PENGARUH KONSENTRASI BA TERHADAP PEMBENTUKAN EMBRIO SOMATIK PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.)
SECARA IN VITRO
THE EFFECT OF BA CONCENTRATION ON SOMATIC EMBRYO FORMATION OF POTATO PLANTS (Solanum tuberosum L.) IN VITRO
Yolanda Retno Nandika Viola*), Moch. Roviq ,Tatik Wardiyati
Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur
*)Email: [email protected] ABSTRAK
Solanum tuberosum L. merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas pengembangan karena dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat dan mempunyai potensi dalam diversifikasi pangan. Kendala utama dalam peningkatan produksi kentang adalah pengadaan benih kentang berkualitas yang belum memadai.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan yang ditempuh melalui embriogenesis somatik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rasio BA yang tepat untuk memacu terbentuknya embrio somatik kentang varietas Atlantik dan Granola Transgenik. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Juni 2016 di Laboratorium kultur jaringan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 3 kali ulangan.
Faktor pertama adalah 2 varietas yakni A:
Atlantik dan B: Granola Transgenik, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi BA yakni K0: 0ppm, K1: 0,5ppm, K2: 1ppm, K3: 1,5ppm, dan K4: 2ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa konsentrasi sitokinin (BA) yang diberikan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan eksplan dan berpengaruh terhadap keberhasilan induksi embrio somatik pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Konsentrasi BA yang diberikan berpengaruh terhadap induksi kalus, induksi embrio somatik, serta
jumlah akar dan tunas yang berhasil tumbuh.
Kata kunci: Solanum tuberosum L., Embrio somatik, BA, Kultur Jaringan.
ABSTRACT
Solanum tuberosum L. is one commodity that has a development priority because it can be used as a source of carbohydrates and it has the potential for diversification.
The main obstacle to increasing the production of potatoes is the provision of quality seed potatoes that have not been adequate. Efforts that can do to overcome these obstacles is to use biotechnology is that tissue culture can be reached by somatic embryogenesis. The purpose of research is to get the right ratio of BA to spur embryogenesis potato varieties Atlantic and Granola Transgenic. Research conducted in February until June 2016 at Tissue Culture Laboratory Brawijaya University. The treatment used a Factorial Randomized Block Design with three replication. The first factor is the two varieties of potatoes are A: Atlantic and B:
Granola Transgenic, the second factor is the growth regulator BA with level K0:
0ppm, K1: 0.5ppm, K2: 1ppm, K3: 1.5ppm, and K4: 2ppm. The result showed that some of the concentration of cytokinin (BA) provided significantly affected somatic embryos on potato (Solanum tuberosum L.).
BA concentration is given effect on callus induction, induction of somatic embryos,
and the number of roots and shoots were successfully grown.
Keywords: Solanum tuberosum L., Somatic Embryo, BA, Tissue Culture.
PENDAHULUAN
Solanum tuberosum L. adalah tanaman semusim yang berbentuk semak dan berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan dan telah dibudidayakan oleh penduduk di sana sejak ribuan tahun silam (Smith, 1968). Teknik budidaya yang mempengaruhi produktivitas kentang meliputi penggunaan bibit berkualitas baik, varietas berproduksi tinggi, pengendalian
hama dan penyakit yang
optimal,penggunaan sarana produksi yang tepat, serta pengelolaan tanah dan air (Rosliani et al., 1998). Kendala utama dalam peningkatan produksi kentang adalah pengadaan benih kentang berkualitas yang belum memadai. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan atau pembiakan mikro kentang. Perbanyakan melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui embriogenesis somatik.
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses pembentukan embrio dari sel somatic menjadi tumbuhan baru, tanpa melalui fusi sel gamet. Semua tumbuhan yang dihasilkan dari proses embriogenesis somatik akan memiliki sifat genetik yang identik dengan tumbuhan induknya (William dan Maheswaran, 1986). Selanjutnya Litz dan Gray (1995) menyatakan bahwa embrioid dapat dihasilkan dari satu sel sehingga produksi bibit jauh lebih banyak disbanding penggunaan teknik yang lain.
