• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PENYALURAN PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA (STUDI KASUS BANK UMUM SYARIAH PERIODE 2015-2018)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PENYALURAN PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA (STUDI KASUS BANK UMUM SYARIAH PERIODE 2015-2018)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PENYALURAN PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

(STUDI KASUS BANK UMUM SYARIAH PERIODE 2015-2018)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Susana Dewi Anggraini 165020500111022

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2020

(2)

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel dengan Judul :

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PENYALURAN PEMBIAYAAN SYARIAH DI INDONESIA (STUDI

KASUS BANK UMUM SYARIAH PERIODE 2015-2018)

Yang disusun Oleh :

Nama : Susana Dewi Anggraini

NIM : 165020500111022

Fakultas : Ekonomi Dan Bisnis Jurusan : Ilmu Ekonomi Program Studi : Ekonomi Islam

Bahwa artikel jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 29 Juli 2020.

Malang,

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Munawar, SE., DEA.

NIP. 195702121984031003

(3)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PENYALURAN PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

(STUDI KASUS BANK UMUM SYARIAH PERIODE 2015-2018)

Susana Dewi Anggraini

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email: susandewianggraini@gmail.com

ABSTRAK

Pemberian pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan terhadap sektor riil akan dapat memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan dalam sektor riil dan dapat mengurangi angka pengangguran akibat banyaknya penciptaan lapangan kerja (OJK, 2018).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap penyaluran pembiayaan modal kerja pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi pada Bank Umum Syariah pada tahun 2015:M1-2018:M12. Variabel bebas yang digunakan diantaranya CAR, NPF dan FDR sebagai faktor internal dan SBIS, PUAS, Inflasi, BI7DRR, dan Kurs sebagai faktor eksternal. Metode penelitian yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM) dengan taraf signifikansi 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jangka panjang FDR, NPF, SBIS,BI7DRRR berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi. Sedangkan pada pembiayaan konsumsi variabel CAR, NPF, FDR dan SBIS berpengaruh signifikan pada jangka panjang. Sedangkan pada jangka pendek, variabel CAR, NPF, FDR dan Kurs signifikan dalam mempengaruhi pembiayaan modal kerja. Variabel NPF dan SBIS berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan investasi pada jangka pendek. Sedangkan pada jangka pendek, hanya variabel CAR yang berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan konsumsi.

Selain itu, koefisien residual pada uji ECM untuk pembiayaan modal kerja sebesar -0,548378, - 0,172152 untuk pembiayaan investasi dan 0,608309 untuk pembiayaan konsumsi yang keseluruhan signifikan.

Kata kunci: Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, Pembiayaan Konsumsi, CAR, NPF, FDR, SBIS, PUAS, Inflasi, BI7DRRR, Kurs

A. PENDAHULUAN

Sektor keuangan merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Walter Bahegot (1873) dalam Abduh, et al (2012) menganggap bahwa sektor keuangan adalah hal penting yang memainkan peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Di Indonesia sektor keuangan dibagi menjadi tiga sektor dan salah satunya adalah sektor perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (2016) menyatakan bahwa perbankan berperan sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dari sisi sektor keuangan.

Sektor perbankan menjadi sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi tak lepas karena fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi. Menurut Keuschnigg & Kogler (2019) salah satu fungsi utama dari financial intermediaries adalah untuk mengalokasikan dana dari masyarakat dan menggunakannya secara efisien dengan menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang dapat mengelolanya secara produktif. Di Indonesia, fungsi intermediasi yang dimiliki perbankan akan mampu mendorong produktivitas dari sektor riil melalui produk perbankan baik dengan menggunakan prinsip konvensional maupun syariah. Hal ini disebabkan oleh penerapan dual banking system di Indonesia, yang artinya selain perbankan konvensional di Indonesia juga terdapat perbankan syariah.

(4)

Dukungan perbankan syariah terhadap produktivitas sektor riil dapat dilihat dari produk pembiayaan yang diberikannya. Produk pembiayaan yang dimiliki oleh perbankan dapat mendorong peningkatan iklim dunia usaha dan investasi yang pada nantinya dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian. Pemberian pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan terhadap sektor riil akan dapat memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan dalam sektor riil dan dapat mengurangi angka pengangguran akibat banyaknya penciptaan lapangan kerja (OJK, 2018). Per Desember 2018 proporsi pembiayaan Bank Syariah berdasarkan jenis penggunaanya didominasi oleh pembiayaan konsumsi sebesar 43,66%, pembiayaan investasi 23,40% dan pembiayaan modal kerja sebesar 32,95% dengan pertumbuhan pembiayaan Bank Umum Syariah yang mengalami peningkatan dari tahun 2015-2018. Meskipun demikian, persentase pembiyaaan BUS masih mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2015-2018.

Berkembangnya fungsi intermediasi perbankan dari tradisional ke modern yang ditandai tidak hanya melalui asimetri informasi dan biaya transaksi, namun juga dipengaruhi oleh pasar dan modernitas dalam industri keuangan (Allen, et al, 1998). Konsisten dengan hal tersebut, menurut Rose dan Kolari (1985) ada dua faktor yang mempengaruhi pendapatan lembaga keuangan yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Atas dasar tersebut, naik turunnya persentase pembiayaan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang berkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap penyaluran pembiayaan oleh perbankan.

Antonio (2001) menyatakan bahwa bank syariah dalam pengelolaan asset/liability lebih bertumpu pada kualitas asset yang menunjukkan kemampuan bank dalam menarik nasabah untuk menginvestasikan dananya melalui bank tersebut. Adanya manajemen asset/liabilitas dapat berperan untuk menutup kerugian dan menyediakan modal yang cukup. Kecukupan modal ini digambarkan melalui Capital Adequacy Ratio (CAR) yang dapat membantu bank dalam menutup kerugian dan menjadi cadangan bagi bank ketika terjadi risiko dalam pembiayaan. Risiko pembiayaan yang dimaksud dalam hal ini ditunjukkan dengan adanya pembiayaan bermasalah yang dapat berupa pembayaran angsuran pokok dan bagi hasil yang tidak lancar dan bahkan macet. Hal ini ditunjukkan melalui rasio Non Performing Financing (NPF). Rasio NPF yang tinggi menunjukkan semakin tinggi pembiayaan bermasalah yang menyebabkan bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan. Sedangkan fungsi intermediasi perbankan ditunjukkan melalui rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) yang menunjukkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit atau pembiayaan yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya.

Dalam kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan dan kekurangan likuiditas.

Menurut Widyaningsih (2005), apabila terjadi kelebihan dana maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan jika terjadi kekurangan likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut. Adanya penerapan sistem moneter ganda menjadikan instrument moneter SBIS dan PUAS ini berdampingan dengan instrument moneter konvensional yakni SBI dan PUAB (Ascarya, 2012).

Hosen (2009:4) dalam Dwijayanti (2017) menyatakan bahwa pembiayaan pada perbankan syariah dipengaruhi oleh faktor makroekonomi diantaranya tingkat inflasi dan suku bunga bank konvensional. Didukung pula oleh Iwan J. Azis dan Willem Thorbecke (2002) dalam jurnalnya yang berjudul Macroeconomic Shocks and Bank Lending in Indonesia yang menyatakan bahwa inflasi, tingkat suku bunga yang tinggi dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menurunkan besarnya kredit yang diberikan perbankan konvensional juga sedikitnya mempengaruhi pembiayaan perbankan syariah, namun tidak terlalu signifikan. Berdasarkan sebab terjadinya, inflasi bisa terjadi karena kenaikan harga-harga faktor produksi dimana hal ini akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat sehingga jumlah penjualan dari usaha sektor riil mengalami penurunan. Inflasi yang tinggi akan menimbulkan kelesuan usaha sektor riil yang bisa menyebabkan turunnya permintaan pembiayaan. Sehingga semakin tinggi inflasi maka akan semakin turun pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah. Penelitian Sukmana dan

(5)

Zulkhibri (2017) menyebutkan bahwa harga barang dan jasa bisa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pembiayaan perbankan.

