• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Penguatan Prinsip Transparansi Dalam Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan Minerba Guna Meminimalisir Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Penguatan Prinsip Transparansi Dalam Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan Minerba Guna Meminimalisir Korupsi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

557 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2023 01602 6 Indonesia

https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena

PENGUATAN PRINSIP TRANSPARANSI DALAM SENTRALISASI IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA GUNA

MEMINIMALISIR KORUPSI

Elsa Ardhilia Putri1, Ika Putri Rahayu2, Lailatul Komaria3, Franky Butar-Butar4 Universitas Airlangga

Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya Email : [email protected]

Disubmit: 11-02-2022 | Direview: 16-08-2022 | Diterima: 13-02-2023

Abstract

Amendment to Law on Mineral and Coal Mining makes the authority to issue Mining Business Permits (IUP) shifted from local governments, including governors and regents/mayors (decentralization), to the central government (centralization). The centralization of the IUP issuance gives full authority to the central government in issuing IUP. This normative research is carried out to determine the extent to which the principle of transparency is applied after the Minerba Law 3/2020. The results show that shifting the authority of IUP issuance from the regional government to the central government does not eliminate the threat of bribery corruption as it does not strengthen the principle of transparency. Whereas the principle of transparency is the key to minimizing corruption in mining permit bribes. The solution is reforming Mineral and Coal Mining regulations and strengthening the related institutions to uphold the principle of transparency in the rezime of IUP centralization.

Keywords: Centralization of Mineral and Coal Mining Permits; Corruption; Transparency.

Abstrak

Perubahan Undang-Undang Minerba membuat kewenangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang semula berada pada pemerintah daerah menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat (sentralisasi). Penelitian yuridis normatif ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana prinsip transparansi diaplikasikan pasca adanya UU Minerba 3/2020. Hasil menunjukkan bahwa dengan perubahan kewenangan penerbitan IUP dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat tidak menghapuskan ancaman praktik korupsi suap karena tidak turut diperkuatnya prinsip transparansi. Padahal, prinsip transparansi merupakan kunci untuk meminimalisir korupsi suap izin tambang. Adapun solusinya adalah melakukan pembenahan regulasi dan penguatan kelembagaan untuk memperkuat prinsip transparansi dalam sentralisasi IUP.

Kata kunci: Korupsi; Sentralisasi Izin Pertambangan Mineral dan Batubara; Transparansi.

1 Mahasiswa Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

2 Mahasiswa Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

3 Mahasiswa Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

4 Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

(2)

Pendahuluan

Pengelolaan usaha pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba 4/2009) dilaksanakan atas asas desentralisasi sebagai konsekuensi berlakunya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 32/2004) yang berlaku sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 23/2014). Hal ini berimplikasi pada pembagian kewenangan, mulai dari pemerintah tingkat kabupaten/kota, provinsi , hingga pemerintah pusat dalam memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan jenis dan wilayah izin pertambangannya.5 Salah satu bentuk izin dalam usaha pertambangan adalah IUP.6 Menurut Pasal 37 UU Minerba 4/2009, bupati/walikota, gubernur, dan menteri masing-masing memiliki kewenangan untuk menerbitkan IUP. Namun, kewenangan ini berubah dengan hadirnya UU Pemda 23/2014.

Menurut UU Pemda 23/2014, pemerintah kabupaten/kota sudah tidak berwenang menerbitkan IUP.7 Kewenangan tersebut telah berada pada pemerintah provinsi. Selanjutnya, kewenangan penerbitan IUP tersebut diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 3

5 Tabrani Diansyah et.al., “Implikasi Hukum Perubahan Kewenangan Urusan Pemerintahan terhadap Kewenangan Pemerintah Daerah Disektor Pertambangan”, Repertorium Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol. 8, No. 1, (Mei 2019): 21, diakses 16 Februari 2022, doi: http://dx.doi.org/10.28946/rpt.v8i1.309.

6 Pasal 35 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

7 Pasal 15 dan lihat Lampiran bagian urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sub urusan mineral dan batubara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

8 Hal ini ditandai dengan hapusnya Pasal 6 dan Pasal 7 dan diubahnya Pasal 35 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba 3/2020).8 Akibatnya, kewenangan untuk menerbitkan IUP tidak lagi dimiliki oleh pemerintah provinsi, namun menjadi kewenangan pemerintah pusat.

IUP sebagai instrumen yang berperan mengendalikan dan mengontrol aktivitas pertambangan. Eksistensi IUP sebagai instrumen pengendalian dan kontrol dalam aktivitas pertambangan sejatinya merupakan perwujudan dari pelaksaan hak menguasai negara melalui fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad). Sebagaimana diejawantahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 001-021-022/

PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, fungsi pengawasan sebagai salah satu perwujudan hak menguasai negara diselenggarakan oleh negara, c.q. Pemerintah guna mengawasi dan mengendalikan agar pelaksaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup rakyat akan benar-benar ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Hal ini tidak lain karena negara sebagai subjek dalam arti personifikasi penjelmaan dari seluruh rakyat sehingga peran negara dalam

(3)

melaksanakan fungsi pengawasan ditujukan agar hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yaitu pertambangan dapat dinikmati oleh rakyat sebagai pihak utama dalam memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan tersebut.9

Berikutnya, IUP juga berfungsi untuk mencegah agar aktivitas pertambangan tidak merugikan masyarakat dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang itu dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.10 Apalagi, mengingat efek dari aktivitas pertambangan yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi, lingkungan, dan gejolak sosial yang meresahkan, misalnya meningkatkan konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat sekitar pertambangan, berubahnya pola masyarakat dari yang semula adalah masyarakat agraris menjadi masyarakat tambang, dan rusak atau tercemarnya daerah di sekitar pertambangan,11 sehingga keberadaan IUP menjadi penting.

Betapa esensialnya fungsi perizinan dalam pertambangan, akan tetapi di satu sisi sangat disayangkan bahwa hingga dewasa ini masih marak terjadi praktik korupsi, khususnya dalam IUP mineral logam dan batubara, pada

9 Recca Ayu Hapsari, “Konkritisasi Prinsip Internasional Minimum Standard of Civilization dalam Konsep Penguasaan Pertambangan di Indonesia”, Arena Hukum, Vol. 11, No. 2, (Agustus 2018): 236, diakses 5 Januari 2023, doi: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2018.01002.2.

10 Nurul Listiyani, “Dampak Pertambangan terhadap Lingkungan Hidup di Kalimantan Selatan dan Implikasinya bagi Hak-Hak Warga Negara”, Al-Adl : Jurnal Hukum Vol. 9, No.1, (Januari-April 2017): 69, diakses 16 Februari 2022, doi: http://dx.doi.org/10.31602/al-adl.v9i1.803.

11 Franky Butar-Butar, ”Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan”, Yuridika Vol. 25, No. 2, (Mei-Agustus 2010): 153, diakses 05 Januari 2023, doi: https://doi.org/10.20473/ydk.v25i2.252.

12 Ahmad Khoirul Umam, dkk, Tantangan Integritas Bisnis Tambang di Indonesia (Jakarta: Universitas Paramadina, 2020), hlm. 31.

13 Ibid., hlm. 60.

14 Ayomi Amindoni, “Kasus Korupsi Gubernur Sultra Nur Alam menjadi ‘terobosan’ KPK Berantas Korupsi Sumber Daya Alam”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43554605, diakses 29 September 2021.

15 Ibid.

proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP.

