . N e t h e r la n d s ( 7.4 1 5 ) 6 . L u x e m b o u r g * ( 7.4 0 4 ) 7. S w e d e n ( 7.3 8 4 ) 8 . N o r w a y ( 7.3 6 5 ) 9 . I s ra e l ( 7.3 6 4 ) 1 0 . N e w Z e a la n d ( 7.2 0 0 )

8 0 . R u s s ia ( 5 .4 5 9 )

8 1. H o n g K o n g S .A .R . o f C h in a ( 5 .4 2 5 ) 8 2 . A rm e n ia ( 5 .3 9 9 )

8 3 . Ta jik is ta n ( 5 .3 7 7 ) 8 4 . N e p a l ( 5 .3 7 7 ) 8 5 . B u lg a r ia ( 5 .3 7 1) 8 6 . L ib ya * ( 5 .3 3 0 ) 8 7. In d o n e s ia ( 5 .2 4 0 ) 8 8 . Iv o r y C o a s t ( 5 .2 3 5 ) 8 9 . N o r th M a c e d o n ia ( 5 .19 9 ) 9 0 . A lb a n ia ( 5 .1 9 9 )

E x p la in e d b y : G D P p e r c a p i ta E x p la in e d b y : s o c ia l s u p p o rt E x p la in e d b y : h e a lt h y li fe e x p e c t a n c y E x p la in e d b y : fre e d o m t o m a k e li fe c h o ic e s

E x p la in e d b y : g e n e r o s ity E x p la in e d b y : p e r c e p tio n s o f c o r r u p ti o n D y s to p ia ( 1.8 3 ) + r e s id u a l 9 5 % c e in te r v a l

(24)

Ada tujuh indikator yang dipakai untuk pemeringkatan indeks kebahagiaan, rerata pendapatan nasional bruto, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan untuk membuat pihan hidup, kemurahan hati, persepsi korupsi dan khayalan tentang kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan atau membahagiakan. Peringkat pertama diduduki oleh Finlandia dengan indeks kebahagiaan sebesar 7,821. Sementara Indonesia berada pada peringkat 87 dari 146 negara yang distudi, dengan indeks kebahagiaan sebesar 5,240. Meskipun peringkat Indonesia tidak menggembirakan, bila dicermati ada hal yang membanggakan, tingkat kemurahan hati (generosity) Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Selain itu bila dicermati, nampak masing-masing indikasi yang dipakai untuk menala indeks kebahagiaan, memberikan kontribusi yang seimbang, kecuali persepsi korupsi yang terbukti sangat rendah. Kondisi tersebut memberikan optimisme kedepan Indonesia akan mampu mencapai peningkatan indeks kebahagiaan.

Secara nasional hasil studi tentang kesejahteraan dapat dilihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indikator Kesejahteraan Rakyat 2020. Indikator yang dipergunakan untuk mengukurnya meliputi, Kependudukan, Kesehatan dan Gizi, Pendidikan, Ketenagakerjaan, Taraf dan Pola Konsumsi, Perumahan dan Lingkungan, Kemiskinan, serta Sosial Lainnya yang menjadi acuan dalam upaya peningkatan kualitas hidup. Indikator kesejahteraan rakyat di bidang sosial lainnya memberikan penjelasan perubahan taraf kesejahteraan rakyat pada bidang sosial di luar indikator-indikator yang telah disebutkan sebelumnya. Perkembangan indikator sosial lainnya menangkap adanya perubahan gaya hidup yang semakin bergeser menuju gaya hidup berbasis teknologi serta pola pikir masyarakat yang semakin maju seiring dengan terbukanya akses terhadap teknologi yang menghubungkan mereka dengan dunia luar, seperti media sosial dan akses terhadap internet. Hal

(25)

tersebut juga berpengaruh pada pandangan masyarakat terhadap kebutuhan akan leisure time, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya yang mengalami peningkatan.

