• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN DAN PERBURUAN SATWA YANG DILINDUNGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN DAN PERBURUAN SATWA YANG DILINDUNGI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

323

PENERAPAN DOUBLE TRACK SYSTEM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN DAN PERBURUAN SATWA

YANG DILINDUNGI

Fadhel Halilintar

Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Jl. RS. Fatmawati Raya, Pd. Labu, Kec. Cilandak, Kota Depok, Daerah

Khusus Ibukota Jakarta 12450 Email: fadhelhlntr@gmail.com

Slamet Tri Wahyudi

Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Jl. RS. Fatmawati Raya, Pd. Labu, Kec. Cilandak, Kota Depok, Daerah

Khusus Ibukota Jakarta 12450 Email: slamettriwahyudi@upnvj.ac.id

Abstrak

Perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi merupakan suatu tindak pidana yang serius karena selain mengancam lingkungan akibat dari tindak pidana ini juga menimbulkan kerugian bagi Negara, Selain karena factor ekonomi factor lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi ini juga menjadi pemicu maraknya perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi, Dalam sistem pemidanaan modern dikenal dengan adanya double track system yaitu penjatuhan sanksi pidana melalui dua jalur yaitu sanksi pidana sebagai penjatuhan nestapa terhadap pelaku tindak pidana dan juga sanksi tindakan sebagai pemberian pendidikan terhadap pelaku tindak pidana yang mana hal ini sudah menjadi kecenderungan internasional akibat dari dianutnya aliran neo klasik. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana formulasi sanksi yang ideal terhadap tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi. Jenis Penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian normative dengan pendekatan konseptual dan juga pendekatan perundang undangan, Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dengan tidak adanya batas minimal vonis terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi dalam UU No. 5 Tahun 1990 mengakibatkan ringannya vonis yang dijatuhkan sehingga hal ini tidak menimbulkan efek jera kemudian penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi masih belum efektif karena tidak adanya pemulihan dari akibat tindak pidana yang ditimbulkan.

(2)

324

Kata-Kunci: Double Track System, Perburuan satwa, Perdagangan satwa, Ekosistem

Abstract

Hunts and wildlife trafficking that are protected are serious crimes because beyond threatening the environment the result of these crimes also causes harm to the state, it is not only because its economic factor In modern targeting systems, it is known as the double track system, which measures measures of criminal sanctions across two lines, and criminal penalties for assessing the convictions of convicted felons, which is already an international trend as a result of their inherent inaction. The purpose of this writing is to review how the ideal formulation for sanctions against the protected criminal hunts and animal trade. The kind of research in this study is normative research with a conceptual approach as well as a constitutional approach, In the study, it was found that with the absence of a minimum sentence against the convicted felons and wildlife trafficking protected in act no. 5 in 1990 resulted in a lightening of the sentence that was rendered so as not to have a lasting deterrent to those convicted of hunts and protected animal trafficking as ineffective.

Keywords: Double Track System, Animal Hunt, Animal Trade, Ecosystem

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara yang memiliki beraneka macam satwa endemic (hanya terdapat di Indonesia) di dalamnya. Keberadaan dari para satwa ini saat ini terancam kepunahan dengan adanya kegiatan perburuan dan perdagangan satwa ilegal, Di Indonesia sendiri terdapat antara lain 3.305 spesies amphibi, burung, mamalia dan reptile, Dan diantarnya 31,1%

nya endemic, Celakanya dari hewan endemic tersebut 9,9% nya terancam punah.1 Satwa liar dan ekosistemnya di dunia ini saling bergantung satu dan lainnya maka dari itu jika adanya satwa yang punah di alam maka ini akan menimbulkan terganggunya ekosistem yang ada di bumi, maka atas dasar ini lah diperlukan pengaturan terhadap perlindungan satwa tersebut.2

Tindak pidana perdagangan dan perburuan satwa yang dilindungi ini merupakan suatu ancaman yang besar terhadap kelangsungan hewan yang terancam punah tersebut yang mana hal ini juga berbahaya terhadap keseimbangan lingkungan hidup, Berdasarkan data dari World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020

1 WWF Indonesia, Strategic Planning 2014-2018 WWF Indonesia (WWF Indonesia, 2014).

2 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Bandung: Alumni, 2001).

(3)

325 setidaknya mencatat ada 8 ton gading gajah beredar di Sumatera selama 10 tahun terakhir, lebih dari 100 orang Orangutan diselundupkan keluar negeri tiap tahun, lebih dari 2.000 Kukang diperdagangkan di Jawa dan juga diselundupkan ke luar negeri, dan 2.000 ekor Tringgiling dijual ilegal keluar negeri setiap bulan serta Harimau diperdagangkan di facebook.3

Rantai perdagangan dan perburuan satwa yang dilindungi ini tidak pernah terputus, Proses dari mulai perburuan sampai dengan perdagangan di pasar gelap mulai dari hewan hidup/mati bahkan juga organ dari hewan tersebut, Penyebab dari meningkatnya perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi ini diakibatkan dengan tingginya permintaan dari pasar,factor yang mendorong tingginya permintaan pasar itu adalah keinginan dari masyarakat untuk memiliki satwa yang dilindungi tersebut ini karena pemilik satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup merasa memiliki status berbeda dan juga gengsi yang tinggi, karena tidak semua orang dapat memilikinya, Kemudian adanya mitos di masyarakat yang terus berkembang terkait penggunaan organ organ satwa dengan alasan kesehatan, jaga badan, jimat dan lain sebagainya. Hal ini lah yang menyebabkan harga satwa liar dan bagian tubuhnya terus meningkat dari waktu ke waktu dikarenakan semakin sulitnya untuk mendapatkannya dan juga resiko yang diterima. Kesadaaran masyarakat terhadap perdagangan dan perburuan satwa yang dilindungi ini masih relaitf kurang, banyak masyarakat yang menganggap bahwa kepemilikan dan pemakaian organ atau kulit dari satwa yang dilindungi ini bukan merupakan suatu kejahatan.

Dari sisi penegakan hukum putusan hakim (vonis) terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar masih rendah dan juga belum dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana tersebut.4 Sehingga membuat perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi ini terus menjadi jadi.

Pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar biasanya dijerat dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp.100.000.000,-. Aturan hukum yang sudah berusia 31 tahun itu dianggap sudah tidak efektif karena tidak menjatuhkan vonis minimal di dalamnya sehingga pada praktiknya pelaku tindak pidana hanya dihukum dalam hitungan bulan.

3http;//www.internationalanimalrescue.or.id/pelaku-perdagangan-satwa-liar- dilindungi-akan-dijera-uu-pencucian-uang/.

4https://programs.wcs.org/btnbbs/Berita-Terbaru/articleType/ArticleView/

articleId/8444/memutus-rantai-perburuan-dan-peredaran-satwa-liar-dengan-penegakkan- hukum-dan-sosialisasi-undang-undang-no5-tahun-1990 .aspx.

(4)

326

Penetapan sanksi pidana dalam pemidanaan sejatina menjadi hal yang sangat vital karena hal ini lah yang akan menunjukan efektivitas dari pada pemidanaan sendiri serta memberikan arah dalam pemidanaan kedepannya, Tujuan pemidanaan seperti yang termuat dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2019 dalam Pasal 52 yang berbunyi: Pemidanaan bertujuan: a) Mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat; b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan d) Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.5 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Sementara itu tujuan pemidanaan dalam teori gabungan yang menitkberatkan penjatuhan pidana pada dua alasan yaitu sebagai suatu pembalasan dan sebagai ketertiban bagi masyarakat.6

Dalam sistem hukum pidana modern dikenal dengan adanya Double Track System dalam hal penjatuhan pidana yang mana hal ini bertujuan untuk menjatuhkan dua sanksi secara sekaligus terhadap para pelaku tindak pidana yaitu sanksi pidana dan juga sanksi tindakan, Merujuk dari penjelasan diatas melalu penelitian ini saya mencoba untuk menawarkan bagaimana konsep double track system dapat di implementasikan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi yang mana konsep ini menjathkan sanksi pidana yang berupa pidana penjara serta sanksi tindakan yang mana berupa kerja sosial, ini di harapkan dapat memberikan pendidikan bagi para pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya kembali serta dengan diterapkannya sanksi tindakan dapat membantu untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Sehingga dapat memenehi teori tujuan pemidanaan

Mengacu terhadap uraian latar belakang yang disajikan tersebut, oleh sebab itu Penulis dapat mengemukakan rumusan masalah sebagaimana di bawah ini:

1. Bagaimana pengaturan dan efektivitas sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa

5 Rancangan Undang-Undang Pidana Tahun 2019.

6Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

(5)

327 berdasarkan Undang undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya?

2. Bagaimana konsep ideal double track system dalam penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana Perburuan dan Perdagangan satwa yang dilindungi?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemuakan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya. Sisi normatif disini tidak sebatas pada peraturan perundang-undangan saja .

Pendekatan dalam penelitian ini merupakan pendekatan perundang undangan (Statue Approach) yang mana penelitian ini menggunakan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perburuan dan perdagangan satwa yang terancam punah, kemudian penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual yang mana pendeketan konseptual (conceptual approach) ini memberikan sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan konsep- konsep yang digunakan.yang mana dalam penelitian ini juga menggunakan konsep konsep pemidanaan dalam uu lain

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, sumber data yang diambil berdasarkan dari peraturan perundang undangan yaitu Undang Undang Dasar 1945, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kitab Undang undang Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Pidana, Yang mana peraturan peraturan tersebut berhubungan dengan penelitian yang akan ditulis. Selain sumber ini penulisan ini juga bersumber dari buku, artikel dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan perburuan dan perdagangan satwa liar, selain itu juga besumber dari kamus untuk beberapa istilah yang terdapat dalam KBBI maupun Ensiklopedia.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku buku, literature, catatan dan laporan yang memeiliki keterkaitan dengan perdagangan dan perburuan satwa liar serta masalah yang akan dipecahkan.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah adalah kualitatif teknik analisis data kualitatif merupakan data yang bukan angka. Teknik

(6)

328

analisis data kualitatif memperoleh data dari studi dokumen, wawancara, diskusi dan observasi. Dalam penulisan ini terfokuskan kepada studi dokumen, karena penulisan ini mengkaji dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perburuan dan perdagangan satwa liar.

PEMBAHASAN

Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perburuan dan Perdagangan Satwa Yang Dilindungi

Dalam dunia internasional Negara Negara di dunia menganggap diperlukannya peraturan mengenai perlindungan terhadap perburuan serta perdagangan satwa yang akhirnya membentuk Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES).

Negara anggota CITES ini menyadari bahwasannya perlindungan hukum tidak hanya terbatas bagi manusia saja namun juga bagi seluruh mahluk hidup yang ada di muka bumi karena mereka merupakan bagian yang tak tergantikan dari hasil alami bumi yang harus dilindungi untuk masa sekarang dan yang akan datang untuk itulah negara anggota CITES perlu sepakat untuk perlunya mengatur mengenai perdagangan satwa liar agar satwa liar yang diperdagangkan tidak merusak keseimbangan ekosistem.7 Pada pokoknya ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu:

1. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia

2. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia 3. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan

tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi

4. Makin mendsaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindung jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional.

Kemudian dalam CITES mengklasifikasikan kedalam appendik appendik berdasarkan jumlah populasi dan tingkat ancaman terhadap spesies itu sendiri dari kepunahan. Appendiks tersebut digolongkan menjadi :8

1. Appendiks I mencakup segala jenis spesies baik flora maupun fauna yang

terancam oleh kepunahan yang mungkin dipengaruhi oleh adanya perdagangan. Ketentuan perdagangan atas Spesies-spesies yang tercantum didalam appendiks I CITES harus diatur dengan ketat untuk menjaga kelangsungan hidup spesies tersebut dan hanya dapat diperdagangkan dalam kondisi-kondisi yang dikecualikan

7 https://dlhk.jogjaprov.go.id/perlindungan-satwa-dan-tumbuhan-liar-dengan-cites.

8 “Convention on the International Trade of Sendangered Species” (1973).

