• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Permainan Tradisional Anak Kampoeng Batara Sebagai Inovasi Edukasi Berbasis Ekonomi Kreatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pengembangan Permainan Tradisional Anak Kampoeng Batara Sebagai Inovasi Edukasi Berbasis Ekonomi Kreatif"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Permainan Tradisional Anak Kampoeng Batara Sebagai Inovasi Edukasi Berbasis Ekonomi Kreatif

Ratna Wijayanti Daniar Paramita1, Noviansyah Rizal2, Riza Bahtiar Sulistyan3, Muchamad Taufiq4, Muhaimin Dimyati5

1234Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Gama, 5Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala Email: 1pradnyataj@gmail.com, 2noviansyah.rizal@gmail.com, 3rizabahhtiars@gmail.com,

4muchamadtaufiqsh@gmal.com, 5dimyati@stie-mandala.ac.id

Abstrak

Ekonomi kreatif telah banyak dikembangkan di beberapa negara termasuk Indonesia. Penduduk terbesar di Indonesia terletak di Pulau Jawa dimana sangat potensi dalam keragaman budaya dan ekonomi kreatif yang perlu dikembangkan. Keragaman budaya di wilayah ini dari sisi uniknya yaitu perlunya pengembangan pelestarian permainan tradisional anak Kampoeng Batara di Banyuwangi yang selama ini ditunjang dari biaya operasional hasil kerajinan bambu. Selain itu di wilayah ini juga terdapat dan pendidikan non formal yang diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak dapat menempuh pendidikan formal. Metode yang digunakan berupa pendekatan etnografi dimulai dari pengumpulan sumber literatur dan didukung dengan data lapangan. Hasil menunjukkan bahwa pengembangan permainan tradisional anak dapat terus dilestarikan dengan adanya peningkatan biaya operasional yang dihasilkan dari produksi kerajinan bambu.

Peningkatan hasil produksi dilakukan dengan peningkatan kompetensi melalui kegiatan pelatihan dari para pengrajin. Adanya inovasi edukasi telah berhasil merubah tingkat kepercayaan diri anak- anak Kampoeng Batara.

Katakunci: Ekonomi Kreatif, Pelestarian Budaya, Permainan Anak, Inovasi Edukasi

PENDAHULUAN

Pemerintah telah menetapkan target dalam mendukung ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif, dan pekerjaan yang layak bagi semua. Salah satunya yaitu pada tahun 2030 merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung turisme yang berkelanjutan yang dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus mendukung budaya dan produk lokal (Sulistyan & Paramita, 2021). Namun, setalah adanya penyebaran covid-19 yang berdampak pada ekonomi lokal dan nasional di seluruh dunia, banyak para industri dan pemangku kebijakan yang meneliti dampak covid-19 pada industri kreatif dan budaya, serta para pekerja di sektor tersebut (Comunian & England, 2020). Pengembangan dari ekosistem ekonomi kreatif berbasis budaya lokal didukung kompetensi sumber daya para pelaku usaha, perlu mendapatakan dukungan dan kerjasama dari beberapa pihak antara lain pemerintah, sektor swasta, komunitas, akademisi, dan media. Selain itu pengembangan dapat dilakukan dengan metode pelatihan yang dapat meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha (Hilmiana, Soemaryani, & Prasetyo, 2021).

Ekonomi kreatif telah banyak dikembangkan di beberapa Negara-negara besar seperti AS, Inggris (Kemeny, Nathan, & O’Brien, 2020), seluruh negara di Australia (Cunningham, McCutcheon, Hearn, & Ryan, 2020), termasuk di Indonesia (Agustina, Winarno, Pratikto, Narmaditya, &

Filianti, 2020; Budhi, Lestari, Suasih, & Wijaya, 2020; Rosyadi, Haryanto, Kusuma, & Fitrah, 2020). Optimalisasi ekonomi kreatif di Indonesia sudah menjadi fokus para peneliti di beberapa tahun terakhir (Madelan, 2020; Nurdiani, Hendarti, & Tedja, 2020; Priadi, Pasaribu, Virby, Sairin,

& Wardani, 2020). Ada hal yang berbahaya dari kreativitas dan budaya yang diakui secara luas di

(2)

England, 2020). Penduduk terpadat di Indonesia terletak di pulau Jawa, dimana dengan potensi keragaman budaya dan kegiatan ekonomi kreatif di pulau ini perlu dikembangkan. Kearifan lokal dan peristiwa budaya mencerminkan kreativitas masyarakat dan dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat (Nurdiani et al., 2020).

