• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENGARUH VERMIKOMPOS ABU TERBANG BATUBARA MENGGUNAKAN CACING TANAH Eisenia fetida TERHADAP KANDUNGAN N, P, K, DAN Pb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of PENGARUH VERMIKOMPOS ABU TERBANG BATUBARA MENGGUNAKAN CACING TANAH Eisenia fetida TERHADAP KANDUNGAN N, P, K, DAN Pb"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

http://jtsl.ub.ac.id 359

PENGARUH VERMIKOMPOS ABU TERBANG BATUBARA MENGGUNAKAN CACING TANAH Eisenia fetida TERHADAP

KANDUNGAN N, P, K, DAN Pb

Effect of Vermicomposting of Coal Fly Ash using Earthworm Eisenia fetida on N, P, K, and Pb Contents

Alfarizky Aryonugroho* , Nina Dwi Lestari

Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran No. 1, Malang 65145

* Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

The plan to build a coal-fired steam power plant is expected to increase. One of the wastes generated from coal-fired steam power plants is coal fly ash. The accumulation of coal fly ash can cause environmental pollution such as soil and groundwater pollution in the storage location.

Vermicompost can be used for managing coal fly ash by utilizing earthworms as decomposers.

Earthworms can increase the availability of nutrients such as nitrogen, phosphorus, and potassium and reduce the solubility of lead contained in coal fly ash. The purpose of this study was to determine the effect of vermicompost using earthworm Eisenia fetida on the content of nitrogen, phosphorus, potassium, and lead in coal fly ash. The study consisted of five treatments, with a total weight of 3 kg coal fly ash each. The results showed that mixing cow dung in vermicomposting of coal fly ash significantly increased N, P, K and decreased Pb in vermicompost.

Keywords : coal fly ash, Eisenia fetida, heavy metals, nutrient content, vermicomposting

Pendahuluan

Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bertenaga batubara diperkirakan masih akan terus meningkat, kebutuhan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik dalam negeri pada tahun 2018 sebesar 97 juta ton dan diperkirakan akan meningkat hingga sebesar 162 juta ton pada tahun 2027 (PLN, 2018). Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah limbah yang dihasilkan sehingga apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan disekitar lokasi pembangkit listrik.

Abu terbang batubara diklasifikasikan kedalam limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) kategori 2 yang berasal dari sumber khusus karena ATB mengandung unsur-unsur logam berbahaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sharma dan Kalra (2006) menunjukkan bahwa ATB mengandung 12,8 ppm Pb, 98 ppm Cr, 77,3 ppm Cu, 582 ppm Mn,

dan 34 ppm Co. Penumpukan limbah abu terbang ini dapat menimbulkan pencemaran lingkungan seperti pencemaran tanah dan air tanah di lokasi penampungan karena ukuran pertikel dari abu terbang lebih kecil dibandingkan ukuran partikel tanah sehingga mudah tercuci dan tersebar ke dalam lapisan tanah.

Abu terbang batubara (ATB) juga memiliki kandungan unsur hara yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman seperti nitrogen (N) dan fosfor (P) sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan pada sektor pertanian. Aplikasi abu terbang batubara pada tanaman padi dengan dosis 20 g kg-1 media dapat meningkatkan berat kering daun, batang, dan akar tanaman padi sebesar masing-masing 46%, 18%, dan 61%

(Hong et al., 2013). Namun ATB memiliki beberapa hambatan seperti laju dekomposisi ATB yang rendah sehingga unsur hara yang terkandung dalam ATB masih belum tersedia

(2)

http://jtsl.ub.ac.id 360 untuk tanaman. Aplikasi ATB secara langsung

ke dalam tanah dapat menimbulkan efek toksik pada tanaman karena masih terdapat sejumlah kandungan logam berat dalam ATB (Pandey dan Singh, 2010).

Vermikompos dapat menjadi salah satu upaya untuk mengelola limbah ATB dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai organisme perombak (decomposer). Cacing tanah jenis Eisenia fetida merupakan jenis cacing epigeik dengan kemampuan pertumbuhan dan reproduksi yang cepat, serta diketahui memiliki kemampuan toleransi terhadap lingkungan tercemar logam berat (Singh et al., 2018). Cacing tanah Eisenia fetida dapat mengakumulasi logam berat dengan memakan bahan organik yang terkontaminasi dengan logam berat, kemudian unsur logam yang terkandung dalam bahan organik akan diserap dalam sistem pencernaan cacing tanah Eisenia fetida.

