• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Penegakan Hukum HAM di Indonesia dalam Perspektif Paradigma Keadilan Hukum Transendental

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Penegakan Hukum HAM di Indonesia dalam Perspektif Paradigma Keadilan Hukum Transendental"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

82

DOKTRINA: Journal of Law

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/doktrina

Penegakan Hukum HAM di Indonesia dalam Perspektif Paradigma Keadilan Hukum Transendental

Human Rights Law Enforcement in Indonesia the Perspective Transcendental Legal Justice Paradigm

Ni Nyoman Putri Purnama Santhi*, Yudi Gabriel Tololiu**, Bayu Anggara***

Program Studi Sarjana Hukum, Universitas Bali Internasional, Indonesia Jurusan Dharma Sastra, STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Indonesia

*Coresponding Email: putripurnama@iikmpbali.ac.id, yudigabriel@yahoo.co.id, anggarabayu796@gmail.com Diterima: Januari 2023; Disetujui: April 2023; Dipublish: April 2023

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang bagaimana penegakan hukum di Indonesia, dan bagaimana penegakan hukum dalam perspektif paradigma keadilan transendental. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan sumber data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder.

Penelitian ini termasuk penelitian normatif dengan pendekatan sintetik analitik. Berdasarkan hasil analisis, penegakan hukum di Indonesia baik pidana maupun perdata masih terpaku pada kepastian hukum sehingga mengabaikan keadilan substantif. Di sinilah diperlukan pergeseran dari paradigma penegakan hukum berdasarkan kepastian hukum menuju keadilan transenden. Kondisi ini terlihat dari beberapa putusan yang sangat formalistik dan berdasarkan undang-undang, dimana kepastian hukum menjadi garda terdepan dibandingkan dengan keadilan substantif sehingga keadilan tidak dirasakan oleh masyarakat. Kondisi ini juga sangat dipengaruhi oleh paradigma hukum yang dianut di Indonesia yaitu hukum positivis atau dikenal dengan paradigma hukum sistemik. Transendental dimulai dari pemikiran irasional dan metafisik seperti emosi, perasaan, insting, spiritualitas moral dan sebagai bagian dari ilmu bangunan. Dalam konteks ini, penegakan hukum perspektif paradigma keadilan hukum transendental menyoroti bagaimana tujuan hukum bermanfaat bagi keadilan dan kesejahteraan manusia, dimana hukum berlandaskan pada etika (moral) sehingga dapat menghasilkan keadilan substantif, bukan keadilan formalistik belaka yang merangkum sikap manusia untuk adil terhadap Tuhan sebagai pencipta, adil terhadap sesama manusia dan adil terhadap alam semesta.

Kata Kunci : Hukum HAM, Paradigma Keadilan Transendental Abstract

This research discusses how law enforcement is in Indonesia, and how does the law enforcement is in the perspective of a transcendental justice paradigm. This research is a library research using secondary data sources, namely primary and secondary legal materials. This research includes normative research with a synthetic analytic approach. Based on the results of the analysis, law enforcement in Indonesia, both criminal and civil, is still fixated on legal certainty, thus ignoring substantive justice. This is where a shift is needed from the law enforcement paradigm based on legal certainty to transcendent justice. This condition can be seen from several decisions that are very formalistic and based on laws, where legal certainty is at the forefront compared to substantive justice so that justice is not felt by the community. This condition is also strongly influenced by the legal paradigm adopted in Indonesia, namely positivist law or known as the systemic legal paradigm. Transcendental starts from irrational and metaphysical thoughts such as emotions, feelings, instincts, moral spirituality and as part of the science of building. In this context, law enforcement. The perspective of the paradigm of transcendental legal justice highlights how the objectives of Islamic law are beneficial to justice and human welfare. Where law is based on ethics (moral) so that it can produce substantive justice, not mere formalistic justice, which encapsulates human attitudes to be fair to God as the creator, fair to fellow human beings and fair to the universe.

Keywords: Human Rights Law, Transcendental Justice Paradigm

How to Cite: Santhi. N.N. P. P, Yudi Gabriel Tololiu. Y. G, Anggara. B. (2023). Penegakan Hukum HAM di Indonesia dalam Perspektif Paradigma Keadilan Hukum Transendental. Doktrina: Journal of Law. 6 (1): 82-103

(2)

83 PENDAHULUAN

Kondisi penegakan hukum di Indonesia masih sangat bersifat formalistik dan cenderung menganut eksistensi hukum, dimana kepastian hukum menjadi garda terdepan dibandingkan dengan keadilan substantif sehingga keadilan tidak dirasakan oleh masyarakat. Kondisi ini juga sangat dipengaruhi oleh paradigma hukum yang dianut di Indonesia yaitu hukum positivis atau dikenal juga dengan paradigma hukum sistemik, yakni kebenaran yang dianut merupakan kebenaran yang berasal dari akal, bukan hukum yang berasal dari Tuhan.

Hal tersebut sangat berbeda dengan hukum yang berasal dari wahyu Tuhan.

Tarik ulur antara kebenaran hukum ini telah menjadi wacana yang sangat panjang di kalangan para ahli hukum. Hukum kodrat misalnya, lebih memilih hukum yang berasal dari Tuhan sebagai pilihan untuk memvalidasi suatu kebenaran.

Namun hal tersebut menuai kritik disebabkan beberapa stagnasi dalam pelaksanaannya.

Menurut Shidarta, ketegasan positivisme hukum untuk menghilangkan syarat keterhubungan antara hukum dan moral melahirkan aksiologi. Konsep ini hanya sebatas untuk mencapai kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum adalah

prediktabilitas, yaitu kemampuan untuk melihat “seorang individu harus berperilaku tertentu”. Aspek aksiologis yang diupayakan positivisme hukum adalah kepastian hukum dengan mengambil sumber formal berupa peraturan perundang-undangan yang diyakini dapat diwujudkan sebagai berikut (Shidarta: 2006):

1. Hukum sebagai ide, nilai moral dan keadilan

2. Hukum sebagai norma, kaidah, peraturan, hukum yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sebagai produk kekuasaan suatu negara berdaulat tertentu

3. Hukum sebagai pranata sosial yang nyata dan fungsional dalam suatu sistem kehidupan sosial yang terbentuk dari pola tingkah laku yang melembaga.

Ada perbedaan mengenai konsep hukum dikarenakan pendekatan yang dipengaruhi berbeda-beda. Keberadaan hukum sangat erat kaitannya dengan keberadaan manusia karena struktur keberadaannya dibagi dengan orang lain di dunia dan manusia itu sendiri berakal dan memiliki hati nurani. Dengan demikian, mempelajari hukum dapat dilakukan dalam berbagai perspektif. Hal ini mencerminkan bagaimana hukum itu hidup dalam masyarakat. (Sidharta: 1999)

(3)

84 Berdasarkan pemahaman di atas, dapat dipahami bahwa harus ada satu konsep tentang apa yang disebut hukum.

Hukum merupakan realitas sosio-kultural yang dimana konstruksi konseptualnya akan tersusun secara berbeda dari satu perspektif ke perspektif lainnya. Hukum itu sendiri memiliki sifat “multi-facets” dan

“multi-logic”, yang dipahami bahwa hukum dapat dipelajari dari berbagai dimensi dan hukum mengandung suatu nilai di balik aturannya. Nilai tersebut secara esensi meliputi keadilan, kemakmuran, kebahagiaan, ketertiban. Di sisi lain mengutip pandangan menurut Absori, penalaran rasional dan keterhubungan batin yang dimiliki manusia bermuara pada ritme kesadaran akan kebenaran ilmu pengetahuan.