Walaupun bank syariah tidak menggunakan tingkat suku bunga dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, tetapi tingkat suku bunga memiliki pengaruh terhadap penyaluran pembiayaan syariah. Hal ini didukung dengan penelitian Kader&Leong (2009) yang meneliti pengaruh fluktuasi tingkat suku bunga terhadap permintaan pembiayaan pada bank syariah di Malaysia yang menyatakan bahwa suku bunga memiliki pengaruh positif terhadap bank syariah namun berpengaruh negatif terhadap kredit pada bank konvensional. Sebaliknya, Nahar&Sarker (2016) menyatakan bahwa tingkat suku bunga akan berpengaruh negatif terhadap pembiayaan syariah.

Penelitian tentang pengaruh BI rate atau sekarang disebut sebagai BI 7-Days Reverse Repo Rate yang dilakukan oleh Rusydiana (2009) menunjukkan bahwa SBI memiliki hubungan negatif dengan pembiayaan.

Kondisi perekonomian negara sangat berpengaruh terhadap aktivitas perbankan. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai kestabilan suatu ekonomi adalah kurs valuta asing. Kurs mata uang suatu negara sering mengalami fluktuasi. Akibat dari fluktuasi mata uang asing mengakibatkan masyarakat untuk cenderung memiliki dollar AS dengan melakukan penarikan dana yang dimiliki dibank, sehingga bank mengalami kesulitan dalam penyaluran dana ke masyarakat (Veratama, 2014). Adebola, et al (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara nilai tukar dan pembiayaan bank syariah, namun tidak signifikan dalam jangka panjang. Sedangkan Elyasiani (1995) menyatakan bahwa nilai tukar tidak mempengaruhi secara langsung terhadap pembiayaan namun mempengaruhi jumlah penghimpunan dana.

Penelitian ini menarik untuk dibahas dan diteliti kembali dengan menggunakan faktor internal dan eksternal secara bersama-sama dan dengan melihat bagaimana variabel-variabel tersebut direspon oleh pembiayaan syariah dengan membaginya berdasarkan sifat penggunaannya yakni pembiayaan produktif (modal kerja dan investasi) dan pembiayaan konsumtif (pembiayaan konsumsi).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap penyaluran pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi pada Bank Umum Syariah Periode 2015-2018.

B. TINJAUAN PUSTAKA Hakikat Pembiayaan oleh Perbankan Syariah

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau difasilitasi dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang direncanakan (Muhammad, 2005). Menurut Rivai (2011), pembiayaan memiliki fungsi yang penting dalam perekonomian yaitu :

a. Meningkatkan daya guna modal/uang;

b. Meningkatkan daya guna suatu barang; menimbulkan kegiatan usaha masyarakat; alat stabilitas ekonomi negara, seperti : pengendalian inflasi, peningkatan ekspor, dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari; dan

c. Jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional.

(6)

Antonio (2001) menyatakan bahwa pembiayaan berdasarkan sifat penggunaannya dibagi menjadi dua yakni pembiayaan konsumtif dan pembiayaan produktif, yang mana pembiayaan produktif ini dibagi menjadi dua yakni pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.

a. Pembiayaan Modal Kerja (PMK)

Modal Kerja adalah nilai aktiva atau harta yang dapat segera dijadikan uang kas dan digunakan perusahaan untuk keperluan sehari-hari misalnya untuk membayar ongkos angkutan, membayar hutang dan sebagainya (Riyanto, 2001). Pembiayaan Modal Kerja secara umum merupakan pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah b. Pembiayaan Investasi

Pembiayaan investasi bisa dikatakan sebagai pembiayaan yang dilakukan untuk keperluan pembelian barang-barang yang diperlukan untuk keperluan investasi. Pembiayaan investasi dipergunakan untuk proyek-proyek yang dapat mendorong peningkatan ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, mempunyai dampak ganda pada sektor-sektor lain (multiplier effect), meningkatkan kegiatan koperasi dan golongan ekonomi lemah termasuk sektor informal serta dapat memberikan social benefit.

c. Pembiayaan Konsumtif

Secara definisi konsumsi adalah kebutuhan individual meliputi kebutuhan kebutuhan individual meliputi kebutuhan baik barang maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha. Dengan demikian yang dimaksud pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya bersifat perorangan.

Tujuan dari pembiayaan konsumtif adalah untuk memperoleh barang-barang atau kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam memenuhi keputusan konsumsi (Rivai dan Arifin, 2010 : 715).

Faktor Internal yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan Capital Adequacy Ratio (CAR)

Merupakan analisis yang digunakan untuk mengukur kewajiban penyediaan modal minimum bank maupun dalam memenuhi kewajiban jangka panjang atau kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jika terjadi likuidasi (Rivai dan Arifin, 2010 : 850).

CAR = Modal

Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) x 100%

Non Performing Financing (NPF)

Istilah Non Performing Financing (NPF) pada perbankan syariah merupakan konsep yang sama dengan Non Performing Loan (NPL) pada perbankan konvensional yang menjadi indikator kerugian akibat risiko kredit. Sedangkan NPF dalam perbankan syariah adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.

Berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancer, diragukan dan macet. Berikut rumus NPF :

NPF =Pembiayaan Bermasalah

Total Pembiayaan x 100%

Financing to Deposit Ratio (FDR)

Menurut Rivai dan Arifin (2010:784), Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. FDR menjadi indikator kemampuan bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Rasio FDR bisa dituliskan dalam rumus berikut ini :

(7)

FDR =Jumlah Dana yang Diberikan

Total Dana Pihak Ketiga x 100%

Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

Menurut Bank Indonesia (2008), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga dengan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Istilah SBIS muncul setelah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor : 10/11/PBI/2008 tanggal 31 Maret 2008. Sebelum terbitnya PBI tersebut, SBIS dikenal sebagai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang didasari atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) merupakan instrument moneter yang disediakan oleh otoritas moneter sebagai alternatif penyimpanan kelebihan dana yang tidak tersalurkan oleh perbankan syariah ke sektor riil serta untuk membantu likuiditas perbankan syariah (Asnuri, 2013).

Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS)

Pasar Uang Antar Bank Syariah merupakan salah satu instrument moneter syariah yang berperan mendukung ketahanan industri keuangan syariah sebagai media pengelola risiko likuiditas. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/4/PBI/2015 tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah yang selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pada Fatwa DSN MUI No. 38/DSN/MUI/X/2002 dan Peraturan Bank Indonesia No. 14/1/PBI/2012 mengatur mengenai Transaksi dalam PUAS menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syariah (SIMA). Sertifikat ini merupakan sarana investasi bagi bank yang memiliki kelebihan dana untuk diputar dan memperoleh keuntungan. Selain itu, Sertifikat IMA dapat digunakan pula sebagai sarana bagi bank yang mengalami kekurangan dana untuk mendapatkan pinjaman jangka pendek berdasarkan prinsip mudharabah (bagi hasil).