Cacing tanah dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) serta menurunkan kelarutan logam berat yang terkandung di dalam ATB. Aktivitas cacing tanah mampu mengubah kondisi lingkungan substrat vermikompos dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme sehingga mempengaruhi ketersediaan unsur bermanfaat dalam vermikompos ATB (Bhattacharya dan Chattopadhyay, 2004).

Proses vermikompos ATB membutuhkan tambahan bahan organik sebagai sumber energi karena ATB tidak dapat memenuhi kebutuhan unsur untuk cacing tanah dan mikroorganisme bermanfaat dalam proses vermikompos.

Kandungan karbon (C) yang tinggi di dalam kotoran sapi dapat meningkatkan mineralisasi unsur hara dalam substrat vermikompos. Cacing tanah dan mikroorganisme memanfaatkan karbon sebagai sumber energi untuk melakukan dekomposisi dan mineralisasi unsur (Venkatesh dan Eevera, 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencampuran kotoran sapi dengan ATB dalam vermikompos menggunakan cacing tanah Eisenia fetida terhadap kandungan unsur nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), dan menurunkan kandungan logam berat timbal (Pb) dalam ATB. Penelitian hanya dibatasi pada kajian pembuatan vermikompos abut terbang dengan tambahan kotoran sapi.

Bahan dan Metode

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di UPT Kompos Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, mulai dari bulan Februari – November 2020. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan analisis logam berat timbal (Pb) dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.

Rancangan percobaan

Percobaan terdiri atas lima perlakuan dengan lima ulangan untuk masing-masing perlakuan (Tabel 1). Jumlah satuan percobaan adalah 5 perlakuan x 5 ulangan = 25 satuan percobaan.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan vermikompos.

No Kode Perlakuan

1 P1 ATB 100% + E.fetida 2 P2 KS 100% + E.fetida 3 P3 1 : 1 (ATB : KS) + E.fetida 4 P4 1 : 3 (ATB : KS) + E.fetida 5 P5 3 : 1 (ATB : KS) + E.fetida Keterangan: ATB (Abu Terbang Batubara); KS (Kotoran Sapi)

Pelaksanaan penelitian Proses pembuatan vermikompos

Alat yang digunakan berupa kotak kayu dengan dimensi 45 cm x 25 cm x 30 cm, kotak kayu diberi lubang di bagian bawah sebagai lubang drainase air. Bahan kompos yang digunakan berupa abu terbang batubara (ATB) dan kotoran sapi (KS), masing-masing sebanyak 40 kg, kemudian bahan kompos dikeringkan dalam suhu ruang. Bagian dalam kotak kayu dilapisi dengan karung goni untuk mencegah cacing tanah keluar dari bahan kompos. ATB dan kotoran sapi kemudian dicampurkan ke dalam kotak kayu sesuai dengan perlakuan (Tabel 1) dengan berat total masing-masing perlakuan 3 kg. Semua perlakuan dibuat sebanyak lima kali ulangan. Campuran ATB dan kotoran sapi didiamkan selama 20 hari sebelum inokulasi cacing tanah untuk stabilisasi temperatur, inisiasi pertumbuhan mikroba pendegradasi, dan melembutkan substrat. Setelah itu, masing-

(3)

http://jtsl.ub.ac.id 361 masing perlakuan menggunakan cacing tanah

diinokulasikan sebanyak 15 g cacing kg-1 substrat. Suhu pengomposan dijaga pada 25 – 27°C dan kelembaban sebesar 60% dengan cara menyemprot air untuk menjaga kondisi optimum pertumbuhan cacing tanah.

Pengamatan dilakukan secara berkala selama 30 hari sekali.

Analisis kimia

Analisa dasar abu terbang batubara dan kotoran sapi (Tabel 2) dilakukan sebelum pengomposan untuk menentukan kandungan awal bahan baku vermikompos. Analisis untuk setiap parameter pengamatan menggunakan bahan analisis berupa sampel vermikompos yang diambil pada 0, 30, dan 60 Hari Setelah Pengomposan (HSP).

Tabel 2. Analisis sifat kimia bahan baku vermikompos.

Parameter Kotoran Sapi

Abu Terbang Batubara

pH (H2O) 5,57 6,26

N-total (%) 1,54 0,0062

P-total (%) 0,67 0,087

K-total (%) 1,99 0,72

C-organik (%) 43,12 0,99

Rasio C/N 27,97 16,33

Timbal (ppm) 0,40 167,78 .

