Aku Sebagai Pemandu dan FIB Sebagai Rumahku
Surya Anthonior Sakan (24/542328/23292)
Staff Pemandu Pionir Kampung Budaya 20205
Awal Maret lalu, aku memutuskan untuk mendaftar jadi pemandu PIONIR FIB.
Sebenarnya, niat awalku adalah daftar jadi co-fasilitator (cofass). Dalam pikiranku waktu itu, cofass punya ruang lingkup yang lebih luas dan relasi yang lebih banyak.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku memutuskan untuk tidak mendaftar. Bukan karena nggak percaya diri, tapi mungkin memang belum waktunya. Aku pikir, nggak ada salahnya mulai dari pengalaman yang lebih dekat dan personal dulu—jadi pemandu.
Dan ternyata, keputusan itu nggak salah. Jadi pemandu itu ternyata keren juga.
Memang kita nggak kerja di ruang yang sebesar cofass, tapi tanggung jawabnya tetap penting. Kita jadi orang pertama yang menyapa dan menemani mahadaya saat mereka baru pertama kali menginjakkan kaki di PIONIR Kampung Budaya. Tugas kami bukan cuma kasih informasi tentang FIB, tapi juga bikin mereka nyaman, senang, dan merasa disambut. Intinya, bikin pengalaman pertama mereka menyenangkan dan berkesan.
Tapi jujur aja, jalan buat jadi pemandu nggak semudah itu. Ada banyak tantangan yang harus aku lewati. Mulai dari latihan roleplay yang kadang ngambil waktu nongkrongku, sampai belajar public speaking yang sebelumnya cukup bikin grogi.
Jadi pemandu juga butuh energi lebih karena kita dituntut untuk selalu ceria,
walaupun di dalam hati kadang capek banget. Aku juga sempat takut jadi beban buat partnerku, takut kalau performaku nggak maksimal atau malah bikin suasana jadi awkward.
Tapi di balik semua tantangan itu, aku belajar banyak hal. Aku jadi bisa ketemu banyak orang baru dari partner pemandu, sesama panitia, sampai mahadaya yang seru-seru. Aku juga belajar bagi waktu antara kuliah, organisasi, dan kegiatan PIONIR. Yang paling penting, aku pelan-pelan belajar buat kontrol emosi dan lebih dewasa dalam menghadapi berbagai situasi. Kadang harus tegas, kadang harus sabar, dan kadang juga harus mengalah.
Di tengah-tengah proses itu, aku semakin merasa kalau FIB ini udah jadi rumah kedua buatku. Dulu, waktu baru sampai Jogja sebagai anak rantau, aku sempat takut. Takut nggak bisa punya teman, takut nggak bisa beradaptasi. Tapi ternyata di FIB, aku nemuin keluarga baru. Teman-teman yang nerima aku apa adanya, dari berbagai latar belakang yang unik dan beda-beda. Ada yang skena, ada yang
starboy, ada yang religius banget, ada yang nggak kenal Tuhan, ada juga yang wibu atau kpopers. Semuanya bisa bareng-bareng dan saling menghargai satu sama lain.
Itulah kenapa aku nyaman di FIB. Bukan cuma karena kegiatan atau kampusnya yang asik, tapi karena orang-orang di dalamnya. Di sini, aku belajar bahwa
keberagaman itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi justru dirayakan. Kita bisa beda, tapi tetap bisa saling menghormati dan saling dukung.
Menjadi pemandu membuatku merasa punya peran kecil tapi bermakna dalam menyambut anggota baru di rumah ini. Setiap kali ada mahadaya yang bilang, “Kak, makasih ya udah nemenin,” aku merasa senang banget. Rasanya seperti, "Wah, ternyata aku bisa bikin orang lain merasa diterima." Itu hal sederhana, tapi berarti banget buatku.
Aku sadar, pengalaman ini bukan cuma akan berhenti di sini. Suatu saat nanti, ketika aku selesai kuliah dan kembali ke kampung halamanku, aku pengin bawa semangat dan nilai-nilai positif ini ke sana. Aku ingin jadi orang yang bisa
menciptakan ruang ramah, inklusif, dan penuh semangat kayak yang aku rasain di FIB. Aku ingin orang-orang di daerahku juga punya tempat buat berkembang, berani beda, dan tetap bisa diterima.
FIB telah banyak mengubah cara pandangku. Bukan cuma soal akademik, tapi juga soal kehidupan. Lewat pengalaman jadi pemandu ini, aku belajar tentang tanggung jawab, kerja sama, ketulusan, dan pentingnya kehadiran. Aku mungkin belum jadi orang besar, tapi aku percaya setiap langkah kecil ini punya maknanya sendiri.
Dan mungkin, itulah arti rumah sebenarnya: tempat di mana kita tumbuh, belajar, dan merasa diterima. Bagi aku, FIB adalah rumah itu.
Terimakasih buat teman-teman di Sejarah 24, BKMS, DKIB, PMK FIB, Kak Abing dan Kak Emil dan teman-teman di Kampung Marisa untuk cerita 2 semesternya di FIB.