Inflasi

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi adalah kecenderungan naiknya barang-barang dan jasa pada umumnya berlangsung secara terus menerus. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya nilai uang. Dengan demikian, inflasi juga dapat diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Berikut teori inflasi :

a. Teori Kuantitas

Teori kuantitas menyatakan bahwa terjadinya inflasi dikarenakan dua faktor, yaitu jumlah uang yang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (ekspektasi).

b. Teori Keynes

Menurut teori Keynes inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar dari pada yang bisa oleh masyarakat tersebut.

c. Teori Strukturalis

Dalam teori ini, inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara yang sedang berkembang. Dengan demikian teori ini mencoba melihat inflasi dalam jangka panjang.

(8)

Teori Inflasi dalam Islam

Al-Maqrizi dalam Karim (2006) menggolongkan inflasi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Natural Inflation

Natural inflation ini terjadi akibat berkurangnya persediaan barang. Sebagaimana yang terjadi pada jaman Rasulullah dan Khulafaurasyidin, yaitu karena adanya kekeringan dan peperangan

2. Human Error Inflation

Selain karena faktor alam inflasi disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Inflasi ini dikenal dengan istilah human error inflation atau false inflation. Menurut al-Maqrizi inflasi yang terjadi akibat kesalahan manusia antara lain korupsi dan administrasi yang buruk, pajak yang berlebihan dan peningkatan sirkulasi mata uang uang fulus.

Nilai Tukar Rupiah (Kurs)

Karim (2013) menyebutkan kurs adalah perbandingan nilai/harga antara kedua mata uang.

Kurs adalah catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam harga mata uang domestik (domestic currency) atau harga mata uang domestik terhadap mata uang asing. Selanjutnya, dalam islam kurs menganut sistem managed floating yang artinya nilai tukar adalah hasil dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bukan merupakan cara atau kebijakan itu sendiri) karena pemerintah tidak mencampuri keseimbangan yang terjadi di pasar kecuali jika terjadi hal-hal yang mengganggu keseimbangan itu sendiri. Menurut Sukirno (2006), nilai tukar didasari oleh dua konsep yakni konsep nominal yang merupakan konsep untuk mengukur perbedaan harga mata uang yang menyatakan berapa jumlah mata uang suatu negara yang diperlukan guna memperoleh sejumlah mata uang negara lain dan konsep riil yang dipergunakan untuk mengukur daya saing komoditi ekspor suatu negara di pasaran internasional.

Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI 7 Days Reverse Repo Rate)

Sebelum menggunakan istilah BI 7 Days Reverse Repo Rate, Bank Indonesia menggunakan istilah Bank Indonesia Rate (BI Rate). Merupakan suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam rangka untuk menguatkan sinyal kebijakan moneter dengan suku bunga sebagai acuan utama di pasar keuangan, meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan, dan terbentuknya pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di pasar uang antarbank (PUAB) untuk tenor 3-12 bulan. BI 7 Days Reverse Repo Rate pun mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan.

Teori Tingkat Suku Bunga a. Teori Klasik

Menurut teori klasik tabungan dan simpanan adalah fungsi tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga maka akan semakin tinggi keinginan masyarakat untuk menabung dan menyimpan dananya di bank. Bunga dalam hal ini menjadi harga dari loanable funds atau dengan kata lain sebagai dana yang tersedia untuk dipinjamkan atau dana investasi. Teori klasik beranggapan bahwa bunga adalah harga yang terjadi di pasar investasi (Boediono, 2001).

b. Teori Keynes

Keynes menyatakan bahwa tingkat suku bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang. Teori Keynes menjelaskan 3 motif seseorang dalam memegang uang, diantaranya adalah untuk transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi.

(9)

Kerangka Pikir

Sumber : peneliti, 2020 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan dugaan sementara atas penelitian yang akan dilakukan. Yusuf (2016: 130) menyatakan bahwa hipotesis merupakan kesimpulan sementara, merupakan suatu konstruk (construct) yang masih perlu dibuktikan, suatu kesimpulan yang belum teruji kebenarannya.

H1 : Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H2 : Non Performing Financing (NPF) berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H3 : Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H4 : Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H5 : Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H6 : Inflasi berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H7 : Kurs berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

H8 : BI7DRRR berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan data time series yang diperoleh dari Statistik Perbankan Syariah dan Badan Pusat Statistik pada tahun 2016-2018 dengan menggunakan data bulanan. Metode penelitian yang digunakan adalah Error Correction Model atau model koreksi kesalahan. Metode ini mengasumsikan keberadaan keseimbangan jangka panjang dengan kata lain, apabila terjadi disequilibrium dalam jangka pendek, maka akan ada kekuatan yang mendorong perekonomian menuju kondisi

(10)

keseimbangannya. (Ekananda, 2016). Kekuatan dalam konteks ini berarti terdapat adanya koreksi kesalahan pada rentang waktu tertentu untuk menuju kembali pada keseimbangan.

Untuk menghindari adanya masalah dalam estimasi maka akan dilakukan uji asumsi klasik dengan menggunakan uji normalitas, uji muktikolibearutas dengan menggunakan uji Value Inflation Factor (VIF). Kemudian uji heterokedastisitas dengan menggunakan uji Harvey dan uji Autokolinearitas dengan mneggunakan uji Breusch-Godfrey atau sering disebut LM test.

Analisis dengan menggunakan metode ECM dilakukan dengan melalui uji stasioneritas data, menentukan panjang lag, dan uji derajat kointegrasi kemudian melakukan estimasi ECM. Dalam melakukan estimasi ECM harus memenuhi persyaratan bahwa data tidak stasioner pada tingkat level dan terdapat keseimbangan dalam jangka panjang. Secara ekonomi, model yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

Y1it = ƒ(X1t, X2t, X3t, X4t, X5t, X6t, X7t, X8t) Y2it = ƒ(X1t, X2t, X3t, X4t, X5t, X6t, X7t, X8t) Y3it = ƒ(X1t, X2t, X3t, X4t, X5t, X6t, X7t, X8t)

Sedangkan berdasarkan tujuan penelitian, metode analisis yang digunakan adalah ECM dengan persamaan sebagai berikut :

ΔLnY1t = c + β1ΔX1t + β2ΔX2t + β3ΔX3t + β4ΔLnX4t + β5ΔLnX5t + β6ΔX6t + β7ΔLnX7t

+ β8ΔLnX8t + ECTt-1 + εt ………....(i) ΔLnY2t = c + β1ΔX1t + β2ΔX2t + β3ΔX3t + β4ΔLnX4t + β5ΔLnX5t + β6ΔX6t + β7ΔLnX7t

+ β8ΔLnX8t + ECTt-1 + εt ………(ii) ΔLnY3t = c + β1ΔX1t + β2ΔX2t + β3ΔX3t + β4ΔLnX4t + β5ΔLnX5t + β6ΔX6t + β7ΔLnX7t

+ β8ΔLnX8t + ECTt-1 + εt ……….(iii) Dengan Y1 adalah Pembiyaan Modal Kerja; Y2 adalah Pembiayaan Investasi; Y3 adalah Pembiayaan Konsumsi; c adalah Konstanta; β1-8 adalah Koefisien regresi dari variabel bebas; X1 adalah Capital Adequacy Ratio (CAR); X2 adalah Non Performing Financing (NPF); X3 adalah Financing to Deposit Ratio (FDR); X4 adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS); X5 adalah Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS); X6 adalah Inflasi; X7 adalah Nilai Tukar Rupiah (Kurs); X8 adalah BI 7 Days Reverse Repo Rate; εt adalah Nilai Residual; Δ adalah Perubahan; t adalah Periode waktu; dan ECTadalah Error Correction Term. Berikut adalah beberapa tahapan untuk analisis ECM :

a. Uji Stasioneritas

Uji Stasioneritas dalam data time series merupakan salah satu hal yang mendasar dan penting dalam melihat perilaku data tersebut. Suatu data dikatakan stasioner jika seecara stokastik data menunjukkan pola variasi (varians) yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak ada kenaikan atau penurunan pada data yang terlalu mencolok (Ekananda, 2016).