Upaya mendukung industri kreatif di pulau Jawa salah satunya adalah melalui pengembangan kegiatan budaya dan pelestarian budaya. Salah satu budaya di Indonesia yang masih terus dilestarikan saat ini adalah budaya Osing di Banyuwangi (Paramita, Rizal, & Taufiq, 2019, 2020a;

Paramita, Rizal, Taufiq, & Dimyati, 2018). Banyuwangi juga terpilih sebagai salah satu dari 10 sub-brand destinasi wisata yang dibentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah master-brand Wonderful Indonesia (Christine & Setyanto, 2021). Industri kreatif masyarakat lokal di Banyuwangi telah dikenalkan, dipromosikan, dan dipasarkan melalui optimalisasi ritual.

Adanya kontribusi masyarakat dalam optimalisasi potensi seni tradisional yang dilakukan dengan memperhatikan dan menyaksikan pertunjukkanya. Saat ini juga telah berkembang paket wisata budaya dan kuliner Banyuwangi yang memberikan ruang bagi ekspresi seniman tradisi, seperti gandrung, jaranan, kuntulan, dan barong (Anoegrajekti et al., 2021). Budaya di daerah ini selain dikenal dengan budaya Osing (Anoegrajekti et al., 2019; Anoegrajekti, Sariono, Macaryus, Kusumah, & Tseligka, 2018), juga terdapat budaya berupa permainan anak-anak di Kampoeng Batara (Paramita et al., 2020a; Sulistyan & Paramita, 2021).

Banyuwangi memiliki berbagia kegiatan budaya dan tradisional serta seni (Mursidi & Noviandari, 2021). Penelitian terkait budaya adat Banyuwangi yang juga dilakukan oleh Paramita, Rizal, and Taufiq (2017), mengindikasikan adanya persepsi partisipasi nyata pengembangan budaya melalui pelaksanaan upacara adat dan melalui pengembangan sanggar seni. Pengembangan upacara adat masing-masing kelompok memiliki persepsi sama, yaitu sebagai sebuah ritual dan tradisi yang wajib dilaksanakan. Namun pengembangan budaya melalui sanggar seni memiliki persepsi yang berbeda. Pelaku budaya merasakan bahwa sanggar mereka tidak pernah memperoleh bantuan dana, baik dari pemerintah maupun perusahaan dan selama ini kegiatan dilakukan dengan biaya mandiri. Paramita, Rizal, and Taufiq (2020b) mengembangkan penelitiannya pada Sekolah Adat Kampoeng Batara yang telah mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak untuk memperbaiki generasi yang ada dilingkungannya. Kampoeng Batara yang lebih dikenal dengan lingkungan Papring telah merubah anak-anak yang awalnya sulit berinteraksi menjadi anak-anak yang produkif, aktif, dan kreatif. Hal ini dibuktikan dengan beberapa piagam penghargaan yang diterima oleh Kampoeng Batara dan kesempatan melakukan perform di luar Banyuwangi, salah satunya adalah di Taman kesenian Ismail Marjuki Jakarta tahun 2018 dalam rangka memperingati hari jadi Aliansi Adat Nusantara (AMAN).

Kampoeng Batara telah berkembang sekolah adat yang merupakan pendidikan non formal dan mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak untuk memperbaiki generasi yang ada dilingkungannya. Kampoeng Batara (Kampung Baca Taman Rimba) terletak di lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, semula hanya sebatas taman baca, kini telah berkembang dan berperan penting dalam melestarikan permainan tradisional anak-anak dan pelestarian budaya melalui edukasi (Paramita et al., 2020a). Alasan awal dibentuknya Kampoeng Batara karena anak-anak dan masyarakat di lingkungan Papring masih belum percaya diri untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar daerah untuk menjadi buruh sehingga anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya khususnya dalam di bidang pendidikan, hal ini ditunjukkan dengan 90% anak-anak Papring tidak menempuh pendidikan formal (Paramita et al., 2020b).