Pertumbuhan mikro sangat tergantung pada interaksi antara ZPT eksogen yang ditambahkan ke dalam media dan ZPT endogen. Efektifitas zat pengatur tumbuh pada tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi yang diberikan, karena perbedaan konsentrasi akan menimbulkan perbedaan aktivitas. Perbedaan aktivitas ZPT ditentukan oleh spesies bahan stek yang digunakan (Ortega, 2007). ZPT eksogen yang biasa digunakan pada kultur jaringan
adalah auksn dan sitokinin.hormon 2,4-D merupakan golongan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus embriogenik dan berperan untuk memacu hipermetilasi pada DNA agar pembelahan sel selalu dalam fase mitosis sehingga pembentukan kalus menjadi optimal (Menneses et al., 2005). Selain auksin, hormone yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman adalah hormone sitokinin. Hormon sitokinin yang paling sering digunakan adalah BA, yang berfungsi untuk memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan kinetin. Purnamaningsih (2006) menyatakan bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BA, sehingga BA lebih efektif untuk produksi tunas in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rasio BA yang tepat untuk memacu terbentuknya embrio somatik kentang varietas Atlantik dan Granola Transgenik.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Juni 2016 di Laboratorium kultur jaringan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Bahan tanam yang digunakan berupa batang bibit kentang varietas Atlantik dan Granla Transgenik. Zat pengatur tumbuh yang digunakan berupa BA dan 2,4-D. penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah varietas kentang yaitu A: Atlantik, B:
Granola Transgenik. Faktor kedua adalah BA dengan beberapa konsentrasi yaitu K0:
0ppm, K1: 0,5ppm, K2: 1ppm, K3: 1,5ppm, dan K4: 2ppm. Setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali, setiap perlakuan terdapat 2 satuan percobaan sehingga didapatkan 60 satuan percobaan. Setiap perlakuan terdapat 6 eksplan.
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain pinset, scalpel, cawan petri, gunting, timbangan analitik, Ph meter, Bunsen, Erlenmeyer, pengaduk, labu takar, gelas ukur, pipet, corong, botol kultur, kompor, autoklaf, laminar air flow cabinet, alat tulis dan kamera. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah 2 varietas kentang yaitu Atlantik dan Granola Transgenik, 2,4- D 0,5ppm, BA dengan konsentrasi 0; 0,5; 1;
1,5; dan 2ppm, serta media dasar yang terbuat dari larutan stok MS.
Pelaksanaan penelitian diawali dengan sterilisasi alat dan media, perbanyakan eksplan, sub kultur planlet dengan menggunakan media MS, induksi kalus, induksi embrio dengan perlakuan beberpaa konsentrasi BA, dan hasil.
Stresilisasi alat yang dilakukan adalah dengan mencuci botol kultur sampai bersih dan direndam dalam larutan bayclin selama 24 jam dengan tujuan agar botol tidak terkontaminasi oleh bakteri. Tahap selanjutnya adalah pengovenan botol yang dilakukan selama 24 jam juga. Tahap selanjutnya adalah pembuatan larutan stok MS untuk sub kultur. Larutan MS tersebut terdiri dari unsur makro, mikro, Fe-EDTA, dan vitamin yang ditambahkan sukrosa, aquades, dan agar. Takaran media untuk perbanyakan planlet, induksi kalus, dan induksi embrio berbeda konsentrasi sesuai dengan berpa banyak volume media yang ingin digunakan. Planlet yang sudah ada di sub kultur dengan tujuan untuk perbanyakan sesuai dengan jumlah planlet yang akan dijadikan eksplan penelitian. Sub kultur planlet dilakukan dalam LAF yang sebelumnya telah disterilkan dengan lampu UV selama 1 jam. Setiap botol dapat ditanam sebanyak 8-10 eksplan, lalu ditutup dengan plastic dan dirapatkan dengan karet gelang dan diletakkan pada ruang inkubasi.
Pada tahap induksi kalus, ekpslan potongan ruas tanpa nodus masing-masing ditanam pada botol kultur dan di subkultur setiap 2 minggu sekali agar nutrisi media tetap terjaga. Kalus yang terbentuk pada tahapan sebelumnya yang remah dan berwarna bening kekuningan dipindahkan pada media induksi embrio somatik secara aseptik.