Dari uraian singkat terkait dengan kesejahteraan, nampak bahwa masalah kesejahteraan terkait dengan berbagai aspek kehidupan, secara fisik maupun psikologis. Meskipun demikian tak dapat diingkari kesejahteraan berkaitan erat pemenuhan kebutuhan dasar. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, kesejahteraan individu dan masyarakat akan cenderung menurun, namun demikian apabila kebutuhan dasar terpenuhi secara teratur, faktor-faktor lain menjadi penting seperti pengembangan diri dan hubungan sosial untuk dipenuhi dan berpengaruh terhadap kesejahteraan (Myers & Diener, 1995). Dari pemikiran tersebut, dapatlah dipahami bahwa dari berbagai aspek kehidupan yang menentukan kesejahteraan, aspek ekonomi menjadi kunci utama untuk membuka dan mengembangkan aspek-aspek lain, seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sosial, ketenagakerjaan, kemiskinan, gaya hidup, dan akses terhadap teknologi untuk memperluas hubungan sosial. Perbaikan dan peningkatan kehidupan ekonomi pada tataran individu dan masyarakat, merupakan keniscayaan bagi peningkatan kesejahteraan bangsa.

Idealisme dan Realitas Ekonomi Pancasila

Ketika saya mengungkapkan judul pidato ini kepada seorang kolega di Prodi S1 Pendidikan Ekonomi, spontan dia menanyakan apakah Ekonomi Pancasila itu ada? Terkejut saya, bukan karena pertanyaannya, akan tetapi lebih pada kondisi kolega tersebut. Oleh karena jelas tertuang dalam visi Prodi Pendidikan Ekonomi: “Menjadi program studi yang unggul dan rujukan dalam penyelenggaraan pembelajaran ekonomi berbasis penelitian yang adaptif terhadap perkembangan IPTEKS, sosial

(26)

dan budaya dengan menekankan pada strategi pembelajaran ekonomi inovatif berbasis digital, dan penilaian otentik untuk menghasilkan lulusan pendidikan ekonomi yang kapabel dan berjiwa Pancasila.”, kata Pancasila jelas terpampang di sana, dan yang bersangkutan masih menanyakan apakah Ekonomi Pancasila itu ada? Sejenak keterkejutan itu luntur, setelah menyadari bahwa di Prodi S1 Pendidikan Ekonomi tempat saya mengabdi, matakuliah Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan memang tidak ada. Pantaslah kalau kolega saya meragukan keberadaan Ekonomi Pancasila. Berbeda dengan Prodi S1, di Prodi S3 Pendidikan Ekonomi disajikan matakuliah Ekonomi Pancasila dengan nama Ekonomi Kerakyatan. Keberadaan matakuliah Ekonomi Kerakyatan di Prodi S3 Pendidikan Ekonomi, terbukti telah mendorong beberapa mahasiswa menulis disertasi untuk mengembangkan matakuliah Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan. Salah satu mahasiswa bimbingan saya yang dengan sangat baik berhasil mengembangkan matakuliah Ekonomi Kerakyatan bernama Kiromim Baroroh dari Universitas Negeri Yogyakarta. Pembahasan tentang Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan, utamanya untuk bahasan realitasnya, yang saya ungkapkan dalam pidato ini, sebagian bersumber dari hasil kajian mahasiswa tersebut.

Dari sisi falsafah, secara ontologi, epistemologi dan aksiologi Ekonomi Pancasila layak menjadi kajian sebagai ilmu pengetahuan.

Keberadaan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu pengetahuan terbukti eksis, oleh karena Pancasila sebagai dasar negara, selayaknya seluruh tatanan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya berbasis pada nilai luhur Pancasila. Meskipun demikian secara eksplisit diksi Ekonomi Pancasila baru muncul pada tahun 1965, dan diungkap pertama kali oleh Emil Salim, seperti dikutip oleh Ismail (2014). Semenjak itu wujud Ekonomi Pancasila eksis menjadi kajian sebagai ilmu. Pemerolehan pengetahuan

