• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Infrastruktur terhadaP Pertumbuhan ekonomI IndonesIa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pengaruh Infrastruktur terhadaP Pertumbuhan ekonomI IndonesIa"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

Modal fisik dan manusia memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan pentingnya peran investasi atau akumulasi modal fisik sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Model pertumbuhan ekonomi yang biasa dijadikan acuan adalah model pertumbuhan eksogen atau model pertumbuhan Solow.

Model Solow merupakan perpanjangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Diasumsikan bahwa tenaga kerja dan modal akan menghasilkan keuntungan yang menurun jika keduanya dianalisis secara terpisah, dan skala keuntungan yang konstan jika keduanya dianalisis bersama-sama (Todaro dan Smith, 2006). Dimana i dan d masing-masing mewakili jumlah investasi per tenaga kerja dan penyusutan modal.

Keadaan tunak pada model Solow terjadi ketika tidak ada lagi akumulasi modal per pekerja atau Dk = 0. Dengan demikian, jika rasio investasi meningkat maka output keadaan tunak per pekerja akan semakin tinggi. Selain itu, mobilitas faktor-faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, diyakini tidak akan lancar pada awal proses pembangunan, sehingga modal dan tenaga kerja terampil cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah yang lebih maju.

Namun dengan membaiknya infrastruktur dan fasilitas komunikasi antar daerah sesuai dengan proses pembangunan berkelanjutan, maka mobilitas modal dan tenaga kerja akan semakin fleksibel.

Grafik 1. Pertumbuhan PDB dan Stok Kapital
Grafik 1. Pertumbuhan PDB dan Stok Kapital

Konvergensi

Sebaliknya penggunaan bobot dalam perhitungan CV akan menghasilkan indikator konvergensi σ yang kedua, yaitu bobot CV. Indikator σ-konvergensi yang ketiga adalah indeks Theil yang merupakan kontribusi setiap provinsi terhadap ketimpangan antar provinsi. Provinsi terkaya akan menyumbang indeks Theil positif yang besar, sedangkan provinsi termiskin akan menyumbangkan indeks Theil negatif yang besar.

Perhitungan ketimpangan dengan menggunakan koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu grafik kumulatif persentase penduduk dengan tingkat pendapatan riil kumulatif tertentu. Koefisien Gini (luas C) adalah selisih antara bagi hasil yang sama (luas segitiga yang dibatasi garis A) dan luas kurva Lorenz (luas B). Estimasi konvergensi β dipopulerkan oleh Islam (1995) untuk mengukur seberapa cepat daerah-daerah miskin dapat mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah yang lebih kaya.

Keuntungan menggunakan perkiraan ini dengan data panel adalah (i) permasalahan variabel yang dihilangkan dapat dikendalikan, terutama terkait perbedaan tingkat teknologi awal antar daerah; dan (ii) permasalahan endogenitas dan kesalahan pengukuran dapat diatasi (Islam, 2003; Bond et al., 2001). Dalam tulisan ini persamaan β-konvergensi yang akan diestimasi didasarkan pada model pertumbuhan Solow yaitu pendapatan per penduduk sebagai fungsi modal per penduduk. Perubahan dilakukan dengan mengembangkan modal per penduduk menjadi dua kelompok utama, yaitu (i) faktor produksi (modal fisik dan modal manusia) dan (ii) infrastruktur.

Keberadaan lapisan variabel terikat di sebelah kanan menimbulkan permasalahan endogenitas, sehingga penggunaan metode data panel dinamis menjadi lebih tepat seperti yang akan dijelaskan pada bagian metode.

Gambar 1. Coefficient of Variation
Gambar 1. Coefficient of Variation

METODOLOGI

Data, Variabel, dan Model Empiris

Variabel kontrol terdiri atas (i) urbanisasi yang menggambarkan perbandingan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan terhadap jumlah penduduk di suatu wilayah; (ii) tingkat keterbukaan suatu daerah; (iii) porsi konsumsi pemerintah terhadap total produk domestik bruto; dan (iv) pangsa produk domestik bruto di sektor pertanian. Variabel urbanisasi digunakan untuk menangkap struktur masyarakat perkotaan yang bekerja pada sektor manufaktur dan jasa dibandingkan pada sektor pertanian. Oleh karena itu, pangsa PDB sektor pertanian juga digunakan sebagai variabel kontrol untuk mewakili pertumbuhan produktivitas yang diharapkan pada sektor pertanian, yang lebih kecil dibandingkan sektor manufaktur dan/atau jasa, sehingga dapat memprediksi pertumbuhan pendapatan per kapita. terlambat.