Eksplan diinkubasi pada ruangan steril pada suhu 18-21ºC. Eksplan diamati dan di subkultur setiap 2 minggu sekali hingga terbentuk embrio somatik. Pemeliharaan dilakukan dengan cara jika media terkontaminasi dan eksplan masih belum terkena kontaminasi tersebut langsung dipindah pada media yang baru. Langkah pemeliharaan yang lain adalah dengan cara
melakukan sterilisasi ruangan dengan menyemprotkan desinfektan ke seluruh ruangan inkubasi.
Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data kualitatif dan kuantitatif terhadap petumbuhan dan perkembangan embrio somatik kentang pada beberapa taraf konsentrasi BA dalam media MS.
Pengamatan dilakukan setiap hari selang satu hari setelah inokulasi sampai eksplan berumur 8 minggu setelah inokulasi (MSI).
Parameter pengamatan yang diamati meliputi persentase eksplan yang hidup, mati, dan terkontaminasi, persentase kalus yang menjadi embrio, waktu muncul akar dan tunas pada setiap perlakuan, serta jumlah akar dan tunas yang berhasil terbentuk pada setiap eksplan. Analisa data menggunakan analysis of varian (ANOVA) dilakukan untuk menguji pengaruh pemberian konsentrasi BA terhadap pertumbuhan embrio somatik pada tanaman kentang varietas Atlantik dan Granola Transgenik. Apabila terjadi pengaruh nyata pada perlakuan maka dilakukan dengan uji BNJ pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Eksplan Hidup, Mati, dan Terkontaminasi
Induksi kalus merupakan tahap awal dari penelitian ini. Bagian tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah batang tanaman kentang varietas Atlantik dan Granola Transgenik. Batang tersebut diinokulasi pada media MS dengan konsentrasi 2,4-D sebanyak 0,5ppm dengan tujuan agar terbentuk kalus. Seelah kalus terbentuk eksplan dipindahkan pada media pendewasaan yang bertujuan utnuk perkembangan dari struktur kalus yang globular membentuk kotiledon dan primordial akar. Hasil pengamatan pada parameter persentase jumlah eksplan yang hidup didapatkan bahwa persentase tertinggi eksplan yang hidup adalah pada perlakuan varietas Atlantik dan Granola Transgenik dengna konsentrasi BA yang diberikan sebanyak 1ppm, tingkat persentase yang didapatkan adalah 100%.
namun pada salah satu perlakuan terdapat eksplan yang mati karena browning.
Lengkong (2009) menyatakan bahwa pencoklatan jaringan terjadi karena aktivasi enzim oksidase dan tirosinase. Hasil pengamatan yang didapatkan menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah eksplan yang mati. Pada data yang didapatkan diketahui bahwa dari semua perlakuan, hanya 1 eksplan yang mengalami kematian akibat browning yakni pada perlakuan varietas Atlantik dengan konsentrasi BA 0,5ppm.
Kematian eksplan yang terjadi disebabkan karena beberapa faktor antara lain kemunduran fisiologis eksplan dan kematian sel karena alat inokulasi yang terlalu panas dan eksplan mengalami browning. Pengamatan dilakukan juga untuk mengetahui eksplan yang terkontaminasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat beberapa eksplan yang terkontaminasi antara lain pada perlakuan AK0, BK0, BK1, dan BK4,
dimana pada masing-masing perlakuan yang terkontaminasi tersebut menunjukkan persentase sebanyak 17%. Eksplan yang terkontaminasi tersebut akibat dari jamur dan bakteri. Eksplan yang terkontaminasi akibat jamur dicirikan dengan adanya serabut halus yang muncul pada permukaan media di sekitar eksplan yang setiap waktu terus berkembang membentuk koloni yang nantinya akan menutupi semua bagian eksplan sehingga eksplan tidak bisa berkembang lagi dan akhirnya mati.
Sedangkan eksplan yang terkontaminasi akibat bakteri dicirikan dengan adanya lendir dan bercak keruh berpola pada media di sekitar eksplan yang terserang. Sumber kontaminasi eksplan dapat berasal dari eskplan tumbuhan, organisme kecil yang masuk ke dalam media, alat yang tidak steril dan lingkungan kerja yang yang kotor, sehingga harus dilakukan sterilisasi lingkungan kerja, alat-alat, media dan bahan tanaman (Gunawan, 1988).