Sampel vermikompos kemudian di kering anginkan dan diayak menggunakan ayakan 2 mm kemudian 0.5 mm untuk analisis N-total, P- total, K-total, C-organik, dan Pb. Sampel vermikompos lolos ayakan 2 mm digunakan untuk analisis pH, sedangkan sampel vermikompos lolos ayakan 0.5 mm digunakan untuk analisis N-total, P-total, K-total, C-

organik, dan Pb.

Analisis data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA). Apabila hasil ANOVA menunjukkan pengaruh nyata pada setiap parameter yang diamati, maka akan dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan. Hasil analisis laboratorium setiap parameter disesuaikan dengan standar kualitas kompos SNI 19-7030- 2004.

Hasil dan Pembahasan pH vermikompos

Hasil analisis pH menunjukkan bahwa nilai pH vermikompos ATB di setiap perlakuan mengalami kenaikan selama proses vermikompos berlangsung. Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA), setiap perlakuan vermikompos memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai pH pada setiap waktu pengamatan. Peningkatan pH karena terjadinya perombakan senyawa kimia dalam media vermikompos akibat proses dekomposisi oleh cacing tanah dan mikroorganisme.

Menurut Venkatesh dan Eevera (2008) selama vermikompos terjadi pelepasan mineral garam seperti fosfat dan ion ammonia dalam proses dekomposisi bahan organik, kemudian mineral garam tersebut terlarut dalam air sehingga menyebabkan nilai pH substrat meningkat.

Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan vermikompos pada setiap waktu pengamatan.

Tabel 3. Hasil analisis pH vermikompos.

Perlakuan pH vermikompos

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 6,26 e 6,34 e 6,50 d

P2 (100% Kotoran Sapi) 5,57 a 5,62 a 5,50 a

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 6,03 d 6,08 d 6,19 c P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 5,72 b 5,77 b 5,91 b P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 5,88 c 5,92 c 6,15 c Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%..

(4)

http://jtsl.ub.ac.id 362 Perbedaan nilai pH karena setiap perlakuan

memiliki kombinasi bahan dasar yang berbeda, sehingga menimbulkan reaksi kimia yang berbeda selama proses vermikompos. Semua perlakuan vermikompos masih belum memenuhi standar kualitas kompos untuk nilai pH dengan nilai minimum 6,80 berdasarkan SNI nomor 19-7030-2004. Campuran media dari dua bahan tersebut dapat mempengaruhi nilai pH vermikompos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munroe (2007) yang menyebutkan apabila bahan vermikompos bersifat alkali maka media vermikompos akan cenderung menjadi netral ataupun basa, sedangkan apabila bahan vermikompos bersifat masam maka nilai pH media vermikompos akan menjadi masam.

Perlakuan dengan kombinasi bahan ATB lebih besar memiliki nilai pH awal cenderung netral, seperti diperlakuan P5 dengan perbandingan 3 ATB : 1 KS memiliki nilai pH akhir 6,15, sedangkan diperlakuan P4 dengan perbandingan 1 ATB : 3 KS memiliki nilai pH akhir 5,91. Dosis campuran dari setiap bahan juga dapat mempengaruhi perubahan pH selama proses vermikompos, menurut Zulfadli et al. (2012) perubahan nilai pH dalam vermikompos berbanding lurus dengan jumlah media yang ditambahkan.

Kandungan N-total vermikompos

Hasil analisis N-total menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan N-total pada setiap perlakuan selama proses vermikompos.

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), setiap

perlakuan vermikompos memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan N-total vermikompos pada setiap waktu pengamatan.

Vermikompos telah termodifikasi baik secara fisik maupun kimia selama melalui sistem pencernaan cacing tanah sehingga telah terdekomposisi sebagian dan mengandung amonia nitrogen yang cukup tinggi untuk dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri nitrifikasi nitrogen (Lemtiri et al., 2014).

Mikroorganisme yang tumbuh kemudian memanfaatkan energi dari bahan organik dalam vermikompos untuk melakukan mineralisasi nitrogen dengan mengubah nitrogen amonia menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi sehingga meningkatkan kandungan N-total dalam vermikompos, hal ini sesuai dengan pernyataan Bhat et al. (2015) bahwa penurunan kandungan karbon organik dalam bentuk CO2 akibat aktivitas mikroorganisme selama mineralisasi bahan organik dapat mempengaruhi peningkatan kandungan nitrogen dalam vermikompos. Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 4) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan vermikompos pada setiap waktu pengamatan. Semua perlakuan vermikompos kecuali perlakuan P1, sudah memenuhi standar kualitas kompos untuk kandungan N-total dengan nilai minimum 0,4 % berdasarkan SNI nomor 19-7030-2004.