(27)

tentang Ekonomi Pancasila dengan pendekatan ilmiah induktif dan deduktif telah dilakukan lebih dari setengah abad yang lalu. Tak dapat diingkari banyak tokoh-tokoh ekonomi dalam dan luar negeri tertarik untuk mengkaji secara ilmiah Ekonomi Pancasila, sebagai sistem ekonomi yang diyakini mampu menepis dampak buruk dari sistem ekonomi lain. Dari segi kemanfaatan, Ekonomi Pancasila layak dijadikan acuan untuk diterapkan dalam perilaku ekonomi, baik pada tataran mikro maupun makro, karena relevan dengan kondisi sosio kultural bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai moral tenggang rasa, pengendalian diri, gotong royong dan kekeluargaan (Limbong, 2013). Meskipun demikian tak pula dapat diselaki, semangat untuk membangun dan mengembangkan Ekonomi Pancasila kurang ngrembuyung (tumbuh dengan lebat), karena ada kekuatan tangan-tangan tak kelihatan yang lebih nyaman, bila Indonesia tetap bernuansa kapitalistik, liberalis yang kental dengan sistem ekonomi pasar, juga adanya kekuatan yang memperjuangkan diterapkannya sistem ekonomi berbasis keyakinan religi.

Secara yuridis Ekonomi Pancasila memiliki kekuatan legal untuk diimplementasikan. Dari masing-masing sila ada tuntutan untuk mempertimbangkan etika moral dalam perilaku dan praktek berekonomi, hal ini sebagai cerminan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Eksploitasi dan ketamakan perilaku ekonomi yang bertantangan dengan nilai-nilai peradaban manusia dilarang dan tidak dibenarkan, hal ini sebagai cerminan dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Praktek pembangunan ekonomi harus diarahkan sebagai upaya untuk menyatukan seluruh potensi anak bangsa dan diletakkan pada kepentingan dan kebanggaan nasional, sehingga terbangun pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, hal ini sebagai cerminan dari sila Persatuan Indonesia. Pengelolaan ekonomi negara dan

(28)

beragam kebijakan sebagai turunannya, seharusnya dilandasi oleh semangat demokrasi sebagai perwujudan untuk menjaga kekuasaan rakyat atas perekonomian negara, yang dijalankan melalui musyawarah pihak-pihak yang mewakilinya, hal ini sebagai cerminan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/

perwakilan. Terakhir pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan kemakmuran yang dicapai sebagai hasil pembangunan selayaknya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, sehingga ketimpangan ekonomi antar golongan dan wilayah dapat teratasi dan angka kemiskinan dapat ditekan serendah-rendahnya, hal ini sebagai cerminan dari sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Mubyarto, 2002).

Secara lebih operasional nilai-nilai Ekonomi Pancasila tersebar dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pasal 27 (ayat 2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2. Pasal 33 (ayat 1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

3. Pasal 33 (ayat 2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

4. Pasal 33 (ayat 3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

5. Pasal 33 (ayat 4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

(29)

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

6. Pasal 34 (ayat 1): Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

7. Pasal 34 (ayat 2): Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Meskipun Ekonomi Pancasila telah dengan jelas memiliki landasan yuridis yang mengikat untuk dilaksanakan terutama bagi pimpinan negara di tingkat pusat sampai ke daerah, realitasnya masih banyak ketentuan yuridis seperti terungkap di atas, yang belum dibijaki dan diimplementasikan. Harapan bagi diterapkannya ketentuan yuridis tersebut tentu tidak boleh padam, dan diperlukan upaya serius tanpa henti untuk menyadarkan seluruh warga bangsa guna memperjuangkannya. Upaya yang demikian hanya akan efektif melalui pendidikan di berbagai jalur dan jenjang pendidikan.

Emil Salim sebagai pencetus diksi Ekonomi Pancasila mengungkapkan lima ciri yang selayaknya mewarnainya, meliputi:

1. Peran negara beserta aparaturnya penting dalam perekonomian, akan tetapi tidak boleh terlalu mendominasi, sehingga terjebak dalam sistem etatisme. Demikian pula peran swasta juga perlu dibatasi, agar tidak terjebak pada sistem liberalisme. Dengan demikian perlu dicapai keseimbangan antara peran negara dan swasta.