(7)

329 2. Appendiks II mencakup spesies yang tingkat ancaman terhadap kepunahannya saat spesies tersebut dlklasifikasikan tidak setinggi spesies dalam appendiks I. Spesies-spesies ini dapat menjadi terancam oleh kepunahan apabila perdagangan terhadap spesies tersebut tidak diatur melalui ketentuan yang ketat. Ketentuan yang ketat tersebut ditujukan untuk menghindari pemanfaatan spesies tersebut yang tidak sesuai dengan kebutuhan spesies tersebut untuk bertahan hidup.

3. Appendiks III mencakup merupakan spesies yang diatur melalui peraturan nasional dengan tujuan untuk menghindari atau melarang terjadinya eksploitasi terhadap spesies tersebut dan mengendalikan perdagangan

CITES dalam pelaksanaannya memberikan pengaturan terhadap perlindungan, larangan, keharusan, maupun kebolehan dari negara yang menandatangani konvensi ini dalam melakukan perdagangan satwa yang terdaftar di dalam appendiks CITES. Pengaturan itu berbeda pada setiap golongan appendiks. Dari sebagian besar spesies tersebut, mereka yang tergolong di dalam Appendiks I adalah spesies-spesies yang terancam punah dan dilarang menjadi objek di dalam segala jenis perdagangan komersial.

Selain melalui konvensi dalam dunia internasional juga membentuk organisasi yang mana organisasi internasional ini di dedikasikan untuk melakukan konservasi terhadap sumber daya alam yaitu Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) badan ini didirikan pada 1948 yang mana beranggotakan 78 negara, 112 badan pemerintah, 735 organisasi non pemerintah serta para ahli dan ilmuwasn dari berbagai Negara organisasi ini memberikan perlindungan terhadap para satwa dari ancaman kepunahan salah satunya melalui IUCN Red list, yaitu daftar yang membahas mengenai klasifikasi satwa. Menurut IUCN yang mengklasifikasikan satwa sesuai dengan tingkat populasi, kondisi habitat dan penyebarannya spesies spesies yang terancam punah ini dimasukan kedalam daftar merah IUCN,9 Kategori keterancaman spesies berdasarkan daftar merah IUCN adalah sebagai berikut :10

1. Punah dikatakan punah apabila suatu spesies individu terakhirnya telah mati diduga punah apabila dalam survey menyeluruh dalam habitat yang giketahui dalam waktu memadai di seluruh wilayah penyebaran dan diyakini tidak ada individu yang tersisa.

9 Pokja Kebijakan Konservasi, Draft Naskah Akademis Revisi UU No. 5 Tahun 1990 (Jakarta: Pokja Kebijakan Konservasi, 2014).

10 Fatih Hanif, “Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum Dan Perundang-Undangan,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 2, no. 2 (2015), https://doi.org/https://doi.org/10.38011/jhli.v2i2.24.

(8)

330

2. Punah di alam apabila diketahui hanya hidup, di dalam kandang atau apabila diluar habitat penyebaran aslinya

3. Genting apabila menghadapi resiko yang sangat ekstrim tinggi untuk menjadi punah di alam

4. Dalam bahaya kepunahan apabila dalam bahaya kepinahan dianggap memiliki resiko yang sangat tinggi untuk terjadinya punah di alam 5. Rentan apabila memiliki resiko yang tinggi terhadap terjadinya

kepunahan di alam

6. Mendekati terancam apabila suatu spesies cenderung menipis

7. Belum terancam apabila suatu spesies yang masih tersebar luas dan melimpah

8. Tidak cukup data apabila tidak memiliki informasi yang cukup untuk dilakukan penilaian spesies dalam kategori ini belum tentu dalam posisi yang aman dari kepunahan.

Di Indonesia sendiri yang mana telah meratifikasi perjanjian CITES ini Pada tanggal 15 Desember 1978, Pemerintah Indonesia mengesahkan Keppres Nomor 43 tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES). Dengan demikian, pada tanggal tersebut, Pemerintah Indonesia telah resmi meratifikasi CITES.

Indonesia sendiri dalam rangka perlindungan satwa memiliki berbagai aturan terkait perlindungan satwa, Salah satunya adalah Undang undang no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Ada juga Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang mana di dalamnya memuat daftar jenis tumbuhan serta satwa yang dilindungi di Indonesia, Sementara untuk pemanfaataanya diatu dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang mana mengatur tentang memanfaatkan jenis SDA yang dilindungi untuk beberapa kegiatan tertentu yang diizinkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup.

Satwa sendiri sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan atau udara dan atau air”, Kemudian dalam penjelasan pasal 11, dalam pasal ini menyebutkan mengenai penggolongan satwa yang dilindungi yang mana hal ini dimaksudkan untuk melindugi satwa agar tidak mengalami kepunnahan.

Yang mana penetapan ini dapat diubah sesuai dengan perkembangan satwa yang mana hal itu tergantung dari tingkat bahaya kepunahan yang mengancam jenis satwa tersebut.

(9)

331 Dalam hal perlindungan satwa yang terancam punah dalam UU nomor 5 tahun 1990 Tentang KSDHAE Pasal 21 ayat (2) huruf UU KSDAHE mengatakan bahwa Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Adapun sanksi terhadap kegiatan ini diaturdalam Pasal 40 ayat (2) UU KSDA yang mengatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Pengaturan larangan diatas ini tidak berlaku untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan ataupun penyelamatan jenis satwa sesuai dengan UU KSDHAE termasuk dalam penyelamatan adalah pemberian atau penukaran jenis satwa kepada pihak lain diluar negeri atas izin pemerintah.

Satwa liar dapat juga dimanfaatkan dalam kegiatan ataupun kondisi tertentu namun pemanfaatan ini harus dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi dan keanekaragaman satwa seperti apa yang diatur dalam pasal 36 UU KSDHAE yang mana dalam pasal ini menyebutkan pemanfaatan satwa liar untuk :

- Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan - Penangkaran

- Perburuan - Perdagangan - Peragaan - Pertukaran

- Budidaya tanaman obat obatan - Pemeliharaan untuk kesenangan

(10)

332

Pemanfaatan satwa ini harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya, lebih lanjut kegiatan pemanfaatan ini diatur dalam Peraturan pemerintah No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Dalam pasal 11 PP No.8 Tahun 1999 dinyatakan:

(1) Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya;

(2) Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi;

(3) Ketentuan diatas tidak berlaku terhadap jenis satwa liar jenis:

a. Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi);

b. Babi rusa (Babyrousa babyrussa);

c. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus);

d. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis);

e. Biawak Komodo (Varanus komodoensis);

f. Cendrawasih (Seluruh jenis dari famili Paradiseidae);

g. Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi);

h. Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae);

i. Lutung Mentawai (Presbytis potenziani);

j. Orangutan (Pongo pygmaeus);

k. Owa Jawa (Hylobates moloch).