Pengembangan permainan tradisional anak di Kampoeng Batara sangat tergantung dari hasil produksi kerajinan bambu, karena sebagian digunakan untuk biaya operasionalnya (Sulistyan &

Paramita, 2021). Dalam kegiatan produksi juga diperlukan dorongan sebagai bentuk pengetahuan dan inovasi produk (Hartanto et al., 2021). Untuk mewujudkan itu semua diperlukan adanya program pelatihan peningkatan kompetensi para pengrajin bambu di Kampoeng Batara. Apabila para pengrajin dapat meningkatkan kompetensinya, maka inovasi-inovasi produk kerajinan bambu

(3)

semakin meningkat dan biaya operasional juga ikut meningkat, serta permainan tradisional anak Kampoeng Batara akan teris dapat dikembangkan dan dilestarikan.

Permainan tradisional anak sangat perlu dilestarikan. Apabila tidak ada pelestarian, maka akan terjadi beberapa dampak seperti hilangnya sejarah dan budaya adat di masyarakat (Anam, Ovaleoshanta, Ardiansyah, & Santoso, 2017), dan upaya pembentukan karakter anak melalui permainan tradisional akan hilang (Jannah, Mahdi, & Harjianto, 2019). Sangat berbahaya apabila permainan tradisional tergerus oleh perubahan-perubahan akibat dari perkembangan zaman.

Pergeseran atau perubahan secara bertahap dari permainan tradisional ke permainan modern yang disebabkan oleh budaya dan teknologi yang semakin maju (Chalid, Kamil, & Meliza, 2021).

Permainan tradisional anak, secara tidak langsung mendorong mereka yang memainkannya untuk terus melestarikan budaya Indonesia (Pratalaharja & Dirgantoro, 2021).

Berdasarkan penjelasan dampak negatif yang timbul dari tidak adanya pelestarian permainan tradisional anak, maka di Kampoeng Batara perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai inovasi edukasi melalui ekonomi kreatif para pengrajin bambu. Pelestarian sebagai upaya agar budaya Banyuwangi akan tetap terjaga. Penelitian ini secara khusus memfokuskan pada bagaimana dinamika pengembangan permainan tradisional anak sebagai basis ekonomi kreatif.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Metode etnografi (Spradley, 1997) dimulai dengan mengumpulkan dari sumber literatur dan dilengkapi dengan data lapangan yang diperoleh melalui observasi, partisipasi, dan wawancara mendalam dengan responden yang dipilih. Sumber literatur diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan mulai tahun 2017 tentang budaya di Banyuwangi. Informan ditetapkan berdasarkan keterlibatan dan peran dalam pengembangan pelestarian permainan anak yaitu pendiri Kampoeng Batara, pelatih, budayawan, dan pemerintah setempat. Validitas data dilakukan dengan trianggulasi sumber. Analisis data dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus mulai proses inventarisasi data, identifikasi, klasifikasi, dan interpretasi data. Pemaknaan data dilakukan secara komprehensif dengan melihat hubungan keseluruhan data.

Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan masyarakat ada dua, yaitu secara langsung dan tidak langsung (Anoegrajekti et al., 2021). Pendekatan langsung dilakukan dengan melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pendekatan tidak langsung dilakukan dengan proses penyadaran masyarakat akan pentingnya pengembangan pelestarian budaya. Model yang dikembangan yaitu model siklus partisipatif, mencakup proses yang dilakukan secara bersamaan mulai dari input, proses, output, dampak, dan hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ragam Permainan Tradisional Anak

Kampoeng Batara saat ini tidak hanya dikenal sebagai taman baca, namun terus dikembangkan dalam pelestarian permainan tradisionial anak-anak (Paramita et al., 2020b). Permainan tradisional anak yang dikembangkan di Kampoeng Batara Banyuwangi terbagi menjadi tiga tipe, yaitu permainan anak tanpa alat, permainan dengan menggunakan alat, dan permainan khas Osing.

Pembagian ini seperti yang disampaikan oleh pemilik Kampoeng Batara yang mengklasifikasikan permainan anak berdasarkan alat yang digunakan. Hal ini bertujuan agar dapat diketahui nilai dari masing-masing permainan tradisional anak yang dilakukan.

a. Permainan tradisional anak tanpa menggunakan alat seperti Gobak sodor (Slodoran) yang merupakan permainan yang dilakukan dilapangan dengan membentuk segi empat berpetak- petak. Setiap petak ada yang menjaga yang akan menghalangi lawan yang akan masuk.