2. Asas kekeluargaan perlu diterapkan pada hubungan kerja dalam dunia usaha, untuk menghindari dominasi peran kapital yang mengarah ke sistem kapitalis, demikian pula peran buruh juga tidak boleh terlalu dominan guna menghindari sistem sosialis. Dengan

(30)

demikian akan tercapai keserasian hubungan kerja dilandasi oleh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

3. Keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat perlu dicapai, dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat sebagai kesatuan bangsa, dengan tetap memandang terbukanya peran orang per orang secara berkeadilan, tanpa memandang suku, agama, ras dan adat istiadat.

4. Penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, sepenuhnya harus dimanfaatkan sebagai sumber utama bagi kemakmuran rakyat. Untuk itu dalam implementasinya perlu dipertimbangkan peran negara sebagai pemilik, pengatur, perencana, pelaksana dan pengawas, dengan tetap memperhatikan keterlibatan swasta atau pihak lain, namun tetap mengacu pada kepentingan kemakmuran rakyat.

5. Sistem Ekonomi Pancasila tidak bebas nilai, oleh karena dalam sistem ekonomi tersebut, manusia menjadi peran sentral dalam perekonomian. Untuk itu sistem nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila, selayaknya melandasi kehidupan ekonomi rakyat Indonesia (Ismail at all, 2014).

Berdasarkan kajian atas idealisme atau falsafah Ekonomi Pancasila, menarik untuk menampilkan bagan bangun Ekonomi Indonesia dalam tafsiran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dikemukakan oleh Ismail at all (2014), sebagai salah satu kerangka pikir untuk memahami dan menganalisis Ekonomi Pancasila. Bangun Ekonomi Indonesia yang ideal selayaknya diderefasikan dari falsafah Pancasila yang menjadi dasar negara dan secara yuridis konstitusional Undang-Undang Dasar 1945. Kedua inti acuan tersebut selayaknya diejawantahkan pada asas prinsipiel kebersamaan dan kekeluargaan dalam menjalankan roda

(31)

perekonomian. Pada konteks ini individualisme yang menjadi embrio kompetisi selayaknya dihindarkan dan tidak ada dalam praktek perekonomian Indonesia. Kerjasama (kooperasi) dalam suasana kekeluargaan harus menjadi hal yang utama. Berbasis asas kebersamaan dan kekeluargaan, kehidupan ekonomi Indonesia harus diletakkan pada fundamen nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, dan Kerakyatan. Keempat nilai tersebut akan menjadi fondasi yang kokoh untuk menyelenggarakan kehidupan ekonomi yang bersifat adil dan bermanfaat bagi rakyat. Berdasar prinsip keadilan dan kemanfaatan dalam penyelenggaraan ekonomi, dilakukan penataan terhadap kepemilikan sumber daya, penataan mekanisme penyelenggaraan ekonomi dan penataan pelaku ekonomi. Kesemua penataan tersebut pada ujungnya dipergunakan untuk menata kesejahteraan. Bagan yang dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Bangun Sistem Ekonomi Indonesia dalam Tafsiran Pancasila dan UUD 1945.

Sumber: Ismail at all (2014)

Landasan Idiil : Pancasila Landasan Konstitusional : UUD 1945

Asas Kebersamaan dan Kekeluargaan

Sendi: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan dan Kerakyatan

Prinsip Penyelenggaraan:

Keadilan dan Kemanfaatan

Tatanan Kepemilikan Sumber Daya

Tatanan Mekanisme Penyelenggaraan

Tatanan Pelaku ekonomi

Tatanan Kesejahteraan

(32)