Penampang eksplan yang hidup/ segar,
mati karena browning, dan terkontaminasi akibat jamur dan bakteri dapat dilihat pada Gambar 1.
Jumlah Kalus Membentuk Embrio
Sel-sel embriogenik yang terinduksi pada media yang digunakan ternyata dapat terus menerus tumbuh dan berkembang membentuk embrio somatik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap pembentukan embrio somatik adalah tahap yang paling sulit dan pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah.
Faktor yang penting dalam induksi dan perkembangan embriogenesis somatik adalah komposisi zat pengatur tumbuh pada media kultur. Konsentrasi antara auksin dan sitokinin harus tepat agar dapat menghasilkan embrio somatik pada eksplan tersebut. Hasil induksi embrio somatik pada penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan. Menurut hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan bahwa respon varietas Atlantik terhadap pemberian BA 1ppm menghasilkan embrio paling banyak dibandingkan pemberian BA yang lainnya Sedangkan pada perlakuan dengan varietas Granola Transgenik dengan konsentrasi BA tidak memberikan respon yang berbeda (Tabel 1). Hal tersebut dikarenakan konsentrasi BA yang digunakan untuk membentuk embrio pada eksplan harus sesuai. Selain itu, diduga perbandingan rasio yang digunakan antara auksin dan sitokinin yang terdapat pada eksplan tidak seimbang sehingga eksplan mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Sikder et al., (2006) bahwa penggunaan media dasar dan penambahan zat pengatur tumbuh dengan jenis dan konsentrasi yang tepat dapat menginduksi pembentukan embrio somatik.
Gambar 1 Kondisi Eksplan Selama Pengamatan
Keterangan: (a) Eksplan hidup, (b) Eksplan browning, (c) Eksplan terkontaminasi jamur,(d) Eksplan terkontaminasi bakteri
Tabel 1 Jumlah Embrio yang Terbentuk pada Semua Perlakuan
Perlakuan Jumlah Embrio
Atlantik + BA 0 ppm (AK0) 3,7 a
Atlantik + BA 0,5 ppm (AK1) 3,2 a
Atlantik + BA 1 ppm (AK2) 6,2 b
Atlantik + BA 1,5 ppm (AK3) 3,0 a
Atlantik + BA 2 ppm (AK4) 3,8 a
Granola Transgenik + BA 0 ppm (BK0) 2,5 a
Granola Transgenik + BA 0,5 ppm (BK1) 2,8 a
Granola Transgenik + BA 1 ppm (BK2) 4,7 ab
Granola Transgenik + BA 1,5 ppm (BK3) 2,5 a
Granola Transgenik + BA 2 ppm (BK4) 2,0 a
BNJ 5% 2.88
Keterangan: angka- angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji BNJ 5%.
Waktu Muncul Akar dan Tunas
Pada perkembangannya beberapa eksplan dari berbagai perlakuan yang menghasilkan kalus embriogenik mampu beregenerasi membentuk organ tanaman dan juga planlet yang utuh dan lengkap.
Pada tahap ini sel somatik yang telah terbentuk mampu berkembang menjadi embrio somatik hingga mencapai tahap torpedo setelah melalui beberapa perubahan morfologi. Embrio somatik pada tahap ini akan mengalami proses pemanjangan dan penonjolan membentuk 2 kutub (bipolar) yang berlawanan, yang masing-masing kutub tersebut akan membentuk bakal tunas dan dan bakal akar
(Kalimuthu et al., 2007). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa respon eksplan perlakuan varietas Atlantik dengan konsentrasi BA sebanyak 0ppm merupakan eksplan yang paling lama memunculkan akar dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 2). Sedangakan respon dari varietas Granola Transgenik terhadap pemberian BA sebanyak 1,5ppm merupakan perlakuan yang paling lama memunculkan akar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh nyata terhadap waktu munculnya tunas pada semua eksplan (Tabel 3).