Kandungan N-total tertinggi di akhir pengamatan ditemukan diperlakuan P4 dengan nilai 1,18 % dan terendah diperlakuan P3 dengan nilai 0,89 %.

Tabel 4. Hasil analisis N-total vermikompos.

Perlakuan N-total vermikompos (%)

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 0,06 a 0,04 a 0,04 a

P2 (100% Kotoran Sapi) 1,54 e 2,07 e 2,26 e

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 0,68 b 0,82 b 0,89 b P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 0,93 d 1,10 d 1,18 d P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 0,82 c 0,94 c 1,04 c Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Perbedaan peningkatan nilai N-total antar perlakuan karena jumlah masukan bahan organik yang berbeda. Perlakuan P4 mengandung jumlah kotoran sapi yang paling

besar dengan perbandingan kotoran sapi dan ATB sebesar 3:1, sehingga proses mineralisasi nitrogen yang terjadi lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil ini sesuai dengan hasil

(5)

http://jtsl.ub.ac.id 363 penelitian oleh Kaviraj dan Sharma (2003) yang

menyebutkan bahwa kandungan akhir nitrogen dalam vermikompos dipengaruhi oleh kandungan nitrogen awal yang terkandung dalam bahan vermikompos serta durasi proses vermikompos.

Kandungan P-total vermikompos

Hasil analisis P-total menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan P-total pada setiap perlakuan selama proses vermikompos.

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), setiap perlakuan vermikompos memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan P-total

vermikompos pada setiap waktu pengamatan.

Media vermikompos yang masuk kedalam pencernaan cacing akan mengalami mineralisasi unsur fosfor oleh aktivitas enzim fosfatase. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dominguez (2004) bahwa cacing tanah mampu mensekresi enzim berupa alkali fosfatase yang dapat menghidrolisis fosfat organik menjadi bentuk yang tersedia untuk tanaman. Kascing yang keluar dari pencernaan cacing kemudian akan mengalami mineralisasi fosfor lebih lanjut oleh mikroflora dan bakteri pelarut fosfat yang tumbuh dalam media vermikompos sehingga kandungan P-total meningkat.

Tabel 5. Hasil analisis P-total vermikompos.

Perlakuan P-total vermikompos (%)

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 0,08 a 0,07 a 0,08 a

P2 (100% Kotoran Sapi) 0,67 e 0,74 e 0,76 e

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 0,34 b 0,37 b 0,38 b P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 0,46 d 0,51 d 0,53 d P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 0,38 c 0,42 c 0,45 c Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 5) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan vermikompos pada setiap waktu pengamatan. Semua perlakuan vermikompos kecuali perlakuan P1, sudah memenuhi standar kualitas kompos untuk kandungan P-total dengan nilai minimum 0,1 % berdasarkan SNI nomor 19-7030-2004. Kandungan P-total tertinggi di akhir pengamatan ditemukan diperlakuan P4 sebesar 0,53 % dan terendah diperlakuan P3 sebesar 0,38 %. Jumlah kandungan P-total tertinggi terdapat diperlakuan P4, hal ini karena perlakuan P4 memiliki jumlah bahan organik paling tinggi dibanding perlakuan kombinasi lainnya, yaitu dengan perbandingan kotoran sapi dan ATB sebesar 3:1. Kascing yang dihasilkan dalam proses vermikompos akan dimanfaatkan sebagai media tumbuh mikroorganisme bermanfaat untuk peningkatan P-total, seperti mikroflora dan bakteri pelarut fosfat. Mikroorganisme tersebut membutuhkan energi untuk mineralisasi unsur fosfor yang didapatkan dari bahan organik berupa kotoran sapi. Hal ini

sesuai dengan penelitian Suthar (2008) yang menyebutkan bahwa media vermikompos menggunakan kotoran sapi memiliki kandungan P-total paling tinggi, karena bakteri pelarut fosfat memanfaatkan energi dari kotoran sapi untuk memperbanyak jumlah individu dalam media vermikompos.

Kandungan K-total vermikompos

Hasil analisis K-total menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan K-total pada setiap perlakuan selama proses vermikompos.

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), setiap perlakuan vermikompos memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan K-total vermikompos pada setiap waktu pengamatan.

Substrat vermikompos yang masuk kedalam pencernaan cacing tanah akan mengalami perombakan oleh mikroflora sehingga menyebabkan pelepasan unsur kalium.