Jauh sebelum Emil Salim mengungkap tentang Ekonomi Pancasila, masyarakat Indonesia telah mengenal istilah Ekonomi Kerakyatan yang diperkenalkan oleh Moh. Hatta. Hal ini sejalan dengan falsafah Ekonomi Pancasila, yang menempatkan manusia sebagai pusat orientasi dari seluruh kegiatan ekonomi, baik pada skala mikro maupun makro. Bahkan ada beberapa tokoh ekonomi Indonesia yang menyamakan Ekonomi Pancasila dengan Ekonomi Kerakyatan, tetapi sebagian yang lain mengungkapkan bahwa Ekonomi Kerakyatan merupakan bagian dari Ekonomi Pancasila, seperti yang dinyatakan oleh Mubyarto (1999) bahwa Ekonomi Kerakyatan merupakan sub sistem dari Ekonomi Pancasila.

Apapun konsepsinya, yang jelas Ekonomi Kerakyatan pada dasarnya adalah bentuk praktis terapan dari Ekonomi Pancasila. Dengan demikian narasi-narasi yang berkembang di seputar Ekonomi Kerakyatan terjiwai oleh falsafah Ekonomi Pancasila. Moh. Hatta (1976), mengungkapkan bahwa dalam sistem Ekonomi Kerakyatan, perekonomian nasional harus disusun dan diputuskan oleh rakyat, bukan oleh sekelompok orang, sehingga yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa adalah rakyat sendiri.

Dengan kata lain kedaulatan untuk menentukan jalannya perekonomian nasional berada di tangan rakyat.

Ada dua hal esensial yang melekat pada Ekonomi Kerakyatan, yaitu (1) Peran sentral yang menjadi objek sekaligus subjek pembangunan ekonomi adalah masyarakat atau rakyat sebagai warga bangsa. Untuk itu keterlibatan seluruh lapisan masyarakat sebagai warga bangsa sangat penting untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan berupa kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Dengan demikian mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga capaian pembangunan ekonomi, semuanya dari, oleh, dan untuk rakyat; (2) Keseimbangan dalam kegiatan berekonomi dan pelaku ekonomi, sehingga setiap lapisan masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi pada skala kecil, menengah, dan besar,

(33)

terjamin peluangnya oleh negara untuk berkembang. Ditegaskan oleh Sumodiningrat (1999), bahwa Ekonomi Kerakyatan sebenarnya merupakan implementasi dari demokrasi ekonomi, yang memberikan keluasan kepada rakyat untuk menjalankan kegiatan ekonomi, dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian Ekonomi Kerakyatan haruslah memihak dan mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Setiap anggota masyarakat diberi keleluasaan untuk bekerja dan berusaha. Perlindungan terhadap rakyat secara keseluruhan merupakan tugas negara, agar tercapai kesejahteraan bukan hanya perorangan atau sekelompok rakyat, tapi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Awang Santoso (2009) dalam bukunya “Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep dan Aplikasi” mengungkapkan tentang karakteristik Ekonomi Kerakyatan, sebagai berikut:

1. Ada peran vital negara untuk menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat melalui penguasaan atas sektor-sektor ekonomi produktif yang menguasai hajat hidup orang banyak, melalui pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian sektor-sektor produktif penting tersebut, tidak dikuasai oleh sekelompok rakyat, dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan terabaikan;

2. Perekonomian dijalankan dengan prinsip efisiensi berdasarkan atas keadilan, partisipasi dan keberlanjutan. Efisiensi penting diperhatikan dalam menjalankan roda perekonomian, akan tetapi efisiensi tersebut harus dimaknai secara komprehensif, tidak sekedar mempertimbangkan aspek pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas ekonomi, tetapi lebih menekankan pada prinsip keadilan bagi seluruh rakyat, menggalang partisipasi rakyat dan menjaga agar peningkatan kehidupan ekonomi terus berlanjut.

(34)

3. Mekanisme perekonomian dijalankan melalui perencanaan oleh negara, mekanisme pasar dan kerjasama atau koperasi. Dalam hal ini mekanisme alokasi sumberdaya ekonomi pada Ekonomi Kerakyatan, kecuali sektor-sektor produktif yang menguasai hajat hidup orang banyak, diserahkan pada mekanisme pasar dan juga mekanisme kerja sama (koperasi) secara beriringan.