Terkait maraknya praktik korupsi dalam perizinan pertambangan, sebelumnya ketika kewenangan penerbitan IUP terdesentralisasikan kepada pemerintah daerah menurut UU Minerba 4/2009 dan UU Pemda 23/2014, kepala daerah menjadi pihak yang sering menjadi target KPK terkait korupsi sektor Sumber Daya Alam (SDA), terutama perizinan tambang.12 Praktik korupsi IUP ini ditandai dengan ditemukannya sekitar 115 kasus yang melibatkan 326 orang menjadi tersangka korupsi SDA sepanjang tahun 2010- 2018, khususnya terkait IUP, perkebunan, dan kehutanan.13 Terlebih dalam proses penerbitan IUP Minerba yang memiliki potensi korupsi lebih tinggi. Salah satu kasus korupsi suap IUP minerba terjadi pada Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.14 Dalam putusan nomor 16/PID.TPK/2018/PT_DKI, Nur Alam terbukti telah merugikan keuangan negara sebesar 4,3 triliun karena menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan IUP.15 Selain kasus tersebut, Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur, juga diduga melakukan

(4)

suap penerbitan IUP16 yang mengakibatkan kerugian Rp 5,8 triliun.17 Adapun indikator lain terkait maraknya korupsi IUP di daerah dapat dinilai dari segi jumlah besarnya IUP yang bermasalah. Diketahui pada tahun 2014, terdapat 10.922 IUP yang diterbitkan.18 Namun, 4.880 izin tidak dinyatakan clean and clear (CnC) sebab persoalan perizinan, lingkungan, dan keberadaan lahan yang saling tumpang tindih.19

Menurut data jejak korupsi kepala daerah di 22 provinsi sejak tahun 2004- 2018, modus yang sering digunakan dalam praktik korupsi IUP adalah modus penyuapan, perizinan, penyalahgunaan kewenangan, dan gratifikasi.20 Praktik korupsi perizinan usaha pertambangan terjadi antara pelaku usaha pertambangan dengan oknum kepala daerah karena perizinan tambang acap kali digunakan sebagai alat politik bagi kepala daerah untuk mendapatkan dukungan dana dari pelaku usaha pertambangan guna membiayai kompetisi politik lokal (Pilkada) yang berbiaya politik tinggi.21

Selain maraknya praktik korupsi, perizinan

16 CNN Indonesia, “Jejak Suap Bupati Kotim yang Rugikan Negara Rp 5,8 Triliun” https://www.cnnindonesia.

com/nasional/20190207072914-12-367023/jejak-suap-bupati-kotim-yan g-rugikan-negara-rp58-triliun, diakses 28 September 2021.

17 Ibid.

18 M. Kholid Syeirazi, Resentralisasi Negara : Catatan Kritis atas UU No. 3/2020 tentang Minerba” dalam Ahmad Khoirul Umam (Eds), Kuasa Oligarki atas Minerba Indonesia? Analisis Pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba”, (Jakarta:Universitas Paramadina, 2021), hlm. 144.

19 Ibid.

20 Ibid.

21 Ibid., hlm. 29.

22 Hariadi, Niken, Maryati, “Kebijakan Pencegahan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Melalui Pendekatan Institusional dan Struktural”, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS Vol. 5, No. 2, (Maret: 2020): 396, diakses 16 Februari 2022, doi: : https://doi.org/10.32697/integritas.v5i2-2. 481.

23 Yustinus S. Hardjanto, “Jatam : Butuh Tiga Tahun untuk Dapatkan Data Tambang di Kutai Kartanegara https://

www.mongabay.co.id/2016/09/jatam-butuh-tiga-tahun-untuk-dapatkan-data-tambang-di-kutai-kartanegara/, diakses 06 September 2021.

usaha tambang juga jauh dari keterbukaan informasi kepada masyarakat.22 Pada faktanya, Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) pernah memohon keterbukaan informasi terkait data perizinan tambang kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada 17 Desember 2013.23 Namun, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara (Distamben Kukar) enggan membuka dokumen publik tersebut meskipun putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) telah menolak perlawanan Distamben Kukar.

Dokumen tersebut akhirnya baru diberikan pada 30 Agustus 2016, hampir 3 tahun sejak permohonan informasi publik diajukan oleh JATAM Kaltim. Kasus ini menunjukkan betapa sukarnya publik memperoleh data IUP dari badan atau pejabat yang berwenang.

Sejatinya, penelitian terkait permasalahan korupsi sumber daya alam khususnya pertambangan mineral dan batubara pernah diteliti oleh Hariadi Kartodihardjo, dkk, dalam tulisan yang berjudul “Kebijakan Pencegahan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Melalui

(5)

Pendekatan Institusional dan Struktural”.

Namun, maksud dari penelitian tersebut yaitu untuk mengenali persoalan korupsi sumber daya alam ditinjau dari konsep pengembangan analisis institusional atau Institutional Analysis Development (IAD) yang pada pembahasannya terdapat unsur-unsur penggunaan kekuasaan individu atau kelompok yang terlibat dalam tindakan korupsi.24 Adapun solusi yang ditawarkan ialah pendekatan institusional dan struktural dalam mengurai korupsi sumber daya alam melalui perbaikan tata kelola dan sinergi birokrasi yang didorong oleh KPK.

Kemudian, juga perlu melakukan perbaikan terhadap faktor-faktor institusional yang dapat mengarahkan insentif dan bentuk reformasi struktural yang ideal guna menciptakan perilaku anti korupsi.25 Sementara dalam penelitian penulis, permasalahan korupsi sumber daya alam ditinjau sebagai akibat dari lemahnya pengaturan terkait transparansi proses penerbitan izin pertambangan, baik ketika kewenangan penerbitan izin pertambangan ada pada pemerintah daerah menurut UU Minerba 4/2009 dan UU Pemda 23/2014, maupun pemerintah pusat menurut UU Minerba 3/2020 dan UU Cipta Kerja.

Dengan adanya perubahan regulasi dimana kewenangan penerbitan IUP minerba semakin tersentralisasi pada pemerintah pusat, maka persoalan yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah pertama, apakah penarikan kewenangan penerbitan IUP

24 Hariadi Kartodihardjo, dkk, Kebijakan Pencegahan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Melalui Pendekatan Institusional dan Struktural, Jurnal Antikorupsi Integritas Vol. 5, No. 2-2, (Maret 2020): 34, diakses 8 Juli 2022, doi: https://doi.org/10.32697/integritas.v5i2-2.481.

25 Ibid, hlm. 46.

Minerba pada pemerintah pusat menurut UU Minerba 3/2020 dapat meminimalisir ancaman praktik korupsi pada proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP? Kedua, bagaimana penguatan prinsip transparansi untuk mencegah korupsi suap pada sentralisasi Izin Usaha Pertambangan mineral logam dan batubara menurut UU Minerba 3/2020?

Adapun metode penelitian dalam menganalisis dan menjawab 2 (dua) rumusan masalah di atas yaitu menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan 2 (dua) jenis pendekatan, yaitu pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan peraturan perundang- undangan (statute approach). Penelitian ini juga ditunjang dengan data sekunder, yang bersumber dari bahan hukum primer yaitu regulasi dan kebijakan terkait dengan IUP dan korupsi serta bahan hukum sekunder yang terdiri dari jurnal, buku, makalah, berita, dan artikel terkait dengan hukum pertambangan, hukum korupsi, dan prinsip good governance.

Ketiga, bahan hukum tersier yaitu Black’s Law Dictionary. Bahan-bahan yang telah diperoleh berdasarkan hasil penelitian dengan data sekunder dihimpun secara sistematis lalu dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga dapat menjawab rumusan masalah secara komprehensif serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan di dalam penelitian ini.

(6)

Pembahasan

A. Analisis Ancaman Korupsi dalam Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara (IUP Minerba)

Usaha pertambangan menurut UU Minerba 4/2009 dilaksanakan berdasarkan 3 (tiga) bentuk izin usaha, meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).26 Sehubungan dengan IUP, maka IUP adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan. Usaha pertambangan merupakan kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapankegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.27 Akan tetapi, apabila mengacu pada UU Minerba 3/2020, usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari pemerintah pusat.28 Di dalam perizinan berusaha tersebut, terdapat pemberian nomor induk berusaha, sertifikat

26 Pasal 35 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

27 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

28 Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

29 Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

30 Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

31 Pasal 34 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

32 Diana Yusyanti, “Aspek Perizinan Dibidang Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era Otonomi Daerah”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 16, No. 3, (September 2016): 319, diakses 16 Februari 2022, doi: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2016.V16.309-321.