Permainan ini melatih kerjasama, kebersamaan, dan mengecoh lawan, serta mengajarkan

(4)

agar tidak mudah berputus asa dan terus melewati garis. Selain itu juga dikembangkan permainan Kucingan (Kucing Tikus) yang merupakan permainan yang dimainkan beberapa anak. Permainan ini terdiri dari satu pemain sebagai kucing dan satu pemain sebagai tikus, serta pemain lainnya bergandengan tangan membentuk lingkaran sebagai benteng agar tikus tidak dimakan oleh kucing. Ragam permainan menggunakan alat lainnya yaitu Ular Naga (Puk Karupukan), Petak Umpet, Pantel, Ethek-ethekan, dan Pal-Palan.

Gambar 1. Permainan Tradisional Anak-anak Kampoeng Batara tanpa Alat

b. Permainan tradisional anak dengan menggunakan alat yang dikembangkan berupa Egrang Batok, Egrang Bambu (Dhar Dhar), Dakon, Lompat Tali, Bakiak, Bedil Bambu, Kelereng, Seltok (Bambu), Ban-Banan, Bedi Lidi, Gasing Kayu, Gasing Bambu, Bekel, Layangan, Halohap, Dam-daman, Ketepel, Buluk Gasingan, Tarik Tambang, Yoyo, dan Kasti. Salah satu contoh permainan berupa Egrang Batok dengan menggunakan alat berupa tempurung kelapa dan tali. Permainan ini untuk melatih kekuatan serta keseimbangan kaki dan tangan dengan cara berjalan di atas batok (tempurung kelapa) yang telah dikaitkan dengan tali.

Permainan ini dibuat dengan batok kelapa yang sudah tua dan kuat. Selain batok, tali juga dibuat dari bahan yang kuat. Tali berfungsi untuk pegangan sebagai penyeimbang tubuh.

Egrang batok memiliki dua model tali, yaitu satu tali yang menyambungkan antara batok kiri dan kanan atau tali yang dipasang terpisah antara tali sebelah kanan dan tali sebelah kiri.

Perbedaannya dengan Egrang Bambu (Dhar Dhar) yaitu alat yang digunakan berupa bambu.

Di daerah lain, dhar-dhar lebih dikenal dengan nama egrang bambu. Egrang merupakan permainan tradisional yang menggunakan batang bambu. Alat permainan ini terbuat dari sepasang bambu utuh yang memiliki panjang 2 meter dengan diameter 10 cm dan bambu yang berukuran panjang 30 cm dengan diameter 5 cm. Sebelumnya, bambu yang lebih besar memiliki lubang sepanjang diameter bambu yang kecil. Lubang berfungsi untuk menyambungkan bambu kecil pada bambu besar dan mengaitkannya menggunakan tali.

Permainan ini tidak memerlukan tempat (lapangan) yang luas. Ada dua jenis permainan dhar- dhar, yaitu berlari menggunakan dhar-dhar dan adu kekuatan dhar-dhar. Pada jenis pertandingan berlari menggunakan dhar-dhar, pemain berdiri pada dhar-dhar masing-masing di depan garis start sebagai tanda permainan siap dimulai. Pemain dapat berlari setelah diberikan aba-aba dari teman lain yang belum atau tidak mengikuti pertandingan. Pemain yang pertama sampai di garis finish dinyatakan sebagai pemenangnya. Ada beberapa jenis permainan Egrang di Kampoeng Batara. Pertama Egrang Bambu Jalan Lambat, Egrang Pecut dan Egrang Tari.

Gambar 2. Permainan Tradisional Anak-anak Kampoeng Batara menggunakan Alat

(5)

c. Permainan anak khas osing yang dikembangkan berupa Kuartet Osing, Unclang Jajang (Bambu), dan Patheng Dudu. Permainan Kuartet Osing menggunakan alat kartu, yang merupakan permainan yang berupa kartu yang dimainkan oleh 4 orang. Satu set kartu berjumlah 32 kartu yang terdiri dari 8 seri kartu dengan 4 nama setiap serinya. Mayoritas 8 seri kartu menampilkan gambar terkait Banyuwangi seperti makanan tradisional, kerajaan, sayuran, upacara adat, gedung bersejarah, kesenian, binatang, dan tempat wisata. Cara memainkan permainan ini diawali dengan mengocok satu set kartu kemudian membagikan 4 kartu kepada setiap pemain, sisanya diletakkan di tengah pemain yang duduk melingkar.