Mikroflora yang terdapat dalam pencernaan cacing tanah mampu membantu pelapukan bahan organik dengan cara menurunkan nilai pH dan memproduksi ion kompleks organik

(6)

http://jtsl.ub.ac.id 364 sehingga dapat meningkatkan pelapukan

substrat serta melepas unsur kalium dari mineral silikat (Lemtiri et al., 2014). Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 6) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan vermikompos pada setiap waktu pengamatan.

Semua perlakuan vermikompos sudah

memenuhi standar kualitas kompos untuk kandungan K-total dengan nilai minimum 0,2 % berdasarkan SNI nomor 19-7030-2004.

Kandungan K-total tertinggi di akhir pengamatan terdapat diperlakuan P4 sebesar 1,51% dan terendah diperlakuan P5 sebesar 1,36%.

Tabel 6. Hasil analisis K-total vermikompos.

Perlakuan K-total vermikompos (%)

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 0,72 a 0,75 a 0,78 a

P2 (100% Kotoran Sapi) 1,99 e 2,03 e 2,07 d

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 1,33 c 1,39 c 1,47 c P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 1,40 d 1,46 d 1,51 c P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 1,21 b 1,27 b 1,36 b Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Perlakuan P4 mengandung bahan organik berupa kotoran sapi dengan jumlah paling besar, sehingga menyediakan sumber energi yang cukup untuk cacing tanah dan mikroorganisme dalam meningkatkan mineralisasi unsur kalium vermikompos ATB. Kascing yang sudah setengah terdekomposisi selama melalui sistem pencernaan cacing akan bercampur dengan lendir yang mengandung enzim dan mikroorganisme, sehingga kascing dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme bermanfaat seperti mikroflora. Mikroflora yang tumbuh di kascing dapat meningkatkan mineralisasi kalium yang terjadi dalam media vermikompos, asam yang diproduksi oleh mikroflora menjadi mekanisme utama dalam pelarutan kalium tidak terlarut dalam substrat vermikompos. Mikroflora dapat memproduksi senyawa asam berupa karbonit, nitrit, dan sulfurit, yang dapat meningkatkan pelarutan kalium tidak terlarut (Kaviraj dan Sharma, 2003).

Kandungan C-organik vermikompos Hasil analisis C-organik menunjukkan terjadinya penurunan kandungan C-organik pada setiap perlakuan selama proses vermikompos.

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), setiap perlakuan vermikompos memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan C-organik vermikompos pada setiap waktu pengamatan.

Aktivitas pertumbuhan serta dekomposisi substrat vermikompos oleh cacing tanah dan mikroorganisme dapat menurunkan jumlah karbon dalam substrat. Menurut Usmani et al.

(2017), aktivitas cacing tanah dan mikroorganisme menyebabkan terjadinya kehilangan karbon dalam bentuk CO2 selama dekomposisi dan mineralisasi substrat vermikompos. Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 7) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan vermikompos pada setiap waktu pengamatan. Semua perlakuan vermikompos kecuali perlakuan P1, sudah memenuhi standar kualitas kompos untuk kandungan C-organik dengan nilai minimum 9,8

% berdasarkan SNI nomor 19-7030-2004.

Penurunan kandungan C-organik terbesar di akhir pengamatan terdapat diperlakuan P4 dengan nilai sebesar 22,71% dan penurunan terkecil terdapat diperlakuan P5 dengan nilai sebesar 20,18%. Penurunan kandungan C- organik diperlakuan P4 menunjukkan bahwa tingkat aktivitas cacing tanah dan mikroorganisme tertinggi terdapat di perlakuan dengan jumlah bahan organik paling banyak.

Cacing tanah dan mikroorganisme memanfaatkan bahan organik berupa kotoran sapi sebagai sumber karbon dalam proses dekomposisi dan mineralisasi substrat vermikompos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Venkatesh dan Eevera (2008) yang

(7)

http://jtsl.ub.ac.id 365 menyebutkan bahwa cacing tanah dan

mikroorganisme menggunakan karbon sebagai sumber energi untuk melakukan dekomposisi bahan organik.

Kehilangan karbon selama proses vermikompos juga dapat disebabkan oleh gabungan aktivitas cacing tanah dan mikroorganisme dalam proses dekomposisi dan mineralisasi substrat vermikompos. Cacing

tanah dan mikroorganisme melakukan respirasi selama proses vermikompos sehingga kandungan karbon dalam substrat dapat hilang dalam bentuk CO2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usmani et al. (2017) bahwa proses respirasi dan tingkat asimilasi yang tinggi dari cacing tanah dan mikroorganisme dalam proses vermikompos juga dapat memperbesar penurunan karbon organik dalam bentuk CO2. Tabel 7. Hasil analisis C-organik vermikompos.