Konsep positivisme berasal dari cara pengajaran bahwa hukum bersifat mengatur, berlaku secara keseluruhan, dan ditetapkan oleh kekuasaan negara yang berkuasa. Selain itu, Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum digambarkan sebagai domain yang steril (bebas nilai) terpisah dari etika dan moral. Dalam konteks hukum positif, fungsi manusia sebagai penegak hukum dirasakan secara tidak langsung tersampingkan dan persoalan bagaimana keadilan dibangun tidak hanya dalam dimensi rasional dan terlepas dari moral dan etika. Di sisi lain

bersebrangan dengan pendapat Ibnu Miskawaih, kebahagiaan manusia terwujud jika mampu menjalankan kebajikan dan akhlak sehingga dapat bermuara pada hukum syariat. Berdasarkan hal ini, maka penelitian ini akan membahas pertama, bagaimana penegakan hukum di Indonesia secara umum, dan kedua, bagaimana penegakan hukum dengan perspektif paradigma keadilan transendental.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan menggunakan sumber data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini termasuk penelitian normatif dengan pendekatan sintetik analitik. Meminjam istilah dari Kuntowijoyo, dalam penulisan ini nantinya akan menyampaikan konsep- konsep dalam al-Qur'an tentang keadilan dan tindakan tentang keadilan yang ditawarkan para filosof muslim untuk menegakkan keadilan. Para penulis ingin menawarkan paradigma hukum transendental non-sistemik dengan mengambil kajian terhadap tujuan hukum dan keadilan (secara Hukum Islam) yang ditawarkan oleh filosof muslim yaitu Ibnu Miskawaih dan Keadilan Imam Assyatibhi.

(4)

85 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum di Indonesia masih dipengaruhi oleh paham hukum positivistik yang mengutamakan kepastian hukum. Dalam kajian ini akan diuraikan beberapa contoh kasus penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum, yaitu yang terkait dengan kasus disabilitas, kasus perempuan dan kasus kepemilikan tanah.

Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum terjadi pada kasus penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana. Dalam kondisi ini, aparat penegak hukum yang mengutamakan kepastian hukum menyebabkan aparat penegak hukum tidak memahami, tidak menghargai kondisi korban difabel, yakni salah satunya adalah kurangnya alat bukti yang mengakibatkan hilangnya keadilan yang diterima dari para difabel. Situasi ini mendorong para pegiat lembaga bantuan hukum dan organisasi difabel untuk terlibat mengadvokasi kasus- kasus difabel yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini dapat membantu para penegak hukum dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan.

Selain kasus disabilitas, penegakan hukum yang tidak adil juga kerap terjadi pada perempuan. Seperti halnya korban

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan yang sulit mendapatkan keadilan substantif. Dalam kondisi seperti ini, perempuan harus keluar rumah agar tidak menjadi korban kekerasan lebih lanjut namun sering disingkirkan oleh nusyuz (suami yang durhaka).

Kegagalan hukum yang terjadi di Indonesia seperti kasus di atas sangat dipengaruhi oleh sistem Positivisme dimana hukum diartikan sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan.

Dari sudut pandang ontologi, makna ini mencerminkan perpaduan antara idealisme dan materialisme. Penjelasan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam The Will Theory of Law karya John Austin dan The Pure Norm Theory of Law karya Hans Kelsen.

Menurut John Austin, aturan hukum positif harus disamakan dengan ekspresi tindakan keinginan, sedangkan di samping itu sistem hukum harus disamakan dengan semua aturan hukum positif yang berasal dari kehendak kedaulatan yang sama. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pengertian hukum di sini sebagai perintah yang berdaulat. Terhadap apapun yang bukan perintah bukanlah hukum, hanya perintah umum yang dianggap sebagai hukum dan hanya perintah yang berasal

(5)

86 dari kedaulatanlah yang merupakan hukum positif (Hart: 2006)

HLA Hart (dalam Sidharta: 2006) memberikan gambaran tentang istilah positivisme sebagai berikut: Ungkapan positivisme digunakan dalam literatur Anglo-Amerika kontemporer untuk menunjuk satu atau lebih pendapat berikut: 1)bahwa hukum adalah perintah manusia; 2)bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan moral, atau hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana mestinya; 3) bahwa analisis atau studi tentang makna konsep- konsep hukum merupakan studi penting untuk dibedakan dari (walaupun sama sekali tidak bermusuhan dengan) penyelidikan sejarah, penyelidikan sosiologis, dan penilaian kritis hukum dalam hal moral, tujuan sosial, fungsi, & c;

4) bahwa suatu sistem hukum adalah suatu sistem logika tertutup dimana keputusan- keputusan yang tepat dapat disimpulkan dari aturan-aturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya hanya dengan cara-cara logis; penilaian moral tidak dapat ditetapkan, seperti pernyataan fakta, dengan argumen rasional, bukti atau bukti (non kognitivisme dalam etika).

Bagi aliran positivisme, tidak ada hukum selain hukum positif yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Hukum positif berbeda jika

dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain yang didasarkan pada moralitas, agama, kebiasaan sosial. Konsep positivisme ini sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif, segala persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis.

Pandangan yang sangat mengagungkan hukum tertulis dalam positivisme hukum ini, sesungguhnya merupakan penghormatan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, sehingga kekuasaan ini dianggap sebagai sumber hukum dari negara hukum. (Isra: 2018).

Hukum positivisme, atau biasa dikenal dengan Ius Constitutum, adalah hukum yang berlaku saat ini untuk komunitas tertentu di suatu wilayah tertentu dimana singkatnya hukum yang berlaku bagi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu (Sapoetra: 1983).

Hans Kelsen anti-empiris dan bukan anti-positivis. Setelah menyimak kutipan- kutipan pemikirannya, akan jelas bahwa Kelsen sebenarnya adalah penganut aliran positivisme (Hans Kelsen lebih menekankan pada ajaran teori hukum murni, yaitu ajaran yang memandang hukum sebagai benar-benar sollens kategorie (seharusnya) dan bukan sebagai seinskategorie (itu adalah), bebas dari

(6)

87 semua unsur non yuridis seperti sosiologi dan etnisitas).

Paradigma Penegakan Hukum Transendental

Keadilan adalah hakikat hukum. Para penegak hukum memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menciptakan keadilan bagi masyarakat. Satjipto Rahardjo mengusung teori hukum progresif sebagai kritik terhadap dominasi positivis di Indonesia yang secara tidak langsung menghilangkan keadilan dalam penegakan hukum.