33 Black’s Law Dictionary, “Corruption”, https://thelawdictionary.org/corruption/, diakses 13 September 2021.

standar, dan/atau izin.29 Izin yang dimaksud tersebut salah satunya adalah IUP. Sejatinya, usaha pertambangan terdiri dari pertambangan mineral dan batubara.30 Pertambangan mineral terdiri atas pertambangan mineral radioaktif, mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan.31

UU Minerba 4/2009 merupakan pengaturan pertambangan minerba yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, termasuk gubernur dan bupati/

walikota dalam menerbitkan IUP. Namun, implementasi dari peraturan tersebut dari tahun ke tahun mengalami problematika lantaran maraknya praktik korupsi yang dilakukan pemerintah daerah dalam menerbitkan IUP.32 Korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan oleh pejabat atau orang fidusia yang secara melawan hukum dan menyalahgunakan jabatan atau karakternya guna memperoleh keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain yang bertentangan dengan kewajiban dan hak orang lainnya.33 Korupsi dapat terjadi ketika seseorang mendapatkan kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan seperti menentukan arah kebijakan organisasi atau

(7)

menentukan hajat hidup orang lain.34 Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menegaskan setidaknya terdapat 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi (tipikor), yakni berupa kelompok delik yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, penyuapan (aktif maupun pasif), penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.35

Sehubungan dengan penelitian ini, bentuk korupsi IUP yang rawan dilakukan oleh oknum pemerintah bahkan termasuk pengusaha tambang adalah praktik suap.

Penyuapan merupakan tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum.36 K. Wantjik Saleh berpendapat bahwa tindakan suap merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma sosial, agama dan moral.37

UU Tipikor mendefinisikan tindak pidana suap menjadi dua pengertian yang ditinjau dari subyek hukum yang melakukan suap.

34 Jawade Hafidz, Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), cet. 2, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013), hlm. 112.

35 Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Memahami untuk Membasmi Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2006), hlm. 17.

36 Black’s Law Dictionary, “Bribery”, https://thelawdictionary.org/bribery/, diakses 13 September 2021.

37 K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm.28.

38 Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor, yaitu :

setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dikenai pidana.38 Dengan demikian, makna suap dalam UU Tipikor yakni tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan memberi sesuatu kepada pegawai negeri untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melawan hukum atas kewenangan yang dimilikinya.

Masifnya korupsi suap perizinan tambang tidak terlepas dari faktor lemahnya transparansi pada proses penerbitan IUP.

Padahal, transparansi menjadi salah satu asas dalam Pasal 2 UU Minerba 4/2009. Dalam konteks pencegahan korupsi, transparansi memungkinkan berbagai pemangku kepentingan memiliki akses terhadap upaya pengendalian penambangan, termasuk

(8)

kepentingan masyarakat dalam mengontrol dan mengawasi proses penerbitan IUP.39 Tanpa adanya transparansi, maka pejabat penerbit izin tambang dan pemohon izin tambang berisiko melakukan korupsi suap guna mendapatkan kemudahan dalam proses perizinan tambang.40 Adapun bagi pejabat penerbit izin tambang, dengan adanya suap tersebut maka ia mendapatkan suntikan dana untuk kepentingan pribadi maupun politik.

Berdasarkan penelitian Transparency International Indonesia pada 2017, proses penentuan wilayah pertambangan, pelelangan, hingga pemberian izin pada penerbitan IUP Minerba tidak transparan, jauh dari partisipasi publik dan akses masyarakat untuk mengetahui apayang sedang terjadi.41 Selanjutnya, menurut evaluasi yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2018 yang dikemas dalam bentuk nota sintesis diterangkan bahwa korupsi SDA yang terus berkelanjutan diukur dari aspek struktural, misalnya kekuatan “pseudo-legal

(di luar negara) yang dapat memaksa negara guna melayani kepentingan perseorangan, grup dan komunitas tertentu dengan melupakan

39 Devi Triady Bachruddin dan Dewi Saraswati, “Pengelolaan Tambang Batubara di Kalimantan Timur : Tinjauan Kebijakan Publik”, Monas : Jurnal Inovasi Aparatur Vol. 3, No 2, (November 2021): 347, diakses 17 Februari 2022, doi: https://doi.org/10.54849/monas.v3i2.89.

40 Rozidateno, Bimbi, Fachrur, “Strategi Eliminasi Praktik Korupsi pada Pelayanan Perizinan dan Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal”, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS Vol. 6 No. 2, (Juni 2021): 302, diakses 16 Februari 2022, doi: https://doi.org/10.32697/integritas.v6i2.690.

41 Transparency International Indonesia, Penilaian Risiko Korupsi dalam Pemberian IUP di Indonesia, (Jakarta:

Transparency International Indonesia, 2017), hlm. 26-27.

42 Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam 2018, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2018), hlm. 4-5.

43 Ahmad Suhaimi, Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara, (Surabaya, Grammatical Publishing, 2016), hlm. 153.

44 Indrawati dan Franky Butar Butar, “Penerimaan Negara Sektor Pajak di Bidang Pertambangan”, Jurnal Yuridika Vol. 23 No. 2, (Mei 2008): 3, diakses 05 Januari 2023.

kepentingan publik padahal berdasarkan kacamata konstitusional lebih berhak atas pemanfaatan SDA.42

Padahal, pada hakikatnya, jika merujuk kembali pada teori Public Trust Doctrine (PTD), sumber daya alam sejatinya tidak dapat dimonopoli oleh entitas privat, namun justru mewajibkan negara sebagai trustee atau wali amanat, untuk mengelola sumber daya alam guna kepentingan turunan, baik saat ini maupun di masa depan.43 Agar sumber daya alam tidak mudah dikooptasi oleh kepentingan privat, negara melalui instrumen perizinan seharusnya mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam oleh entitas privat.

Namun demikian, tidak terdapat ketentuan yang konkrit terkait batasan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam oleh negara.44 Meskipun telah diatur dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 dan diatur secara sporadik dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Pasal 4 UU Minerba 4/2009 juga tidak menunjukkan adanya batasan tersebut.

Negara mendelegasikan fungsinya tersebut melalui pejabat pemerintahan

(9)

dengan memberikan atribusi kewenangan kepada pejabat pemerintahan tersebut untuk memberikan izin bagi entitas privat yang hendak mengelola atau memanfaatkan sumber daya alam. Oleh karenanya, agar fungsi pengendalian perizinan berjalan sesuai dengan marwahnya, maka tidak seharusnya pemerintah dengan mudah mereduksi fungsi perizinan sebagai dasar kebutuhan administrasi pemanfaatan atau pengusahaan sumber daya alam semata.45 Apalagi pejabat pemerintahan yang memiliki hak dalam mengeluarkan izin memberikan kesempatan istimewa bagi perusahaan untuk mendapatkan izin dalam pengelolaan sumber daya alam melalui upaya yang tak sesuai dengan prosedur yang selayaknya menurut ketentuan perundang- undangan. Hal tersebut dapat mengindikasikan adanya praktik korupsi suap dalam perizinan pengelolaan sumber daya alam.