Tabel 2 Rerata Eksplan saat Muncul Akar
Perlakuan Saat Muncul Akar (HSI)
Atlantik + BA 0 ppm (AK0) 19,3 d
Atlantik + BA 0,5ppm (AK1) 6,7 ab
Atlantik + BA 1 ppm (AK2) 5,7 ab
Atlantik + BA 1,5 ppm (AK3) 7,7 ab
Atlantik + BA 2 ppm (AK4) 8,2 bc
Granola Transgenik + BA 0 ppm (BK0) 8,5 c
Granola Transgenik + BA 0,5 ppm (BK1) 5,7 ab
Granola Transgenik + BA 1 ppm (BK2) 4,5 a
Granola Transgenik + BA 1,5 ppm (BK3) 18,5 cd
Granola Transgenik + BA 2 ppm (BK4) 6,5 ab
BNJ 5% 3,5
Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut BNJ 5%; HSI: Hari setelah inokulasi.
Tabel 3 Rerata Muncul Tunas pada Semua Perlakuan
Perlakuan Saat Muncul Tunas (HSI)
Atlantik + BA 0 ppm (AK0) 9,3
Atlantik + BA 0,5 ppm (AK1) 5,8
Atlantik + BA 1 ppm (AK2) 8,7
Atlantik + BA 1,5 ppm (AK3) 9,2
Atlantik + BA 2 ppm (AK4) 9,7
Granola Transgenik + BA 0 ppm (BK0) 9,5 Granola Transgenik + BA 0,5 ppm (BK1) 8,0 Granola Transgenik + BA 1 ppm (BK2) 10,3 Granola Transgenik + BA 1,5 ppm (BK3) 13,2 Granola Transgenik + BA 2 ppm (BK3) 9,7 tn
Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut BNJ 5%.
Jumlah Organ Akar dan Tunas Eksplan Akar dan tunas yang mampu terinisiasi, tetap diamati hingga akhir pengamatan untuk mengetahui jumlah akar dan tunas yang terbentuk sehingga menjadi planlet. Dari hasil analisis ragam, respon dari varietas Atlantik dengan pemberian BA sebanyak 1ppm pada umur 14 HSI memiliki jumlah akar paling banyak dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, sedangkan respon dari varietas Granola Transgenik terhadap BA sebanyak 1ppm juga menghasilkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Beberapa eksplan juga tidak dapat memunculkan akar dikarenakan terdapat
eksplan yang mati sehingga sel eksplan tersebut sudah tidak dapat tumbuh (Tabel 4). Jumlah tunas yang terbentuk juga diamati setiap minggu sampai pada akhir pengamatan yakni 8 MSI. Dalam kultur jaringan jumlah tunas dapat diindikasikan sebagai keberhasilan dalam multiplikasi.
Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa konsentrasi BA yang diberikan berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang muncul. Jumlah tunas yang paling banyak tumbuh adalah respon dari eksplan perlakuan varietas Atlantik dengan konsentrasi BA sebanyak 1ppm dibandingkan dengan beberapa konsentrasi
BA yang lainnya, pada respon varietas Granola Transgenik dengan konsentrasi BA 1ppm juga menghasilkan jumlah tunas terbanyak dibandingkan dengan respon perlakuan yang lainnya. Hal tersebut sama dengan eksplan yang memiliki jumlah akar yang paling banyak (Tabel 5). Diduga yang menyebabkan jumlah tunas yang dihasilkan oleh eksplan sedikit karena konsentrasi sitokinin (BA) yang sangat rendah, sehingga
eksplan tersebut tidak mampu untuk menginisiasi tunas dan pertumbuhan eksplan menjadi sangat lambat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hijmans (2001) bahwa konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi auksin akan memacu multiplikasi tunas.
Tabel 4 Rata-rata Jumlah Akar pada Semua Perlakuan
Umur Pengamatan Jumlah Akar (HSI)
Perlakuan 7 HSI 14 HSI 21 HSI 28 HSI
Atlantik + BA 0 ppm (AK0) 0,0 a 0,0 a 2,0 ab 2,0 ab
Atlantik + BA 0,5 ppm (AK1) 0,2 ab 0,8 a 1,5 a 1,8 a
Atlantik + BA 1 ppm (AK2) 0,8 bc 3,2 d 3,8 c 4,5 c
Atlantik + BA 1,5 ppm (AK3) 0,2 ab 1,0 bc 1,5 a 1,7 a
Atlantik + BA 2 ppm (AK4) 0,3 ab 0,8 a 2,0 ab 2,2 ab
Granola Transgenik + BA 0 ppm (BK0) 0,2 ab 1,0 bc 1,5 a 1,8 a Granola Transgenik + BA 0,5 ppm(BK1) 0,7 ab 1,2 bc 1,8 ab 1,8 a Granola Transgenik + BA 1 ppm (BK2) 1,5 c 1,7 c 3,3 bc 3,8 bc Granola Transgenik + BA 1,5 ppm(BK3) 0,0 a 0,0 a 1,8 ab 1,8 a Granola Transgenik + BA 2 ppm (BK4) 0,2 ab 1,0 bc 1,5 a 1,7 a
BNJ 5% 0,745 0,79 1,56 1,93
Keterangan: angka-angka yang didampingi dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama meunjukkan berbeda nyata pada uji BNJ 5%; HSI: hari setelah inokulasi.