4. Terkait dengan karakteristik sebelumnya, mekanisme pasar dan kerjasama yang berjalan beriringan, harus diarahkan pada upaya untuk memeratakan penguasaan modal atau faktor produksi kepada segenap lapisan masyarakat. Proses sistematis untuk mendaulatkan ekonomi rakyat melalui penguasaan modal atau faktor produksi ini, merupakan hal paling substantif dalam mewujudkan Ekonomi Kerakyatan.

5. Koperasi sebagai soko guru perekonomian. Melalui koperasi upaya untuk memeratakan penguasaan modal atau faktor produksi dapat dilakukan secara sistematis. Koperasi pada dasarnya merupakan bangun perusahaan yang paling sesuai dengan Ekonomi Kerakyatan, oleh karena berbeda dengan perusahaan perseroan, koperasi dikelola secara terbuka, dan modal menjadi milik bersama seluruh anggotanya.

6. Pola hubungan produksi bersifat kemitraan. Pada Ekonomi Kerakyatan yang didukung oleh bangun perusahaan berupa koperasi, tidak dikenal hubungan majikan buruh, akan tetapi seluruh anggota koperasi memiliki kedudukan dan hak suara yang sama. Dengan demikian sifat individualistis dan kapitalistis dapat dihindarkan.

7. Pemilikan saham oleh pekerja. Ekonomi Kerakyatan dengan ciri demokrasi ekonomi tidak saja akan mewarnai pengelolaan ekonomi di tingkat makro, pada tataran mikro menuntut pengelolaan perusahaan secara kolektif melalui pemilikan saham oleh pekerja,

(35)

sehingga pekerja yang merupakan sebagian besar dari rakyat memiliki kedaulatan atas modal atau faktor-faktor produksi.

Keraguan akan eksistensi Ekonomi Pancasila dan khususnya Ekonomi Kerakyatan, seperti yang telah diungkapkan di awal sub bagian ini, pada dasarnya lebih disebabkan oleh persepsi bahwa Ekonomi Pancasila dan juga Ekonomi Kerakyatan lebih banyak diwacanakan ketimbang dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi, baik pada tataran makro maupun mikro. Meskipun demikian tak dapat diselaki semenjak berakhirnya era orde baru, upaya-upaya untuk merealisasikan Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan, dapat dilihat secara faktual.

Beberapa kondisi yang dapat dijadikan contoh misalnya, penggelontoran dana desa, yang dapat berdampak pada peningkatan peran masyarakat dalam perekonomian di tingkat lokal. Melalui dana desa tumbuh kedaulatan ekonomi desa, dan peluang masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal menjadi terbuka. Realitas berikutnya tentang pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan, melalui program-program pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan koperasi, pemberdayaan UMKM dan penguatan lembaga pedesaan maupun lembaga swadaya masyarakat, program padat karya dan inkubator ekonomi kerakyatan. Berikutnya beragam program penanganan kemiskinan, seperti program keluarga sejahtera, pengembangan sistem perlindungan sosial dan beragam program kemitraan, melengkapi bukti adanya realitas Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan.

Menjalin Konsepsi Membangun Imajinasi

Terdapat tiga konsepsi yang terjalin pada ide yang saya ajukan dalam kesempatan yang membahagiakan ini. Konsepsi tentang Pendidikan

(36)