Praktik perselingkuhan kepentingan antara pejabat penerbit izin pengelolaan sumber daya alam dengan perusahaan pemohon izin juga kerap ditemui pada bagian pertambangan mineral dan batubara. Sehubungan dengan adanya praktik perselingkuhan kepentingan dalam penerbitan izin pertambangan, maka diperlukan adanya keterbukaan informasi publik atau transparansi dalam proses penerbitan izin pertambangan.46 Transparansi dalam proses penerbitan izin pertambangan ini ditujukan agar proses penerbitan IUP mendapatkan pengawasan langsung dari masyarakat dan mewujudkan asas

45 Hariadi Kartodihardjo, dkk, Loc. Cit, h. 38.

46 Umam, Tantangan Integritas Bisnis Tambang di Indonesia, hlm. 12-13.

transparansi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf c UU Minerba 4/2009. Degan menguatnya pengawasan oleh masyarakat melalui penegakan prinsip transparansi dalam penerbitan IUP inilah yang kemudian dapat menekan celah ancaman korupsi dalam perizinan tambang.

Selanjutnya, kewenangan penerbitan IUP oleh pemerintah daerah, khususnya IUP Minerba menurut UU Minerba 4/2009 dan UU Pemda 23/2014 kini berubah menjadi kewenangan pemerintah pusat menurut UU Minerba 3/2020. Perubahan kewenangan penerbitan IUP minerba ditujukan dari, pertama, UU Minerba 4/2009 pada Pasal 4 ayat (2) menerangkan penguasaan minerba di tangan negara dikelola oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Ketentuan ini berimplikasi terhadap adanya pembagian kewenangan penerbitan IUP oleh menteri, gubernur, dan bupati/walikota berdasarkan kewenangannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 37 UU Minerba 4/2009. Kedua, dalam UU Pemda 23/2014, dimana pertambangan yang merupakan urusan pemerintahan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menurut Pasal 14 ayat (1) UU Pemda 23/2014 dikelompokkan menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Hal tersebut pun selaras dengan ketentuan Pasal 15 UU Pemda 23/2014, yang menerangkan tentang pemetaan kegiatan pemerintahan konkuren. Antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi. Pada Lampiran

(10)

UU Pemda 23/2014, kegiatan pemerintahan bidang ESDM, khususnya sub urusan Mineral dan Batubara, ditunjukkan bahwa sudah tidak ada wewenang terhadap daerah kabupaten/

kota dalam menerbitkan IUP. Hal tersebut karena telah dialihkan kepada pemerintah provinsi.

Terakhir, dengan disahkannya UU Minerba 3/2020, terdapat perubahan pada Pasal 4 ayat (2) terkait penguasaan yang berada di negara ini pelaksanaannya akan diserahkan kepada pemerintah pusat. Lalu, juga terdapat penghapusan Pasal 7 dan 8 UU Minerba 3/2020 terkait kewenangan gubernur dan bupati/walikota dalam penerbitan IUP sebagai konsekuensi penerbitan IUP yang terpusat.

Adapun menurut Pasal 35 ayat (4) UU Minerba 3/2020 dijelaskan bahwasannya pemerintah pusat berhak mendelegasikan kewenangannya kepada pemerintah daerah provinsi terkait pemberian perizinan berusaha. Namun, pendelegasian tersebut hanya terbatas pada bentuk IPR dan SIPB yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah. Permasalahan utama dalam rezim desentralisasi kewenangan penerbitan IUP, khususnya pada IUP mineral logam dan batubara adalah maraknya praktik korupsi suap dalam proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP. Dengan hadirnya sentralisasi kewenangan penerbitan IUP, maka menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut relevansi sentralisasi kewenangan penerbitan IUP dengan ancaman korupsi IUP dalam proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP.

Guna meminimalisir suap korupsi IUP, maka penguatan prinsip transparansi dalam proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP sangatlah esensial. Namun, sentralisasi kewenangan penerbitan IUP kini tidak diiringi dengan ketentuan-ketentuan baru yang memperkuat prinsip transparansi pada proses penerbitan IUP sehingga sentralisasi izin tidak akan memiliki kontribusi dalam upaya mengurangi ancaman praktik korupsi suap dalam IUP. Tidak dilakukannya penguatan prinsip transparansi hanya akan mengubah tempat terjadinya lobi-lobi politik yang berakibat terjadinya suap IUP dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Absennya penguatan prinsip transparansi dalam sentralisasi IUP mineral logam dan batubara pada setiap prosesnya terurai sebagai berikut.

1. Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) merupakan landasan dalam menetapkan objek WIUP yang digunakan pada pelaksanaan lelang sebagai tahap memperoleh IUP. Reformasi regulasi minerba yang mensentralisasikan kewenangan penerbitan IUP nyatanya masih belum menunjukan penguatan prinsip transparansi pada tahap penetapan WIUP. Hal ini tercermin ketika data dan informasi terkait proses penetapan WIUP hanya dapat diakses oleh pemerintah saja. Masyarakat tidak dapat mengakses data dan informasi terkait proses hingga penetapan WIUP serta tidak dilibatkan

(11)

dalam proses penetapan WIUP tersebut. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:

a. Desentralisasi

Pada sistem desentralisasi, terdapat 4 (empat) regulasi terkait penetapan WIUP.

Namun, keempat peraturan tersebut tidak menerapkan prinsip transparansi pada proses hingga penetapan WIUP. Pertama, UU Minerba 4/2009 hanya menjelaskan kewenangan pemerintah terkait dengan penetapan luas dan batas WIUP minerba. Kedua, Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (PP 22/2010) hanya menjelaskan kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan WIUP.

Ketiga, pada Bab II Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Permen ESDM 7/2020) tidak terdapat aspek transparansi kepada masyarakat, namun hanya menjelaskan secara umum kewenangan dan proses hingga penetapan WIUP. Keempat, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 24 K/30/MEM/2019 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1798 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyiapan, Penetapan, dan Pemberian Wilayah Izin

47 Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

48 Makna ditutup dalam hal ini hanya kalangan pemerintah saja yang dapat mengetahui dan mengakses informasi proses penetapan WIUP, meliputi Gubernur, Direktur Jenderal, Badan Geologi/Badan Litbang ESDM, Menteri ESDM, dan instansi lain.

49 Mongabay, “Perjuangan Berhasil, Kementerian ESDM Harus Cabut Keputusan Wilayah Izin Tambang Blok Silo”, https://www.mongabay.co.id/2019/01/11/perjuangan-berhasil-kementerian-esdm-harus-cabut-kepu tusan-wilayah-izin-tambang-blok-silo/, diakses 25 September 2021.

Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Mineral dan Batubara (Kepmen ESDM 24 K/30/MEM/2019) juga tidak terdapat transparansi data dan informasi proses penetapan WIUP serta tidak mengakomodir keterlibatan masyarakat.

b. Sentralisasi

Lahirnya UU Minerba 3/2020 yang seharusnya menjadi solusi pada regulasi sebelumnya ternyata tidak mengatur transparansi proses penetapan WIUP. Artinya, UU Minerba 3/2020 masih sama dengan regulasi pada sistem desentralisasi yang hanya menjelaskan pertimbangan dalam menetapkan WIUP.47 Dengan demikian, dapat disimpulkan regulasi minerba terkait proses penetapan WIUP benar-benar tertutup.48

Jauhnya proses penetapan WIUP dari transparansi dan pelibatan masyarakat menyebabkan tahapan ini berpotensi menjadi celah bagi adanya praktik suap dan penyalahgunaan wewenang dalam tahap penetapan WIUP. Misalnya, pada kasus Blok Silo yang ditetapkan menjadi WIUP terkuak bahwa terdapat kecacatan formil karena tidak adanya prosedur rekomendasi dan persetujuan dari bupati.49 Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana suatu wilayah dapat berhasil ditetapkan menjadi WIUP ketika terdapat kecacatan formil di dalam proses

(12)

tersebut? Terhadap permasalahan tersebut, pada akhirnya terdapat 2 (dua) kemungkinan yang terjadi, yakni kecacatan formil tersebut murni merupakan bentuk maladministrasi atau justru disebabkan oleh adanya praktik korupsi di dalamnya.50

2. Lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)

Dalam proses pemberian WIUP mineral logam dan batubara, calon pemegang IUP perlu melalui proses lelang WIUP.51 Namun, pada rezim desentralisasi IUP dalam UU Minerba 4/2009 beserta aturan-aturan turunannya, masih terdapat kendala pada proses pelelangan WIUP, yakni ketidakjelasan dan ketidakruntutan dalam alur prosedur lelang WIUP. Meskipun demikian, setelah terbitnya Kepmen ESDM 1798/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyiapan, Penetapan, dan Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Mineral dan Batubara yang telah diubah oleh Kepmen ESDM 24 K/30/MEM/2019, alur prosedur lelang WIUP menjadi jelas dan runtut.