b. Uji Unit Akar (Unit Root Test)

Basuki (2016) menjelaskan bahwa untuk menguji stasioneritas data pada data time series digunakan uji akar unit. Hal ini digunakan untuk melihat apakah data yang diteliti bersifat stasioner atau tidak. Apabila data tersebut tidak stasioner, maka dikatakan bahwa data tersebut mengalami persolan akar unit. Hal ini bisa terlihat dari cara membandingkan nilai t- statistics hasil regresi dengan nilai test Augmented Dickey Fuller (ADF). Asumsi pada uji unit akar ini dimana saat nilai t-statistic atau ADF statistic lebih kecil dari critical value (taraf uji) maka data tersebut tidak stasioner. Begitupun sebaliknya.

(11)

c. Uji Derajat Kointegrasi

Biasanya pengujian stasioneritas data time series seringkali ditemui bahwa data tidak stasioner pada level dari data tersebut. Apabila demikian, maka yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan uji derajat integrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat integrasi keberapakah data yang diamati stasioner. Uji derajat integrasi ini mirip dengan uji akar-akar unit (unit root test). Kondisi stasioner dapat dicapai dengan melakukan diferensiasi satu kali atau lebih (Pyndick dan Rubinfield, 1991) dalam Ekananda (2016 : 134).

Dilakukannya penurunan atau diferensiasi ini akan menyebabkan tidak bisa dijelaskannya hubungan jangka panjang dalam variabel-variabel tersebut. Artinya variabel dalam penilitian hanya mampu menjelaskan hubungan jangka pendek saja.

d. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi adalah uji yang digunakan saat data time series bersifat tidak stasioner.

Teknik kointegrasi ini diperkenalkan pertama kali oleh Engle dan Granger (1987), dan dikembangkan lebih lanjut oleh Johansen (1988), serta disempurnakan kembali oleh Johansen dan Juselius (1990). Granger (1987) menjelaskan bahwa kombinasi linier dari dua atau lebih series yang tidak stasioner disebut kointegrasi.

Teknik kointegrasi ini dianggap mampu menyelesaikan masalah sporious regression (regresi palsu/lancung) yang disebabkan oleh uji t dan uji F. Spurious regression dalam hal ini berarti bahwa estimasinya tidak mengungkapkan analisis atau perilaku yang sesungguhnya dari data time series. Dalam penelitian ini uji kointegrasi dilakukan dengan menggunakan uji kointegrasi dari Engle dan Granger, dimana terlebih dahulu dilakukan persamaan jangka panjangnya dan kemudian mendapatkan residualnya. Kemudian untuk mengetahui residual dari persamaan stasioner atau tidak maka dilakukan uji ADF. Dari hasil estimasi, nilai ADF dibandingkan dengan nilai kritisnya. Dimana jika nilai statistiknya lebih besar dari nilai krtitisnya maka bersifat stasioner. Yang artinya variabel yang diamati saling berkointegrasi dan memiliki hubungan jangka panjang. Begitupun sebaliknya.

e. Error Correction Model (ECM)

Metode Error Correction Model (ECM) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Engle Granger Error Correction Model (EG-ECM). Metode ini mengasumsikan keberadaan keseimbangan jangka panjang dengan kata lain, apabila terjadi disequilibrium dalam jangka pendek, maka akan ada kekuatan yang mendorong perekonomian menuju kondisi keseimbangannya. (Ekananda, 2016). Kekuatan dalam konteks ini berarti terdapat adanya koreksi kesalahan pada rentang waktu tertentu untuk menuju kembali pada keseimbangan.

Persamaan pada model jangka pendek menjelaskan perubahan Y dipengaruhi oleh perubahan variabel X dan Error Correction Term. Persamaan tersebut bisa terbentuk setelah melakukan uji derajat integrasi dan kointegrasi.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan model ekonometri yang dijelaskan pada metode penelitian sebelumnya maka pada hasil dan pembahasan akan ditunjukkan hasil akhir pengujian yang telah melalui uji stasioneritas sebagai prasyarat wajib dalam data time series termasuk uji akar unit dan derajat kointegrasi. kemudian dilakukan uji kointegrasi, estimasi jangka panjang dan estimasi jangka pendek dengan model ECM atau model koreksi kesalahan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan software Eviews 10 dan Microsoft Excel untuk membantu dalam melakukan pengujian data pada penelitian ini.

Hasil uji asumsi klasik pada penelitian menunjukkan bahwa untuk uji normalitas, dari ketiga persamaan, persamaan (i) lolos uji normalitas dengan probabilitas 0,4485 dimana angka tersebut lebih besar dari alpha 10%. Sedangkan untuk persamaan (ii) dan (iii) data tidak berdistribusi

(12)

normal. Mengenai persamaan 2 dan 3 yang tidak lolos uji normalitas, hal tersebut didukung oleh pernyataan dari J. Supranto (1995) yang menjelaskan bahwa penggunaan metode OLS dalam penelitian akan menghasilkan pemerkira linear tak bisa (BLUE) tanpa memperhatikan apakah residual mengikuti distribusi normal atau tidak. Sehingga dalam hal ini, pemerkira OLS cenderung akan mendekati distribusi normal apabila sampel semakin besar yaitu n mendekati tak terhingga.

Dengan kata lain, pemerkira OLS cenderung mengikuti distribusi normal secara asimtosis (asymptotically normally distributed). Untuk uji multikolineritas tidak ditemukan adanya masalah multikoliniearitas dari masing-masing variabel dengan melihat bahwa nilai VIF berada dibawah 10 dan diatas 0. Pada uji heterokedastisitas yang menggunakan Harvey test tidak ditemukan adanya masalah heterokedastisitas pada masing-masing persamaan yang bisa dilihat bahwa probabilitas berada di atas 10%. Sedangkan dalam uji autokoliniearitas tidak ditemukan masalah pada persamaan (i) dan (ii), namun masih terdapat autolinearitas pada persamaan (iii) dengan melihat probabilitas dengan menggunakan LM test.

Sebelum melakukan uji ECM, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller (ADF) dengan menggunakan alpha 10% dengan hipotesis Ho = data tidak stasioner dan H1 = data stasioner; dimana apabila nilai probability > 10% maka gagal tolak Ho atau data tersebut bersifat tidak stasioner.

Tabel 1. Hasil Uji Stasioneritas

Variabel Level (Prob) First difference (Prob)

ln_MK 0.8316 0.0004

ln_INV 0.0507 0.0000

ln_KON 0.9644 0.0000

CAR 0.9242 0.0000

NPF 0.7853 0.0533

FDR 0.9064 0.0000

ln_SBIS 0.4802 0.0001

ln_PUAS 0.0002 0.0000

INF 0.0000 0.0000

BI_7DRRR 0.4962 0.0002

ln_KURS 0.2289 0.0000

Sumber : Hasil Pengolahan Penulis

Dari pengujian stasioneritas pada level diketahui bahwa data tidak stasioner pada level, seperti yang terlihat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa hanya variabel PUAS dan INF yang stasioner pada level dengan pertimbangan nilai probabilitas yang lebih kecil dari 10%. Oleh karenanya, maka dilakukan uji akar unit pada first difference agar diperoleh data yang stasioner seperti terlihat pada Tabel 1 yang semuanya stasioner pada tingkat level pertama.