Ekonomi, Kesejahteraan, dan Ekonomi Pancasila. Pada dasarnya jalinan tersebut secara implisit telah terungkap dari rumusan pengertian pendidikan ekonomi yang saya buat, yaitu “upaya sistematis dan terpogram melalui proses belajar untuk menjadikan peserta didik memiliki kemampuan untuk berperilaku ekonomi secara rasional, altruistik dan bermoral, dilandasi oleh pengetahuan, sikap, keterampilan ekonomi dan kapabilitas yang memadai, serta memiliki kesadaran untuk membela dan memperjuangkan nilai-nilai ekonomi keIndonesiaan berbasis ideologi Pancasila bagi tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa”. Pendidikan ekonomi pada jalur informal, non formal dan di berbagai jenjng jalur formal, hendaknya bertujuan untuk membentuk perilaku ekonomi yang berkualitas peserta didik. Sebagai konsumen mereka efisien dalam perilaku konsumtif, efektif dalam perilaku produktif, sehingga kelak setelah mereka harus mandiri, menjadi pelaku ekonomi yang bijak dalam pengambilan keputusan ekonomi, produktif dan secara ekonomi berkemampuan dan hidup sejahtera.

Dengan kesejahteraan yang diraih, diharapkan mereka tidak terjebak dalam kehidupan individualis dan egois yang terlalu mementingkan dirinya sendiri sebagai homo economicus, untuk itu dalam pendidikan ekonomi perlu ditanamkan nilai-nilai altruisme, yaitu dorongan untuk mempertimbangkan, bahkan menguatamakan kepentingan orang lain, sehingga selain menjadi homo economicus, mereka juga menjadi homo socius.

Dengan altruisme peserta didik nantinya akan menjadi semakin sejahtera, oleh karena salah satu aspek penting dalam kesejahteraan adalah intensitas hubungan sosial.

Tidak kalah pentingnya dari rasionalitas dan altruisme, pendidikan ekonomi juga harus menginternalisasikan moralitas ekonomi. Manusia ekonomi yang menjunjung tinggi moralitas akan taat pada pranata dan pemenuhan kewajiban dalam hidup berekonomi, mampu menimbang

(37)

dengan baik tindakan ekonominya terhadap orang lain, menimbang kondisi masyarakat sekitar dan menghargai persamaan hak sebagai pelaku ekonomi, dan mengutamakan norma moral serta bersikap pro sosial mengutamakan kerjasama dalam perilaku ekonomi. Keberhasilan untuk menginternalisasikan moralitas ekonomi, akan menjadikan peserta didik kelak menjadi anggota masyarakat dan sekaligus warga negara yang baik, sekaligus sejahtera. Oleh karena dampak dari perilaku tidak bermoral akan membuat seseorang tidak sejahtera. Dikaitkan dengan hasil ranking indeks kebahagiaan yang telah dipaparkan di atas, terbukti penyebab utama skor indeks kebahagiaan Indonesia rendah, berkaitan erat dengan masalah moral ekonomi, yaitu persepsi korupsi. Bila pendidikan ekonomi mampu menginternalisasikan dengan baik moralitas ekonomi, niscaya skor persepsi korupsi tidak sedemikian rendahnya, dan berarti indeks kebahagiaan Indonesia akan naik. Terakhir, pendidikan ekonomi seharusnya juga menginternalisasikan nilai-nilai Ekonomi Pancasila sebagai idologi ekonomi bangsa. Nampak dari ulasan tentang altruisme dan moralitas ekonomi, aspek-aspek nilai ekonomi banyak yang bersesuaian dengan nilai-nilai Ekonomi Pancasila. Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa internalisasi atas nilai-nilai Ekonomi Pancasila seyogyanya lebih ditekankan untuk membangun komitmen peserta didik guna memperjuangkan diterapkannya Ekonomi Pancasila baik dalam kehidupan pribadinya maupun masyarakat yang ada di sekitar kehidupannya.

Bertolak dari uraian di atas, secara ringkas dapat dinyatakan pendidikan ekonomi memiliki urgensi untuk membentuk manusia sebagai warga masyarakat dan warga bangsa yang memiliki perilaku ekonomi berkualitas, sehingga mereka mampu mencapai kehidupan ekonomi yang baik. Capaian kehidupan ekonomi yang baik, sebagai hasil pendidikan ekonomi, akan membawa seseorang mampu meraih

(38)

kesejahteraan, oleh karena seperti telah terungkap sebelumnya bahwa dari berbagai aspek kehidupan yang menentukan kesejahteraan, aspek ekonomi menjadi kunci utama untuk membuka dan mengembangkan aspek-aspek lain, seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan sosial, ketenagakerjaan, kemiskinan, gaya hidup, dan akses terhadap teknologi untuk memperluas hubungan sosial. Perbaikan dan peningkatan kehidupan ekonomi pada tataran individu dan masyarakat, merupakan keniscayaan bagi peningkatan kesejahteraan bangsa.