Proses pelaksanaan lelang terbagi menjadi 2 (dua) fase, yaitu fase prakualifikasi dan fase kualifikasi. Fase prakualifikasi dilakukan

50 Budi Suharyanto, “Persinggungan Kewenangan Mengadili Penyalahgunaan Diskresi Antara Pengadilan TUN dan Pengadilan Tipikor”, Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 7, No. 2, (Juli 2018): 227-228, diakses 16 Februari 2022, doi: http://dx.doi.org/10.25216/jhp.7.2.2018.213-216.

51 Pasal 51 dan 60 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

52 Salim H.S., Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 122.

53 Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

54 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 24 K/30/MEM/2019 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1798 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyiapan, Penetapan, dan Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Mineral dan Batubara.

karena tidak semua calon peserta lelang dapat mengikuti lelang.52 Calon peserta lelang yang mengikuti tahap ini diwajibkan untuk melengkapi kualifikasi administratif, teknis, dan finansial.53 Panitia lelang kemudian melakukan proses evaluasi dokumen prakualifikasi lelang untuk memastikan keabsahannya. Setelah itu, panitia lelang mengeluarkan berita acara yang mencakup list peserta lelang yang berhasil menyelesaikan dan memenuhi fase prakualifikasi, hasil evaluasi persyaratan administratif dan finansial, serta hasil penilaian pembobotan persyaratan teknis. Daftar peserta lelang tersebut nantinya akan diumumkan melalui website Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal, dan/atau pemerintah provinsi.54

Namun, berita acara evaluasi prakualifikasi dokumen lelang hanya dipublikasikan kepada peserta lelang saja, tidak kepada masyarakat.

Sekalipun berita acara evaluasi prakualifikasi dokumen lelang hanya dipublikasikan kepada peserta lelang, berita acara evaluasi tersebut tidak disertai dokumen persyaratan administratif, teknis, dan finansial yang diajukan oleh calon peserta lelang sebelumnya sehingga peserta lelang tidak mendapat data dan informasi secara menyeluruh terkait

(13)

kesesuaian dalam proses lelang tersebut.

Menurut penulis, baik berita acara evaluasi prakualifikasi lelang maupun dokumen- dokumen persyaratan tersebut seharusnya dipublikasikan secara menyeluruh kepada para peserta lelang serta masyarakat. Hal tersebut dianggap penting agar masyarakat dan peserta lelang dapat mengetahui apakah terdapat manipulasi data-data dari calon peserta lelang. Jika terdapat ketidaksesuaian dokumen prakualifikasi lelang dan diikuti dengan lolosnya calon peserta lelang, maka sangat besar terindikasi konflik kepentingan antara pemohon izin tambang dengan pejabat penerbit izin tambang, termasuk dapat diduganya praktik suap pada proses pengajuan dokumen persyaratan.

Kemudian, pasca diundangkannya UU Minerba 3/2020 beserta Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan (PP Minerba 96/2021), ketentuan terkait pelaksanaan lelang WIUP mengalami perubahan. Dokumen persyaratan pada tahap prakualifikasi masih tetap terdiri dari 3 (tiga) syarat, tetapi terdapat ketentuan baru yaitu persyaratan pengelolaan lingkungan yang terintegrasikan dengan persyaratan teknis. Persyaratan tersebut pun saat ini meliputi tahap administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, serta finansial.55 Kemudian, prosedur lelang secara ringkas

55 Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.

56 Pratama Guitarra, “Kewajiban Sertifikasi CnC bagi IUP akan dihilangkan” https://industri-kontan-co-id/

news/kewajiban-sertifikasi-cnc-bagi-iup-akan-dihilangkan?, diakses 24 September 2021.

57 Umam, dkk,op.cit., hlm. 30.

58 Ibid.

59 Renita Kushartiningsih, “Pengaruh Akuntabilitas, Transparansi dan Pengawasan terhadap Kinerja Pelayanan Publik”, Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol. 10, No. 03, (Maret 2021): 3.

diatur menjadi 2 (dua) fase yaitu tahap prakualifikasi dan tahap kualifikasi. Meskipun secara umum ketentuan tersebut hampir sama dengan ketentuan sebelumnya, tetapi ketentuan prosedur lelang yang baru belum menjawab kebutuhan transparansi pada skema prosedur lelang tahapprakualifikasi pada era desentralisasi, baik kepada peserta lelang maupun masyarakat.

3. Penerbitan IUP

Saat kewenangan penerbitan perizinan pertambangan masih berada di pemerintah daerah, setidaknya terdapat sekitar 10.000 IUP yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah.56 Namun, sekitar 4000 IUP diantaranya ternyata tidak memenuhi kategori Clean and Clear (CnC) sebab IUP yang diterbitkan tidak dapat melengkapi segala aspek administrasi, kewilayahan, hingga kajian analisis dampak lingkungan.57 Bahkan, banyak oknum kepala daerah, politisi, dan korporasi berkolaborasi untuk membuat IUP yang terlihat sesuai prosedur padahal digunakan untuk mengeksploitasi lingkungan kawasan hutan.58 Problema-problema tersebut kemudian memunculkan urgensi untuk memperkuat pengawasan publik dalam proses penerbitan IUP. Pengawasan publik dapat terjadi ketika dibuka ruang transparansi atas dokumen IUP dari pejabat penerbit izin tambang ke masyarakat.59 Dokumen-dokumen

(14)

IUP yang dimaksudkan di sini adalah dokumen substansial yang wajib dipenuhi baik secara administratif, teknis, lingkungan, dan finansial serta dokumen IUP itu sendiri.

Namun, sejak rezim desentralisasi hingga sentralisasi kewenangan penerbitan IUP saat ini, penguatan transparansi dokumen IUP tidak kunjung diakomodir.

Sejatinya, sejak rezim desentralisasi IUP, telah terdapat kewajiban bagi pemerintah daerah dan/atau pemerintah pusat untuk membagikan IUP kepada masyarakat secara terbuka sebagai bentuk transparansi menurut Pasal 64 UU Minerba 4/2009.

Namun, mekanisme keterbukaan dokumen IUP tersebut tidak dijelaskan secara rinci, baik dalam UU Minerba 4/2009 maupun PP 23/2010. Selanjutnya, pada rezim sentralisasi IUP, ketentuan Pasal 64 UU Minerba 4/2009 tetap dipertahankan dalam UU Minerba 3/2020 dan UU Cipta Kerja.60Akan tetapi, mekanisme keterbukaan dokumen IUP ternyata juga tidak dijelaskan lebih lanjut, baik dalam UU Minerba 3/2020, UU Cipta Kerja, maupun PP 96/2021.

Selama ini, pelaksanaan keterbukaan dokumen IUP mengacu pada pengaturan umum (lex generalis) tentang keterbukaan informasi publik menurut UU KIP 14/2008. Tidak adanya ketentuan yang mengatur lebih rinci terkait mekanisme keterbukaan dokumen IUP menyebabkan beragamnya interpretasi bentuk dan mekanisme keterbukaan IUP. Hal ini

60 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

61 Pay What You Publish Indonesia, “Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Tambang NTB”, https://pwypindonesia.org/id/meningkatkan-transparansi-dan-akuntabilitas- tata-kelola-tambang-ntb/, diakses 27 September 2021.

juga mengakibatkan terjadinya saling lempar tanggung jawab antara organisasi perangkat daerah dalam membuka dokumen IUP.