Kemudian dilakukan uji kointegrasi dengan menggunakan uji kointegrasi dari Engle dan Granger, dimana terlebih dahulu dilakukan persamaan jangka panjangnya dan kemudian mendapatkan residualnya. Kemudian untuk mengetahui residual dari persamaan stasioner atau tidak maka dilakukan uji ADF. Oleh karena X dan Y tidak stasioner pada level dan setelah dilakukan uji unit akar residual pada level dan menghasilkan nilai yang stasioner. Dengan hipotesis Ho = data tidak stasioner dan H1 = data stasioner; dimana apabila nilai probability >

10% maka gagal tolak Ho atau data tersebut bersifat tidak stasioner.

Tabel 2. Hasil Uji Kointegrasi Persamaan Pembiayaan

Modal Kerja (i)

Pembiayaan Investasi (ii)

Pembiayaan Konsumsi (iii)

Probabilitas 0.0006 0.0136 0.0000

Sumber : Hasil Pengolahan Penulis

(13)

Tabel 2 menunjukkan bahwa residual dari persamaan (i), (ii) dan (iii) menolak Ho. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang sehingga bisa dilakukan estimasi menggunakan model Error Correction Model (ECM).

Dengan pertimbangan bahwa data tidak stasioner pada level atau data berkointegrasi pada first difference maka dilakukan pengujian estimasi untuk jangka pendeknya. Sebab data yang berkointegrasi pada first difference selalu memiliki pergerakan jangka pendek maka dilakukan pengujian koreksi kesalahan atau Error Correction Model (ECM). Hasil pengujian ECM dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Regresi ECM Variabel

Pembiayaan Modal Kerja (i)

Pembiayaan Investasi (ii)

Pembiayaan Konsumsi (iii) Koefisien Prob. Koefisien Prob. Koefisien Prob.

C 0,003022 0,1636 0,007715 0,0105 0,005589 0,2252

D(CAR) -0,008239 0,0667 -0,004920 0,4097 0,014320 0,1372 D(NPF) -0,026258 0,0001 -0,017835 0,0360 -0,028666 0,0323 D(FDR) 0,004181 0,0461 0,001215 0,6496 -0,002832 0,5064 D(LNSBIS) -0,015583 0,5384 -0,069841 0,0504 0,082156 0,1340 D(LNPUAS) 0,013918 0,1028 0,006192 0,5839 0,011700 0,5174 D(INFLASI) 0,003282 0,5835 0,005609 0,4872 0,020543 0,125 D(LNKURS) 0,160582 0,0896 -0,008285 0,9464 -0,162369 0,3987 D(BI7DRRR) -0,008565 0,3845 -0,021898 0,1333 0,007371 0,7291 ECT(-1) -0,458744 0,0011 -0,172152 0,0560 -0,596134 0,0001 Adjusted R-

Squared 0,536658 0,150991 0,319321

Prob. F-

statistic 0,000009 0,0081151 0,003932

Sumber : Hasil Pengolahan Penulis

Hasil estimasi mengindikasikan bahwa secara statistik, koefisien kesalahan keseimbangan (equilibrium error) berpengaruh signifikan dalam jangka pendek, dimana pembiayaan modal kerja (i) menyesuaikan perubahan dari 8 variabel independen pada periode selanjutnya atau bisa dukatakan bahwa dalam jangka pendek, pembiayaan modal kerja menyesuaikan perubahan dari kedelapan variabel yang digunakan pada periode berikutnya. Atau dapat pula dikatakan bahwa penyesuaian satu periode berikutnya menuju keseimbangan jangka panjang menjadi cukup penting sebab nilai koreksi untuk penyesuaian mencapai 54,83%. angka tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan modal kerja saat berada pada tingkat keseimbangan jangka panjangnya sehingga setiap bulan akan dikoreksi rata-rata sebesar 54,83% untuk mencapai nilai keseimbangannya.

Pada pembiayaan modal kerja (i) didapatkan nilai Adjusted R-squared sebesar 0,536658 yang artinya sebesar 53,66 persen keragaman variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen dalam model dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model dan Prob. F statistic sebesar 0,000009 yang lebih kecil dari alpha 10% menunjukkan bahwa secara keseluruhan variabel independen berpengaruh terhadap pembiayaan modal kerja.

Sedangkan untuk melihat pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel pembiayaan modal kerja diketahui bahwa hanya CAR, NPF, FDR dan Kurs yang signifikan terhadap pembiayaan modal kerja. Sementara variabel SBIS, PUAS, Inflasi, dan BI7DRRR memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja.

Kemudian pada persamaan (ii) yakni pembiayaan investasi, hasil estimasi ECM menunjukkan nilai ECT sebesar -0,172152 yang artinya nilai koreksi untuk penyesuaian mencapai sekitar 17,21%. hal ini menunjukkan pembiayaan investasi untuk berada diatas nilai keseimbangan jangka panjang, perlu dilakukan koreksi rata-rata sebesar 17,21% agar mencapai keseimbangannya. Pada persamaan (ii), didapatkan nilai Adjusted R-squared sebesar 0,150991 yang artinya sebesar 15,09 persen keragaman variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel

(14)

independen dalam model dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil regresi menunjukkan nilai F statistic dari uji F adalah sebesar 1,908979 atau nilai Prob sebesar 0,081151. Hal ini berarti bahwa secara simultan variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen. Sedangkan pada uji t yang mengindikasikan pengaruh masing- masing variabel independen terhadap variabel dependen diketahui bahwa hanya NPF dan SBIS yang signifikan terhadap pembiayaan investasi, sedangkan 6 variabel independen lain yakni CAR, FDR, PUAS, Inflasi, Kurs, dan BI7DRRR tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan investasi.

Selanjutnya, Pada persamaan (iii) yakni pembiayaan konsumsi menghasilkan nilai ECT sebesar -0,608309 hal ini menunjukkan kecepatan penyesuaian pembiayaan konsumsi untuk mencapai keseimbangan jangka panjangnya. Artinya bahwa dibutuhkan koreksi rata-rata sebesar 60,83% setiap bulannya agar mencapai keseimbangan jangka panjangnya. Dan didapatkan nilai Adjusted R-squared sebesar 0,319321 yang artinya sebesar 31,93 persen keragaman variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen dalam model dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Sedangkan nilai F statistic dari uji F adalah sebesar 3,333714 atau nilai Prob sebesar 0,003932 dimana Prob. tersebut lebih kecil dari 10%. Hal ini berarti bahwa secara simultan variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen.

Pada pengaruh masing-masing variabel indepen terhadap variabel dependen diketahui bahwa hanya NPF yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pembiayaan konsumsi dan 7 variabel indepen lainnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan konsumsi.

Tabel 4. Hasil Uji Persamaan Jangka Panjang Variabel

Pembiayaan Modal Kerja (i)

Pembiayaan Investasi (ii)

Pembiayaan Konsumsi (iii) Koefisien Prob. Koefisien Prob. Koefisien Prob.