Kemudian dalam hal adanya kegiatan perdagangan ataupun pengiriman satwa liar telah ditentukan bahwa pengiriman ke wilayah Indonesia maupun keluar wilayah Indonesia itu harus dan wajib dilengkapi dengan surat atau dokumen yang disebut dengan Surat Angkut Tumbuhan/Satwa (SATS) yang mana dalam SATS ini memuat keterangan mengenai jenis dan jumlah satwa, identitas yang mengirim, dan peruntukan pengiriman satwa tersebut.

Peraturan ini jika kita mengkaji mengenai efektifitas dari peraturan ini dengan teori efektifitas yang dikemukakan oleh Clarance J. Dias sebagai pedoman untuk menganalisanya, Maka argumentasi yang akan diberikan adalah sebagai berikut

1. Mudah atau tidaknya aturan ini dipahami

Sejatinya dalam asas legalitas penjatuhan pidana itu harus memenuhi asas lex scripta yang mana aturan itu harus tertulis, Lex certa yang berarti rumusan dari delik podana itu harus jelas, Lex stricta yang berarti rumusan pidana itu harus dimaknai secara tegas tanpa analogi dan lec praevia yang berarti hukum pidana tidak dapat di berlakukan surut. Hal ini sangat penting karena ini bukanlah hanya sebuah asas namun juga sudah menjadi sebuah

(11)

333 norma konstitusi Indonesia. Namun pada kenyataannya peraturan perundang undangan itu tidak ada yang lengkap selengkap lengkapnya dan juga jelas sejelas jelasnya. Undang undang hanya merupakan tahapan tertentu dalam pembentukan hukum yang mana dalam melengkapinya dan menyempurnakannya perundang undangan ini harus dibantu melalui yurisprudensi, yang mana dalam hal ini asas atau materi dalam undang undang dapat dijabarkan dan juga diterapkan.

Di Indonesia sebenarnya aturan mengenai perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi ini sudah ada sanksi pidana yang diterapkan dalam aturan tersebut juga sudah cukup jelas yang mana dalam hal ini adalah penjara maksimal 5 tahun dan juga denda maksimal sebesar 100jt rupiah.

2. Luas tidaknya masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum

Dalam suatu undang undang biasanya pada bagian akhir selalu tertulis tanggal dari berlakunya undang undang tersebut, kemudian di susul dengan frasa “agar semua orang mengetahuinya” dan disusul dengan dicantumkan dalam lembaran Negara dan dibubuhi nomor dari undang undang tersebut, dalam hal ini jika undang undang telah tercantum dalam lembaran Negara ini berarti dianggap undang undang itu berlaku dan masyarakat dianggap telah mengetahui undang undang tersebut ini yang disebut fiksi hukum, namun terkadang undang undang yang akan di sahkan dalam sosialiasisasinya masih sering diabaikan ini yang menjadi suatu factor yang menghambat efektivitas dari hukum itu sendiri selain daripada factor aparat penegak hukumnya.

Pada dasarnya tidak semua masyarakat mengetahui mengenai satwa satwa yang dilindungi dan tidak semua masyarakat memahami hukum serta peraturan perundang undangan yang ada, dalam hal ini dapat kita lihat dari masih banyak nya masyarakat yang beranggapan bahwa memelihara ataupun memperdagangkan satwa yang dilindungi ini bukan merupakan suatu kejahatan melainkan hanya suatu pelanggaran administrasi, padahal dalam hal ini satwa yang boleh diperdagangkan merupakan satwa pada generasi kedua yaitu satwa dari hasil penangkaran, sementara dalam hal satwa itu merupakan tangkapan dari alam dapat dimanfaatkan sebagai indukan untuk penangkaran tersebut namun hal ini tidak berlaku bagi spesies hewan tertentu seperti yang tecantum dalam PP no 8 tahun 1999, Unit penangkaran adalah unit usaha yang hasilnya untuk diperjualbelikan atau untuk dijadikan objek yang bisa di komerisial dari hasil pengembangbiakan generasi kedua yang mana satwa generasi kedua dan seterusnya dianggap sebagai satwa yang tidak dilindungi.

3. Efektivitas dan efisiensi aparat penegak hukum

Dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi di Indonesia upaya

(12)

334

perlindungan kepada satwa dari perdagangan dan perburuan, penegakan hukum melalu aparat penegak hukum merupakan sesuatu wujud dari aturan aturan itu sendiri terhadap perlindungan satwa demi terwujudnya perlindungan terhadap satwa liar itu sendiri seperti tujuan adanya undang undang KSDAHE dan cita cita yang ingin di capainya. Efektifitas penegak hukum sangat berkaitan dengan efektifitas hukum itu sangat berkaitan satu sama lain, agar hukum itu efektif maka diperlukan aparat penegak hukum dalam penegakan sanksi tersebut.

Faktor penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar juga menjadi salah satu factor yang menjadi sorotan mengenai rendahnya vonis terhadap para pelaku perdagangan dan perburuan satwa liar Para penegak hukum mungkin belum dapat memahami secara langsung dampak dari perdagangan satwa liar yang dilindungi. Para penegak hukum masih melihat pada hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mana itu adalah UU nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan juga termasuk di dalamnya pada hasil putusan hakim yang menjadi yurisprudensi dalam menangani kasus perdagangan satwa liar.11 Kemudian dalam hal minimnya vonis yang dijatuhkan para penegak hukum cenderung hanya melihat barang bukti yang didapat saat penangkapan, misal satu atau dua satwa saja, sehingga menghapuskan track record pelaku yang telah tahunan melakukan kegiatan perburuan dan perdagangan satwa liar tersebut.