Berdasarkan hukum progresif, hukum itu harus berpihak pada rakyat. Keadilan harus ditempatkan di atas aturan. Penegak hukum harus berani mendobrak kekakuan teks peraturan yang disebut mobilisasi hukum jika teks tersebut mengacaukan rasa keadilan masyarakat. Hukum progresif bertujuan untuk membawa manusia menuju kemakmuran dan kebahagiaan.

Hukum harus memiliki tujuan yang lebih jauh daripada yang diusulkan oleh filsafat liberal, dimana filosofi hukum liberal harus mensejahterakan dan membahagiakan rakyat.

Dalam konteks ini, pemikiran Satjipto Raharjo sesuai dengan pemikiran Imam Ibnu Miskawaih tentang kebajikan jiwa, kecerdasan spiritual, keadilan dan

kemanusiaan, serta Maqoshidusyyari'ah menurut Imam As-Syatibiy, dimana antara hukum dan penegaknya harus memperhatikan kepentingan manusia yakni hukum untuk manusia. Pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh para filosof muslim pada tahun 87 Hijriah hampir tidak pernah menjadi rujukan para ahli hukum termasuk fakultas hukum di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Kecerdasan spiritual ini juga ditawarkan oleh Imam Ibnu Miskawaih.

Pemikiran ini juga didukung oleh Bernat Arif Sidarta, bahwa pembangunan hukum di Indonesia harus mampu menciptakan sistem hukum yang melindungi, mensejahterakan, menjamin ketertiban, kedamaian dan keadilan rakyat Indonesia sehingga hukum Indonesia dapat berfungsi sebagai pelindung. Dalam pengertian ini, perlindungan hukum mengandung arti yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan berlangsungnya proses sosial secara adil dan adil dengan memberikan kesempatan yang luas bagi setiap manusia untuk mengembangkan segala sesuatunya yakni potensi kemanusiaan mereka secara

(7)

88 keseluruhan. Perlindungan hukum dilakukan dengan cara:

1. Disiplin dan ketertiban yang menimbulkan prediktabilitas;

2. ketenangan damai;

3. Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif, dan preferensi);

4. Kesejahteraan dan keadilan sosial;

5. Pengembangan akhlak mulia

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam penelitian ini, Para penulis menawarkan kajian tentang pergeseran paradigma kepastian hukum menuju keadilan berbasis transendental.

Transendental yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagaimana hukum Islam mengajarkan keadilan kepada seluruh umat manusia. Padahal pada kenyataannya, hukum positif yang digunakan dalam penegakan hukum di Indonesia hanya berangkat dari rasionalitas yang meninggalkan agama, moral dan etika, padahal hukum itu untuk manusia. Hukum harus memiliki dimensi keadilan substantif, bukan hanya keadilan formalistik.

Menurut Absori, paradigma hukum transendental adalah paradigma hukum yang dapat diambil dari agama, etika dan moralitas. Agama, etika dan moral bukan hanya satu aspek tetapi terkait erat dengan teologi doktrinal dan ibadah.

Transendental dimulai dari pemikiran irasional dan metafisik seperti emosi,

perasaan, insting, spiritualitas moral dan sebagai bagian dari ilmu bangunan. Dalam konteks ini paradigma transendental yang kami tawarkan adalah transendental dalam Islam. (Absori: 2019)

Perkembangan hukum transendental, khususnya hukum Islam, juga mengalami kendala dalam penegakannya jika hanya bersandar pada makna normativitas. Upaya menggeser makna hukum Islam dari normativitas ke kolektivitas menjadi ide dasar untuk menjaga hukum Islam sebagai pelopor kepatuhan hukum manusia.

Keinginan agar hukum Islam bergerak dari mahdhah ke ghairu mahdhah telah menjadi visi para ahli hukum Islam dalam setiap diskursus yang dilakukan. Dari sinilah bahan-bahan filsafat yang berkaitan dengan hukum bergerak, dengan harapan kajian filsafat hukum Islam menjadi cikal bakal munculnya hukum Islam yang humanis. Hukum yang ada di negara- negara muslim, termasuk Indonesia, saat ini sangat didominasi oleh paradigma positif dan rasional yang bertumpu pada kepastian hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan merupakan perintah Allah. Ada beberapa Nash Qur'an dan hadits tentang perintah berbuat adil sebagaimana tertuang dalam surat al Hujuraat ayat 9:

“Dan jika dua golongan di antara kaum mukmin berperang, maka berdamailah

(8)

89 antara keduanya. Namun jika salah satu dari mereka menindas yang lain, maka perangilah yang menindas hingga kembali kepada ketetapan Allah. Dan jika ia kembali, maka berdamailah diantara mereka dengan adil dan berlaku adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Istilah lain yang digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan arti adil adalah al-qist, yang aslinya berarti nasib an-nasib bil-adl pembagian yang adil. Ayat ini memiliki makna yang berbeda dengan Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 8: “Wahai orang- orang yang beriman, berdirilah teguh karena Allah, bersaksilah dengan adil, dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum menghalangimu untuk berlaku adil. Jadilah adil; yang lebih dekat kepada kebenaran.”

(Al-Ma`idah/5:8).

Selain dalam Nash Qur'an, terdapat pula hadits Nabi Muhammad tentang keadilan sebagai berikut: “Tidak seorang pun yang berkuasa atas suatu urusan pada umat ini (umat Muhammad), maka dia tidak berlaku adil di antara mereka, kecuali Allah SWT akan melemparkan dia ke neraka” (History of Ma'qil) (Al-hasyimi:

1993). Teorema Nash dan hadits di atas menunjukkan bahwa keadilan adalah sarana untuk memberikan kemaslahatan manusia.

Menjawab kajian tentang bagaimana hukum Islam mengajarkan keadilan kepada seluruh umat manusia, para penulis ingin menggunakan pendekatan Imam Ibnu Miskawaih dalam menawarkan

gasannya. Selain karena Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli filsafat dan hukum Islam, pemikiran yang dihasilkan sangat rasional namun tidak meninggalkan wahyu.

Jika pemikiran Imam Assyatibi lebih fokus pada bagaimana tujuan hukum Islam untuk kemaslahatan keadilan dan kesejahteraan manusia. Imam Ibnu Miskawaih seolah melengkapi bagaimana menjadikan manusia sempurna sebagai penegak keadilan dan etika yang dapat membuat seseorang dapat berbuat adil. Hal ini tampaknya sejalan dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh Undang-undang itu sendiri dan para penegaknya.

Pendekatan transendental dengan menggunakan pendekatan filsafat hukum Islam bertujuan agar hukum Islam dapat dikaji secara mendasar hingga ke hal-hal yang paling mendasar dalam pembahasan hukum Islam itu sendiri, sekaligus membuka peluang bagi para ahli hukum untuk memiliki pengetahuan hukum yang mendalam sehingga agar para ahli hukum atau siapapun lebih percaya akan kebenaran ajaran Islam yang terkandung

(9)

90 dalam syariat Islam. Oleh karena itu pendekatan filosofis dalam kajian hukum Islam sangat penting karena berguna untuk pembentukan hukum (Izomiddin: 2018).

Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya, maupun proses penetapannya, Disini peran para penegak hukum adalah sangat berarti dalam menegakkan keadilan.

Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan Islam, hukum berasal dari Allah, dan dalam mengembangkannya peran seorang mujtahid atau ahli hukum sangat penting. Sebagaimana tujuan hukum yang dirumuskan oleh Imam Assythibi adalah untuk kemaslahatan, hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai, etika dan moral.

Dalam karyanya al-Muwafaqot, al- Syatibi menggunakan kata yang berbeda terkait dengan maqoshid as - syari'ah. Kata- kata tersebut adalah maqoshid as-syari'ah, al- maqsadah as-syari'ah fiasy-syari'ah al- maqoshid min syari'I al hukm. Menurutnya, syari'at bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Kajian ini berangkat dari pandangan bahwa segala kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat. Tidak ada hukum Allah yang tidak memiliki tujuan. Hukum yang tidak memiliki tujuan sama dengan taklif mala yuthoq (memaksakan sesuatu yang tidak

dapat dilaksanakan), sesuatu yang tidak dapat terjadi pada hukum Allah. (Asy Syatibi, tt, hal. 2-3)

Dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur utama yang harus dijaga dan diwujudkan. Lima unsur utama tersebut adalah agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al- mal). Dalam upaya mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al- Syatibi membagi menjadi tiga tingkatan maqhosid atau tujuan syari’ah, yaitu yang pertama, maqhosid al-dharuriyat (tujuan utama), maqhosid ini dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok tersebut.

dalam kehidupan manusia. Kedua, Maqoshid al Hajiyat (tujuan sekunder), tujuannya adalah untuk menghilangkan kesulitan atau membuat pemeliharaan lima unsur utama menjadi lebih baik. Ketiga, Maqhosid al-tahsiniyat (tujuan tersier),

Menurut Imam Al-Syatibi, doktrin maqoshid as-syari'ah merupakan kelanjutan dan pengembangan dari konsep maslahah sebagaimana dicanangkan sebelum masa al-Syathibi. Menurutnya, kesatuan hukum Islam berarti kesatuan pada asal-usulnya dan terlebih lagi pada acuan hukumnya. Untuk menegakkan tujuan hukum ini, beliau mengedepankan

(10)

91 ajarannya yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.

Di samping itu, Ibnu Miskawaih (932- 1030 M) hidup pada zaman kekhalifahan Abbasiyah. Dia banyak berbicara dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq. Dalam buku ini, ia merumuskan konsep untuk membangun etika yang dapat membawa kebahagiaan bagi individu dan masyarakat karena menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk berbuat kebaikan, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan pikiran.

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa manusia sebagai penegak hukum meliputi pemahaman: Pertama, adanya kodrat tubuh membuat manusia terikat oleh hukum ruang, waktu, dan material. Adanya hakikat jiwa membuat manusia mampu menjalin hubungan dengan Tuhan, menciptakan budaya dan peradaban.

Kedua, terdapat hubungan struktural dan fungsional antara badan sebagai substansi material dan jiwa sebagai substansi manusia yang immaterial, bukan hubungan manusia immaterial yang esensial. Ketiga, tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang berkaitan dengan tingkah laku dan sifat-sifat khusus yang dimiliki, yaitu daya pikir. Keempat, konsepsi Insan Kamil menekankan

kekuatan dan keagungan akal budi yang membuat manusia meninggalkan naluri, nafsu syahwiyah dan amarah terhadap hukum syari'ah dan hikmah berpikir.

Pemahaman transendental selalu dimaksudkan untuk perihal ibadah dan tunduk kepada hukum Allah meskipun akal diberi ruang dengan daya nalarnya untuk mencapai keunggulan dan melahirkan jiwa- jiwa yang bertaqwa. Transendensi yang ditawarkan baik oleh Imam Asyathibi maupun Ibnu Miskawaih sepenuhnya membimbing manusia untuk mencapai konsep pemikiran Insan Kamil yang secara aksiologis dapat mewujudkan keadilan sebagaimana tersebut di atas.

Keseimbangan jiwa antara sifat-sifat binatang buas, bahimiyah dan nathiqoh dalam tuntunan wahyu tentunya akan menghasilkan kecerdasan spiritual dan kemampuan seorang mujtahid (ahli hukum) bukan berdasarkan nafsu amarah semata. Dalam hal tersebutlah berkaitan dengan relevan dimensi keadilan transendental hukum, dimana hukum berlandaskan etika (moral) sehingga mampu melahirkan keadilan substantif bukan keadilan formalistik semata.

Dalam konteks di atas ketika manusia telah mencapai tingkatan tersebut, mereka akan menciptakan kebaikan dalam kehidupannya sehingga mencapai

(11)

92 kebahagiaan (Sa'adah). Secara sistematis dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran Ibnu Miskawaih tentang etika antara lain:

Kebaikan dan kebahagiaan Menurut Ibnu Miskawaih,

sebagaimana ditulis oleh Malik, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita mencapai batas akhir dan kesempurnaan bentuk. Kebaikan umum itu baik untuk semua manusia dalam posisinya sebagai manusia. Sementara itu, kebaikan khusus itu baik bagi seseorang secara pribadi.

Kebaikan dalam bentuk terakhir ini disebut kebahagiaan. Kebaikan memiliki identitas tertentu yang akan diterima secara umum oleh manusia, sedangkan kebahagiaan itu bervariasi tergantung orang yang mencarinya.

Pengertian kebahagiaan telah banyak dibicarakan oleh para pemikir Yunani yang pada dasarnya ada dua versi, yaitu pandangan pertama yang diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwa yang dapat mengalami kebahagiaan. Oleh karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih berhubungan dengan badan, selama itu pula kebahagiaan itu tidak akan diperoleh. (Miskawaih:

1999)

Keadilan

Keadilan adalah kebajikan jiwa yang muncul dari sentuhan kebijaksanaan, kesederhanaan dan kebenaran. Jika jiwa

saling membungkuk untuk tunduk pada jiwa. Keadilan menurut Ibnu Miskawaih ialah apa yang disebut dengan Keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan adalah apa yang dilakukan manusia terhadap Tuhan, keadilan bagi manusia harus berperilaku dalam menjalankan kewajibannya terhadap penciptanya. Keadilan di antara manusia merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Di samping itu, keadilan terhadap alam adalah dengan menjaga alam dan memanfaatkan alam dengan sebaik- baiknya.