Pemain pertama meminta satu kartu kepada pemain lainnya dengan cara menyebutkan nama seri kartu yang diminta. Jika pemain lain tersebut memiliki kartu yang dimaksudkan, maka wajib diberikan kepada pemain yang meminta. Jika tidak, maka pemain harus mengambil satu kartu sisa yang dipasang di tengah. Pemain dinyatakan menang jika mampu mengumpulkan seri lengkap terbanyak. Permainan Unclang Jajang (Bambu) menggunakan media batang bambu. Disebut juga rangku alu merupakan jenis permainan yang diiringi tarian yang dilakukan minimal 4 orang pemain. Permainan ini dimainkan dengan menggerakkan 2 pasang bambu dan pemain berusaha melangkah di sela-sela bambu yang dimainkan agar kaki tidak terjepit. Permainan terakhir yaitu Patheng Dudu yang menggunakan alat batu atau kayu. Merupakan salah satu permainan tradisional asli Banyuwangi yang terbuat dari potongan kayu yang membentuk benda pejal dimensi tiga.

Permukaan dari permainan ini merupakan bangun dua dimensi segi-n. Satu set permainan ini terdiri dari enam atau tujuh biji dengan ukuran yang berbeda-beda. Permainan ini biasanya dimainkan secara berkelompok dan setiap kelompok terdiri dari tiga orang. Setiap anggota dalam kelompok harus bekerja sama agar dapat mengalahkan kelompok lainnya. Kelompok yang dinyatakan menang adalah kelompok yang dapat menyusun semua dudu dan bertahan berdiri minimal selama sepuluh detik. Kelompok yang kalah akan diberikan hukuman sesuai ketentuan kelompok yang menang.

Inovasi Edukasi

Alasan awal dibentuknya Kampoeng Batara karena anak-anak dan masyarakat di lingkungan Papring masih belum percaya diri untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar daerah untuk menjadi buruh sehingga anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya khususnya dalam di bidang pendidikan, hal ini ditunjukkan dengan 90% anak-anak Papring tidak menempuh pendidikan formal (Paramita et al., 2020b). Saat ini, Kampoeng Batara telah merubah anak-anak yang awalnya sulit berinteraksi menjadi anak-anak yang produktif, aktif dan kreatif. Perubahan tersebut merupakan inovasi kreatifitas yang dimiliki anak-anak kampoeng batara. Hal ini sebaimana diungkapkan oleh pemilik dan pengajar di kampong batara, bahwa anak-anak kampoeng batara awalnya tidak berani bertegur sapa jika ada tamu yang berkunjung, apalagi harus melakukan pertunjukan. Kebenaran ungkapan tersebut dibuktikan dengan beberapa piagam penghargaan yang diterima oleh Kampoeng Batara dan kesempatan anak-anak melakukan perform di luar Banyuwangi, salah satunya adalah di Taman kesenian Ismail Marzuki Jakarta tahun 2018 dalam rangka memperingati hari jadi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Anak-anak di Kampoeng Batara kini sudah terbiasa menerima tamu dengan melakukan pertunjukan permainan anak atau memainan musik

.

Inovasi lain adalah pada pelaksanaan proses edukasi di Kampone Batara. Banyak cara sederhana untuk berbagi pengetahuan. Baik untuk anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Dimana, pengetahuan tersebut akan di sesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Masa anak-anak, pengetahuan bisa di transfer melalui beragam cara. Misalnya, melalui permainan lokal. Mengingat, pada dasarnya, masa anak-anak membutuhkan ruang bergerak untuk merangsang fikiran dan mengasah mental. Tidak hanya menerima asupan pengetahuan secara lisan semata.

Di Sekolah Adat Kampoeng Batara, anak-anak yang berkegiatan akan diawali dengan diskusi, diskusi untuk menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan, bagaimana konsepnya, berapa durasinya, bagaimana cara melaksanakan. Pengajar menamakan ini pola personal artinya tiap-tiap ank diberikan kebebasan untuk menyampaikan idenya. Dalam kegiatan edukasi ini, 70 persen anak

(6)

anak sendiri yang membuat, melaksanakan dan mengeksekusi dengan presentasi kegiatannya.

Sementara peran pengajar adalah melakukan penataan konsep, pendataan potensi dan penilaian presentasi. Jadi, peran pengajar adalah memberi ruang anak-anak mengenal jati diri sejak dini.

Mengembangkan potensi, dan mengapresiasi. Sehingga, pengajar tidak bisa otoriter dengan pegetahuan yang dimiliki, karena setiap orang memiliki tingkat penerimaan berbeda. Maka, tugas pengajar adalah menata, bukan memaksa untuk bisa.