Para aparat penegak hukum di Indonesia masih kuerang efektif dalam menjatuhkan sanksi terhadap para pelaku perburuan dan perdangaangan satwa yang dilindungi, ini dapat dilihat dari vonis yang dijatuhkan terhadap pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar masih termasuk rendah vonis para pelaku ini malah biasanya hanya dalam hitungan bulan, memang tidak adanya sanksi minimum dalam UU KSDAHE menjadi salah satu factor yang menyebabkan rendahnya vonis itu dapat diberikan. namun jika saya mengutip dari perkataan Taverne yang mana dia mengucapkan “berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membawa keadilan”.

Dalam hal ini yang dapat saya ambil adalah bahwasannya undang undang memang menjadi factor penting daripada penegakan hukum namun dilain sisi lebih dari itu aparat penegak hukum merupakan factor terpenting dalam penegakan hukum itu sendiri. Karena aparat penegak hukum inilah yang menafsirkan dan mengkonkretisasi undang undang itu sendiri.

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas

11 Denico Doly, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar,” Sistem Data Informasi/Penelitian 7, no. 9 (2015).

(13)

335 Dalam UU KSDAHE telah memuat ketentuan kentetua pidana yang bisa dijatuhkan terhadap pelanggar atau pelaku tindak pidana dalam bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya terutama dalam hal perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi yang mana mengenai perbuatan yang dilarang ini telah di sebutkan dalam pasal 21 ayat 2 dalam UU KSDAHE dalam pasal 21 ayat 2 UU KSDAHE yang mana menyebutkan Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

Kemudian mengenai sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran dalam pasal 21 ini tertulis di dalam pasal 40 dalam Pasal 40 ayat (2) UU KSDA yang mengatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Ketentuan pidana seperti yang diatur dalam pasal 40 dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangannya pada masa ini yang mana pada saat ini mekanisme penyelesaian sengketa lebih mengedepankan penyelesaian melalui cara non penal, Melihat dari pasal 40 ini, Penyelesaian konflik yang ada masih sangat terbatas, begitu juga dengan bagaimana ketentuan sanksi pidana yang belum mencantumkan pidana dan denda minimal yang dapat dijatuhkan terhadap para pelaku perburuan serta perdagangan satwa yang dilindungi ini yang mana hal ini dapat menimbulkan disparitas putusan hakim. Kemudian mengenai perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilakukan oleh korporasi dalam aturan ini masih belum diatur karena dalam pasal ini hanya menuliskan “barang siapa”

yang mana dalam hal ini hanya merujuk kepada perorangan. Kemudian sanksi yang dijatuhkan dalam pasal ini masih hanya berupa nestapa atau pemberian derita terhadap pelaku tanpa adanya sanksi yang mengharuskan si pelaku tindak pidana untuk memperbaiki akibat dari perbuatan pidana

(14)

336

yang telah dilakukan yang mana sebenarnya ini termasuk hal yang penting dalam rangka memulihkan ekosistem yang terganggu dengan adanya perburuan dan perdagangan satwa liar. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya penyelesaian sengketa perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi masih belum signifikan karena penyelesaian sengketa melalui penjara yang diterapkan nyatanya masih kurang efektif dalam menimbulkan efek jera maupun memperbaiki lingkungan yang telah dirusak.

Melihat dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwasannya di Indonesia sendiri kasus perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi dalam hal peneggakan hukumnya masih belum efektif dalam hal ini karena sanksi yang dijatuhkan masih terlalu ringan sehingga pelaku tindak pidana perburuan serta perdagangan satwa yang dilindungi ini tidak menimbulkan efek jera terbukti dengan masih banyaknya kasus perburuan serta perdagangan satwa yang dilindungi masih terus terjadi. Menurut Siti Nurbaya dalam pemaparannya dalam rapat kerja bersama komisi IV DPR RI adah 57 operasi perburuan dan perdagangan satwa liar sepanjang tahun 2020 dari jumlah ini ada 2752 bagian tubuh dan 5180 ekor satwa yang diburu dan diperdagangkan.12 Kemudian Menurut profauna lembaga yang bergerak dalam bidang perlindungan terhadap satwa, satwa yang di perdagangkan di pasar gelap 95% merupakan tangkapan langsung dari alam dan bukan hasil dari penangkaran, Kemudian dari 20% satwa yang dijual di pasar mati karena pengangkutan yang tidak layak, Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mari akibat proses penangkapan yang menyiksa, pengangkutan yang tidak layak, kandang yang sempit dan kurangnya makanan, Kemudian sekitar 60% mamalia yang di perdagangkan adalah jenis hewan langka yang dilindungi oleh undang undang, 70% primate dan akatua yang dipelihara oleh masyarakat menderita penyakut dan penyimpangan perilaku.13

Konsep Ideal Double Track System Dalam Tindak Pidana Perburuan dan Perdagangan Satwa Yang Dilindungi

Dalam sub bab ini penulis ingin menawarkan konsep yang ideal terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi melalui konsep double track system, Memulai dari tujuan pemidanaan yaitu untuk melakukan pertahanan dalam Negara dan juga sebagai pembinaan terhadap pelaku tindak pidana maka dari itu dalam pemidanaan harus mengedepankan pendidikan atau juga pembinaan terhadap pelaku tindak pidana yang mana ini sesuai dengan apa yang tercantum di dalam UUD NRI 1945 dalam alinea keempat yang berbunyi

12https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210302142901-20- 612687/pemerhati-marak-korban-phk-jadi-pemburu-dan-jual-satwa-liar.

13 https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.Yb8E731Bz-Z.

(15)

337

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.” Jika menghubungkan tujuan pemidanaan dan juga apa yang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945 yang mana salah satu tujuan dari pada Negara itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pemidanaan juga bisa untuk menjadi sarana untuk melakukan pencerdasan terhadap masyarakat.

Dalam hal pemidanaan di Indonesia sendiri pemberian sanksi dalam undang undang diluar kuhp beberapa jenis sanksi telah diterapkan baik yang bersifat single track system (hanya menggunakan satu jenis sanksi) maupun yang bersifat double track system (menggunakan dua jenis sanksi berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan). Penggunaan double track system di Indonesia sendiri masih belum seragam dalam menentukan jenis sanksi

“pidana tambahan” dan “pidana tindakan” hal ini dikarenakan penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana masih berpaku kepada pasal 10 KUHP.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa seharusnya pemidanaan itu bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, melakukan pencegahan dan juga memberikan pendidikan terhadap pelaku tindak pidana itu sendiri supaya dapat kembali diterima dalam lingkungan masyarakat maka dalam hal itu alternative alternate pemidanaan dalam hal ini dianggap cukup efektif dalam memenuhi tujuan pemidanaan, Tentu saja alternatif pemidanaan ini juga harus melihat pada nilai nilai kemanusian dan juga berfokus pada pemberian pendidikan terhadap pelaku narapidana sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang sama terulang kembali terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi.

Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai teori dari tujuan pemidanaan terdapat 3 teori tujuan pemidanaan yang mana dalam hal ini teori ini terus berkembang mengikuti perkembangan zaman yaitu:

1. Pertama, Teori Absolute Teori ini berkembang pada masa aliran klasik dalam hukum pidana menurut teori absolut pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap suatu kejahatan Teori absolut ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi teori ini berorientasi pada perbuatan itu sendiri jadi penjatuhan pemidanaan itu akibat dari kesalahannya.

2. Kedua, Teori Relatif Teori ini menganggap bahwasannya dasar diadakannya pemidanaan adalah demi penegakan ketertiban

(16)

338

masyarakat dan tujuan pidana adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau penjatuhan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi juga memiliki tujuan lain yang mana ini bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak dari pada tujuan pidana itu sendiri teori ini menganggap pidana itu dijatuhkan bukan karena membuat kejahatan tetapi agar tidak membuat kejahatan. Teori ini menghendaki terciptanya ketertiban masyarakat dengan tujuan pencegahan untuk membuat si pelaku tidak melakukan kejahatan lagi.14

3. Ketiga Teori Gabungan Teori ini berkembang pada masa neo klasik teori ini menggabungkan antara teori abosulute dan teori relatif Dalam teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan itu selain untuk membalas suatu kesalahan juga dimaksudkan untuk bagaimana melindungi masyarakat yang mana dalam hal ini dengan cara mewujudkan ketertiban.15

Melihat dari beberapa teori yang telah diuraikan diatas sejatinya pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yaitu untuk mempengaruhi tingkah laku dan juga sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami dan pengembalian kepercayaan dalam masyarakat Perumusan mengenai tujuan pemidanaan ini penting supaya dapat menjadi dasar dan menjadi landasan filosofis dalam mengkonsepkan suatu hukum serta sanksi yang ideal.

Kemudian dari ketiga tujuan pemidanaan yang telah dijelaskan dalam hal ini penulis menganggap bahwa pembinaan serta peningkatan kualitas pelaku merupakan hal yang penting dalam pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana, maka dari itu reformasi hukum pidana sejatinya harus dilakukan karena dalam hal ini hakim harus diberikan kesempatan untuk dapat mempertimbangkan hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana karena sampai saat ini belum ada pedoman yang jelas mengenai dalam hal apa hakim diberi kesempatan untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan hukuman tambahan.

Dalam perkembangannya sistem pemidanaan selalu berkembang menurut kebiasaan masyarakat mulai dari aliran klasik yang mana dalam aliran ini hanya menerapkan hanya terbatas perbuatan pelaku tindak pidana tanpa memikirkan kondisi dari si pelaku kemudian muncul aliran modern yang mana dalam hal pemidanaannya aliran modern ini lebih

14 Muladi and Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung:

Alumni, 1992).

15Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995).

(17)

339 menitikberatkan kepada perbuatan pelaku dan juga si pelaku itu sendiri, ini berarti pemidanaan harus melihat tidak saja hanya pada perbuatannya tapi juga harus melihat kepada latar belakang pelaku itu sendiri.Selain itu dalam hukum pidana modern penjatuhan pidana tidak saja hanya berorientasi kepada pembalasan saja namun juga kepada pendidikan serta pembinaan terhadap pelaku tindak pidana.

Secara luas sistem pemidanaan mencakup 3 bagian pokok yang terdiri dari Jenis pidana, lamanya ancaman pidana, dan pelaksanaan pidana.

1. Jenis Pidana

Di Indonesia sendiri dalam sistem pemidanaannya menentukan jenis jenis sanksi yang mana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan yang mana hal ini secara tegas diatur dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi:

Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok 1) Pidana mati 2) Pidana Penjara 3) Pidana kurungan 4) Pidana denda 5) Pidana tutupan b. Pidana tambahan

1) Pencabutan hak hak tertentu 2) Perampasan barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim

Jika melihat dari stelsel pemidanaan yang tersedia di Indonesia pada saat ini penjatuhan sanksi pidana yang ada seluruhnya adalah pemberian nestapa atau penderitaan terhadap para pelaku tindak pidana dengan minimnya pendidikan atau pembinaan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana menanggapi hal ini Hulsman pernah meyatakan bahwasannya pidana itu sebagai sebuah sarana untuk tertib.16

2. Lamanya ancaman Pidana

Pidana pokok seringkali diancamkan pada perbuatan tindak pidana yang sama, Dengan begitu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara sekian pidana yang diancamkan, dalam hal ini mempunyai pengertian bahwasannya hakim mempunyai suatu suatu hak prerogratif atau kebebasan dalam menjatuhkan sanksi pidana, Selain itu berkaitan dengan berapa lama jumlah pidana yang dijatuhkan hanya maksimum dan minimum, Dengan demikian hakim dapat menjatuhkan putusan diantara batas maksimum dan minimum tersebut. Namun dalam hal ini diungkapkan bahwa salah satu syarat dalam penjatuhan pidana adalah beratnya pidana yang dijatuhkan

16 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1996).