Dalam mencapai hal tersebut, Imam Ibnu Miskawai menghadirkan teori keutamaan akhlak pada posisi Al Wasat (tengah) dimana patologi ini sebenarnya diperkenalkan oleh filsuf awal seperti Mencius, Plato, Aristoteles dan filsuf Muslim Al Kindi. Adapun Ibnu Miskawaih secara umum memberi arti “tengah”

(middle way) terhadap pemahaman teori tersebut. Hal ini termasuk posisi kekuatan dan kelemahan yang berkelanjutan, sedang, cocok, utama, ditinggikan, atau ekstrim dari setiap jiwa manusia. Untuk itu, aparat penegak hukum juga harus memadukan fungsi syariah dan filosofis untuk mencari jalan tengah. Syariah bekerja secara efektif untuk menciptakan posisi perantara bagi jiwa-jiwa yang bersemangat dan pemberani. Filsafat di sisi lain, bekerja

(12)

93 secara efektif untuk menciptakan posisi perantara bagi pemikiran jiwa. Aparat penegak hukum harus mampu menunjukkan kasih sayang kepada semua orang dimana cinta adalah untuk semua orang sebagaimana mengutip ungkapan Ibnu Miskawai, "Manusia dapat mencapai semua kebajikan" (al fadhilah). Manusia mencapai kesempurnaan hanya jika mereka mempertahankan jenisnya dan menunjukkan saling pengertian. Lebih lanjut, Miskawai menjelaskan bahwa jika orang berada di tengah masyarakat dan tidak berinteraksi satu sama lain, maka cinta itu akan tidak bisa terlihat. Hal ini dapat dipahami bahwa tegasnya, cara untuk mencapai keunggulan di sini adalah mengembangkan semua aspek psikologis dan bakat melalui kehidupan sosial, berhubungan dengan orang lain, dan mencapai jenis kebahagiaan lain yang belum ditemukan saat ini. Kebahagiaan, menurut Ibnu Miskawaih, adalah puncaknya dan kesempurnaan kebaikan.

Kebahagiaan sejati dan sempurna adalah sesuatu yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang istimewa dan sempurna.

Kebahagiaan tertinggi ini dimanifestasikan dengan menerima sejumlah besar radiasi dari atas yang memungkinkan seseorang untuk mencoba melepaskan tuntutan dunia

ini, menyempurnakan kecerdasannya, dan dicerahkan oleh cahaya ilahi.

Berdasarkan pemaparan di atas, relevansi hukum harus berdimensi transendental keadilan dimana hukum berlandaskan pada etika (moral) sehingga dapat menghasilkan keadilan substantif bukan sekedar keadilan formalistik dan terdapat rangkuman sikap manusia untuk adil terhadap Allah sebagai pencipta, adil terhadap sesama manusia, dan adil terhadap alam semesta.

Selain kasus disabilitas, penegakan hukum yang tidak adil juga kerap terjadi pada perempuan. Seperti halnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan yang sulit mendapatkan keadilan substantif. Dalam kondisi seperti ini, perempuan harus keluar rumah agar tidak menjadi korban kekerasan lebih lanjut namun sering disingkirkan oleh nusyuz (suami yang durhaka).

Kegagalan hukum yang terjadi di Indonesia seperti kasus di atas sangat dipengaruhi oleh sistem Positivisme dimana hukum diartikan sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan.

Dari sudut pandang ontologi, makna ini mencerminkan perpaduan antara idealisme dan materialisme. Penjelasan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam

(13)

94 The Will Theory of Law karya John Austin dan The Pure Norm Theory of Law karya Hans Kelsen. Menurut John Austin, aturan hukum positif harus disamakan dengan ekspresi tindakan keinginan, sedangkan di samping itu sistem hukum harus disamakan dengan semua aturan hukum positif yang berasal dari kehendak kedaulatan yang sama. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pengertian hukum di sini sebagai perintah yang berdaulat.

Terhadap apapun yang bukan perintah bukanlah hukum, hanya perintah umum yang dianggap sebagai hukum dan hanya perintah yang berasal dari kedaulatanlah yang merupakan hukum positif (Hart, 2006, hlm. 245)

HLA Hart (dalam Sidharta: 2006) memberikan gambaran tentang istilah positivisme sebagai berikut: Ungkapan positivisme digunakan dalam literatur Anglo-Amerika kontemporer untuk menunjuk satu atau lebih pendapat berikut:

1)bahwa hukum adalah perintah manusia;

2)bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan moral, atau hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana mestinya; 3) bahwa analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum merupakan studi penting untuk dibedakan dari (walaupun sama sekali tidak bermusuhan dengan) penyelidikan sejarah, penyelidikan sosiologis, dan

penilaian kritis hukum dalam hal moral, tujuan sosial, fungsi, & c; 4) bahwa suatu sistem hukum adalah suatu sistem logika tertutup dimana keputusan-keputusan yang tepat dapat disimpulkan dari aturan- aturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya hanya dengan cara-cara logis;

penilaian moral tidak dapat ditetapkan, seperti pernyataan fakta, dengan argumen rasional, bukti atau bukti (non kognitivisme dalam etika). Bagi aliran positivisme, tidak ada hukum selain hukum positif yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain yang didasarkan pada moralitas, agama, kebiasaan sosial.

Konsep positivisme ini sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif, segala persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagungkan hukum tertulis dalam positivisme hukum ini, sesungguhnya merupakan penghormatan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, sehingga kekuasaan ini dianggap sebagai sumber hukum dari negara hukum. (Isra: 2018).

Hukum positivisme, atau biasa dikenal dengan Ius Constitutum, adalah hukum yang berlaku saat ini untuk komunitas tertentu

(14)

95 di suatu wilayah tertentu dimana singkatnya hukum yang berlaku bagi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu (Sapoetra: 1983).

Hans Kelsen anti-empiris dan bukan anti-positivis. Setelah menyimak kutipan- kutipan pemikirannya, akan jelas bahwa Kelsen sebenarnya adalah penganut aliran positivisme (Hans Kelsen lebih menekankan pada ajaran teori hukum murni, yaitu ajaran yang memandang hukum sebagai benar-benar sollens kategorie (seharusnya) dan bukan sebagai seinskategorie (itu adalah), bebas dari semua unsur non yuridis seperti sosiologi dan etnisitas).

Paradigma Penegakan Hukum Transendental

Keadilan adalah hakikat hukum. Para penegak hukum memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menciptakan keadilan bagi masyarakat. Satjipto Rahardjo mengusung teori hukum progresif sebagai kritik terhadap dominasi positivis di Indonesia yang secara tidak langsung menghilangkan keadilan dalam penegakan hukum. Berdasarkan hukum progresif, hukum itu harus berpihak pada rakyat. Keadilan harus ditempatkan di atas aturan. Penegak hukum harus berani mendobrak kekakuan teks peraturan yang

disebut mobilisasi hukum jika teks tersebut mengacaukan rasa keadilan masyarakat.

Hukum progresif bertujuan untuk membawa manusia menuju kemakmuran dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan yang lebih jauh daripada yang diusulkan oleh filsafat liberal, dimana filosofi hukum liberal harus mensejahterakan dan membahagiakan rakyat.