Gambar 3. Inovasi Edukasi Anak-anak Kampoeng Batara

Di Kampoeng Batara pendidikan yang menjadi ciri khas adalah memperkuat pendidikan karakter, tidak meninggalkan kearifan lokal dan semangat membangun kampung. Hal inilah yang menjadi pembeda Kampoeng Batara dengan lembaga pendidikan formal. Ketekunan dan kegigihan sang founder menjadikan Sekolah Adat Kampoeng Batara menuai banyak perhatian dari pihak-pihak ekternal, antara lain Pertamina yang telah memberikan CSR berupa pembangunan rumah bambu yang selanjutnya digunakan untuk tempat anak-anak Batara berkegiatan, Gramedia Jember memberikan CSR berupa buku-buku bacaan dan PLN yang rencananya akan memberikan CSR berupa bangunan untuk galery.

Beberapa prestasi dan piagam penghargaan juga telah diterima oleh Widie Nurmahmudi sebagai founder Kampoeng Batara antara lain: Tahun 2018 menerima piagam penghargaan dari Bupati Banyuwangi sebagai Inovator dibidang Pendidikan. Tahun 2021 piagam pengahargaan dari Pikiran Rakyat Media Network atas dedikasi dan Baktinya terhadap masyarakat Banyuwangi. Pelopor Edukasi Inspirasi juga diterima pada anugerah inspiratif sebagai pegiat bidang pendidikan yang dedikasinya dapat menjadi role model bahwa perkembangan wajah dunia pendidikan tidak hanya milik pendidik atau yang berpendidikan tinggi. Awal tahun 2021 juga menerima Piagam penghargaan dari STIE Widya Gama Lumajang sebagai Pelopor Pelestari Permainan Tradisional Anak.

Permainan Anak dan Ekonomi Kreatif

Terlepas dari prestasi yang diraih founder dan Kampoeng Batara serta CSR yang diterima, Sekolah Adat Kampoeng Batara membutuhkan dana untuk biaya operasional kegiatan yang dilakukan, baik kegiatan edukasi, permainan anak maupun perform. Dalam menunjang keberlanjutan Sekolah Adat Kampoeng Batara dikembangkanlah UMKM kerajinan yang berbahan dasar bambu seperti besek, welat, liningan, teruntum dan kerajinan lainnya yang dapat digunakan sebagai tas, souvenir pernikahan, dan tempat buah-buahan. UMKM ini juga didirikan oleh founder Batara dengan tujuan agar pendapatan UMKM sebagian dapat digunakan untuk menutup biaya operasional Batara dan agar dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat sekitar yang tidak memiliki pencaharian (Sulistyan & Paramita, 2021).

Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat di lingkungan Papring saat ini sudah mulai beraktivitas untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan memanfaatkan potensi alam di lingkungannya, seperti produksi kerajinan dari bambu. Daerah ini memang banyak ditanami berbagai jenis bambu seperti asal usul lingkungan Papring (Panggonane Pring) yaitu sumber dari tanaman bambu. Jenis bambu yang ada didaerah ini diantaranya bambu batu, apus, petung,

(7)

sembilang dan berbagai macam jenis lainnya. Kerajinan bambu yang mulai ditekuni masyarakat tidak memerlukan pasokan dari luar daerah karena bambu di daerah ini sudah cukup memenuhi untuk digunakan sebagai bahan produksi kerajinan.

Upaya keberlanjutan ini penting dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa sekolah adat Kampoeng Batara yang memberikan edukasi kepada anak-anak lingkungan Papring merupakan satu-satunya lembaga pendidikan non formal yang bisa menampung anak-anak lingkungan Papring yang tidak bisa menempuh pendidikan formal dengan berbagai alasan. Selain itu Kampoeng Batara juga telah memperluas cakupan pembelajaran dengan mengajarkan kepada anak-anak budaya Osing berupa tarian, musik dan permainan tradisional anak. Kegiatan tersebut tentu saja merupakan salah satu upaya Kampoeng Batara untuk turut serta berperan dalam upaya melestarikan budaya Osing. Prestasi yang telah diraih founder dan Kampoeng Batara juga beberapa CSR yang telah diterima telah membuktikan bahwa keberadaan Kampoeng Batara diakui dunia luar dan oleh karenanya patut dilakukan upaya keberlanjutannya.