C 30,64090 0,0000 34,87989 0,0000 31,79800 0,0000 CAR -0,003612 0,4321 0,012975 0,1770 0,025720 0,0133 NPF -0,027930 0,0024 -0,035889 0,0516 -0,061530 0,0022 FDR -0,004885 0,0263 0,007884 0,0801 -0,015141 0,0022 LN_SBIS -0,037644 0,0709 -0,184621 0,0001 0,087634 0,0543 LN_PUAS 0,022161 0,1157 0,000636 0,9823 -0,011126 0,7128 INFLASI -0,004672 0,5999 0,020295 0,2747 -0,005229 0,7873 LN_KURS 0,252313 0,0567 0,190170 0,4796 -0,113991 0,6861 BI7DRRR -0,023278 0,0004 -0,107482 0,0000 -0,011981 0,3608 Adjusted R-

Squared 0.904461 0.898480 0.944914

Prob. F-statistic 0.000000 0.000000 0.000000

Sumber : Hasil Pengolahan Penulis

Pengaruh CAR terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Apabila melihat pengaruhnya dalam jangka pendek, diketahui bahwa CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja. Sedangkan persamaan jangka panjang diketahui bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap penyaluran pembiayaan modal kerja. Hal ini menjelaskan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) tidak cukup mampu untuk menjelaskan pengaruhnya terhadap pembiayaan modal kerja. Hasil ini telah menolak hipotesis yang diajukan peneliti dimana CAR berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pada periode penelitian peningkatan atau penurunan CAR tidak mempengaruhi pembiayaan modal kerja.

Berdasarkan periode penelitian rata-rata CAR Bank Umum Syariah tahun 2015-2018 berada pada kisaran yang cukup tinggi yakni 14,09% hingga 21,4% jauh di atas ketentuan Bank Indonesia (8

(15)

persen). Tingginya CAR mengindikasikan bahwa terdapat modal yang idle atau adanya modal yang disalurkan ke sektor atau investasi lain selain pembiayaan modal kerja. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyatama (2015) yang menyatakan bahwa CAR tidak berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan Bank Umum pada periode 2009-2014 dan juga penelitian yang dilakukan oleh Destiana (2016) yang menyatakan bahwa CAR tidak berpengaruh positif signifikan terhadap pembiayaan UMKM.

Pada pembiayaan investasi dalam jangka pendek CAR berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan investasi. Sedangkan pada jangka panjang CAR tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan investasi. Hal ini berarti pada periode penelitian CAR tidak mempengaruhi besar kecilnya penyaluran pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Umum Syariah.

Pada pembiayaan konsumsi, dalam jangka pendek CAR berpengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan konsumsi. Sedangkan pada jangka panjangnya CAR memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan konsumsi. Dimana dalam jangka panjang meningkatnya CAR akan berdampak pada naiknya pembiayaan konsumsi yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah. Hal ini berarti menerima hipotesis yang diajukan sebelumnya bahwa CAR memiliki pengaruh yang positif terhadap pembiayaan konsumsi. Dimana semakin tinggi nilai CAR maka akan semakin meningkatkan jumlah pembiayaan konsumsi yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah pada periode 2015-2018. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarsono (2017) dan Bakti (2017) yang menyatakan bahwa CAR berpengaruh positif terhadap pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah.

Posisi CAR suatu bank sangat tergantung pada jenis aktiva serta besarnya risiko yang melekat padanya, kualitas aktiva atau tingkat kolektabilitasnya, total aktiva suatu bank. Dimana semakin besar aktiva semakin bertambah pula asset tertimbang menurut risikonya dan kemampuan bank untuk meningkatkan pendapatan dan laba. CAR relative tidak signifikan memengaruhi pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi dibandingkan pembiayaan konsumsi. Menurut Carlson et al. (2013) bahwa jumlah modal yang dimiliki oleh bank memengaruhi besarnya kredit atau pembiayaan yang disalurkan. Sehingga peningkatan rasio permodalan BUS juga akan meningkatkan sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk mengatasi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran pembiayaan konsumsi. Mengingat pada periode penelitian pembiayaan konsumsi yang disalurkan oleh BUS memiliki jumlah yang paling tinggi dibanding pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi yang dibuktikan pada publikasi OJK dimana per Desember (2018) pembiayaan konsumsi mendominasi dengan proporsi 43,66% dari total pembiayaan berdasarkan jenis penggunaannya.

Pengaruh NPF terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek NPF berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Sejalan dengan hasil tersebut, pada jangka panjang, NPF juga berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Hal ini berarti bahwa saat terjadi kenaikan Non Performing Financing (NPF) akan terjadi penurunan pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi yang disalurkan oleh BUS. Pernyataan ini menerima hipotesis yang diajukan peneliti dan didukung oleh pernyataan Syafii Antonio (2001) bahwa apabila tingkat NPF semakin tinggi maka akan semakin semakin kecil pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dyatama (2015) dan Wardiantika (2014).

Nilai NPF yang tinggi mengindikasikan bahwa jumlah pembiayaan yang bermasalah semakin tinggi. Oleh sebab itu, menurut Jaya et al (2015), Bank Umum Syariah lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan terhadap nasabah yang berdampak pada penurunan pembiayaan yang disalurkan.

(16)

Pengaruh FDR terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek, FDR memiliki pengaruh signifikan positif tehadap penyaluran modal kerja dimana apabila terjadi peningkatan perubahan FDR sebesar 1% maka perubahan pembiayaan modal kerja akan naik sebesar 0.003933 persen dengan asumsi variabel lain dianggap konstan.

Sedangkan untuk jangka panjang, FDR berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja.

Pada pembiayaan investasi, dalam jangka pendek FDR berpengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan investasi dimana Apabila terjadi peningkatan perubahan FDR sebesar satu persen maka perubahan pembiayaan investasi akan naik sebesar 0.000423. Dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Sedangkan pada jangka panjang FDR memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan investasi. Hasil tersebut menerima hipotesis yang diajukan penulis.

Sedangkan pada pembiayaan konsumsi, dalam jangka pendek FDR memiliki pengaruh tidak signifikan negatif terhadap pembiayaan konsumsi. Disisi lain, pada jangka panjang FDR memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan konsumsi. Yang artinya, semakin tinggi FDR maka akan mengakibatkan penurunan pembiayaan konsumsi yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah. Hasil penelitian ini menolak hipotesis yang diajukan peneliti dan konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Giannini (2013) dan Rimadhani (2017).

Nilai FDR yang tinggi mengindikasikan bank dapat memberikan pembiayaan cukup banyak kepada nasabah meskipun kemampuan bank dalam membayar kewajibannya menjadi rendah.

Nurrochman (2016), menyatakan bahwa ketika FDR mengalami kenaikan maka Bank akan menurunkan penyaluran pembiayaan. Hal ini dilakukan agar dana yang diterima oleh Bank Syariah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana jangka pendeknya. Oleh sebab itu, pada penelitian ini FDR memiliki hubungan negatif terhadap pembiayaan modal kerja yang dikarenakan pembiayaan modal kerja merupakan pembiayaan jangka panjang yang mana nominal yang diberikan oleh perbankan akan lebih besar dan memiliki hubungan negatif terhadap pembiayaan konsumsi yang disebabkan oleh besarnya proporsi pembiayaan konsumsi selama periode penelitian. Atas dasar tersebut, diantara ketiga jenis pembiayaan tersebut FDR akan memiliki hubungan positif terhadap pembiayaan investasi yang mana pembiayaan ini termasuk pembiayaan jangka pendek.

Pengaruh SBIS terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek, SBIS memiliki pengaruh tidak signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja. Sedangkan pada jangka panjang, SBIS memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja. Hal ini berarti, pada jangka panjang, semakin turun SBIS maka akan meningkatkan pembiayaan modal kerja oleh Bank Umum Syariah. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan peneliti dimana SBIS berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja.