Dalam konteks ini, pemikiran Satjipto Raharjo sesuai dengan pemikiran Imam Ibnu Miskawaih tentang kebajikan jiwa, kecerdasan spiritual, keadilan dan kemanusiaan, serta Maqoshidusyyari'ah menurut Imam As-Syatibiy, dimana antara hukum dan penegaknya harus memperhatikan kepentingan manusia yakni hukum untuk manusia. Pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh para filosof muslim pada tahun 87 Hijriah hampir tidak pernah menjadi rujukan para ahli hukum termasuk fakultas hukum di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Kecerdasan spiritual ini juga ditawarkan oleh Imam Ibnu Miskawaih.

Pemikiran ini juga didukung oleh Bernat Arif Sidarta, bahwa pembangunan hukum di Indonesia harus mampu menciptakan sistem hukum yang melindungi, mensejahterakan, menjamin ketertiban, kedamaian dan keadilan rakyat

(15)

96 Indonesia sehingga hukum Indonesia dapat berfungsi sebagai pelindung. Dalam pengertian ini, perlindungan hukum mengandung arti yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan berlangsungnya proses sosial secara adil dan adil dengan memberikan kesempatan yang luas bagi setiap manusia untuk mengembangkan segala sesuatunya yakni potensi kemanusiaan mereka secara keseluruhan. Perlindungan hukum dilakukan dengan cara:

1. Disiplin dan ketertiban yang menimbulkan prediktabilitas;

2. ketenangan damai;

3. Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif, dan preferensi);

4. Kesejahteraan dan keadilan sosial;

5. Pengembangan akhlak mulia

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam penelitian ini, Para penulis menawarkan kajian tentang pergeseran paradigma kepastian hukum menuju keadilan berbasis transendental.

Transendental yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagaimana hukum Islam mengajarkan keadilan kepada seluruh umat manusia. Padahal pada kenyataannya, hukum positif yang digunakan dalam penegakan hukum di Indonesia hanya

berangkat dari rasionalitas yang meninggalkan agama, moral dan etika, padahal hukum itu untuk manusia. Hukum harus memiliki dimensi keadilan substantif, bukan hanya keadilan formalistik.

Menurut Absori, paradigma hukum transendental adalah paradigma hukum yang dapat diambil dari agama, etika dan moralitas. Agama, etika dan moral bukan hanya satu aspek tetapi terkait erat dengan teologi doktrinal dan ibadah.

Transendental dimulai dari pemikiran irasional dan metafisik seperti emosi, perasaan, insting, spiritualitas moral dan sebagai bagian dari ilmu bangunan. Dalam konteks ini paradigma transendental yang kami tawarkan adalah transendental dalam Islam. (Absori, 2019)

Perkembangan hukum transendental, khususnya hukum Islam, juga mengalami kendala dalam penegakannya jika hanya bersandar pada makna normativitas. Upaya menggeser makna hukum Islam dari normativitas ke kolektivitas menjadi ide dasar untuk menjaga hukum Islam sebagai pelopor kepatuhan hukum manusia.

Keinginan agar hukum Islam bergerak dari mahdhah ke ghairu mahdhah telah menjadi visi para ahli hukum Islam dalam setiap diskursus yang dilakukan. Dari sinilah bahan-bahan filsafat yang berkaitan dengan hukum bergerak, dengan harapan kajian filsafat hukum Islam menjadi cikal

(16)

97 bakal munculnya hukum Islam yang humanis. Hukum yang ada di negara- negara muslim, termasuk Indonesia, saat ini sangat didominasi oleh paradigma positif dan rasional yang bertumpu pada kepastian hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan merupakan perintah Allah. Ada beberapa Nash Qur'an dan hadits tentang perintah berbuat adil sebagaimana tertuang dalam surat al Hujuraat ayat 9:

“Dan jika dua golongan di antara kaum mukmin berperang, maka berdamailah antara keduanya. Namun jika salah satu dari mereka menindas yang lain, maka perangilah yang menindas hingga kembali kepada ketetapan Allah. Dan jika ia kembali, maka berdamailah diantara mereka dengan adil dan berlaku adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Istilah lain yang digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan arti adil adalah al-qist, yang aslinya berarti nasib an-nasib bil-adl- pembagian yang adil. Ayat ini memiliki makna yang berbeda dengan Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 8: “Wahai orang- orang yang beriman, berdirilah teguh karena Allah, bersaksilah dengan adil, dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum menghalangimu untuk berlaku adil. Jadilah adil; yang lebih dekat kepada kebenaran.”

(Al-Ma`idah/5:8).

Selain dalam Nash Qur'an, terdapat pula hadits Nabi Muhammad tentang keadilan sebagai berikut: “Tidak seorang pun yang berkuasa atas suatu urusan pada umat ini (umat Muhammad), maka dia tidak berlaku adil di antara mereka, kecuali Allah SWT akan melemparkan dia ke neraka” (History of Ma'qil) (Al-hasyimi, 1993, hlm. 782). Teorema Nash dan hadits di atas menunjukkan bahwa keadilan adalah sarana untuk memberikan kemaslahatan manusia.

Menjawab kajian tentang bagaimana hukum Islam mengajarkan keadilan kepada seluruh umat manusia, para penulis ingin menggunakan pendekatan Imam Ibnu Miskawaih dalam menawarkan

gagasannya. Selain karena Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli filsafat dan hukum Islam, pemikiran yang dihasilkan sangat rasional namun tidak meninggalkan wahyu.

Jika pemikiran Imam Assyatibi lebih fokus pada bagaimana tujuan hukum Islam untuk kemaslahatan keadilan dan kesejahteraan manusia. Imam Ibnu Miskawaih seolah melengkapi bagaimana menjadikan manusia sempurna sebagai penegak keadilan dan etika yang dapat membuat seseorang dapat berbuat adil. Hal ini tampaknya sejalan dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa efektifitas

(17)

98 hukum ditentukan oleh Undang-undang itu sendiri dan para penegaknya.

Pendekatan transendental dengan menggunakan pendekatan filsafat hukum Islam bertujuan agar hukum Islam dapat dikaji secara mendasar hingga ke hal-hal yang paling mendasar dalam pembahasan hukum Islam itu sendiri, sekaligus membuka peluang bagi para ahli hukum untuk memiliki pengetahuan hukum yang mendalam sehingga agar para ahli hukum atau siapapun lebih percaya akan kebenaran ajaran Islam yang terkandung dalam syariat Islam. Oleh karena itu pendekatan filosofis dalam kajian hukum Islam sangat penting karena berguna untuk pembentukan hukum (Izomiddin, 2018, p 42). Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya, maupun proses penetapannya, Disini peran para penegak hukum adalah sangat berarti dalam menegakkan keadilan.

Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan Islam, hukum berasal dari Allah, dan dalam mengembangkannya peran seorang mujtahid atau ahli hukum sangat penting. Sebagaimana tujuan hukum yang dirumuskan oleh Imam Assythibi adalah untuk kemaslahatan, hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai, etika dan moral.