Sebagai contoh, menurut Johan Rahmatulloh, peneliti Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) NTB, ditemukan adanya inkonsistensi organisasi perangkat daerah di NTB dalam pelaksanaan keterbukaan IUP. Bahkan, organisasi-organisasi perangkat daerah tersebut cenderung saling lempar tanggung jawab dalam penyediaan informasi.61

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka sentralisasi kewenangan pertambangan saat ini tidak diiringi adanya penguatan prinsip transparansi dokumen IUP. Hal ini karena penjelasan maupun pengaturan lebih lanjut tentang bentuk dan mekanisme keterbukaan dokumen IUP tidak diakomodir dalam regulasi sentralisasi IUP (UU Minerba 3/2020, UU Cipta Kerja, dan aturan turunannya). P a d a akhirnya, atas dasar pemaparan ketiga poin di atas, dapat disimpulkan bahwa sentralisasi kewenangan penerbitan IUP ternyata tidak terdapat penguatan prinsip transparansi dalam regulasi yang mengatur sentralisasi kewenangan penerbitan IUP tersebut (UU Minerba 3/2020, UU Cipta Kerja, dan peraturan turunannya). Hal ini menyebabkan sentralisasi kewenangan penerbitan izin tambang tidak mampu menjawab akar masalah korupsi karena kunci dari peminimalisiran praktik korupsi IUP ialah dengan memperkuat transparansi dalam proses pemberian izin

(15)

tambang.

B. Penguatan Prinsip Transparansi dalam Sistem Sentralisasi IUP

Menurut Sjahruddin Rasul, penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance) adalah kunci untuk mencegah dan memberantas korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.62 Beberapa prinsip good governance menurut United Nations Development Programme (UNDP) adalah partisipasi, kepastian hukum, transparansi, tanggung jawab, berorientasi pada kesepakatan, keadilan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategik.63

Transparansi berasal dari kata transparent dalam bahasa Inggris yang memiliki arti jelas, nyata, dan bersifat terbuka.64 Transparansi, menurut Badan Perencanaan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap orang memiliki akses bebas ke informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,

62 Rasul, Sjahruddin, “Penerapan Good Governance di Indonesia dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi”, Mimbar Hukum Vol. 21, No. 3, (Oktober 2009): 540, diakses 1 November 2021, doi : https://doi.

org/10.22146/jmh.16276.

63 Darmanerus Duarmas, et al., “Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik di Kantor Camat Kormomolin Kabupaten Maluku Tenggara Barat”, Jurnal Administrasi Publik Vol. 1, No.37, (2016): 1-9.

64 Tomi Viktoria, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Pendidikan di SMK Muhammadiyah Prambanan, Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2014), hlm. 29.

65 Badan Perencanaan Nasional & Departemen Dalam Negeri, Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, (Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri, 2002), hlm. 18.

66 Mardiasmo, “Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah: Implementasi Value for Money Audit Sebagai Antisipasi Terhadap Tuntutan Akuntabilitas Publik”, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Vol. 4, No. 1, (Juni 2000) dalam Aries Iswahyudi, dkk, “Hubungan Pemahaman Akuntabilitas, Transparansi, Partisipasi, Value for Money dan Good Governance”, Jurnal Ilmiah Akuntansi Vol. 1, No. 2, (Desember 2016): 158, diakses 10 Oktober 2021, doi: http://dx.doi.org/10.23887/jia.v1i2.999.

67 United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, “Good Governance”, https://

www.unescap.org/sites/default/files/good-governance.pdf, diakses 15 October 2021.

68 Ibid.

69 Ibid.

termasuk kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil yang dicapai.65 Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan pemerintah dalam memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan informasi tentang bagaimana pemerintah mengelola sumber daya publik.66

Dalam kerangka good governance, UNESCAP memberi pengertian prinsip transparansi sebagai pengambilan keputusan dan penegakannya yang dilakukan dengan cara mengikuti prosedur dan regulasi.67 Hal ini juga berarti bahwa informasi terkait pengambilan keputusan tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan terpengaruh oleh keputusan tersebut.68 Informasi yang disediakan haruslah memadai dan disajikan dalam bentuk dan media yang mudah dipahami dan senantiasa dapat dimonitor.69 Transparansi dapat dilihat dari berbagai sisi dimana keterbukaan informasi berarti bukan hanya pemerintah saja yang mengetahui seluk beluk pelaksanaan program

(16)

atau kebijakan yang diambil, melainkan masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang terbuka, mudah dijangkau, bebas diperoleh, dan tepat waktu.70

Loina Lalolo Krina P. mendefinisikan indikator dari prinsip transparansi sebagai berikut:71

1. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua proses pelayanan publik;

2. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan proses pelayanan publik;

3. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan, penyebaran informasi, dan penyimpangan tindakan aparat publik dalam kegiatan melayani.

Menurut Pasal 14 huruf h UU KIP 14/2008, transparansi didefinisikan sebagai keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan pengenalan informasi materiil dan relevan tentang perusahaan.

Terkait dengan pertambangan mineral dan/atau batubara, sesuai Pasal 2 UU Minerba 4/2009, transparansi menjadi salah satu asas dalam pengelolaan pertambangan minerba. Pasal 64 UU Minerba 4/2009 menegaskan prinsip transparansi dan mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang mereka untuk mengumumkan rencana kegiatan usaha

70 Darmanerus Duarmas, et. al., Op. Cit., hlm. 3.

71 Loina Lalolo Krina P, Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi Partisipasi disampaikan kepada Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, (Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, 2003), hlm. 15.

72 Maryati Abdullah, “Transparansi Tata Kelola Pertambangan”, Majalah Tambang Edisi IX (Agustus 2014):

48.

pertambangan di WIUP serta memberikan IUP kepada masyarakat secara terbuka.

Mengutip pendapat Maryati Abdullah, hal yang perlu diperhatikan guna menunjang transparansi perizinan tambang adalah sebagai berikut :72

a. mekanisme pemberian kontrak/perizinan, baik melalui lelang/pemberian izin, seharusnya berjalan secara terbuka dan transparan, tidak cukup dilakukan melalui proses yang kompetitif dan jujur, tetapi harus pula memperhatikan hak-hak masyarakat;

b. hak warga atas informasi yang terdapat di dalam kontrak/perizinan bukan sekadar informasi mengenai area atau batas-batas wilayah perizinan tambang, tetapi juga mengenai identifikasi kepemilikan serta segala hak dan kewajiban yang tertera di dalam perizinan.

Dalam rangka meminimalisir ancaman korupsi pada sentralisasi IUP mineral logam dan batubara, maka pelaksanaan prinsip transparansi pada proses penerbitan IUP diperkuat dengan cara sebagai berikut:

1. Pembenahan Regulasi Mineral dan Batubara

Pembenahan regulasi dilakukan untuk membuka ruang transparansi dalam setiap proses penerbitan IUP mineral logam dan batubara. Pembenahan regulasi dilakukan

(17)

dengan merevisi UU Minerba 3/2020.

Substansi pengaturan norma yang perlu ditambahkan adalah Menteri berkewajiban untuk mempublikasikan dokumen-dokumen dalam proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP. Pertama, dalam proses penetapan WIUP setidaknya dokumen-dokumen pada setiap tahapannya mulai dari usulan penetapan WIUP hingga penetapan WIUP sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Kepmen ESDM 24 K/30/

MEM/2019 harus disampaikan kepada publik.