Tabel 5 Jumlah Tunas yang Muncul pada Eksplan Semua Perlakuan
Perlakuan Jumlah Tunas
Atlantik + BA 0 ppm (AK0) 2,0 ab
Atlantik + BA 0,5 ppm (AK1) 1,8 a
Atlantik + BA 1 ppm (AK2) 4,5 c
Atlantik + BA 1,5 ppm (AK3) 1,7 a
Atlantik + BA 2 ppm (AK4) 2,2 ab
Granola Transgenik + BA 0 ppm (BK0) 1,8 a
Granola Transgenik + BA 0,5 ppm (BK1) 1,8 a
Granola Transgenik + BA 1 ppm (BK2) 3,8 bc
Granola Transgenik + BA 1,5 ppm (BK3) 1,8 a
Granola Transgenik + BA 2 ppm (BK4) 1,7 a
BNJ 5% 1,93
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji BNJ 5%.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat interaksi antara konsentrasi BA dengan varietas terhadap pembentukan embrio somatik pada tanaman kentang. BA yang paling optimum untuk menginduksi embrio somatic kentang (Solanum tuberosum L.) pada konsentrasi 1ppm. Eksplan yang paling potensial untuk mengahsilkan embrio somatik pada tanaman kentang dengan pemberian BA adalah varietas Atlantik.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, L.U. 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Hal 304.
Hijmans, R. 2001. Global distribution of the potato crop. American Journal of Potato Research.78(6): 403–412.
Kalimuthu, K., M. Saravanakumar, and R.
Senthilkumar. 2007. In vitro micropropagation of Musa sapientum L. (Cavendish Dwarf). African Journal of Biotechnology. 6(9):1106-1109.
Litz, R.E and D.J. Gray. 1995. Somatic embryogenesis for agriculture improvement. World Journal Microbiol And Biotech. 11(2):416 – 425.
Lengkong, E. F. 2009. Regenerasi tanaman melalui embryogenesis somatic pada kentang unggul lokal
superjohn asal Minahasa Selatan.
Jurnal FORMAS. 2(4):244-249.
Menneses, A., Flores, D., Munoz, M., Arriesta dan Espinosa. 2005. Effect of 2,4-D, Hydric Stress and Light on Indica Rice Somatic Embryogenesis.
Journal Biology. 53 (3): 361-368.
Ortega-Baes, P., M. Rojas-Arechiga.
2007. Seed germination of Trichocereus terscheckii (Cactaceae):
light, temperature and gibberellic acid effects. Journal of Arid Environments.
69(1):169-176.
Purnamaningsih, R. 2006. Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi Melalui Kultur In Vitro.
Journal Agrobiogen. 2(2): 74-80.
Rosliani, R., N. Sumarni, dan Suwandi.
1998. Pengaruh sumber dan dosis pupuk N, P, dan K pada tanaman kentang. Jurnal Hortikultura. 6(1):
988-999.
Sikder, H. B., Kumar, P., Abdullah, M., Raihan, A., dan Rahman, M. 2006.
In vitro Regeneration of Aromatic Rice (Oriza sativa). International Journal of Agriculture and Biology. 8 (6): 759-762.
Smith, O. 1968. Potato: Production, Storing and Processing. The Avil. London.
Hal 16-22.
Williams, E. G. and G. Maheswaran. 1986.
Somatic embryogenesis: Factors influencing coordinated behavior of cells as an embryogenic group.
Journal Botanical. 57 (7): 443-462.
Mengetahui, Pembimbing Utama
Prof. Dr. Ir. Tatik Wardiyati, MS.
NIP. 194602011977012001