Dalam karyanya al-Muwafaqot, al- Syatibi menggunakan kata yang berbeda

terkait dengan maqoshid as - syari'ah. Kata- kata tersebut adalah maqoshid as-syari'ah, al-maqsadah as-syari'ah fiasy-syari'ah al- maqoshid min syari'I al hukm. Menurutnya, syari'at bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Kajian ini berangkat dari pandangan bahwa segala kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat. Tidak ada hukum Allah yang tidak memiliki tujuan. Hukum yang tidak memiliki tujuan sama dengan taklif mala yuthoq (memaksakan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan), sesuatu yang tidak dapat terjadi pada hukum Allah. (Asy Syatibi, tt, hal. 2-3).

Dalam mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur utama yang harus dijaga dan diwujudkan. Lima unsur utama tersebut adalah agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al- mal). Dalam upaya mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al- Syatibi membagi menjadi tiga tingkatan maqhosid atau tujuan syari’ah, yaitu yang pertama, maqhosid al-dharuriyat (tujuan utama), maqhosid ini dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok tersebut.

dalam kehidupan manusia. Kedua, Maqoshid al Hajiyat (tujuan sekunder), tujuannya adalah untuk menghilangkan

(18)

99 kesulitan atau membuat pemeliharaan lima unsur utama menjadi lebih baik. Ketiga, Maqhosid al-tahsiniyat (tujuan tersier),

Menurut Imam Al-Syatibi, doktrin maqoshid as-syari'ah merupakan kelanjutan dan pengembangan dari konsep maslahah sebagaimana dicanangkan sebelum masa al-Syathibi. Menurutnya, kesatuan hukum Islam berarti kesatuan pada asal-usulnya dan terlebih lagi pada acuan hukumnya. Untuk menegakkan tujuan hukum ini, beliau mengedepankan ajarannya yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.

Di samping itu, Ibnu Miskawaih (932- 1030 M) hidup pada zaman kekhalifahan Abbasiyah. Dia banyak berbicara dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq. Dalam buku ini, ia merumuskan konsep untuk membangun etika yang dapat membawa kebahagiaan bagi individu dan masyarakat karena menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk berbuat kebaikan, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan pikiran.

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa manusia sebagai penegak hukum meliputi pemahaman: Pertama, adanya kodrat tubuh membuat manusia terikat oleh hukum ruang, waktu, dan material. Adanya hakikat jiwa membuat manusia mampu

menjalin hubungan dengan Tuhan, menciptakan budaya dan peradaban.

Kedua, terdapat hubungan struktural dan fungsional antara badan sebagai substansi material dan jiwa sebagai substansi manusia yang immaterial, bukan hubungan manusia immaterial yang esensial. Ketiga, tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang berkaitan dengan tingkah laku dan sifat-sifat khusus yang dimiliki, yaitu daya pikir. Keempat, konsepsi Insan Kamil menekankan kekuatan dan keagungan akal budi yang membuat manusia meninggalkan naluri, nafsu syahwiyah dan amarah terhadap hukum syari'ah dan hikmah berpikir.

Pemahaman transendental selalu dimaksudkan untuk perihal ibadah dan tunduk kepada hukum Allah meskipun akal diberi ruang dengan daya nalarnya untuk mencapai keunggulan dan melahirkan jiwa- jiwa yang bertaqwa. Transendensi yang ditawarkan baik oleh Imam Asyathibi maupun Ibnu Miskawaih sepenuhnya membimbing manusia untuk mencapai konsep pemikiran Insan Kamil yang secara aksiologis dapat mewujudkan keadilan sebagaimana tersebut di atas.

Keseimbangan jiwa antara sifat-sifat binatang buas, bahimiyah dan nathiqoh dalam tuntunan wahyu tentunya akan menghasilkan kecerdasan spiritual dan

(19)

100 kemampuan seorang mujtahid (ahli hukum) bukan berdasarkan nafsu amarah semata. Dalam hal tersebutlah berkaitan dengan relevan dimensi keadilan transendental hukum, dimana hukum berlandaskan etika (moral) sehingga mampu melahirkan keadilan substantif bukan keadilan formalistik semata.

Dalam konteks di atas ketika manusia telah mencapai tingkatan tersebut, mereka akan menciptakan kebaikan dalam kehidupannya sehingga mencapai kebahagiaan (Sa'adah). Secara sistematis dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran Ibnu Miskawaih tentang etika antara lain:

Kebaikan dan kebahagiaan Menurut Ibnu Miskawaih,

sebagaimana ditulis oleh Malik, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita mencapai batas akhir dan kesempurnaan bentuk. Kebaikan umum itu baik untuk semua manusia dalam posisinya sebagai manusia. Sementara itu, kebaikan khusus itu baik bagi seseorang secara pribadi.

Kebaikan dalam bentuk terakhir ini disebut kebahagiaan. Kebaikan memiliki identitas tertentu yang akan diterima secara umum oleh manusia, sedangkan kebahagiaan itu bervariasi tergantung orang yang mencarinya.

Pengertian kebahagiaan telah banyak dibicarakan oleh para pemikir Yunani yang pada dasarnya ada dua versi, yaitu

pandangan pertama yang diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwa yang dapat mengalami kebahagiaan. Oleh karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih berhubungan dengan badan, selama itu pula kebahagiaan itu tidak akan diperoleh. (Miskawaih:

1999)

Keadilan

Keadilan adalah kebajikan jiwa yang muncul dari sentuhan kebijaksanaan, kesederhanaan dan kebenaran. Jika jiwa saling membungkuk untuk tunduk pada jiwa. Keadilan menurut Ibnu Miskawaih ialah apa yang disebut dengan Keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan adalah apa yang dilakukan manusia terhadap Tuhan, keadilan bagi manusia harus berperilaku dalam menjalankan kewajibannya terhadap penciptanya. Keadilan di antara manusia merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Di samping itu, keadilan terhadap alam adalah dengan menjaga alam dan memanfaatkan alam dengan sebaik- baiknya.