Pengembangan pelestarian permainan anak-anak Kampoeng Batara ditunjang dengan biaya operasional yang dihasilkan oleh para pengrajin bambu. Kebutuhan dalam pengembangan permainan anak ini sudah dapat dilakukan mandiri oleh pengelolanya. Kerajinan bambu terus dikembangkan dengan kegiatan pelatihan untuk peningkatan kualitas hasil produksi dan inovasi- inovasi produk kerajinan bambu. Inovasi yang saat ini sedang dikembangkan berupa perpaduan kerajinan bambu dan batik khas Banyuwangi. Pelatihan kerajinan bambu juga menghasilkan pemetaan kompetensi dari para pengrajin, mulai dari pengirat, penganyam, dan pembentuk pola produksi. Harga jual yang dihasilkan semakin tinggi dan semakin besar pula biaya operasional yang digunakan untuk pengembangan pelestarian permainan anak-anka Kampoeng Batara.

KESIMPULAN

Pengembangan permainan tradisional anak dapat terus dilestarikan dengan adanya peningkatan biaya operasional yang dihasilkan dari produksi kerajinan bambu. Berbagai ragam permainan anak yang dikembangkan di sekolah adat Kampoeng Batara yaitu permainan anak tanpa alat, permainan dengan menggunakan alat, dan permainan khas Osing. Adanya inovasi edukasi yang dilaksanakan merupakan proses edukasi di Kampone Batara yang memang banyak cara sederhana untuk berbagi pengetahuan, baik untuk anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Hubungan permainan anak dan ekonomi kreatif sangat erat, dimana pelestarian permainan anak yang dikembangkan sangat didukung dari industri kreatif yang dikembangkan. Ekonomi kreatif yang berkembang yaitu inovasi perpaduan kerajinan bambu dan batik khas Banyuwangi

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Y., Winarno, A., Pratikto, H., Narmaditya, B. S., & Filianti, F. (2020). A Creative Economy Development Strategy: The Case of Trenggalek Creative Network for Trenggalek Regency, Indonesia. The Journal of Asian Finance, Economics and Business, 7(12), 1111-1122. doi: 10.13106/jafeb.2020.vol7.no12.1111

Anam, S., Ovaleoshanta, G., Ardiansyah, F., & Santoso, D. A. (2017). Studi Analisis Budaya Permainan Tradisional Suku Osing Kabupaten Banyuwangi. SPORTIF, 3(2), 178-191.

doi: 10.29407/js_unpgri.v3i2.11911

Anoegrajekti, N., Asrumi, Macaryus, S., Iskandar, I., Attas, S. G., Sunarti, S., & Saddhono, K.

(2021). Optimization Pillars of Potential Culture and Creative Industry in Banyuwangi, East Java, Indonesia. Psychology and Education, 58(3), 2025-2032. doi:

10.17762/pae.v58i3.4183

Anoegrajekti, N., Macaryus, S., Al-Ma’ruf, A., Attas, S., Setyari, A., & Umniyyah, Z. (2019). The Traditional Arts and Cultural Policy in Banyuwangi. Paper presented at the The 1st Seminar and Workshop on research Design, for Education, Social Science, Art, and Humanities, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.

(8)

Anoegrajekti, N., Sariono, A., Macaryus, S., Kusumah, M. S., & Tseligka, E. (2018). Banyuwangi Ethno Carnival as visualization of tradition: The policy of culture and tradition revitalization through enhancement of innovation and locality-based creative industry.

Cogent Arts & Humanities, 5(1), 1502913. doi: 10.1080/23311983.2018.1502913 Budhi, M. K. S., Lestari, N. P. N. E., Suasih, N. N. R., & Wijaya, P. Y. (2020). Strategies and

policies for developing SMEs based on creative economy. Management Science Letters, 10, 2301-2310. doi: 10.5267/j.msl.2020.3.005

Chalid, I., Kamil, A. I., & Meliza, R. (2021). Ethnographic Study on the Existence of Traditional Game in Lhokseumawe City. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 495, 252-256.

Christine, N., & Setyanto, Y. (2021). PR Function in City Branding (A Study on Banyuwangi Through Majestic Banyuwangi). Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 570, 857-862.

Comunian, R., & England, L. (2020). Creative and cultural work without filters: Covid-19 and exposed precarity in the creative economy. Cultural Trends, 29(2), 112-128. doi:

10.1080/09548963.2020.1770577

Cunningham, S., McCutcheon, M., Hearn, G., & Ryan, M. D. (2020). ‘Demand’ for culture and

‘allied’ industries: policy insights from multi-site creative economy research.