Kedua, dokumen yang perlu ditransparansikan untuk proses lelang WIUP sesuai dengan persyaratan PP 96/2021, yaitu: dokumen persyaratan administratif, teknis, dan pengelolaan lingkungan dan finansial selama tahap prakualifikasi lelang (Pasal 22), hasil evaluasi terhadap penawaran harga lelang WIUP Mineral Logam atau Batubara (Pasal 23), dan Ketetapan Menteri tentang pemenang

lelang WIUP Mineral Logam atau Batubara (Pasal 25). Ketiga, dalam proses pemberian IUP, dokumen yang perlu ditransparansikan untuk meminimalisir ancaman IUP ialah persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial perusahaan yang akan memperoleh IUP sebagaimana diatur dalam Pasal 32 hingga Pasal 35 PP Minerba 96/2021, dokumen persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial perusahaan yang mengajukan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi berdasarkan Pasal 37 hingga Pasal 40 PP Minerba 96/2021, serta dokumen persetujuan Menteri terhadap permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana diatur dalam Pasal 41 PP Minerba 96/2021. Dengan itu, dokumen-dokumen yang perlu dipublikasikan tersebut akan dituangkan ke dalam sebuah tabel, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Dokumen yang Perlu Ditransparansikan dalam Penerbitan IUP

Proses Dokumen

Penetapan WIUP

a. surat usulan penetapan WIUP beserta lampiran kelengkapan persyaratan;

b. hasil evaluasi kewilayahan dan kelengkapan data dan informasi geologi;

c. surat rekomendasi atas hasil evaluasi teknis,

d. surat rekomendasi/penolakan atas hasil verifikasi tata ruang;

e. surat penolakan usulan WIUP;

f. surat koordinasi dan permintaan rekomendasi/persetujuan usulan WIUP;

g. surat rekomendasi/persetujuan/penolakan usulan WIUP;

(18)

Lanjutan Tabel 1. Dokumen yang Perlu Ditransparansikan dalam Penerbitan IUP

Proses Dokumen

Penetapan WIUP

h. berita acara pembahasan yang memuat lokasi WIUP, luas dan batas WIUP, dan harga KDI (Kompensasi Data Informasi);

i. surat penyampaian konsep penetapan WIUP;

j. rancangan Keputusan Menteri mengenai Penetapan WIUP; dan k. Keputusan Menteri mengenai penetapan WIUP.

Lelang WIUP a. dokumen persyaratan administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, dan finansial dalam tahap prakualifikasi lelang;

b. hasil evaluasi terhadap penawaran harga lelang WIUP Mineral logam atau Batubara;

c. Ketetapan Menteri tentang pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara.

Pemberian IUP a. persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial perusahaan yang akan memperoleh IUP;

b. persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial perusahaan yang mengajukan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi; dan

c. persetujuan Menteri terhadap permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi.

Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis

Menteri wajib mempublikasikan dokumen-dokumen tersebut sebab dokumen- dokumen termasuk informasi publik yang wajib tersedia setiap saat karena termasuk kaegori “hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya” dan “seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya”

sebagaimana yang diejawantahkan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dan c UU KIP 14/2008. Kategorisasi ini selaras dengan Pasal 21 ayat (1) huruf f Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik yang mengatur

bahwa informasi publik harus diberikan oleh badan publik setiap saat. Informasi ini harus mencakup persyaratan perizinan, izin yang diterbitkan atau dikeluarkan bersama dengan dokumen pendukungnya, dan laporan penataan izin yang diberikan.

Kemudian,pengaturan norma baru di atas sebagai perwujudan dari prinsip transparansi akan menjamin proses keterbukaan data dan informasi dalam proses penerbitan IUP mineral logam dan batu bara bagi masyarakat sehingga akan mendorong terjadinya partisipasi masyarakat. Dengan itu, penguatan prinsip

(19)

transparansi untuk mencegah korupsi suap pada sentralisasi IUP mineral logam dan batu bara juga perlu diiringi dengan diadakannya sarana partisipasi masyarakat.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dijelaskan bahwa untuk menghasilkan keterlibatan publik yang sungguh-sungguh, partisipasi masyarakat harus dilakukan dengan cara yang bermakna.

Partisipasi yang bermakna memenuhi setidaknya tiga persyaratan, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard);

hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya (right to be explained). Masyarakat yang dapat terlibat dalam partisipasi publik tersebut terutama ialah masyarakat yang terdampak langsung seperti masyarakat yang wilayahnya masuk ke dalam WIUP atau masyarakat yang memiliki perhatian terhadap persoalan tersebut.

Dengan meninjau konsep meaningful participation, maka pertama, hak didengarkan pendapatnya (right to be heard) akan terimplementasikan ketika masyarakat diberikan ruang untuk menyampaikan tanggapan atau aduan atas kejanggalan dokumen perizinan yang telah ditransparansikan oleh Menteri ESDM dalam proses penerbitan IUP. Kedua, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) terwujud ketika Menteri ESDM mempertimbangkan aduan masyarakat yang

73 Mengacu pada Lampiran 1 Pedoman Pelaksanaan Penyiapan dan Penetapan WIUP Mineral Logam dan Batubara Kepmen ESDM 1798/2018.

masuk. Ketiga, terkait hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained), maka Menteri ESDM perlu memberikan tanggapan terhadap aduan masyarakat.

Oleh karenanya, Menteri perlu diberikan kewenangan dalam UU Minerba 3/2020 untuk memfasilitasi ruang aduan bagi masyarakat yang akan terdampak langsung dalam penetapan WIUP mineral logam dan batubara, lelang WIUP mineral logam dan batubara, dan pemberian IUP mineral logam dan batubara.

Keberadaan ruang aduan bagi masyarakat di dalam ketiga tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap penetapan WIUP mineral logam dan batubara

Aduan masyarakat dapat disampaikan pasca dilakukannya kegiatan pembahasan usulan penetapan WIUP.73 Aduan masyarakat yang masuk dan ditindaklanjuti akan menjadi bahan masukan atau pertimbangan dalam rancangan keputusan menteri mengenai penetapan WIUP. Dengan demikian, proses penetapan WIUP mineral logam dan batubara tidak hanya melibatkan kalangan pemerintah saja, akan tetapi juga terbuka ruang aduan masyarakat agar keputusan menteri mengenai penetapan WIUP terhindar dari adanya kecacatan prosedur maupun penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah dalam proses penetapan WIUP mineral logam dan batubara.

b. Tahap lelang WIUP mineral logam dan batubara

(20)

Aduan masyarakat dapat disampaikan pada tahap pasca diumumkannya hasil prakualifikasi lelang WIUP mineral logam dan batubara.

Peran masyarakat diperlukan untuk mencegah lolosnya peserta lelang yang terindikasi tidak memenuhi persyaratan-persyaratan dalam tahap prakualifikasi lelang untuk mengikuti tahap kualifikasi lelang Dengan demikian, hal tersebut dapat meminimalisir adanya dugaan praktik suap pada proses pengajuan dokumen- dokumen persyaratan prakualifikasi lelang antara peserta lelang dengan panitia lelang.

c. Tahap pemberian IUP mineral logam dan batubara

Aduan masyarakat dapat disampaikan pada tahap sebelum Menteri mengizinkan pemohon izin yang mengajukan IUP tahap kegiatan eksplorasi untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan tahap sebelum Menteri memberikan persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi.

Masyarakat yang memberikan aduan terhadap setiap tahapan di atas, perlu diberi alokasi waktu selama 7 (tujuh) hari. Kemudian, Menteri wajib menerima, menjawab, dan mengolah, serta mengevaluasi aduan yang masuk dari masyarakat dengan jangka waktu selama 10 (sepuluh) hari.

2. Penguatan Kelembagaan Kementerian ESDM

Untuk dapat mengimplementasikan penguatan prinsip transparansi yang disertai dengan partisipasi masyarakat dalam proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian

IUP di rezim sentralisasi IUP, maka diperlukan adanya penguatan kelembagaan kementerian ESDM. Menurut Jimly Asshidiqie dalam Putusan Nomor 031/PUU-IV/2006, lembaga negara merupakan sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan guna menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan. Lembaga negara, menurut Jimly Asshidiqie dalam Putusan MK Nomor 031/PUU-IV/2006, adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan untuk menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan.