(18)

340

harus sesuai dengan beratnya delik. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari delik, Hal ini diperlukan agar pelaku tindak pidana dapat dipidana secara adil. Kemudian tujuan dari digunakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kesempatan kepada hakim untuk memperhitungkan bagaimana latar belakang pelakung, bagaimana kejadiannya dan sebagai macamnya sehingga dapat dijatuhi hukuman yang adil.17

3. Lamanya Pemidanaan

Dalam KUHP yang berlaku saat ini masih belum mengenal mengenai pedoman pemidanaan, dengan begitu hakim dalam memutus perkara memiliki kebebasan dalam memilih jenis pidana yang dikehendaki, berhubungan dengan sistem alternative dalam pengancaman di dalam Undang Undang, Hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan ini dikarenakan yang ditentukan oleh undang undang hanya maksimum dan minimum pidana hal ini lah yang sering menimbulkan suatu permasalahan.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki draft rancangan undang undang kitab hukum pidana yang baru yang mana di dalamnya terdapat beberapa ketentuan stelsel pemidanaan yang baru yang mana dalam jenis sanksinya terdiri dari jenis sanksi pidana dan juga sanksi tindakan masing masing terdiri dari:18

a. Pidana

1) Pidana Pokok

a) a, Pidana Penjara b) Pidana tutupan c) Pidana pengawasan d) Pidana denda e) Pidana kerja sosial 2) Pidana tambahan

a) Pencabutan hak hak tertentu

b) Perampasan barang tertentu dan tagihan c) Pengumuman putusan hakim

d) Pembayaran ganti kerugian e) Pemenuhan kewajiban yang ada b. Tindakan

1) Untuk otnag yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab

17 Djoko Prakoso and Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati (Indonesia: Ghalia, 1983).

18 Barda Nawawi Arief, Bunga Ramapai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung:

Citra Aditya, 2005).

(19)

341 a) perawatan di rumah sakit jiwa

b) penyerahan kepada pemerintah c) penyerahan kepada seseorang

2) Untuk orang yang umumnya mampu bertanggungjawab a) Pencabutan surat izin mengemudi

b) Perampasan keuntungan akibat tindak pidana c) Perbaikan akibat tindak pidana

d) Latihan kerja e) Rehabilitasi

f) Perawatan di dalam suatu lembaga

Di Indonesia perbaikan terhadap fungsi dari pidana masih terus berkembang dan masih terus menerus dilakukan. Pada tahun 1918 mulai berlaku apa yang disebut reglemen penjara baru (Gestichten Reglement).

Hal ini menjadi suatu keharusan dan juga suatu kewajiban bagi pihak yang berwajib untuk menyusun dan juga mengatur bagaimana seorang terpidana harus diperbaiki agar menjadi orang yang susila.19 Yang mana ini berarti memaksudkan untuk mengutamakan pembinaan terhadap terpidana yang ada dalam penjara, Kemudian hal ini ditunjukan dengan reorientasi penjara yang kemudian diubah menjadi suatu lembaga pemasyarakatan melalui UU nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang mana dalam hal ini dapat diartikan bahwasannya lembaga pemasyarakatan adalah sarana untuk memberikan pembinaan terhadap terpidana untuk kembali memasyarakatkan mereka.

Namun penulis melihat akan lebih bijaksana dan bermanfaat apabila para pelaku tindak pidana perburuan satwa liar tidak hanya dihukum penjara tetapi juga ia dihukum kerja sosial sebagai penjatuhan sanksi tindakan yang bertujuan sebagai pemulihan akibat tindak pidana yang ia lakukan seperti yang tercantum dalam RUU KUHP. Kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana, dalam hal penerapannya kerja sosial ini harus terlebih dahulu oleh terpidana agar tidak bertentangan dengan konvensi konvensi internasional jadi dalam hal penjatuhan pidana terhadap pelaku perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi akan dijatuhkan pidana double track system. Dalam hal ini kerja sosial yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi dapat berupa bantuan untuk merehabilitasi satwa, melakukan rescue terhadap satwa yang terancam, serta kegiatan penyelamatan satwa lainnya. Pengenaan sanksi tindakan berupa kerja sosial ini tidak bermaksud untuk merendahkan martabat manusia namun semata mata untuk memberikan pendidikan terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan

19 R.A. Koesnoen, Politik Penjara Nasional (Bandung: Sumur, 1961).

(20)

342

perdagangan satwa yang dilindungi kemudian juga untuk melatih para terpidana untuk dapat kembali dalam masyarakat.

Secara garis besar apa yang penulis tawarkan dalam konsep ini memiliki kesamaan ataupun pendekatan dari pidana tutupan seperti yang tercantum dalam pasal 10 KUHP yang mana dalam ketentuan lebih lanjut diatur dalam Undang undang nomor 20 tahun 1946 tentang hukuman tutupan dan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1948 tentang rumah tutupan dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwasannya dalam pelaksanaannya penghuni rumah tutupan ini wajib untuk melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dengan jenis pekeraan yang diatur oleh menteri pertahanan dengan persetujuan menteri kehakiman. Jadi penulis mengkonsepkan bentuk dari double track system ini dalam pelaksanaannya adalah dengan menyuruh terpidana untuk melakukan kerja sosial pada pagi sampai dengan siang hari kemudian terpidana kembali lagi kedalam lembaga pemasyarakatan pada sore hari, kemudian dalam pelaksanaan kerja sosial ini dapat bekerja sama dengan Kementrian lingkungan hidup.

Dalam hal ini penulis menganggap dengan dijatuhkan pidana double track system ini merupakan suatu cara yang cukup baik untuk mencapai apa yang menjadi tujuan dari pidana itu, lebih lanjut mengenai penerapan double track system terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar ini juga menjadi cara yang lebih efektif untuk bagaimana memulihkan akibat dari pada tindak pidana yang dilakukan ketimbang hanya penjatuhan pidana berupa pidana penjara saja karena seperti yang diketahui, Penggunaan double track system ini merupakan suatu konsekuensi yang harus diambil dari aliran neo klasik penggunaan sistem dua jalur ini juga sudah menjadi suatu kecenderungan internasional yang mana aliran neo klasik ini mencoba untuk menggabungngka, memanfaatkan kelebihan dan juga meninggalkan kekurangan yang ada pada aliran klasik dan aliran modern, Seperti pendekatan tradisional yang menganggap bahwa sanksi tindakan itu hanya dijatuhkan kepada orang yang tidak mampu bertanggungjawab sudah saatnya ditinggalkan.20

Dengan adanya sanksi tindakan yang berupa kerja sosial ini Negara mendapatkan keuntungan berupa bantuan tenaga untuk membantu melestarikan dan juga menjaga habitat satwa yang dilindungi. Kemudian melalui kerja sosial ini yang juga merupakan suatu pemberian edukasi terhadap para terpidana kasus perburuan dan perdagangan satwa diharapkan dapat menciptakan rasa cinta ataupun keinginan untuk bagaimana melestarikan satwa yang dilindungi maupun habitatnya, karena mengutip

20 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003).