Terakhir, variabel konsumsi masyarakat digunakan sebagai variabel kontrol untuk melihat akibat jika pemerintah lebih memperhatikan konsumsi selain belanja modal/investasi. Faktor produksi modal, yang terdiri dari modal fisik yaitu investasi dan berbagai infrastruktur keras seperti listrik, jalan, dan pelabuhan bongkar muat; dan modal manusia yaitu rata-rata lama sekolah diperkirakan positif, artinya semakin besar faktor produksi maka semakin tinggi pula pertumbuhan pendapatan per tahun. penduduk. Urbanisasi diperkirakan akan positif, artinya semakin banyak masyarakat perkotaan yang cenderung bekerja di sektor manufaktur dan jasa dibandingkan sektor pertanian, sehingga akan meningkatkan pendapatan per kapita. penduduk.

Sebaliknya, porsi PDB sektor pertanian yang lebih besar akan memperlambat pertumbuhan pendapatan per kapita karena relatif rendahnya produktivitas sektor ini dibandingkan sektor manufaktur dan/atau jasa. Keterbukaan atau tingkat keterbukaan yang lebih besar menunjukkan sektor manufaktur yang lebih produktif dan paparan perdagangan internasional yang lebih besar, sehingga diharapkan berdampak positif terhadap pendapatan per kapita. Terakhir, variabel konsumsi pemerintah diperkirakan akan menunjukkan tanda negatif, karena semakin kecilnya tingkat konsumsi pemerintah menunjukkan semakin besarnya fokus pemerintah terhadap belanja modal atau investasi.

Teknik Estimasi

Meskipun pendapatan riil per kapita meningkat di setiap provinsi, kesenjangannya masih besar (Grafik 7). Masih adanya perbedaan pendapatan per kapita riil antar provinsi di Indonesia juga tercermin dari nilai indikator disparitas yang secara umum tidak mengalami penurunan signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Perhitungan CV Tertimbang, indeks Theil dan koefisien Gini menunjukkan stagnasi disparitas pendapatan riil per kapita.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa koefisien Gini pendapatan riil per kapita provinsi-provinsi di Indonesia mencapai 0,37 (2010)8 yang tergolong cukup tinggi menurut standar internasional. Sementara itu, terdapat tren penurunan ketimpangan pendapatan riil per kapita di KE Kalimantan, KE Papua, dan Maluku (Grafik 10). 9 Rata-rata pendapatan riil per kapita DKI Jakarta dan Kalimantan Timur adalah Rp33,4 juta, sedangkan NTT dan Gorontalo hanya Rp2,3 juta.

Pengukuran ketimpangan dengan Indeks Theil dan Koefisien Gini menunjukkan adanya penurunan ketimpangan pendapatan riil per kapita di tingkat nasional. Munculnya provinsi-provinsi baru dengan pendapatan per kapita di atas rata-rata di EC Sumatra telah menyebabkan kesenjangan yang semakin besar. KE Bali dan Nusa Tenggara mempunyai ketimpangan pendapatan riil yang cenderung lebih rendah dibandingkan KE lainnya. 12 Rata-rata pendapatan riil per kapita provinsi di KE Bali dan Nusa Tenggara adalah Rp.

Provinsi NTB memiliki rasio investasi yang relatif tinggi selama sepuluh tahun terakhir, namun pendapatan per kapita riilnya masih lebih rendah dibandingkan Bali (Grafik 18). Rata-rata pendapatan per kapita (tahun riil KE Kalimantan sebesar Rp 13,3 juta dengan provinsi Kalimantan Timur mempunyai pendapatan per kapita riil tertinggi sebesar Rp. Sedangkan pendapatan per kapita riil provinsi lain jauh di bawahnya yaitu provinsi Kalimantan Barat sebesar Rp.