Perlakuan C-organik vermikompos (%)

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 0,99 a 0,95 a 0,87 a

P2 (100% Kotoran Sapi) 43,12 e 38,81 e 34,80 e

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 22,02 b 19,56 b 17,73 b P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 28,59 d 25,81 d 22,71 d P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 24,05 c 23,54 c 20,18 c Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Rasio C/N vermikompos

Hasil analisis rasio C/N menunjukkan terjadinya penurunan nilai rasio C/N pada setiap perlakuan selama proses vermikompos.

Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), setiap perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan rasio C/N vermikompos pada 0 HSP dan 30 HSP. Pada 60 HSP, perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan rasio C/N vermikompos.

Penurunan nilai rasio C/N karena penurunan kandungan karbon oleh aktivitas respirasi mikroorganisme, serta peningkatan kandungan nitrogen melalui mineralisasi nitrogen oleh mikroorganisme dan penambahan hasil ekskresi cacing tanah berupa kascing yang mengandung nitrogen. Hasil penelitian oleh Mupambwa dan Mnkeni (2015) menunjukkan bahwa aktivitas cacing tanah dan mikroorganisme dapat menurunkan nilai rasio C/N melalui proses degradasi bahan organik serta mineralisasi nitrogen dari kotoran sapi dalam vermikompos ATB. Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 8) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata di beberapa perlakuan pada 0 dan 30 HSP. Pada akhir pengamatan, perlakuan dengan penurunan nilai rasio C/N paling besar terdapat diperlakuan P2 dengan nilai akhir rasio C/N sebesar 15,36. Penurunan nilai rasio C/N paling

besar pada perlakuan kombinasi terdapat pada perlakuan P4 dengan nilai akhir rasio C/N sebesar 19,15. Semua perlakuan vermikompos sudah memenuhi standar kualitas kompos untuk nilai rasio C/N dengan nilai minimum 10 dan maksimum 20 berdasarkan SNI nomor 19- 7030-2004. Kombinasi bahan vermikompos setiap perlakuan dapat mempengaruhi nilai rasio C/N substrat vermikompos. Perlakuan P4 mengandung jumlah bahan organik lebih besar dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lain, sehingga proses dekomposisi dan mineralisasi unsur hara dalam vermikompos dapat berjalan dengan baik.

Perlakuan dengan pemberian bahan organik lebih sedikit akan menghambat proses dekomposisi dan mineralisasi substrat vermikompos, karena cacing tanah dan mikroorganisme dalam substrat vermikompos membutuhkan bahan organik sebagai sumber energi. Penelitian oleh Mupambwa et al. (2015) tentang vermikompos ATB menyebutkan bahwa pemberian ATB melebihi perbandingan 1:1 dapat menurunkan biomassa dan diversitas dari mikroorganisme. Perbedaan nilai awal rasio C/N di setiap perlakuan dapat mempengaruhi proses dekomposisi yang terjadi selama vermikompos, semakin tinggi nilai awal rasio C/N maka proses dekomposisi oleh cacing

(8)

http://jtsl.ub.ac.id 366 tanah dan mikroorganisme akan melambat.

Menurut Widarti et al. (2015), nilai rasio C/N yang tinggi akan menurunkan aktivitas mikroorganisme sehingga memerlukan waktu yang lebih panjang untuk mendegradasi substrat

kompos, sebaliknya jika nilai rasio C/N terlalu rendah akan menyebabkan kelebihan kandungan nitrogen sehingga tidak dapat digunakan untuk asimilasi mikroorganisme dan akan hilang secara volatil sebagai ammonia.

Tabel 8. Hasil analisis rasio C/N vermikompos.

Perlakuan Rasio C/N vermikompos

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 16,33 a 20,63 ab 18,62 ab

P2 (100% Kotoran Sapi) 27,97 b 18,69 a 15,36 a

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 32,14 d 23,70 b 19,85 b P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 30,69 cd 23,33 b 19,15 ab P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 29,05 bc 24,79 b 19,27 ab Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Kandungan logam berat timbal vermikompos