(21)

343 dari apa yang dikatakan soe hok gie seorang aktivis ia pernah berkata bahwasannya “rasa patriotism tidak dapat timbul hanya dari slogan slogan semata namun harus terjun dan dekat dengan masyarakat”, mengutip perkataan tersebut dengan membuat terpidana lebih dekat dengan lingkungan dan juga dengan satwa satwa yang dilindungi diharapkan dapat menimbulkan rasa cinta dan juga keinginan untuk melekstarikan dari para terpidana, sehingga para terpidana ini tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari.

KESIMPULAN

Pengaturan sanksi terhadap tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu terdapat dalam pasal 21 ayat 2 yang mengandung beberapa perbuatan yang dilarang dan juga dalam pasal 40 ayat 2 mengenai sanksi yang dijatuhkan yaitu adalah maksimal 5 tahun penjara dan juga denda maksimal 100 juta rupiah, namun sanksi yang sudah berumur kurang lebih 31 tahun ini dianggap masih kurang efektif karena tidak mencantumkan minimal vonis sehingga kerap kali para pelaku tindak pidana ini hanya dihukum dalam hitungan bulan yang mana tentunya ini tdak menimbulkan efek jera karena untung yang didapatkan oleh pelaku lebih besar.

Konsep Ideal yang penulis tawarkan untuk mengatasi praktek tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi adalah double track system yaitu suatu pemidanaan dengan dua jalur yaitu berupa sanksi pidana dan juga sanksi tindakan, dalam hal ini sanksi tindakan merupakan suatu sarana pemberian pendidikan terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi sanksi tindakan ini adalah berupa kerja sosial yang mana terpidana perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi diminta untuk melakukan kerja sosial seperti bantuan untuk merehabilitasi satwa, melakukan rescue terhadap satwa yang terancam, serta kegiatan penyelamatan satwa lainnya, yang mana dengan adanya hal ini diharapkan dapat memulihkan akibat dari tindak pidana yang telah diperbuat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi. Bunga Ramapai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:

Citra Aditya, 2005.

Koesnoen, R.A. Politik Penjara Nasional. Bandung: Sumur, 1961.

Koeswadji. Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka

(22)

344

Pembangunan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.

Konservasi, Pokja Kebijakan. Draft Naskah Akademis Revisi UU No. 5 Tahun 1990. Jakarta: Pokja Kebijakan Konservasi, 2014.

Muladi, and Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana.

Bandung: Alumni, 1992.

Prakoso, Djoko, and Nurwachid. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati. Indonesia: Ghalia, 1983.

Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003.

Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni, 2001.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1996.

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

WWF Indonesia. Strategic Planning 2014-2018 WWF Indonesia. WWF Indonesia, 2014.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Draft Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776).

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

(23)

345 Nomor 3803).

Convention on the International Trade of Endangered Species, 1973

Karya Ilmiah

Abdullah, Said, 2016, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perburuan Dan Perdagangan Satwa Liar Yang Dilindungi Di Wilayah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi (Analisis Kasus No.644/Pid.Sus/PN.Jmb), Legalitas: Jurnal Hukum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari, Vol. 8 No. 2, http://legalitas.unbari.ac.id/index.php/Legalitas/article/view/23/6.

Gita Santika Ramadhani, Barda Nawawi Arief, Purworto, 2012, Sistem Pidana dan Tindakan "Double Track System" Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Diponogoro Law Review, Universitas Diponegoro, Vol 1 No. 4, https://media.neliti.com/media/publications/19518-ID- sistem-pidana-dan-tindakan-double-track-system-dalam-hukum- pidana-di-indonesia.pdf.

Rajagukguk, Elisa Vionita, 2014, Efektivitas Peraturan Perdagangan Satwa Liar di Indonesia, Jurnal Wawasan Yuridika, Sekolah Tinggi Hukum

Bandung, Vol 31 No. 2,

https://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy/article/view/84.

Yaris Adhial Fajrin, Ach Faisol Triwijaya, Moh. Aziz Ma'ruf, 2020, Double Track System bagi Pelaku Tindak Pidana Berlatar Belakang Homoseksualitas (Gagasan dalam Pembaruan Hukum Pidana), Jurnal Negara Hukum, Dewan Perwakilan Rakyat Repulik

Indonesia, Vol. 11 No. 2,

https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/1608.

Doly, Denico. “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar.” Sistem Data Informasi/Penelitian 7, no. 9 (2015).

Hanif, Fatih. “Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum Dan Perundang-Undangan.” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 2,

Sumber Lainnya

https://www.greeners.co/berita/pelaku-perdagangan-satwa-liar-dilindungi- dijerat-uu-pencucian-uang/

https://www.mongabay.co.id/2015/06/27/penegakan-hukum-perdagangan- satwa-liar-dilindungi-itu-terus-terjadi/

https://www.nocturama.org/id/perdagangan-satwa-liar/

https://programs.wcs.org/btnbbs/Berita-Terbaru/articleType/ArticleView/

(24)

346

articleId/8444/MEMUTUS-RANTAI-PERBURUAN-DAN- PEREDARAN-SATWA-LIAR-DENGAN-PENEGAKKAN- HUKUM-DAN-SOSIALISASI-UNDANG-UNDANG-NO5- TAHUN-1990 .aspx.

https://dlhk.jogjaprov.go.id/perlindungan-satwa-dan-tumbuhan-liar-dengan- cites.

ttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20210302142901-20-

612687/pemerhati-marak-korban-phk-jadi-pemburu-dan-jual-satwa- liar.

https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.Yb8E731Bz-Z.

http;//www.internationalanimalrescue.or.id/pelaku-perdagangan-satwa-liar- dilindungi-akan-dijera-uu-pencucian-uang/.

Referensi

Dokumen terkait

ZiZa disputed that its defective application was a nullity, since it notified the Department of ZiZa’s intention to convert its unused old-order right to a new-order prospecting right

Visualization of the J48 Algorithm Tree Use Cross Validation ● Application of Naïve Bayes on Performance of Employee For Naïve Bayes processing, it is almost the same as using the