Penguatan kelembagaan di kementerian ESDM perlu dilakukan untuk meningkatkan peran lembaga negara dalam memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan informasi tentang proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Terkait usulan penulis untuk diadakannya pengaturan baru tentang penambahan tugas dan kewenangan Menteri dalam melakukan transparansi dan menyediakan sarana partisipasi publik dalam pembahasan sebelumnya, maka Menteri ESDM dapat memberikan mandat kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) ESDM untuk melaksanakan kewajiban Menteri tersebut. Merujuk pada ketentuan UU KIP 14/2008 dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 24K/30/MEM/2019, PPID bertanggung jawab untuk menyimpan, mendokumentasikan, menyediakan, dan/

(21)

atau pelayanan informasi di badan publik.74 Dengan itu, maka PPID ESDM berkewajiban menyediakan wadah akses informasi data bagi masyarakat dalam mempublikasikan secara transparan segala dokumen yang berkaitan dengan proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP pada website PPID ESDM.

Upaya ini dilakukan untuk memastikan dan menjamin bahwa pelaksanaan proses tersebut bersih dan bebas dari praktik korupsi. Selain itu, PPID ESDM juga wajib berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat dalam mengumumkan dokumen-dokumen dalam proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP pada papan pengumuman desa agar informasi ini dapat tersampaikan kepada masyarakat secara merata karena masih terdapat beberapa daerah yang belum terjangkau internet bahkan belum melek teknologi.

Selanjutnya, dalam mengakomodir partisipasi masyarakat pada proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP, maka dapat dilakukan dengan menampung aduan dari masyarakat. Pelaksanaan aduan dilakukan dengan memanfaatkan media daring sehingga tetap dapat dilakukan dengan jarak jauh. Adapun media yang digunakan adalah website PPID ESDM. Namun, apabila masyarakat setempat mengalami kendala dalam menyampaikan aduan secara langsung di website PPID ESDM, maka aduan dapat disampaikan secara tertulis maupun lisan ke pemerintah desa untuk diteruskan ke website

74 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

PPID ESDM. PPID ESDM wajib berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat untuk membantu masyarakat setempat dalam menyampaikan aduan tersebut.

Hasil aduan yang telah disampaikan oleh masyarakat melalui website PPID ESDM lalu diproses oleh direktorat terkait dalam lingkup kementerian ESDM. Selanjutnya, wajib bagi kementerian menyampaikan tanggapan atas aduan dari masyarakat melalui website PPID ESDM paling lambat 10 (sepuluh) hari pasca aduan masuk agar masyarakat dapat mengetahui pertimbangan kementerian atas aduannya. Dengan demikian, penguatan kelembagaan dalam mewujudkan prinsip transparansi disertai partisipasi masyarakat pada proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP ini terletak pada lingkup kementerian ESDM yang bekerja sama dengan PPID ESDM dan pemerintah desa terkait.

Simpulan

Hadirnya UU Minerba 3/2020 yang mengubah kewenangan penerbitan IUP dari pemerintah daerah (desentralisasi) ke pemerintah pusat (sentralisasi) masih belum menjawab akar permasalahan dari praktik korupsi suap dalam penerbitan IUP Minerba.

Hal ini dikarenakan kunci dari adanya praktik korupsi terletak pada lemahnya transparansi kepada publik mulai dari proses penetapan WIUP, lelang WIUP, dan pemberian IUP.

Regulasi sentralisasi penerbitan IUP dalam UU Minerba 3/2020 saat ini pun tidak memperkuat prinsip transparansi sehingga

(22)

tidak dapat meminimalisir potensi korupsi suap dalam penerbitan IUP Minerba. Oleh karenanya, dalam rangka menekan praktik korupsi suap yang terjadi, maka diperlukan penguatan prinsip transparansi dalam proses penerbitan IUP minerba mulai dari penetapan WIUP, lelang, dan pemberian IUP. Penguatan prinsip ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Melakukan pembenahan regulasi dengan menambahkan pengaturan baru dalam UU Minerba 3/2020 tentang kewenangan Menteri untuk mentransparansikan dokumen- dokumen yang dipersyaratkan di setiap tahap proses penerbitan IUP serta memberikan

sarana pengaduan bagi masyarakat pada setiap tahapan proses penerbitan IUP.

Melakukan penguatan kelembagaan dengan memfungsikan PPID Kementerian ESDM untuk menjalankan kewajiban Menteri dalam mempublikasikan dokumen-dokumen izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara. Selain itu, PPID Kementerian ESDM juga bertugas menampung aduan masyarakat atas dokumen-dokumen yang telah ditransparansikan melalui website PPID dan bekerjasama dengan pemerintah desa setempat agar aduan yang ditampung dapat lebih merata.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Ali, Chidir. Responsi Hukum Pidana:

Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana. Bandung: Armico, 1997.

Badan Perencanaan Nasional dan Departemen Dalam Negeri. Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, 2002.

Hafidz, Jawade. Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara).

Cet. 2. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Memahami untuk Membasmi Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi

Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2006.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam 2018. Jakarta:

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2001.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.

Cet.2. Jakarta: Prenada Media Group.

2016.

Pasek, I Made. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Cet. 2. Jakarta: Prenada Media Group. 2017.

S., Salim H. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Cet 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

(23)

Saleh, K. Wantjik. Tindak Pidana Korupsi.

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet.

1. Jakarta: Ghalia.1988.

Suyana. Metodologi Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Buku Ajar Perkuliahan. Bandung, 2010.

Suhaimi, Ahmad. Hak Menguasai Negara atas Mineral dan Batubara. Surabaya:

Grammatical Publishing, 2016.

Syeirazi, M. Kholid. “Resentralisasi Negara : Catatan Kritis atas UU No. 3/2020 tentang Minerba”, dalam Ahmad Khoirul Umam (Eds), Kuasa Oligarki atas Minerba Indonesia? Analisis Pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba.

Jakarta: Universitas Paramadina, 2021.

hlm. 138-157.

Transparency International Indonesia.

Penilaian Risiko Korupsi dalam Pemberian Izin Usaha Pertambangan di Indonesia. Jakarta: Transparency International Indonesia, 2017.

Umam, Ahmad Khoirul. dkk. Tantangan Integritas Bisnis Tambang di Indonesia.

Jakarta : Universitas Paramadina, 2020.

Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan.

Cet. 5. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Jurnal

Bachruddin, Devi Triady dan Dewi Saraswati.

“Pengelolaan Tambang Batubara di Kalimantan Timur : Tinjauan Kebijakan Publik”. Monas : Jurnal Inovasi Aparatur Vol. 3, No 2, (November 2021): 347. Diakses 17 Februari 2022.

doi: https://doi.org/10.54849/monas.

v3i2.89.

Butar-Butar, Franky. “Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan”.

Yuridika Vol. 25, No. 2, (Mei-Agustus 2010): 153. Diakses 05 Januari 2023.

doi: https://doi.org/10.20473/ydk.

v25i2.252.

Diansyah, Tabran. dkk. “Implikasi Hukum Perubahan Kewenangan Urusan Pemerintahan terhadap Kewenangan Pemerintah Daerah Disektor Pertambangan”. Repertorium Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol. 8, No.

1, (Mei 2019): 21. Diakses 16 Februari 2022. doi: http://dx.doi.org/10.28946/

rpt.v8i1.309.

Duarmas, Darmanerus. dkk. “Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik di Kantor Camat Kormomolin Kabupaten Maluku Tenggara Barat”.

Jurnal Administrasi Publik Vol. 1, No.37, (2016): 1-9.

Kartodihardjo, Hariadi. dkk. “Kebijakan Pencegahan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Melalui Pendekatan Institusional dan Struktural”. Jurnal Antikorupsi Integritas Vol. 5, No. 2,

Referensi

Dokumen terkait