Hasil analisis logam berat timbal menunjukkan terjadinya penurunan kandungan logam berat timbal pada setiap perlakuan selama proses vermikompos. Berdasarkan analisis ragam (ANOVA), setiap perlakuan vermikompos memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan logam berat timbal vermikompos pada setiap waktu pengamatan. Beberapa jenis cacing tanah memiliki kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dalam sistem pencernaannya, jenis cacing tanah seperti Eisenia fetida, Eudrilus eugeniae dan Lumbricus rubellus memiliki kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dalam sistem pencernaannya (Usmani et al., 2017). Substrat vermikompos mengandung logam berat kemudian diserap oleh chlorogosom dalam sistem pencernaan cacing tanah untuk menjaga agar logam berat

tidak larut dan mengganggu proses biokimia dalam pencernaan cacing. Hasil penelitian oleh Morgan dan Morris (1982) menyebutkan bahwa logam berat disimpan dalam organel tertentu dalam sistem pencernaan cacing, untuk logam Pb dan Zn disimpan dalam chlorogosom dan logam Cd ditemukan dalam Cadmosom. Ketika sistem pencernaan cacing tanah terpapar oleh logam berat, jaringan chloragogen dalam pencernaan cacing tanah akan mensintesis protein berupa metallothionein, protein ini mampu mengkhelat logam berat dalam chlorogosom. Menurut Usmani dan Kumar (2017), jaringan chloragogen dapat mensintesis protein metallothionein yang berfungsi untuk mengkhelat unsur logam seperti timbal. Protein metallothinein mengkhelat unsur logam timbal dan dibawa menuju jaringan chloragogen untuk di netralisir sehingga mencegah toksisitas didalam sistem pencernaan cacing tanah.

Tabel 9. Hasil analisis logam timbal (Pb) vermikompos.

Perlakuan Logam Pb vermikompos (ppm)

0 HSP 45 HSP 60 HSP

P1 (100% Abu Terbang Batubara) 167,78 e 162,64 e 159,70 e

P2 (100% Kotoran Sapi) 0,41 a 0,30 a 0,06 a

P3 (1 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 103,30 d 93,21 d 85,69 d P4 (1 Abu Terbang Batubara : 3 Kotoran Sapi) 68,05 b 58,59 b 46,62 b P5 (3 Abu Terbang Batubara : 1 Kotoran Sapi) 85,82 c 79,82 c 73,50 c Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

(9)

http://jtsl.ub.ac.id 367 Hasil uji lanjut DMRT (Tabel 9) menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan vermikompos pada setiap waktu pengamatan. Pada akhir pengamatan vermikompos, penurunan kandungan logam berat timbal paling tinggi terdapat diperlakuan P4 dengan persentase penurunan sebesar 31,48

% dengan nilai akhir 46,62 ppm. Semua perlakuan vermikompos kecuali perlakuan P1, sudah memenuhi standar kualitas kompos untuk kandungan logam timbal dengan nilai maksimum 150 ppm berdasarkan SNI nomor 19-7030-2004. Perlakuan P4 mengandung jumlah bahan organik berupa kotoran sapi dengan perbandingan paling besar, yaitu 1 ATB : 3 Kotoran sapi. Bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cacing tanah dalam mengakumulasi logam berat.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Kizilkaya (2005) yang menyebutkan bahwa beberapa faktor edafik yang dapat mempengaruhi bioakumulasi logam berat oleh cacing tanah yaitu, kandungan bahan organik, nilai pH, dan nilai rasio C/N dari substrat. Bahan organik berperan dalam mengikat unsur logam sehingga menurunkan ketersediaan unsur logam dalam substrat vermikompos. Akumulasi logam berat oleh cacing tanah terjadi bersamaan dengan bahan organik yang masuk kedalam pencernaan cacing tanah. Menurut Hopkin (1989), penyerapan logam berat oleh cacing tanah mengikuti mekanisme masuknya makanan melalui saluran alimentari cacing tanah.

Kesimpulan

Pencampuran kotoran sapi dalam pembuatan vermikompos ATB menggunakan cacing tanah Eisenia fetida berpengaruh nyata terhadap kandungan unsur kimia vermikompos.

Perlakuan P4 (1 ATB : 3 KS) menunjukkan peningkatan kandungan unsur kimia paling tinggi, dengan nilai N-total sebesar 1,18 %, P- total sebesar 0,53 %, K-total sebesar 1,51 %, C- organik sebesar 22,71 %, rasio C/N sebesar 19,15 %. Nilai pH tertinggi terdapat di perlakuan P1 dengan nilai sebesar 6,5.

Pencampuran kotoran sapi dalam pembuatan vermikompos ATB menggunakan cacing tanah Eisenia fetida berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan logam berat timbal vermikompos. Penurunan kandungan logam timbal paling besar terdapat di perlakuan P4 (1

ATB : 3 KS) dengan nilai akhir kandungan logam berat timbal sebesar 46,62 ppm.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada teknisi UPT Kompos Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Laboratorium Kimia Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, atas perkanan bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Bhat, S.A., Singh, J. and Vig, A.P. 2015. Potential utilization of bagasse as feed material for earthworm Eisenia fetida and production of vermicompost. SpringerPlus 4(11): 1-9.