Pada pembiayaan investasi, dalam jangka pendek SBIS memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan investasi sejalan dengan hal tersebut, pada jangka panjang SBIS juga berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan investasi. Hasil ini sesuai hipotesis yang diajukan peneliti yang menyatakan semakin tinggi SBIS maka akan menurunkan pembiayaan investasi yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah.

Sedangkan pada pembiayaan konsumsi, dalam jangka pendek SBIS memiliki pengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan konsumsi. Di sisi lain, pada jangka panjang SBIS berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan konsumsi. Hasil ini menolak hipotesis yang diajukan sebelumnya yakni SBIS berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan konsumsi.

Hubungan negatif SBIS terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan peneliti. Perbankan akan lebih tertarik mengalokasikan

(17)

dananya pada SBIS karena menjanjikan return yang tinggi dan memiliki risiko yang lebih rendah daripada menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi yang lebih berisiko. Hal ini akan berdampak pada menurunnya penyaluran pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusyidiana (2009), Dahlan (2014) dan Ma’arifa (2019).

Sementara itu hubungan positif SBIS dengan pembiayaan konsumsi telah menolak hipotesis awal. Dimana ketika terjadi kenaikan penempatan dana bank pada SBIS justru hal ini akan meningkatkan pembiayaan konsumsi yang disalurkan perbankan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Prihatiningsih (2011) dan Asri (2016). Bonus SBIS yang merupakan imbal hasil dari penempatan dana pada SBIS akan didapatkan oleh bank, dimana semakin banyak penempatan dana pada SBIS maka akan meningkatkan bonus yang akan diperoleh. Imbal hasil yang diperoleh oleh bank syariah akan mempengaruhi likuiditas bank. Semakin banyak penempatan dana pada SBIS maka semakin banyak pula bonus yang diperoleh, dan likuiditas bank pun akan meningkat, sehingga bank akan memiliki banyak dana yang dapat disalurkan untuk pembiayaan konsumsi.

Pengaruh PUAS terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek, PUAS memiliki pengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Sedangkan pada jangka panjang, PUAS juga tidak berpengaruh signfikan positif terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi serta tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan konsumsi. Hasil ini menolak hipotesis awal yang menyatakan bahwa PUAS memiliki hubungan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Hal ini berarti, dalam jangka pendek dan jangka panjang pada periode penelitian PUAS tidak memiliki kontribusi tehadap penyaluran pembiayaan Bank Umum Syariah. Hal ini membuktikan bahwa meskipun terjadi peningkatan penempatan dana pada PUAS belum tentu mengurangi penyaluran pembiayaannya dan belum tentu dana yang ditempatkan pada PUAS digunakan untuk meningkatkan porsi pembiayaan untuk disalurkan oleh perbankan syariah. Hasil ini konsisten dengan penelitian Prihatiningsih (2012) dan tidak sejalan dengan penelitian Kusumawati (2013), Septindo et al (2016), Hawa dan Rosyidi (2017).

Pengaruh Inflasi terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek, Inflasi memiliki pengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Sedangkan pada jangka panjang, inflasi tidak signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan konsumsi serta berpengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan investasi. Hasil ini menolak hipotesis yang diajukan bahwa saat inflasi mengalami kenaikan akan menurunkan pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi yang disalurkan Bank Umum Syariah.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Darma dan Rita (2016), Lestari dan Sugiharto (2007) serta Veratama (2013) yang menunjukkan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penyaluran pembiayaan bank syariah. Meningkatnya laju inflasi tidak akan mempengaruhi aktivitas bank umum syariah dalam menyalurkan pembiayaannya pada periode penelitian. Hal ini terjadi karena selama periode penelitian, yaitu tahun 2015-2018, tingkat inflasi berada dibawah 10% yang termasuk ke dalam inflasi ringan. Sehingga inflasi tidak begitu berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Kenaikan harga barang akibat tingginya laju inflasi tidak akan mempengaruhi bank syariah dalam melakukan penyaluran dana kepada masyarakat.

(18)

Pengaruh Kurs terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek dan jangka panjang Kurs berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja. Pada pembiayaan investasi, Kurs tidak signifikan negatif mempengaruhi pembiayaan investasi dalam jangka pendek. Sedangkan pada jangka panjang kurs berpengaruh tidak signifikan positif terhadap pembiayaan investasi. Pada jangka pendek Kurs tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan konsumsi. Sejalan dengan pengaruh kurs pada jangka panjang yang tidak signifikan negatif terhadap pembiayaan konsumsi pada jangka panjang.

Dari hasil penelitian tersebut, pada jangka panjang kurs berpengaruh signifikan positif terhadap pembiayaan modal kerja dan memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi yang artinya naik turunnya kurs tidak akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah pada tahun 2015-2018. Sekaligus menolak hipotesis yang diajukan peneliti bahwa kurs akan berdampak signifikan negatif terhadap pembiayaan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rifai et al (2017). Hal ini bisa dilihat pada perkembangan kurs yang meskipun mengalami penguatan atau pelemahan terhadap mata uang asing penyaluran pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari statistik perbankan syariah OJK, tingkat imbal hasil pembiayaan modal kerja pada periode penelitian memiliki rata-rata dalam mata uang rupiah sebesar 16,63% dan valas 7,38% baik dari sektor UMKM maupun non UMKM. Pada pembiayaan investasi tingkat imbal hasil didominasi dengan mata uang rupiah sebesar 13,31% dan valas sebesar 7,29% sedangkan pembiayaan konsumsi didominasi oleh mata uang rupiah sebesar 12,24%. Dari data tersebut diketahui bahwa pembiayaan yang disalurkan Bank Umum Syariah lebih banyak menggunakan mata uang rupiah daripada valas. Sehingga meskipun terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah hal tersebut tidak berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan. Pada pembiayaan modal kerja hal ini mengindikasikan bahwa penyaluran pembiayaan modal kerja digunakan untuk membeli bahan produksi dalam negeri sehingga kondisi tersebut menguntungkan bagi Bank Umum Syariah dalam meningkatkan penyaluran pembiayaan modal kerja (Rasyid, 2018).

Pengaruh BI7DRRR terhadap Pembiayaan Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Konsumsi

Pada jangka pendek BI7DRRR memiliki pengaruh tidak signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Sedangkan pada jangka panjang, BI7DRRR memiliki hubungan signifikan negatif terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi serta memiliki hubungan negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan konsumsi.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, diketahui bahwa BI 7 Days Reverse Repo Rate memiliki pengaruh signifikan negatif pada jangka panjang terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi yang disalurkan Bank Umum Syariah tahun 2015-2018. Hasil ini sekaligus menolak hipotesis yang menyatakan bahwa BI7DRRR memiliki hubungan signifikan positif terhadap penyaluran pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

Meskipun tidak signifikan terhadap pembiayaan konsumsi namun BI7DRR juga memiliki arah negatif dalam mempengaruhinya. Artinya, semakin tinggi tingkat suku bunga BI maka akan menurunkan pembiayaan yang disalurkan oleh BUS tahun 2015-2018. Sesuai dengan teori klasik bahwa suku bunga adalah premi yang akan diterima karena menunda konsumsi pada masa yang akan datang. Teori klasik menyebutkan bahwa tabungan adalah fungsi suku bunga dimana saat tingkat bunga mengalami kenaikan maka akan meningkatkan keinginan nasabah untuk menyimpan dananya atau menabung di bank. Return yang tinggi di perbankan konvensional akan meningkatkan displacement atau pengalihan dana yang besar dari perbankan syariah ke perbankan konvensional (Saekhu, 2015). Displacement ini akan mengurangi kemampuan bank syariah dalam

(19)

menyalurkan pembiayaan akibat penurunan jumlah dana yang dihimpun oleh perbankan syariah.