Dalam delapan tahun terakhir, selisih pendapatan riil per per kapita di Papua dan Kepulauan Maluku mengalami tren penurunan, namun dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan yang moderat. Distribusi pendapatan riil dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang kurang memuaskan, baik dari rata-rata pendapatan riil per penduduk di Koridor Ekonomi dan perkembangan koefisien Gini. KE Jawa dan KE Kalimantan memiliki rata-rata pendapatan riil per per kapita di atas rata-rata nasional, namun selisihnya masih cukup besar.

Sementara itu, KE Bali, Nusa Tenggara, dan KE Sulawesi, yang memiliki koefisien Gini yang rendah menurut standar internasional, memiliki rata-rata pendapatan riil per kapita jauh di bawah rata-rata nasional. Idealnya, konvergensi adalah proses mengejar ketertinggalan antara negara-negara tertinggal dan negara-negara kaya, tanpa menurunkan pendapatan riil per kapita negara-negara kaya.

Grafik 8. σ-Convergence Nasional Grafik 9. Gini Coefficient Nasional
Grafik 8. σ-Convergence Nasional Grafik 9. Gini Coefficient Nasional

Hasil empiris di atas menunjukkan adanya β-convergence dalam perekonomian Indonesia, dimana provinsi dengan pendapatan per kapita riil lebih rendah cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan provinsi dengan pendapatan per kapita riil lebih tinggi (Grafik 26). Hal ini menunjukkan distribusi pendapatan nasional yang condong ke kanan, artinya semakin banyak provinsi yang pendapatan per kapita riilnya berada di bawah rata-rata nasional. Secara nasional, Indonesia mengalami peningkatan pendapatan per kapita riil dalam sepuluh tahun terakhir (Grafik 28).

Namun pertumbuhan ekonomi selama ini menunjukkan belum adanya pemerataan pendapatan per kapita riil antar provinsi di Indonesia. Terdapat beberapa provinsi yang pendapatan per kapitanya jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional17 misalnya DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Selain itu, terjadinya kesenjangan juga ditunjukkan dengan banyaknya provinsi yang pendapatan riil per kapitanya berada di bawah rata-rata nasional, misalnya pada tahun 2010 sebanyak 28 provinsi (84,8% dari total provinsi) mempunyai pendapatan riil per kapita di bawah rata-rata. nasional 18.

Artinya, meskipun provinsi-provinsi miskin telah berusaha untuk tumbuh lebih tinggi, namun belum terjadi pemerataan pendapatan riil antar provinsi di Indonesia (Grafik 27). Salah satu penyebab keterbelakangan tersebut adalah rendahnya tingkat pendapatan per kapita awal di provinsi-provinsi miskin, yang berdampak pada terbatasnya ketersediaan modal yang salah satunya digunakan untuk meningkatkan daya dukung infrastruktur guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian, faktor ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas memegang peranan penting dalam menjelaskan perbedaan pendapatan per kapita di Indonesia.

Daerah yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas cenderung memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Dari sisi infrastruktur keras, listrik, jalan, dan bongkar muat pelabuhan memberikan dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita. Variabel lain yang digunakan dalam survei kondisi jalan di Indonesia adalah rasio panjang jalan per kapita.

Kondisi berbeda terdapat di EC Jawa yang kepadatan penduduknya sangat tinggi sehingga rasio panjang jalan per kapita hanya 0,8 km/orang. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur jalan tidak hanya diukur dari rasio per wilayah saja, namun juga mempertimbangkan rasio jalan per kapita. Hal ini dapat diartikan bahwa banyaknya masyarakat perkotaan yang cenderung bekerja pada sektor manufaktur dan jasa tidak cukup untuk meningkatkan pendapatan per kapita.

Grafik 26. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi
Grafik 26. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi

KESIMPULAN

Using Arellano-Bond Dynamic Panel GMM Estimators in Stata: Tutorial with examples using Stata 9.0 (xtabond and xtabond2).

Gambar

Grafik 1. Pertumbuhan PDB dan Stok Kapital
Grafik 2. Negara Paling Diminati Investor Grafik 3. Peringkat Kredit Investasi Indonesia
Grafik 4. Kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia  Indonesia dengan Kawasan Lain
Grafik 5. Perkembangan Rasio Infrastruktur di APBN  terhadap PDB
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keyakinan diri atas kemampuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap motivasi belajarnya karena ketika seseorang yakin atas dirinya mereka akan cenderung optimis dalam