Kepentingan untuk meningkatkan pendidikan ekonomi yang tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan, selayaknya ditempatkan pada kerangka Ekonomi Pancasila yang menjadi cita-cita sekaligus anutan luhur bangsa Indonesia.

Rekomendasi yang dapat diajukan untuk memperbaiki sekaligus mengembangkan pendidikan ekonomi, sebagai berikut:

1. Program studi Pendidikan Ekonomi sebaiknya tidak hanya memfokuskan diri untuk melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat terbatas hanya pada lingkup pendidikan formal pada jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Kancah penelitian dan pengabdian masyarakat dapat diperluas untuk jalur pendidikan informal dan non formal, dengan bersinergi bersama Program studi Pendidikan Luar Sekolah, diharapkan dapat dihasilkan program- program pendidikan ekonomi yang berkualitas untuk keluarga dan anggota masyarakat di luar jalur pendidikan formal atau persekolahan.

2. Diperlukan pemetaan kebutuhan belajar ekonomi sesuai dengan pertumbuhan psikologis anak. Selama ini topik-topik yang disajikan dalam kurikulum berkisar pada konsep dasar dan permasalahan ekonomi, diperluas dengan teori-teori dasar ekonomi konvensional baik mikro maupun makro. Perbedaan sajian materi ekonomi di

(39)

jenjang dasar dan menengah, hanya pada tingkat kesederhanaan dan kompleksitas bahasannya. Selain itu sebaiknya pendidikan ekonomi perlu diberikan sejak peserta didik berada di jenjang PAUD hingga akhir pendidikan menengah. Di tingkat PAUD hingga tahun-tahun awal Sekolah Dasar (SD) peserta didik perlu diberi pembelajaran tentang home economics dengan topik-topik di seputar pengelolaan ekonomi rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, nutrisi, menjahit, mengelola uang, mengelola waktu, dan lain sebagainya. Home economincs penting untuk mengcover kebutuhan belajar ekonomi anak, yang tidak tertangani dengan baik oleh orang tuanya.

3. Pada jenjang tengah Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama, dapat dikembangkan topik-topik pendidikan ekonomi tentang masalah-masalah dasar ekonomi, disertai dengan teori mikro ekonomi sederhana, perilaku bijak berkonsumsi, mengenal dan memahami lingkungan kehidupan ekonomi di sekitar kehidupan peserta didik, untuk membangun kepedulian dan empati kepada masyarakat yang menghadapi masalah ekonomi dalam kehidupannya.

4. Pada jenjang Sekolah Menengah Atas perlu disajikan topik-topik pendidikan ekonomi tentang masalah insentif, prinsip tidak ada yang gratis dalam berekonomi, keputusan ekonomi dibuat dalam berbagai keterbatasan, peran perdagangan dalam mendorong kemajuan ekonomi, keuntungan mengarahkan bisnis terhadap berbagai aktivitas untuk meningkatkan kesejahteraan, prinsip manusia memperoleh pendapatan dengan membantu orang lain dan pemahaman bahwa kemajuan ekonomi dapat dicapai melalui perdagangan, investasi, teknologi dan lembaga ekonomi yang sehat, diperkaya dengan teori-teori ekonomi yang mendukungnya. Selain

Gambar

Gambar 1. Ranking of Happiness 2019-2021
Gambar 2. Bangun Sistem Ekonomi Indonesia dalam Tafsiran  Pancasila dan UUD 1945.

Referensi

Dokumen terkait

Bone density was determined using digital microradiography, the profile showed the increase of bone density in group that treated with combination of BPE 1000