Sehingga peningkatan suku bunga ini akan berdampak pada menurunnya pembiayaan pada perbankan syariah yang disebabkan oleh menurunnya permintaan akibat tingginya suku bunga pada bank konvesional. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ichsan (2017) dan Ma’arifa (2019) yang menyatakan bahwa BI Rate memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap pembiayaan pada perbankan syariah.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalammelihat pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap pembiayaan pada Bank Umum Syariah tahun 2015:M1 – 2018:M12 dengan menggunakan analisis Error Correction Model (ECM) yang didasarkan pada data yang tidak lolos uji stasioneritas pada tingkat level maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) pada jangka pendek berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, CAR berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

2. Variabel Non Performing Financing (NPF) pada jangka pendek berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, NPF berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi.

3. Variabel Financing to Deposit Ratio (FDR) pada jangka pendek berpengaruh positif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, berpengaruh positif tidak signifikan positif terhadap pembiayaan investasi dan berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, FDR berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, berpengaruh positif signifikan terhadap pembiayaan investasi dan berpengaruh negatif signfikan terhadap pembiayaan konsumsi.

4. Variabel Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) pada jangka pendek berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan investasi dan berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, SBIS berpengaruh negatif signfikan terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi dan berpengaruh positif signifikan terhadap pembiayaan konsumsi.

5. Variabel Pasar Uang AntarBank Syariah (PUAS) pada jangka pendek berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, PUAS berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi serta berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan konsumsi.

6. Variabel inflasi pada jangka pendek berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang inflasi berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan konsumsi serta berpengaruh positif tidak signifikan tehadap pembiayaan investasi.

7. Variabel Kurs pada jangka pendek berpengaruh positif signfikan terhadap pembiayaan modal kerja dan berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, kurs berpengaruh positif signifikan terhadap

(20)

pembiayaan modal kerja, berpengaruh positif tidak signifikan tehadap pembiayaan investasi dan berpengaruh negatif tidak signifikan pembiayaan konsumsi

8. Variabel tingkat suku bunga (BI7DRRR) pada jangka pendek berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi. Pada jangka panjang, BI7DRRR berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi serta berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap pembiayaan konsumsi.

Saran

Berdasarkan hasil studi dari kesimpulan yang telah disajikan maka saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bank Umum Syariah harus mengurangi persentase pembiayaan bermasalah yang tercermin dari rasio Non Performing Financing (NPF) yang dimana pada periode penelitian variabel NPF memiliki pengaruh signifikan dalam mempengaruhi penyaluran pembiayaan (pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumsi) baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.

2. Bank Umum Syariah perlu meningkatkan peranannya sebagai lembaga intermediasi dengan meningkatkan penyaluran pembiayaan dan perlu mempertimbangkan besarnya penempatan dana pada SBIS karena pada jangka panjang hal tersebut dapat mempengaruhi besaran penyaluran pembiayaan. Harapan pada jangka panjang bisa meningkatkan produktivitas sektor riil melalui peningkatan pembiayaan perbankan oleh syariah.

3. Bank Umum Syariah perlu mengkaji besaran nisbah bagi hasil dengan mempertimbangkan tingkat suku bunga bank konvensional karena pada jangka panjang hal ini akan mempengaruhi penyaluran pembiayaan perbankan syariah.

4. Bagi akademisi, peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini menjadi tambahan referensi mengenai perbankan syariah. Untuk kedepannya diharapkan peneliti mempertimbangkan variabel eksternal dalam melihat pengaruhnya terhadap pembiayaan, memperpanjang periode penelitian dan mengkaji secara lebih spesifik atas klasifikasi pembiayaan (modal kerja, investasi, dan konsumsi).

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M., Brahim, S., & Omar, M. A. (2012). A study on finance-growth nexus in dual financial system countries: Evidence from Bahrain. World Applied Sciences Journal, 20(8), 1166-1174.

Abduh, M., & Omar, M. A. (2012). Islamic banking and economic growth: the Indonesian experience. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management.

Abdul Kader, R., & Leong, Y. (2009), “The Impact of Interest Rate Changes on Islamic Bank Financing”, International Review of Business Research Papers, 5(3), 189-201.

Adebola, S. S., Yusoff, W. S. W., & Dahalan, J. (2011). The impact of macroeconomic variables on Islamic banks financing in Malaysia. Research Journal of Finance and Accounting, 2(4), 22-32.

Antonio, M. S. I. (2001). Bank Syariah: dari teori ke praktik. Gema Insani.

Ascarya. 2010. Peran Perbankan Syariah dalam Transmisi Kebijakan Moneter Ganda. Jakarta[ID]:

Jurnal Ekonomi Islam Republika Iqtishadia.

Ascarya. 2012. Analisis Efektivitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Jakarta: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 14 No.3.

Asnuri, W. (2013). Pengaruh instrumen moneter syariah dan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah, 5(2).

Azis, I. J., & Thorbecke, W. (2002). Macroeconomic Shocks and Bank Lending in Indonesia. Part of Research Project" Linking Firm and Bank Behavour with Macroeconomics Shocks".

ADB.

Badan Pusat Statistik (BPS) diakses melalui https://www.bps.go.id/

Basuki, A. T. (2016). Pengantar Ekonometrika (Dilengkapi Penggunaan Eviews). Yogyakarta:

Danisa Media

Carlson, M., Shan, H., & Warusawitharana, M. (2013). Capital ratios and bank lending: A matched bank approach. Journal of Financial Intermediation, 22(4), 663-687.

Dahlan, R. (2014). Pengaruh Tingkat Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah dan Tingkat Inflasi Terhadap Pembiayaan Bank Syariah di Indonesia. Etikonomi, 13(2).

Darma, E. S., & Rita, R. (2016). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh terhadap Tingkat Pengguliran Dana Bank Syariah. Journal of Accounting and Investment, 12(1), 72-87.

Destiana, R. (2016). Analisis Faktor-Faktor Internal Yang Mempengaruhi Pembiayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Pada Bank Syariah Di Indonesia. Jurnal Riset Keuangan dan Akuntansi, 2(1).

Dyatama, A. N., & Yuliadi, I. (2015). Determinan Jumlah Pembiayaan Bank Syariah di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 16(1), 73-83.

Elyasiani, E., Kopecky, K. J., & Van Hoose, D. (1995). Costs of adjustment, portfolio separation, and the dynamic behavior of bank loans and deposits. Journal of Money, Credit and Banking, 27(4), 955-974.

Hawa, R. D. K., & Rosyidi, S. (2018). Pengaruh DPK, Imbal Hasil SBIS, PUAS, dan Tingkat Inflasi Terhadap Pembiayaan Bank Syariah Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan, 5(12), 1004-1019.

Parakassi, I. (2018). Inflasi dalam Perspektif Islam. Laa Maisyir: Jurnal Ekonomi Islam, 4(2).

Giannini, N. G. (2013). Faktor yang mempengaruhi pembiayaan Mudharabah pada bank umum syariah di Indonesia. Accounting Analysis Journal, 2(1).

Hawa, R. D. K., & Rosyidi, S. (2019). Pengaruh DPK, Imbal Hasil SBIS, PUAS, dan Tingkat Inflasi terhadap Pembiayaan Bank Syariah di Indonesia. Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan, 5(12), 1004-1019.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Istishna dan Ijarah Terhadap Profitabilitas Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia.. Akuntabilitas : Jurnal