Bhattacharya, S. and Chattopadhyay, G. 2004.

Transformation of nitrogen during vermicomposting in fly ash. Waste Management and Research 22(6): 488-491.

Dominguez, J. 2004. State of the Art and New Perspective on Vermicomposting Research. CRC Press. 401-424.

Hong, G.H., Ping, L.F., Guan, X., Yong-li, X., Ya- jing, L., Chen, X., . . . Zheng, W. 2013. Effect of fly ash on heavy metal uptake of rice growing on multi-metal contaminated acidic soil. Advanced Materials Research 680: 94-99.

Hopkin, S.P. 1989. Ecophysiology of Metals in Terrestrial Invertebrates. Springer.

Kaviraj and Sharma, S. 2003. Muncipal Solid Waste Management through vermicomposting employinh exotic and local species of earthworms. Bioresource Technology 90(2): 169- 173.

Kizilkaya, R. 2015. The role of different organic waste on zinc bioaccumulation by earthworm Lumbricus terrestris L. (Oligochaeta) in successive Zn added soil. Ecological Engineering 25(4):

322-331.

Lemtiri, A., Colinet, G., Alabi, T., Cluzeau, D., Zirbes, L., Haubruge, E. and Francis, F. 2014.

Impacts of earthworms on soil components and dynamics. a review. Biotechnology Agronomy Social Environment 18(1): 121-133.

Morgan, A. J. and Morris, B. 1982. The accumulation and intracellular compartmentation of cadmium, lead, zinc, and calcium in two earthworm species (Dandrobaena rubida and Lumbricus rubellus) living highly contaminated soil. Histochemistry 75(2):

269-285.

Munroe, G. 2007. Manual of On-Farm Vermicomposting and Vermiculture. Canada: Organic Agriculture Centre of Canada.

(10)

http://jtsl.ub.ac.id 368 Mupambwa, H.A. and Mnkeni, P.N. 2015.

Optimization of fly ash incorporation into cow dung-waste paper mixture for enhanced vermidegradation and nutrient realese. Journal of Environment Quality 44(3): 972-981.

Mupambwa, H.A., Dube, E. and Mnkeni, P.N. 2015.

Fly ash vermicomposting to improve fertilizer value: a review. South African Journal of Science.

111(7-8): 1-6.

Pandey, V. and Singh, N. 2010. Impact of fly ash incorporation in soil system. Agriculture, Ecosystems & Environment 136(1-2): 16-27.

PLN. (2018). Executive Summary RUPTL PT. PLN (Persero) 2018, in Diseminasi RUPTL 2018- 2017. PT PLN, 15.

Sharma, S.K. and Kalra, N. 2006. Effect of fly ash incorporation on soil properties and productivity of crops: a review. Journal of Scientific &

Industrial Research 65(5): 383-390.

Singh, J., Singh, S., Vig, A., Bhat, S.A., Hundal, S.S., Yin, J. and Schadler, M. 2018. Conventional farming reduces the activity of earthworms:

assessment of genotoxicity test of soil and vermicast. Agriculture Natural Resources 52(4):

366-370.

Suthar, S. 2008. Bioremediation of aerobically treated distillery sludge mixed with cowdung by using an epigeic earthworm Eisenia fetida. The Environmentalist 28(2): 76-84.

Usmani, Z. and Kumar, V. 2017. The implications of fly ash remediation through vermicomposting : a review. Nature Environment and Pollution Technology 16(2): 363-374.

Usmani, Z., Kumar, V. and Sujeet, K. 2017.

Vermicomposting of coal fly ash using epigeic and epi-endogeic earthworm species: nutrient dynamics and metal remediation. Royal Science of Chemistry 7(9): 4876-4890.

Venkatesh, R.M. and Eevera, T. 2008. Mass reduction and recovery of nutrients through vermicomposting of fly ash. Applied Ecology and Environmental Research 6(1): 77-84.

Widarti, B.N., Wardhini, W.K. dan Sarwono, E. 201).

Pengaruh rasio C/N bahan baku pada pembuatan kompos dari kubis dan kulit pisang.

Jurnal Integrasi Proses 5(2): 75-80.

Zulfadli, Muyassir, dan Fikrinda. 2012. Kelembaban limbah kakao dan takarannya terhadap kualitas kompos dengan sistem pembenaman. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan 1(1): 43-53.

Referensi

Dokumen terkait