Dalam mencapai hal tersebut, Imam Ibnu Miskawai menghadirkan teori keutamaan akhlak pada posisi Al Wasat (tengah) dimana patologi ini sebenarnya diperkenalkan oleh filsuf awal seperti Mencius, Plato, Aristoteles dan filsuf Muslim Al Kindi. Adapun Ibnu Miskawaih

(20)

101 secara umum memberi arti “tengah”

(middle way) terhadap pemahaman teori tersebut. Hal ini termasuk posisi kekuatan dan kelemahan yang berkelanjutan, sedang, cocok, utama, ditinggikan, atau ekstrim dari setiap jiwa manusia. Untuk itu, aparat penegak hukum juga harus memadukan fungsi syariah dan filosofis untuk mencari jalan tengah. Syariah bekerja secara efektif untuk menciptakan posisi perantara bagi jiwa-jiwa yang bersemangat dan pemberani. Filsafat di sisi lain, bekerja secara efektif untuk menciptakan posisi perantara bagi pemikiran jiwa. Aparat penegak hukum harus mampu menunjukkan kasih sayang kepada semua orang dimana cinta adalah untuk semua orang sebagaimana mengutip ungkapan Ibnu Miskawai, "Manusia dapat mencapai semua kebajikan" (al fadhilah). Manusia mencapai kesempurnaan hanya jika mereka mempertahankan jenisnya dan menunjukkan saling pengertian. Lebih lanjut, Miskawai menjelaskan bahwa jika orang berada di tengah masyarakat dan tidak berinteraksi satu sama lain, maka cinta itu akan tidak bisa terlihat. Hal ini dapat dipahami bahwa tegasnya, cara untuk mencapai keunggulan di sini adalah mengembangkan semua aspek psikologis dan bakat melalui kehidupan sosial, berhubungan dengan orang lain, dan

mencapai jenis kebahagiaan lain yang belum ditemukan saat ini. Kebahagiaan, menurut Ibnu Miskawaih, adalah puncaknya dan kesempurnaan kebaikan.

Kebahagiaan sejati dan sempurna adalah sesuatu yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang istimewa dan sempurna.

Kebahagiaan tertinggi ini dimanifestasikan dengan menerima sejumlah besar radiasi dari atas yang memungkinkan seseorang untuk mencoba melepaskan tuntutan dunia ini, menyempurnakan kecerdasannya, dan dicerahkan oleh cahaya ilahi.

Berdasarkan pemaparan di atas, relevansi hukum harus berdimensi transendental keadilan dimana hukum berlandaskan pada etika (moral) sehingga dapat menghasilkan keadilan substantif bukan sekedar keadilan formalistik dan terdapat rangkuman sikap manusia untuk adil terhadap Allah sebagai pencipta, adil terhadap sesama manusia, dan adil terhadap alam semesta.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum di Indonesia seringkali gagal menegakkan hukum yang adil. Hal ini dikarenakan penegakan hukum di Indonesia masih dipengaruhi oleh konsep hukum positif yang mengutamakan

(21)

102 kepastian hukum, dimana hukum hanya berdasarkan otoritas yang berdaulat tanpa melihat asas lain seperti moralitas, agama, dan kebiasaan sosial. Pada dasarnya hukum berguna untuk mencapai keadilan, dimana para penegak hukum memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat.

Menurut pemikiran hukum progresif yang diusung Satjipto Raharjo, hukum harus berpihak pada rakyat. Oleh karena itu dalam penegakan hukum di Indonesia yang dapat dirasakan masih condong menggunakan paradigma kepastian hukum harus digeser menjadi paradigma keadilan yang berbasis transendental. Dalam mencapai keadilan berbasis transendental, para penulis mengkaji pendekatan pemikiran Imam Assyatibi dan Imam Ibnu Miskawaih yang seolah melengkapi bagaimana menjadikan manusia secara subjektifitas sebagai penegak keadilan dan dapat memiliki etika yang dapat membuat seseorang dapat berbuat adil.

Transendensi yang ditawarkan baik oleh Imam Asyathibi maupun Ibnu Miskawaih menuntun manusia untuk mencapai konsep pemikiran yang secara aksiologis dapat mewujudkan keadilan. Dengan demikian relevansi dimensi keadilan transendental hukum akan melahirkan hukum yang berlandaskan etika (moral) sehingga mampu melahirkan keadilan

substantif bukan keadilan formalistik semata.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2019). The Transcendental Paradigm Of The Develop Of The Law. Journal of Transcendental Law Vol I

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibi, al- muwafaqot, Dar Ibnu Affan, tt Al-Ghazali, Almushtasyfa minal Ilmi wa al Ushul.

Absori. (2017). Transpalasi Nilai Moral dalam Budaya Hukum Berkeadilan (perspektif Hukum Sistemik ke non Sistemik Charles Samford, Prosiding PPPMA

Ahmad, A. S.. (1993). Syarah Mukhtaarul Ahaadhts, (Bandung: CV Sinar Baru.

Arief, S. B. (1999) Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. (Bandung:

Mandar Maju

Endang, S. (2019). Pemaknaan Budaya Hukum:

Menggagas Kesejahteraan Masyarakat, Bogor: In Media,

Erwin, R. T. (1969). Tanya Jawab Filsafat Hukum, Jakarta: Rineka Cipta,

Friedman, L. M. (1979). The Legal System A Social Science Perspective, (New York: Russell Sage Foundation

Friedmann. (1998). Teori dan Filsafat Hukum:

Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Jakarta: Rajawali Press

Ghofur, A. A. (2006). Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Hanitijo, S. R. (1989). Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, Semarang: CV Agung,

Isra, S. (2018). Filsafat Hukum (Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi)), Depok:

PT. Raja Grafindo

Izomiddin. Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam.

(Jakarta: Prenada Media Group, 2018) Karta Sopetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Bina Aksara, 1983).

Kelsen, H. (1995). General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Soemardi, Cetakan Pertama, Jakarta: Rimdi Press

Miskawaih, I. (1999). Tahdzibulakhlak, Mesir;

Kurdistan Al ilmiah 1329. Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika, diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dari Tahdzib al-Akhlak, Bandung: Mizan

Nata, A. (2004). Metodologi Studi Islam.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(22)

103 Rahardjo, S. (1983). Aneka Persoalan Hukum dan

Masyarakat, Bandung: Penerbit Alumni S.T. Kansil, (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Syamsul Bakri “Pemikiran Islam dan Filsafat”,

Jurnal Al-A’raf IAIN Surakarta Vol. XV, NO.1, 2018.

Shidarta. (2006). Karakter Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Cv. Utomo Syukri, al-Bani Nasution Muhammad. (2014).

Filsafat Hukum Islam Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Referensi

Dokumen terkait

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.. Hum Chairul Bariah,

Sementara itu pada dimensi tindakan hukum lain, bahwa tindakan hukum lain ialah tindakan hukum di bidang hukum Perdata atau hukum Tata Usaha Negara diluar penegakan hukum,

Dengan perspektif hukum Islam progresif dalam integrasi hukum nasional (positif) inilah akan memulai melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi, dengan modernisasi

Masalah pokok yang diteliti adalah: Pertama, bagaimana wujud penegakan hukum positif Islam di Pengadilan Agama untuk mewujudkan keadilan dalam pembagian harta bersama dalam

Dengan ditemukan nilai ideal keadilan dapat mengatur keseimbangan kepentingan umat manusia baik kepastian hukum, kesejahteraan, kebahagian, pendidikan dan

Dengan perspektif hukum Islam progresif dalam integrasi hukum nasional (positif) inilah akan memulai melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi, dengan modernisasi

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEREDARAN MINUMAN KERAS DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI HUKUM ABSTRAK Sheryl Dhea Irheine Regitacahya Puspitarini1, Dadin Eka Saputra2, Fathan

033 yang berjudul: PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEJAHATAN KLITIH DI POLRES KLATEN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM Sudah dapat dimunaqasyahkan sebagai salah satu syarat