International Journal of Cultural Policy, 1-14. doi: 10.1080/10286632.2020.1849168 Hartanto, W., Ani, H. M., Suharso, P., Sukidin, Sedyati, R. N., & Mardiyana, L. O. (2021).

Quintuple helix model for tourism development in Banyuwangi regency. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 747(1), 012077. doi: 10.1088/1755- 1315/747/1/012077

Hilmiana, Soemaryani, I., & Prasetyo, A. R. (2021). Strategic Partnership Model In Developing The Local Art And Culture-Based Creative Economy. Academy of Strategic Management Journal, 20(1), 1-9.

Jannah, R., Mahdi, A., & Harjianto, H. (2019). Nilai-Nilai Pembangun Karakter: Permainan Tradisional Karetan/Pelencatan Suku Using di Banyuwangi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(2), 215-219. doi: 10.33087/jiubj.v19i2.593

Kemeny, T., Nathan, M., & O’Brien, D. (2020). Creative differences? Measuring creative economy employment in the United States and the UK. Regional Studies, 54(3), 377-387.

doi: 10.1080/00343404.2019.1625484

Madelan, S. (2020). Optimalisasi Ekspor Produk Ekonomi Kreatif Indonesia Menuju Peningkatan Dayasaing. Business Economic, Communication, and Social Sciences (BECOSS) Journal, 2(3), 273-284. doi: 10.21512/becossjournal.v2i3.6658

Mursidi, A., & Noviandari, H. (2021). Traditional Beliefs Seblang the Behavior of the Osing Society of Banyuwangi District East Java Province. Al-Qalam Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya, 27(1), 193-204. doi: 10.31969/alq.v27i1.921

Nurdiani, N., Hendarti, R., & Tedja, M. (2020). Physical Quality of Creative Economic Space on Cultural Tourism Areas in Java Island. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 452, 012057. doi: 10.1088/1755-1315/452/1/012057

Paramita, R. W. D., Rizal, N., & Taufiq, M. (2017). Kemiren: Potret Budaya Adat Osing.

Yogayakarta: Azyan Mitra Media.

Paramita, R. W. D., Rizal, N., & Taufiq, M. (2019). Kemiren 3: Pelestarian Budaya Di Luar Nalar. Lumajang: Widya Gama Press.

Paramita, R. W. D., Rizal, N., & Taufiq, M. (2020a). CSR Field of Culture: Preserving the Culture is not Enough with Dance Only. Paper presented at the Progress Conference, Lumajang.

Paramita, R. W. D., Rizal, N., & Taufiq, M. (2020b). Kemiren 4: Pelestarian Budaya Melalui Akuntansi Berkebudayaan. Lumajang: Widya Gama Press.

Paramita, R. W. D., Rizal, N., Taufiq, M., & Dimyati, M. (2018). Corporate Social Responsibility (CSR) Culture: Will Protecting Custom Culture Actor Osing in Banyuwangi. Paper presented at the The 2nd International Conference On Economics And Business, Jember.

Pratalaharja, E., & Dirgantoro, B. (2021). Re-Introducing Indonesian Traditional Games through an Interactive Multiplayer Table Game - Gobak Sodor. Journal of Game, Game Art and Gamification, 6(1), 27-31.

(9)

Priadi, A., Pasaribu, V. L. D., Virby, S., Sairin, S., & Wardani, W. G. (2020). Penguatan Ekonomi Kreatif Berbasis Sumber Daya Desa Dikelurahan Rempoa. Abdi Laksana, 1(3), 356-359.

doi: 10.32493/al-jpkm.v1i3.6870

Rosyadi, S., Haryanto, A., Kusuma, A. S., & Fitrah, E. (2020). The Role of Creative Economy in Promoting Sustainable Rural Development. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 389, 111-115. doi: 10.2991/icstcsd-19.2020.23

Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Sulistyan, R. B., & Paramita, R. W. D. (2021). Business Location Planning Assistance:

Preservation of Traditional Culture of Kampoeng Batara Banyuwangi. Empowerment Society, 4(1), 17-21. doi: 10.30741/eps.v4i1.634

Referensi

Dokumen terkait

Rowena Azada-Palacios is an Assistant Professor of Philosophy at Ateneo de Manila University, and a doctoral researcher at the UCL Institute of Education, University College